kolom pencarian

KTI D3 Kebidanan[1] | KTI D3 Kebidanan[2] | cara pemesanan KTI Kebidanan | Testimoni | Perkakas
PERHATIAN : jika file belum ter-download, Sabar sampai Loading halaman selesai lalu klik DOWNLOAD lagi

28 April 2011

Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus/DM (Askep Diabetes Mellitus/DM)

DIABETES MELLITUS


Pengertian

Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).


Klasifikasi

Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut :
  1. Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)
  2. Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)
  3. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya
  4. Diabetes mellitus gestasional (GDM)

Etiologi

  1. Diabetes tipe I :
    • Faktor genetik
      Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.
    • Faktor-faktor imunologi
      Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
    • Faktor lingkungan
      Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.
  2. Diabetes Tipe II
    Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
    Faktor-faktor resiko :
    • Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
    • Obesitas
    • Riwayat keluarga

Tanda dan Gejala
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan adalah :
1. Katarak
2. Glaukoma
3. Retinopati
4. Gatal seluruh badan
5. Pruritus Vulvae
6. Infeksi bakteri kulit
7. Infeksi jamur di kulit
8. Dermatopati
9. Neuropati perifer
10.Neuropati viseral
11.Amiotropi
12.Ulkus Neurotropik
13.Penyakit ginjal
14.Penyakit pembuluh darah perifer
15.Penyakit koroner
16.Penyakit pembuluh darah otak
17.Hipertensi

Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut.
Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada pasien DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami infeksi akut. Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia. Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan berkeringat banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak bermanifestasi sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak.
Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral tampak lebih jelas.


Pemeriksaan Penunjang

  1. Glukosa darah sewaktu
  2. Kadar glukosa darah puasa
  3. Tes toleransi glukosa
    Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl).
Kadar glukosa darah sewaktu
  • Plasma vena :
    • <100>
    • 100 - 200 = belum pasti DM
    • >200 = DM
  • Darah kapiler :
    • <80>
    • 80 - 100 = belum pasti DM
    • > 200 = DM
Kadar glukosa darah puasa
  • Plasma vena :
    • <110>
    • 110 - 120 = belum pasti DM
    • > 120 = DM
  • Darah kapiler :
    • <90>
    • 90 - 110 = belum pasti DM
    • > 110 = DM

Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :
  1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
  2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
  3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl).

Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal.
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :
  1. Diet
  2. Latihan
  3. Pemantauan
  4. Terapi (jika diperlukan)
  5. Pendidikan
Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Diabetes Mellitus

Pengkajian
  1. Riwayat Kesehatan Keluarga
    Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
  2. Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya
    Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.
  3. Aktivitas/ Istirahat :
    Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.
  4. Sirkulasi
    Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah
  5. Integritas Ego
    Stress, ansietas
  6. Eliminasi
    Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare
  7. Makanan / Cairan
    Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus, penggunaan diuretik.
  8. Neurosensori
    Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia,gangguan penglihatan.
  9. Nyeri / Kenyamanan
    Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)
  10. Pernapasan
    Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)
  11. Keamanan
    Kulit kering, gatal, ulkus kulit.

Masalah Keperawatan
  1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan
  2. Kekurangan volume cairan
  3. Gangguan integritas kulit
  4. Resiko terjadi injury

Intervensi
  1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.
    Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
    Kriteria Hasil :
    Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
    Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya
    Intervensi :

    • Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.
    • Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien.
    • Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi.
    • Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui oral.
    • Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan indikasi.
    • Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala.
    • Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah.
    • Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.
    • Kolaborasi dengan ahli diet.

  2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.
    Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi
    Kriteria Hasil :
    Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal.
    Intervensi :

    • Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik
    • Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul
    • Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas
    • Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
    • Pantau masukan dan pengeluaran
    • Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat ditoleransi jantung
    • Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung.
    • Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi tidak teratur
    • Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa, pantau pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K).

  3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer).
    Tujuan : gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan penyembuhan.
    Kriteria Hasil :
    Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan dan tidak terinfeksi
    Intervensi :

    • Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna, edema, dan discharge, frekuensi ganti balut.
    • Kaji tanda vital
    • Kaji adanya nyeri
    • Lakukan perawatan luka
    • Kolaborasi pemberian insulin dan medikasi.
    • Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.

  4. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan
    Tujuan : pasien tidak mengalami injury
    Kriteria Hasil : pasien dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengalami injury
    Intervensi :

    • Hindarkan lantai yang licin.
    • Gunakan bed yang rendah.
    • Orientasikan klien dengan ruangan.
    • Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
    • Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi.


DAFTAR PUSTAKA
Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani, Jakarta:EGC, 1997.

Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta : EGC, 1999.

Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa YasminAsih, Jakarta : EGC, 1997.

Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.

Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia Lanjut jilid I Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.

Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2002





Hasil Pencarian Untuk Asuhan Keperawatan Askep Diabetes Mellitus/DM
Tag: search result for asuhan keperawatan askep Diabetes Mellitus/DM
Tag: search result for asuhan keperawatan askep Diabetes Mellitus/DM
Tag: search result for asuhan keperawatan askep Diabetes Mellitus/DM
Tag: search result for asuhan keperawatan askep Diabetes Mellitus/DM
Tag: search result for asuhan keperawatan askep Diabetes Mellitus/DM
BACA SELENGKAPNYA - Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus/DM (Askep Diabetes Mellitus/DM)

KANKER PROSTAT

KANKER PROSTAT

Nomor dua tersering setelah karsinoma buli. Gejala bervariasi biasanya muncul setelah usia 50 tahun. Ditemukan pada saat prostatektomi jadi merupakan karsinoma insidentil. Skrining dengan menggunakan pemeriksaan colok dubur, USG dan PSA.
Penyebaran karsinoma prostat ditandai dengan klinis nyeri pada tulang, fraktur patologis atau hematuria (kencing warna merah)
Penatalaksanaan tergantung stadium. Pada low stage (stadium T1 dan T2) dilakukan prostatektomi radikal atau radiasi kadang diberikan juga androgen ablation pre surgical dan pre radiasi. Pada stadium lanjut (T3, T4) dilakukan radiasi ditambah dengan orkiektomi.
Ada yang ingin berbagi soal kanker prostat ?
Blog ini khusus buat mereka-mereka yang dalam waktu dekat ini berurusan dengan dokter bedah, akan menjalani pembedahan, mempunyai kerabat/saudara yang mau menjalani pembedahan atau buat mereka yang pengen tauk soal bedah .... juga buat pemerhati Ilmu Bedah ... mangkanya ditunggu dong komentarnya ....
"
BACA SELENGKAPNYA - KANKER PROSTAT

Ketoacidosis Diabetik

Ketoacidosis Diabetik:

Ketoacidosis Diabetik


Pengertian

Ketoasidosis diabetik merupakan akibat dari defisiensi berat insulin dan disertai
gangguan metabolisme protein, karbohidrat dan lemak. Keadaan ini terkadang disebut “akselerasi puasa” dan merupakan gangguan metabolisme yang paling serius pada diabetes ketergantungan insulin.


Etiologi

Ketoasidosis diabetik dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu akibat hiperglikemia dan akibat ketosis, yang sering dicetuskan oleh faktor-faktor :
  • Infeksi
  • Stress fisik dan emosional; respons hormonal terhadap stress mendorong peningkatan proses katabolik. Menolak terapi insulin.

Pemeriksaan Diagnostik

Glukosa darah : meningkat 200 – 100 mg/dl atau lebih
Aseton plasma (keton) : positif secara mencolok
Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkaat
Osmolalitas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 mOsm/l
Elektrolit : Natrium : mungkin normal , meningkat atau menurun
Kalium : normal atau peningkatan semu (perpindahan selular), selanjutnya akan menurun
Fosfor : lebih sering menurun
Hemoglobin glikosilat : kadarnya meningkat 2-4 kali lipat dari normal yang mencerminkan kontrol DM yang kurang selama 4 bulan terakhir
Gas darah arteri : biasanya menunjukkan pH rendah dan penurunan pada HCO3 (asidosis metabolik) dengan kompensasi alkalosis respiratorik
Trombosit darah : Ht mungkin meningkat atau normal (dehidrasi), leukositosis, hemokonsentrasi sebagai rrespons terhadap stress atau infeksi
Ureum / kreatinin : Mungkn meningkaatt atau normal(dehidrasi/penurunan fungsi ginjal)
Amilase darah : mungkin meningkat yang mengindikasikan adanya pankreatitis akut sebagai penyebab DKA
Urin : gula dan aseton positif , berat jenis dan osmolalitas mungkin meningkat
Kultur dan sensitifitas : kemungkinan adanya infeksi saluran kemih, pernafasan dan pada luka.
BACA SELENGKAPNYA - Ketoacidosis Diabetik

27 April 2011

Hipoglikemi

A. Definisi
Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah (glukosa) secara abnormal rendah. Dalam keadaan normal, tubuh mempertahankan kadar gula darah antara 70-110 mg/dL. Pada diabetes, kadar gula darah terlalu tinggi; pada hipoglikemia, kadar gula darah terlalu rendah. Kadar gula darah yang rendah menyebabkan berbagai sistem organ tubuh mengalami kelainan fungsi. Hypoglikemi adalah konsentrasi glukose darah di bawah 40mg/100ml. Hypoglikemi merupakan keadaan yang serius dan keadaan semakin gawat jika anak semakin muda.
Sel otak tidak mampu hidup jika kekurangan glukose. Hypoglikemi dapat terjadi berkaitan dengan banyak penyakit, misalnya pada neonatus dengan ibu diabetes dan mengalami Hyperglikemi in utero, atau sebagai komplikasi cidera dingin. Selama masa menggigil simpanan glikogen tubuh tidak mencukupi, tetapi jika dihangatkan terjadi peningkatan kebutuhan glikogen. Simpanan glikogen menurun dan cadangan tidak dapat memenuhi kebutuhan pada pemanasan (Rosa M Sacharin, 1986).
Otak merupakan organ yang sangat peka terhdap kadar gula darah yang rendah karena glukosa merupakan sumber energi otak yang utama.
Otak memberikan respon terhadap kadar gula darah yang rendah dan melalui sistem saraf, merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan epinefrin (adrenalin). Hal in akan merangsang hari untuk melepaskan gula agar kadarnya dalam darah tetap terjaga. Jika kadarnya menurun, maka akan terjadi gangguan fungsi otak.

B. Etiologi
Etiologi Hypoglikemi pada diabetes militus (DM)
1. Hypoglikemi pada DM stadium dini
2. Hypoglikemi dalam rangka pengobatan DM
a. Penggunaan insulin
b. Penggunaan sulfonilura
c. Bayi yang lahir dari ibu pasien DM
3. Hypoglikemi yang tidak berkaitan dengan DM
a. Hiperinsulinisme alimeter pascagastrektomi
b. Insulinoma
c. Penyakit hati berat
d. Tumor ekstrapankreatik.: fibrosarkoma, karsinoma ginjal
e. Hipopituitarisme

B. Faktor Predisposisi (Arif Masjoer, 2001)
Faktor predisposisi terjadi hipoglikemia pada pasien yang mendapat pengobatan insulin atau sulfonilurea:
1. Faktor-faktor yang berkaitan dengan pasien
a. Pengurangan / keterlambatan makan
b. Kesalahan dosis obat
c. Latihan jasmani yang berlebihan
d. Perubahan tempat suntikan insulin
e. Penurunan kebutuhan insulin
1) Penyembuhan dari penyakit
2) Nefropati diabetik
3) Penyakit Addison
4) Hipotirodisme
5) Hipopituitarisme
f. Hari-hari pertama persalinan
g. Penyakit hati berat
h. Gastroparesis diabetik
2. Faktor-faktor yang berkaitan dengan dokter
a. Pengendalian glukosa darah yang ketat
b. Pemberian obat-obat yang mempunyai potensi hipogliklemik
c. Penggantian jenis insulin

C. Patogenesis (Arif Masjoer, 2001)
Pada waktu makan cukup tersedia sumber energi yang diserap dari usus. Kelebihan energi disimpan sebagai makromolekul dan dinamakan fase anabotik. 60% dari glukosa yang di serap usus dengan pengaruh insulin akan di simpan di hati sebagai glikogen, sebagian dari sisanya akan disimpan di jaringan lemak dan otot sebagai glikogen juga. Sebagian lagi dari glukosa akan mengalami metabolisme anaerob maupun aerob untuk energi seluruh jaringan tubuh terutama otak sekitar 70% pemakaian glukosa berlangsung di otak tidak dapat menggunakan asam lemak bebas sebagai sumber energi.

Pencernaan dan penyerapan protein akan menimbulkan peningkatan asam amino di dalam darah yang dengan bantuan insulin akan disimpan di hati dan otak sebagai protein. Lemak diserap dari usus melalui saluran limfe dalam bentuk kilomikron yang kemudian akan dihidrolasi oleh lipoprotein lipase menjadi asam lemak. Asam lemak akan mengalami esterifikasi dengan gliserol membentuk trigliserida, yang akan disimpan di jaringan lemak. Proses tersebut berlangsung dengan bantuan insulin.
Pada waktu sesudah makan atau sesudah puasa 5-6 jam, kadar glukosa darah mulai turun keadaan ini menyebabkan sekresi insulin juga menurun, sedangkan hormon kontraregulator yaitu glukagon, epinefrin, kartisol, dan hormon pertumbuhan akan meningkat. Terjadilah keadaan kortison sebaliknya (katabolik) yaitu sintetis glikogen, protein dan trigliserida menurun sedangkan pemecahan zat-zat tersebut akan meningkat.
Pada keadaan penurunan glukosa darah yang mendadak: glukogen dan epinefrilah yang sangat berperan. Kedua hormon tersebut akan memacu glikogenolisis, glukoneogenisis, dan proteolisis di otot dan lipolisis di jaringan lemak. Dengan demikian tersedia bahan untuk glukoneogenesis yaitu asam amino terutama alanin, asam laktat, piruvat, sedangkan hormon, kontraregulator yang lain berpengaruh sinergistk glukogen dan adrenalin tetapi perannya sangat lambat. Secara singkat dapat dikatakan dalam keadaan puasa terjadi penurunan insulin dan kenaikan hormon kontraregulator. Keadaan tersebut akan menyebabkan penggunaan glukosa hanya di jaringan insulin yang sensitif dan dengan demikian glukosa yang jumlahnya terbatas hanya disediakan untuk jaringan otak.
Walaupun metabolik rantai pendek asam lemak bebas, yaitu asam asetoasetat dan asam β hidroksi butiran (benda keton) dapat digunakan oleh otak untuk memperoleh energi tetapi pembentukan benda-benda keton tersebut memerlulan waktu beberapa jam pada manusia. Karena itu ketogenesis bukan merupakan mekanisme protektif terhadap terjadinya hipoglikemia yang mendadak.
Selama homeostatis glukosa tersebut di atas berjalan, hipoglikemia tidak akan terjadi. Hipoglikemia terjadi jika hati tidak mampu memproduksi glukosa karena penurunan bahan pembentukan glukosa, penyakit hati atau ketidakseimbangan hormonal.

D. Manifestasi klinis (Arif Masjoer 2001)
Gejala-gejala hipoglikemia terjadi dari dua fase, yaitu:
  1. fase I gejala-gejala akibat aktifitas pusat autonom di hipotalomus sehingga hormon epinefrin dilepaskan. Gejala awal ini merupakan peringatan karena saat itu pasien masih sadar sehingga dapat diambil tindakan yang perlu untuk mengatasi hipoglikemia lanjutan.
  2. fase II, gejala-gejala yang terjadi akibat mulai terganggunya fungsi otak, karena itu dinamakan gejala neurologis.

Penelitian pada orang bukan diabetes menunjukkan adanya gangguan fungsi otak yang lebih awal dari fase I dan dinamakan gangguan fungsi otak subliminal. Di samping gejala peringatan dan neurologist, kadang-kadang hipoglikemia, menunjukan gejala yang tidak khas. Peringatan kadang-kadang gejala fase adrienergik tidak muncul dan pasien langsung jatuh pada fase gangguan fungsi otak. Terdapat dua jenis hilangnya kewaspadaan yaitu akut dan kronik.

C. Penyebab
Hipoglikemia bisa disebabkan oleh:
  • Pelepasan insulin yang berlebihan oelh pankreas
  • Dosis insulin atau obat lainnya yang terlalu tinggi, yang diberikan kepada penderita diabetes untuk menurunkan kadar gula darahnya
  • Kelainan pada kelenjar hipofisa atau kelenjar adrenal
Kelaiana pada penyimpanan karbohidrat atau pembentukan glukosa di hati.
Secara umum, hipogklikemia dapat dikategorikan sebagai yang berhubungan dengan obat dan yang tidak berhubungan dengan obat. Sebagian besar kasus hipoglikemia terjadi pada penderita diabetes dan berhubungan dengan obat.
Hipoglikemia yang tidak berhubungan dengan obat lebih jauh dapat dibagi lagi menjadi:
  • Hipoglikemia karena puasa, dimana hipoglikemia terjadi setelah berpuasa
  • Hipoglikemia reaktif, dimana hipoglikemia terjadi sebagai reaksi terhadap makan, biasanya karbohidrat.
Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh insulin atau obat lain (sulfonilurea) yang diberikan kepada penderita diabetes untuk menurunkan kadar gula darahnya. Jika dosisnya lebih tinggi dari makanan yang dimakan maka obat ini bisa terlalu banyak menurunkan kadar gula darah.
Penderita diabetes berat menahun sangat peka terhadap hipoglikemia berat.
Hal ini terjadi karena sel-sel pulau pankreasnya tidak membentuk glukagon secara normal dan kelanjar adrenalnya tidak menghasilkan epinefrin secara normal. Padahal kedua hal tersebut merupakan mekanisme utama tubuh untuk mengatasi kadar gula darah yang rendah.
Pentamidin yang digunakan untuk mengobati pneumonia akibat AIDS juga bisa menyebabkan hipoglikemia. Hipoglikemia kadang terjadi pada penderita kelainan psikis yang secara diam-diam menggunakan insulin atau obat hipoglikemik untuk dirinya.
Pemakaian alkohol dalam jumlah banyak tanpa makan dalam waktu yang lama bisa menyebabkan hipoglikemia yang cukup berat sehingga menyebabkan stupor. Olah raga berat dalam waktu yang lama pada orang yang sehat jarang menyebabkan hipoglikemia. Puasa yang lama bisa menyebabkan hipoglikemia hanya jika terdapat penyakit lain (terutama penyakit kelenjar hipofisa atau kelenjar adrenal) atau mengkonsumsi sejumlah besar alkohol. Cadangan karbohidrat di hati bisa menurun secara perlahan sehingga tubuh tidak dapat mempertahankan kadar gula darah yang adekuat.
Pada orang-orang yang memiliki kelainan hati, beberapa jam berpuasa bisa menyebabkan hipoglikemia. Bayi dan anak-anak yang memiliki kelainan sistem enzim hati yang memetabolisir gula bisa mengalami hipoglikemia diantara jam-jam makannya.
Seseorang yang telah menjalani pembedahan lambung bisa mengalami hipoglikemia diantara jam-jam makannya (hipoglikemia alimenter, salah satu jenis hipoglikemia reaktif). Hipoglikemia terjadi karena gula sangat cepat diserap sehingga merangsang pembentukan insulin yang berlebihan. Kadar insulin yang tinggi menyebabkan penurunan kadar gula darah yang cepat.
Hipoglikemia alimentari kadang terjadi pada seseorang yang tidak menjalani pembedahan. Keadaan ini disebut hipoglikemia alimentari idiopatik.
Jenis hipoglikemia reaktif lainnya terjadi pada bayi dan anak-anak karena memakan makanan yang mengandung gula fruktosa dan galaktosa atau asam amino leusin. Fruktosa dan galaktosa menghalangi pelepasan glukosa dari hati; leusin merangsang pembentukan insulin yang berlebihan oleh pankreas.
Akibatnya terjadi kadar gula darah yang rendah beberapa saat setelah memakan makanan yang mengandung zat-zat tersebut.
Hipoglikemia reaktif pada dewasa bisa terjadi setelah mengkonsumsi alkohol yang dicampur dengan gula (misalnya gin dan tonik). Pembentukan insulin yang berlebihan juga bisa menyebakan hipoglikemia. Hal ini bisa terjadi pada tumor sel penghasil insulin di pankreas (insulinoma). Kadang tumor diluar pankreas yang menghasilkan hormon yang menyerupai insulin bisa menyebabkan hipoglikemia.
Penyebab lainnya adalah penyakti autoimun, dimana tubuh membentuk antibodi yang menyerang insulin. Kadar insulin dalam darah naik-turun secara abnormal karena pankreas menghasilkan sejumlah insulin untuk melawan antibodi tersebut. Hal ini bisa terjadi pada penderita atau bukan penderita diabetes. Hipoglikemia juga bisa terjadi akibat gagal ginjal atau gagal jantung, kanker, kekurangan gizi, kelainan fungsi hipofisa atau adrenal, syok dan infeksi yang berat. Penyakit hati yang berat (misalnya hepatitis virus, sirosis atau kanker) juga bisa menyebabkan hipoglikemia.

D. Gejala
Pada awalnya tubuh memberikan respon terhadap rendahnya kadar gula darh dengan melepasakan epinefrin (adrenalin) dari kelenjar adrenal dan beberapa ujung saraf. Epinefrin merangsang pelepasan gula dari cadangan tubuh tetapi jugamenyebabkan gejala yang menyerupai serangan kecemasan (berkeringat, kegelisahan, gemetaran, pingsan, jantung berdebar-debar dan kadang rasa lapar) tiba-tiba.
Hal ini paling sering terjadi pada orang yang memakai insulin atau obat hipoglikemik per-oral. Pada penderita tumor pankreas penghasil insulin, gejalanya terjadi pada pagi hari setelah puasa semalaman, terutama jika cadangan gula darah habis karena melakukan olah raga sebelum sarapan pagi. Pada mulanya hanya terjadi serangan hipoglikemia sewaktu-waktu, tetapi lama-lama serangan lebih sering terjadi dan lebih berat.

E. Diagnosa
Gejala hipoglikemia jarang terjadi sebelum kadar gula darah mencapai 50 mg/dL. Diagnosis hipoglikemia ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya dan hasil pemeriksaan kadar gula darah. Penyebabnya bisa ditentukan berdasarkan riwayat kesehatan penderita, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium sederhana. Jika dicurigai suatu hipoglikemia autoimun, maka dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui adanya antibodi terhadap insulin.
Untuk mengetahui adanya tumor penghasil insulin, dilakukan pengukuran kadar insulin dalam darah selama berpuasa (kadang sampai 72 jam).
Pemeriksaan CT scan, MRI atau USG sebelum pembedahan, dilakukan untuk menentukan lokasi tumor.

F. Pengobatan
Gejala hipoglikemia akan menghilang dalam beberapa menit setelah penderita mengkonsumsi gula (dalam bentuk permen atau tablet glukosa) maupun minum jus buah, air gula atau segelas susu. Seseorang yang sering mengalami hipoglikemia (terutama penderita diabetes), hendaknya selalu membawa tablet glukosa karena efeknya cepat timbul dan memberikan sejumlah gula yang konsisten.
Baik penderita diabetes maupun bukan, sebaiknya sesudah makan gula diikuti dengan makanan yang mengandung karbohidrat yang bertahan lama (misalnya roti atau biskuit). Jika hipoglikemianya berat dan berlangsung lama serta tidak mungkin untuk memasukkan gula melalui mulut penderita, maka diberikan glukosa intravena untuk mencegah kerusakan otak yang serius.

Seseorang yang memiliki resiko mengalami episode hipoglikemia berat sebaiknya selalu membawa glukagon. Glukagon adalah hormon yang dihasilkan oleh sel pulau pankreas, yang merangsang pembentukan sejumlah besar glukosa dari cadangan karbohidrat di dalam hati. Glukagon tersedia dalam bentuk suntikan dan biasanya mengembalikan gula darah dalam waktu 5-15 menit. Tumor penghasil insulin harus diangkat melalui pembedahan.
Sebelum pembedahan, diberikan obat untuk menghambat pelepasan insulin oleh tumor (misalnya diazoksid). Bukan penderita diabetes yang sering mengalami hipoglikemia dapat menghindari serangan hipoglikemia dengan sering makan dalam porsi kecil
BACA SELENGKAPNYA - Hipoglikemi

Priapisme (ereksi nyeri & Menetap)

DEFINISI
Priapisme adalah ereksi yang nyeri dan menetap dan tidak berhubungan dengan gairah maupun kepuasan seksual.

PENYEBAB
Priapisme bisa terjadi pada semua kelompok umur, termasuk bayi baru lahir.
Priapisme pada anak-anak biasanya ditemukan pada penderita leukemia. Sel darah putih menyumbat atau menghalangi aliran darah dari penis sehingga terjadi priapisme.
Anak-anak yang menderita penyakit sel sabit juga bisa mengalami priapisme.
Penyebab priapisme lainnya pada anak-anak adalah trauma, baik pada penisnya sendiri maupun pada daerah di bawah penis (perineum) dan cedera korda spinalis.

Pada dewasa, penyebab priapisme bisa diketahui bisa juga tidak.
Salah satu penyebabnya adalah penyakit sel sabit (sebanyak 30% kasus). Dilaporkan bahwa 42% dewasa yang menderita penyakit sel sabit dan 64% anak-anak yang menderita penyakit sel sabit, pada akhirnya akan mengalami priapisme.
Bekuan darah juga bisa menyebabkan terjadinya priapisme.

Penyebab yang paling sering dari priapisme pada dewasa adalah obat-obat yang disuntikkan:
- Obat psikosa (torazin, klorpromazin)
- Obat anti hipertensi (prazosin)
- Marijuana
- Obat yang digunakan untuk mengobati impotensi
- Antikoagulan
- Kokain
- Kortikosteroid
- Tolbutamid
- Trazodon
Penyebab lainnya adalah:
- Kanker yang telah menyusup ke dalam penis dan menghalangi aliran darah dari penis
- Infeksi alat kelamin
-Kelainan pada pembuluh darah atau saraf di dalam jaringan erektil.

GEJALA
Gejalanya berupa ereksi disertai nyeri yang terjadi tanpa adanya rangsangan seksual dan berlangsung selama 4 jam atau lebih.

DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya.

Pemeriksaan gas darah terhadap darah yang diambil dari penis bisa memberikan petunjuk berapa lama priapisme telah berlangsung dan beratnya kerusakan yang telah terjadi.

PENGOBATAN
Pengobatan tergantung kepada penyebabnya:
# Jika penyebabnya adalah obat-obatan, maka pemakaian obat segera dihentikan
# Jika penyebabnya adalah kerusakan saraf, diberikan obat bius melalui spinal
# Jika penyebabnya adalah bekuan darah, dilakukan pembedahan untuk membuang bekuan darah atau untuk membuat bypass agar sirkulasi penis kembali normal.

Pada sebagian besar kasus dilakukan penyedotan darah yang berlebihan dari penis dengan sebuah jarum (aspirasi) dan membersihkan pembuluh darah dengan cairan untuk membuang berbagai bekuan atau penyumbat lainnya.

Jika priapisme berlangsung kurang dari 4 jam bisa diberikan obat dekongestan (misalnya pseudoephedrin dan terbutalin), yang bekerja dengan cara mengurangi aliran darah ke penis.
Setelah pemberian dekongestan baru dilakukan aspirasi.

Jika ereksi mulai berulang, bisa diberikan obat vasoaktif, misalnya epinefrin, yang menyebabkan pengkerutan pembuluh darah dan mencegah berulangnya priapisme.
BACA SELENGKAPNYA - Priapisme (ereksi nyeri & Menetap)

SAP : SENAM NIFAS

SAP : SENAM NIFAS

SATUAN ACARA PEMBELAJARAN POKOK BAHASAN SENAM NIFAS

A. Latar Belakang
Lazimnya seorang ibu nifas tetap bekerja selama kenifasannya, sehingga sangat penting pada kenifasannya diberikan keterangan tentang pernafasan dasar pernafasan dasar serta sikap sewaktu bekerja dan waktu senggang.
Salah satu aktivitas yang dilakukan adalah senam nifas. Tindakan relaksasi dan senam setiap hari berguna untuk seorang ibu nifas agar dapat mempersiapkan tubuhnya untuk menghadapi persalinan serta dapat belajar bernafas dan beristirahat pada waktu yang tepat selama persalinan untuk membantu kemajuan persalinan yang alamiah.


B. Tujuan Pembelajaran Senam Nifas
Tujuan Umum
Setelah dilakukan pembelajaran senam nifas oleh instruktur, ibu nifas dapat melakukan senam nifas secara mandiri.
Tujuan Khusus
Setelah mengikuti pembelajaran senam nifas, diharapkan ibu nifas dapat:
1. Menjelaskan tujuan senam nifas.
2. Menyebutkan hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan senam nifas.
3. Menyebutkan teknik latihan senam nifas.

C. Sasaran
Seluruh ibu-ibu nifas dan atau wanita yang berkunjung ke Puskesmas Mijen yang dianggap sesuai dengan wanita usia reproduksi.

D. Target
Ibu-ibu dengan masa nifas.
E. Pengorganisasian
Moderator :
Instruktur :

Fasilitator :
Observer :

F. Strategi Pelaksanaan
Waktu :
Tempat :
Kegiatan Belajar Mengajar :
1. Perkenalan
2. Menjelaskan tujuan
3. Menjelaskan materi
4. Mendemonstrasikan latihan
5. Diskusi dan tanya jawab
6. Evaluasi

G. Susunan Acara
1. Pembukaan oleh moderator selama 5 menit.
2. Acara inti :
a. Pendemonstrasian latihan selama 30
b. Diskusi dan tanya jawab selama 10 menit.
3. Penutup dan doa selama 5 menit.

H. Metode
1. Ceramah tentang konsep senam nifas.
2. Demonstrasi gerakan senam nifas.
3. Diskusi dan tanya jawab.


I. Media
Leaflet

J. Evaluasi
1. Standar persiapan : pengaturan waktu, kesiapan materi.
2. Standar proses : strategi yang digunakan dalam penyuluhan.
3. Standar hasil : kriteria hasil yang diharapkan dalam memberikan penyuluhan.

K. Materi
Terlampir

L. Daftar Pustaka
 Asuhan Intrapartum Kebidanan Postpartum Bayi Baru Lahir. (2003). Pusdiknakes – WHO – JHPIEGO
 Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas dalam Konteks Keluarga. 1993. Pusdiknakes : Jakarta.
 Goelam.S.A. dr. (1965). Ilmu Kebidanan. Balai Pustaka: Jakarta.
 Mary, Nifaston. 1997. Dasar-dasar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC.
 The Canadian Mother and Child. (1963). Department of National Health and Welfare: Ottawa









BAB I
PENDAHULUAN

Senam nifas ini mempunyai manfaat yang berarti bagi ibu-ibu setelah melahirkan. Kebanyakan dari ibu-ibu tentunya ingin sekali mengembalikan penampilannya seperti semula. Senam nifas ini berguna mengembalikan kondisi kesehatan dan memperbaiki regangan pada otot-otot setelah kehamilan. Tak banyak kaum ibu-ibu setelah melahirkan lebih suka segera membenahi penampilannya. Dalam melakukan senam nifas ada juga hal-hal yang perlu diperhatikan, karena ada perbedaan tersendiri senam nifas pasca melahirkan dengan normal dan caesar. Perlu diperhatikan juga bahwa kondisi fisik setiap orang berbeda-beda. Jadi sebelum memulai senam nifas atau olahraga, sebaiknya berkonsultasi dengan dokter.
Lampiran Materi
SENAM NIFAS

A. Pengertian
Senam nifas adalah latihan jasmani yang dilakukan setelah melahirkan guna mengembalikan kondisi kesehatan dan memperbaiki regangan pada otot-otot setelah kehamilan.

B. Tujuan
1. Memperbaiki regangan otot perut
2. Untuk relaksasi dasar panggul
3. Memperbaiki tonus otot pinggul
4. Memperbaiki sirkulasi darah
5. Memperbaiki regangan otot tungkai

C. Kontra Indikasi
1. Ibu yang menderita anemi
2. Ibu yang mempunyai penyakit jantung dan paru-paru

D. Pelaksanaan
Sebelum melakukan senam nifas, sebaiknya perawat mengajarkan kepada ibu untuk melakukan pemanasan terlebih dahulu. Pemanasan dapat dilakukan dengan latihan pernapasan dan menggerak-gerakkan kaki dan tangan secara santai. Hal ini bertujuan untuk menghindari kekejangan otot selama melakukan gerakan senam nifas.

 Latihan fisik (senam nifas) untuk memperkuat otot-otot yang mengendor waktu hamil, yaitu :
1. Latihan menarik nafas
 Bantal kecil diletakkan di bawah bahu
 Dengan kedua tangan di bawah kepala, menarik nafas panjang dan pelan-pelan.

2. Berulang-ulang mengangkat dan menurunkan tungkai untuk memperkuat tonus otot-otot perut.

3. Mengangkat tungkai untuk kemudian menurunkan secara perlahan.

4. Mengangkat kepala dan bahu untuk memperkuat tonus otot-otot perut.

5. Bangun dari sikap berbaring ke sikap duduk dengan meluruskan kedua lengan.

6. Bangun dari sikap berbaring ke sikap duduk dengan menarik kedua tangan di belakang kepala.


Latihan fisik untuk mengurangi varises
Pelebaran pembuluh darah balik (varises) pada tungkai bawah dan liang dubur. Keadaan ini dapat dikurangi atau dihilangkan dengan melakukan latihan fisik:
Latihan I
Sikap : Tidur terlentang, kedua lengan di bawah kepala dan kedua kaki lurus.
Latihan : Angkat kedua tungkai sehingga pinggul dan lutut mendekati badan semaksimal mungkin. Lalu luruskan dan angkat kaki kiri dan kanan vertikal dan perlahan-lahan turunkan kembali ke lantai.

1. Latihan II
Sikap : Tidur terlentang dengan kaki terangkat ke atas (disangga dengan tempat tidur yang lebih tinggi atau meja).
Latihan : Gerakkan jari-jari kaki seperti mencakar dan meregangkan, selama 30 detik.

2. Latihan III
Sikap : Sikap seperti latihan II.
Latihan : Gerakkan ujung jari secara teratur seperti lingkaran dari luar ke dalam dan dari dalam keluar selama 30 detik.

3. Latihan IV
Sikap : Sikap seperti latihan II.
Latihan : Lakukan gerakan telapak kaki kiri dan kanan ke atas dan ke bawah seperti gerakan menggergaji selama 30 detik.

4. Latihan V
Sikap : Tidur terlentang dengan kedua tangan bebas bergerak
Latihan : Gerakkan lutut mendekati badan, bergantian kaki kiri dan kanan, sedangkan tangan memegang ujung jari dan urutkan mulai dari ujung kaki sampai batas betis, lutut dan paha.

5. Latihan VI
Sikap : Berbaring terlentang, kedua tangan dibawah kepala.
Latihan : Jepitlah bantal diantara kedua kaki dan tekanlah sekuat-kuatnya. Saat itu angkatlah pantat dari kasur dengan melemengkungkan badan
6. .
Latihan VI
I
Sikap : Tidur terlentang, kaki terangkat ke atas, kedua lengan di samping badan.
Latihan : Kaki kanan disilangkan di atas kaki kiri dan tekan yang kuat. Pada saat itu tegangkan kaki dan kendorkan lagi perlahan-lahan dalam gerakan selama 30 detik.

7. Latihan VIII
Sikap : Berdiri tegak diatas lantai.
Latihan : Berjalanlah dengan ujung kaki, dan kemudian dengan tumit. Setiap gerakan lamanya 30 detik.

8. Latihan IX
Lakukan latihan bernafas di ruangan terbuka atau di depan jendela dimana ventilasi udara cukup nyaman dan segar.
Latihan : Angkat kepala dan lingkaran kedua tangan pada belakang leher, tarik nafas perlahan-lahan yang dalam hingga paru-paru penuh, lalu hembuskan nafas perlahan-lahan.




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan dan beberapa peragaannya senam nifas yaitu dapat mempercepat pengembalian regangan-regangan otot setelah melahirkan jika dilakukan dengan teratur: memperbaiki regangan otot panggul dan regangan otot tungkai bawah. Senam nifas yang bervariasi dan mempunyai tahapan-tahapan yang setiap tahapnya mempunyai urutan sesuai dengan kondisi. Sebaiknya dalam melakukan senam nifas tambahkan jumlah dan variasi latihan yang dilakukan dengan tetap memperhatikan kondisi kesehatan ibu. Dalam latihan juga hendaknya diawali dengan pemanasan dan lakukan relaksasi setelah melakukan senam nifas untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

 Asuhan Intrapartum Kebidanan Postpartum Bayi Baru Lahir. (2003). Pusdiknakes – WHO – JHPIEGO
 Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas dalam Konteks Keluarga. 1993. Pusdiknakes : Jakarta.
 Goelam.S.A. dr. (1965). Ilmu Kebidanan. Balai Pustaka: Jakarta.
 Mary, Nifaston. 1997. Dasar-dasar Keperawatan Maternitas. Jakarta : EGC.
 The Canadian Mother and Child. (1963). Department of National Health and Welfare: Ottawa


"
BACA SELENGKAPNYA - SAP : SENAM NIFAS

Pendidikan Kesehatan Dalam Pengelolaan Diabetes Secara Mandiri (Diabetes Self-Management Education) Bagi Diabetisi Dewasa

A. Latar Belakang

Diabetes mellitus (DM) merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang akibat tubuh mengalami gangguan dalam mengontrol kadar gula darah. Gangguan tersebut dapat disebabkan oleh sekresi hormon insulin tidak adekuat atau fungsi insulin terganggu (resistensi insulin) atau justru gabungan dari keduanya. Secara garis besar DM dikelompokkan menjadi 2 tipe, yaitu : DM tergantung pada insulin (DM tipe-1) dan non-DM tergantung pada insulin (DM tipe-2) (Stevens, 2002). Perbedaan karakteristik paling mencolok dari penderita DM tipe-1 atau tipe-2 adalah umur saat terjadinya penyakit DM (Soewondo, 2006). Pada umumnya, DM tipe-1 terjadi pada seseorang dengan usia di bawah 40 tahun bahkan separuhnya didiagnosis pada usia kurang dari 20 tahun. Sebaliknya, DM tipe-2 sebagian besar didiagnosis pada usia di atas 30 tahun, separuh dari kasus baru DM tipe-2 terjadi pada kelompok umur 55 tahun atau lebih. Oleh karenanya, DM tipe-2 lebih dikenal sebagai penyakit DM yang menyerang kaum dewasa (Parmet, 2004).

Risiko DM meningkat sejalan dengan bertambahnya usia dan memiliki kontribusi yang besar terhadap morbiditas dan mortalitas seseorang (ADA, 1998). DM tipe-2 memiliki hubungan dengan mortalitas pada berbagai kelompok umur bahkan dua kali lipat dibandingkan populasi non-diabetes; umur harapan hidup akan menurun 5 sampai 10 tahun pada kelompok umur pertengahan (Poulsen, 1998). Bahkan menurut penelitian di Inggris, lebih dari 80% pasien berumur ≥ 45 tahun yang baru didiagnosis mengidap DM setelah 10 tahun diobservasi ternyata memiliki risiko komplikasi penyakit jantung koroner >5%, 73% (45% sampai 92%) memiliki penyakit hipertensi, dan 73% (45% sampai 92%) memiliki konsentrasi kholesterol >5 mmol/l (Lawrence et al., 2001).


DM disebut sebagai penyakit kronis sebab DM dapat menimbulkan perubahan yang permanen bagi kehidupan seseorang. Penyakit kronis tersebut memiliki implikasi yang luas bagi lansia maupun keluarganya, terutama munculnya keluhan yang menyertai, penurunan kemandirian lansia dalam melakukan aktivitas keseharian, dan menurunnya partisipasi sosial lansia. Perawat komunitas sejak awal dapat berperan dalam meminimalisasi perubahan potensial pada sistem tubuh pasien. Beberapa penelitian eksperimental memperlihatkan bahwa perawat mempunyai peran yang cukup berpengaruh terhadap perilaku pasien (Tagliacozzo D.M., et.al., 1974). Salah satu peran yang penting guna mendorong masyarakat terutama lansia adalah agar lansia dan keluarga mampu memahami kondisi lansia diabetisi sehingga dapat melakukan perawatan diri secara mandiri (self-care). Tulisan ini mencoba untuk membahas sebuah model pendidikan kesehatan dalam pengelolaan diabetes secara mandiri (Diabetes self-management education/DSME).

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Meningkatkan pengertian dan kemampuan pengelolaan penyakit secara mandiri dalam kontrol metabolisme, mencegah komplikasi akut maupun kronis, serta mengoptimalkan kualitas hidup para lansia diabetisi dan keluarganya (Weerdt, Visser, & Veen, 1989; Clement, 1995).

2. Tujuan Khusus

  • Meningkatkan pengetahuan lansia diabetisi dan keluarganya tentang diabetes mellitus dan pengelolaannya (Padgett et al., 1988; Fernando, 1993).
  • Meningkatkan status psikososial lansia diabetisi dan keluarganya: kepercayaan dan sikap terhadap program pengobatan dan mekanisme koping (Padgett et al., 1988; Brown, 1990).
  • Meningkatkan perilaku sehat lansia diabetisi dan keluarganya: monitoring kadar gula darah secara mandiri, perencanaan makan (diet), latihan jasmani dan istirahat yang cukup, konsumsi obat hipoglikemik, dan menghindari rokok (Norris et al., 2002; Toobert, et al., 2003).

C. Diabetes Self-Management Education (DSME)

Beberapa penelitian mencatat bahwa 50–80% diabetisi memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang kurang dalam mengelola penyakitnya (Norris, Engelgau, & Narayan, 2001; Palestin, Ermawan, & Donsu, 2005), dan kontrol terhadap kadar gula darah ideal (HbA1c<7.0%)>

DSME merupakan proses pendidikan kesehatan bagi individu atau keluarga dalam mengelola penyakit diabetes (Task Force to Revise the National Standards,1995) yang telah dikembangkan sejak tahun 1930-an oleh Joslin Diabetes Center (Bartlett,1986). DSME menggunakan metode pedoman, konseling, dan intervensi perilaku untuk meningkatkan pengetahuan mengenai diabetes dan meningkatkan ketrampilan individu dan keluarga dalam mengelola penyakit DM (Jack et al., 2004). Pendekatan pendidikan kesehatan dengan metode DSME tidak hanya sekedar menggunakan metode penyuluhan baik langsung maupun tidak langsung namun telah berkembang dengan mendorong partisipasi dan kerjasama diabetisi dan keluarganya (Funnell et al.,1991; Glasgow & Anderson,1999).

Intervensi DSME diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan lansia diabetisi dan keluarganya tentang diabetes mellitus dan pengelolaannya (Padgett et al., 1988; Fernando, 1993) serta meningkatkan status psikososial lansia diabetisi dan keluarganya berkaitan dengan kepercayaan dan sikap terhadap program pengobatan dan mekanisme koping (Padgett et al., 1988; Brown, 1990). Menurut Badruddin et al. (2002), diabetisi yang diberikan pendidikan dan pedoman dalam perawatan diri akan meningkatkan pola hidupnya yang dapat mengontrol gula darah dengan baik. Badruddin et al. sekaligus mengingatkan bahwa pendidikan kesehatan akan lebih efektif bila petugas kesehatan mengenal tingkat pengetahuan, sikap dan kebiasaan sehari-hari klien tersebut.

Selanjutnya, intervensi DSME yang dapat meningkatkan aspek kognisi dan afeksi diabetisi dan keluarganya secara simultan akan mempengaruhi peningkatan perilaku sehat diabetisi. Perilaku sehat tersebut terdiri dari monitoring kadar gula darah secara mandiri, perencanaan makan (diet), latihan jasmani dan istirahat yang cukup, konsumsi obat hipoglikemik, dan menghindari rokok. Hasil jangka pendek yang diharapkan adalah terkontrolnya tekanan darah (<140/90>

Skema 1. Kerangka pikir Model Diabetes Self-Management Education

Bentuk oval adalah intervensi, kotak dengan sudut lengkung mengindikasikan sebagai hasil antara, dan kotak dengan sudut lancip adalah hasil jangka pendek dan jangka panjang. Sumber : Norris SL, Nichols PJ,
Caspersen CJ, Glasgow RE, Engelgau MM, Jack L, et al. (2002)

Jack, et al. (1999) berdasarkan studi review sistematis selanjutnya menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan intervensi DSME dalam konteks komunitas, adalah : faktor komunitas, organisasi, lingkungan fisik, lingkungan sosial, dukungan sosial (keluarga dan jejaring sosial), dan faktor individu (psikologis, biomedis, dan perilaku) (lihat skema 2). Faktor-faktor komunitas, terdiri dari: sosial budaya, sumber daya masyarakat, dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Faktor organisasi yang berpengaruh yaitu pemerintah, sekolah, lembaga swadaya masyarakat, pelayanan kesehatan, dan swasta. Faktor lingkungan fisik terdiri dari lingkungan di dalam dan luar rumah, fasilitas publik, dan sarana transportasi. Faktor lingkungan sosial terdiri dari norma sosial, ekosistem, kondisi ekonomi, budaya setempat, dan kebijakan publik. Faktor dukungan sosial dari keluarga dan sosial. Faktor individu terdiri dari tiga aspek, yaitu kondisi psikologis, biomedis, dan perilaku.

Skema 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Diabetes Self-Management Education

C. Implikasi DSME dalam keperawatan komunitas

  1. Peran perawat komunitas adalah mendorong kemandirian lansia diabetisi dan keluarga melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan pengelolaan DM sehingga keluhan dan gejala penyakit DM berkurang serta mencegah komplikasi akut dan kronis yang dapat menyerang pembuluh darah, jantung, ginjal, mata, syaraf, kulit, kaki, dan sebagainya sehingga kualitas hidup lansia diabetisi lebih optimal.
  2. Intervensi keperawatan DSME pada kelompok khusus dapat diimplementasikan pada posbindu atau kelompok lansia diabetisi.
  3. Pendekatan komunikasi terapeutik dapat berperan sebagai pembangun struktur komunikasi yang terapeutik, sehingga klien akan mudah memahami dan melaksanakan program pengobatan yang telah direncanakan untuknya.
  4. Intervensi keperawatan DSME diberikan untuk menjaga stabilitas klien, ketersediaan sumber energi sistem, dan dukungan terhadap klien untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.
  • Prevensi primer, antara lain deteksi dini DM maupun adanya risiko komplikasi DM, pemeriksaan teratur kadar gula darah secara mandiri, perawatan kaki, latihan kaki dan perencanaan makan (diet). Prevensi primer termasuk melakukan strategi promosi kesehatan bilamana faktor risiko telah terdekteksi namun reaksi klien belum muncul.
  • Prevensi sekunder, yaitu konsumsi obat hipoglikemik sesuai dosis pengobatan.
  • Prevensi tersier, yaitu latihan jasmani secara teratur, istirahat yang cukup, menghindari stress, dan menghindari rokok.

D. Penutup

1. Simpulan

Perawat komunitas memiliki peran yang penting guna mendorong masyarakat terutama lansia untuk mampu memahami kondisinya sehingga dapat melakukan perawatan diri secara mandiri (self-care) melalui intervensi DSME. Intervensi DSME berupaya untuk meningkatkan aspek kognisi, afektif dan ketrampilan pengelolaan DM lansia diabetisi dan keluarganya sehingga keluhan dan gejala penyakit DM berkurang serta mencegah komplikasi akut dan kronis sehingga diharapkan kualitas hidup lansia diabetisi dapat lebih optimal.

Pada tahapan ini, perawat komunitas perlu meningkatkan perannya dengan mengambil titik awal pada pemberdayaan kesehatan keluarga. Perawatan komunitas yang berfokus pada keluarga memiliki makna strategis dan berbagai manfaat, yaitu : meningkatnya tanggungjawab sektor publik terhadap peningkatan kesehatan komunitas (Weiner, 2000), pembiayaan perawatan di rumah lebih mudah dikendalikan (Cuellar & Weiner, 2000), serta perawatan berfokus pada keluarga lebih efektif dan bermanfaat bagi kesehatan komunitas (Weissert &amp;amp;amp;amp; Hedrick, 1994; Weissert et al., 1997; Breakwell, 2004).

2. Saran

  • Perawat komunitas perlu meningkatkan ketrampilan DSME dan komunikasi terapeutik untuk meningkatkan ketaatan lansia diabetisi dan keluarganya dalam pengelolaan diabetes.
  • Perawat komunitas perlu menentukan indikator keberhasilan intervensi DSME dalam lingkup keluarga maupun komunitas melalui performa aktivitas sehari-hari, pencapaian tujuan intervensi keperawatan, perawatan mandiri, adaptasi, dan partisipasi klien dalam kehidupan sosialnya.
  • Perawat komunitas harus mampu mengenal dan mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan DSME di tingkat keluarga maupun komunitas.
  • Perawat komunitas harus mampu menggali dan mengelola kekuatan keluarga, sumber daya keluarga serta supra sistem keluarga dalam pelaksanaan DSME.

Referensi :

  1. Almatsier, S. (Ed). (2006). Penuntun Diet Edisi Baru Instalasi Gizi Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo dan Asosiasi Dietisien Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
  2. American Diabetes Association. (1998). Economic consequences of diabetes mellitus in the U.S. in 1997. Diabetes Care, 21:296–309.
  3. American Diabetes Association. (2001a). Standards of medical care for patients with diabetes mellitus (Position Statement). Diabetes Care, 24 (Suppl. 1):S33–S43.
  4. American Diabetes Association. (2001b). Tests of glycemia in diabetes (Position Statement). Diabetes Care 24 (Suppl. 1):S80–S82.
  5. Badruddin, N., Basit, A., Hydrie, M.Z.I., & Hakeem, R., (2002). Knowledge, Attitude and Practices of Patients Visiting a Diabetes Care Unit, Pakistan Jou of Nut, 1(2): 99-102.
  6. Bartlett, E. (1986). Historical glimpses of patient education in the United States. Patient Educ Counsel, 8:135–149.
  7. Breakwell, S. (2004). Connecting New Nurses and Home Care. Home Health Care Management & Practice, 16(2): 117-21.
  8. Brown, S. (1990). Studies of educational interventions and outcomes in diabetic adults: a meta-analysis revisited. Patient Educ Counsel, 16:189 –215.
  9. Clement, S., (1995). Diabetes self-management education. Diabetes Care, 18:1204–1214.
  10. Cuellar, AE & J. Weiner. 2000. Can Social Insurance for Long-Term Care Work? The Experience of Germany. Health Affairs 19(3): 8-25.
  11. Elshaw, EB, Young, EA, Saunders, MJ, McGurn, WC, Lopez, LC. (1994). Utilizing a 24-hour dietary recall and culturally specific diabetes education in Mexican Americans with diabetes. Diabetes Educ., 20:228-35. [PMID: 7851238]
  12. Feeley, N. & Gottlieb, L.N. (2000). Nursing Approaches for Working With Family Strengths and Resources. Journal Of Family Nursing, 6(1), 9-24.
  13. Fernando, D. (1993). Knowledge about diabetes and metabolic control in diabetic patients. Ceylon Med J 38:18 –21.
  14. Funnell, M., Anderson, R., Arnold, M., Barr, P., Donnelly. M., Johnson, P. (1991). Empowerment: an idea whose time has come in diabetes education. Diabetes Educ, 17:37–41.
  15. Glasgow, R., & Anderson R,. (1999). In diabetes care, moving from compliance to adherence is not enough: something entirely different is needed. Diabetes Care, 22:2090–2091.
  16. Harris, MI., Eastman, RC., Cowie, CC., Flegal, KM., & Eberhardt, MS. (1999). Racial and ethnic differences in glycemic control of adults with type 2 diabetes. Diabetes Care, 22:403–408.
  17. Jack Jr., L., Liburd, L., Spencer, T., & Airhihenbuwa, C.O. (2004).Understanding the Environmental Issues in Diabetes Self-Management Education Research: A Reexamination of 8 Studies in Community-Based Settings. Ann Intern Med., 140:964-971.
  18. Jack, L. Jr, Liburd, L., Vinicor, F., Brody, G., & Murry, VM. (1999). Influence of the environmental context on diabetes self-management: a rationale for developing a new research paradigm in diabetes education. Diabetes Educ., 25:775-7, 779-80, 782 passim. [PMID: 10646474]
  19. Lawrence, JM., Bennett, P., Young, A., & Robinson, AM . (2001). Screening for diabetes in general practice: cross sectional population study. BMJ, 323: 548-551.
  20. Mapanga, K.G. & Mapanga, M.B. (2004).A Community Health Nursing Perspective of Home Health Care Management and Practice. Home Health Care Management & Practice, 16(4): 271-279.
  21. Norris, S.L., Engelgau, M.M., & Narayan, K.M.V., (2001). Effectiveness of Self-Management Training in Type 2 Diabetes A systematic review of randomized controlled trials. Diabetes Care, 24(3): 561-587.
  22. Norris, S.L., Lau, J., Smith, S.J., Schmid, C.H., & Engelgau, M.M. (2002). Self-Management Education for Adults With Type 2 Diabetes A meta-analysis of the effect on glycemic control. Diabetes Care, 25:1159–1171.
  23. Norris SL, Nichols PJ, Caspersen CJ, Glasgow RE, Engelgau MM, Jack L, et al. (2002). Increasing diabetes self-management education in community settings. A systematic review. Am J Prev Med., 222(4 Suppl):39-66. [PMID: 11985934]
  24. Padgett, D., Mumford, E., Hynes, M., & Carter, R. (1988), Meta-analysis of the effects of educational and psycholosocial interventions on management of diabetes mellitus. J Clin Epidemiol, 41:1007–1030.
  25. Palestin, B., Ermawan, B., & Donsu, JDT. (2005). Penerapan Komunikasi Terapeutik Untuk Mengoreksi Perilaku Klien Rawat Jalan Dengan Diabetes Mellitus, Jurnal Teknologi Kesehatan 1(1): 1-10.
  26. Parmet, S., (2004). Weight Gain and Diabetes. JAMA, 292(8): 998.
  27. Stevens, LM. (2002). The ABCs of Diabetes. JAMA, 287(19): 2608.
  28. Soewondo, P. (2006). Hidup Sehat dengan Diabetes. Panduan bagi penyandang diabetes, keluarganya dan petugas kesehatan. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
  29. Tagliacozzo D.M., Luskin D.B., Lashof J.C. & Ima K., Nurse Intervention and Patient Behavior, Am. Jou. Public Health 1974, Vol. 64 No. 6.
  30. Task Force to Revise the National Standards. (1995). National standards for diabetes self-management education programs. Diabetes Educ, 21:189–193.
  31. Thomas Mandrup­Poulsen. (1998).Recent advances Diabetes. BMJ, 316: 1221-1225.
  32. Toobert, D.J., Glasgow, R.E., Strycker, L.A., Barrera Jr., M., Radcliffe, J.L., Wander, R.C., & Bagdade, J.D.(2003). Biologic and Quality-of-Life Outcomes From the Mediterranean Lifestyle Program A randomized clinical trial. Diabetes Care,26:2288–2293.
  33. Weerdt, I., Visser, A., & Veen, E. (1989). Attitude behavior theories and diabetes education programmes. Patient Educ Counsel, 14:3–19.
  34. Weiner, J. (2000). Prediction: Long-Term Care in the Next Decade. Caring Magazine (June): 16-8.
  35. Weissert, W & SC Hedrick. (1994). Lessons Learned from Research on Effects of Community-Based Long-Term Care. Journal of the American Geriatrics Society 42: 348-53.
  36. Weissert, W, T Lesnick, M Musliner, & K Foley. (1997). Cost Savings from Home and Community-Based Services: Arizona’s Capitated Medicaid Long-Term Care Program. Journal of Health Politics, Policy and Law 22(6): 1329-57.
"
BACA SELENGKAPNYA - Pendidikan Kesehatan Dalam Pengelolaan Diabetes Secara Mandiri (Diabetes Self-Management Education) Bagi Diabetisi Dewasa

26 April 2011

SAP ANSIETAS

SAP ANSIETAS: "

GAMBARAN KASUS

A. Pengkajian Faktor Predisposisi

1. Riwayat Keperawatan

Ny. A berumur 27 tahun saat ini sedang menderita appendicitis (peradangan apendiks). Ny. A datang ke RS karena dirujuk dari puskesmas, dan ia baru pertama kali datang ke RS. Karena sebelumnya tidak pernah ada masalah kesehatan serius. Ny. A lulusan SMA dan bekerja sebagai ibu rumah tangga dan tidak banyak tahu tentang penyakit yang dideritanya. Tn. D, suaminya izin untuk tidak masuk kerja karena ingin mengantar istrinya. Tn. D bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan swasta dengan penghasilan tiap bulannya Rp. 1.500.000.

Ny. A mempunyai persepsi tentang sakit di bagian perut kanan bawah akan dapat sembuh sendiri dengan perawatan dan pengobatan yang diberikan di RS, tanpa dilakukan tindakan operasi. Ny. A terlihat cemas akan rencana operasi penyakitnya (apendektomi). Walaupun sebenarnya Tn. D selalu memberi motivasi, karena ingin istrinya cepat sembuh dari sakitnya.

2. Keadaan Fisik

Keadaan umum sakit sedang, kesadaran compos mentis, tanda-tanda vital : TD : 110/80 mmHg, Nadi : 84 x / menit, Suhu : 36,70C, Pernafasan : 20 x / menit. Sakit perut dibagian kanan bawah, nafsu makan menurun, dan mual.

3. Kesiapan Belajar

Klien mengatakan bahwa ia tertarik untuk mempelajari tentang cemas dan cara mengurangi cemas. Pengetahuan klien tentang cemas dan cara mengurangi cemas masih kurang karena klien belum pernah mendapatkan informasi tentang hal tersebut dari sumber apapun.

Klien dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Ketika pertama kali dating ke RS, klien tampak cemas dengan luka gangren. Klien mengatakan bahwa hari itu tidak bersedia diberi penyuluhan oleh perawat, akan tetapi klien akan bersedia apabila pikiran dan perasaannya agak sedikit tenang.

4. Motivasi Belajar

Motivasi belajar klien untuk mempelajari kondisinya cukup kuat. Klien mengatakan apapun yang harus dilakukan akan dilaksanakan asalkan ia mampu mengurangi rasa cemas untuk menjalani operasi appencitis (peradangan apendiks).

5. Kemampuan Membaca

Klien mempunyai kemampuan membaca dan menulis dengan cukup baik. Ketika diberikan sebuah bahan bacaan berupa “lembar balik” tentang pengertian cemas dan diminta membacanya. Klien mampu menjelaskan kembali inti dari isi “lembar balik” tersebut. Dan klien mengatakan lebih menyukai belajar dengan cara Tanya jawab dan menyukai bahan bacaan yang bergambar karena mudah diingat.

B. Pengkajian Faktor Pemungkin

Di puskesmas, khususnya di klinik pelayanan kesehatan, perawat yang memberikan pelayanan kepada klien yang mengalami ansietas telah memiliki keterampilan memveri penyuluhan kesehatan dengan baik, karena telah sering kali dilakukan pelatihan untuk hal tersebut. Alat bantu penyuluhan berupa ”leaflet” dan ”lembar balik”.

C. Pengkajian Faktor Penguat

Ny. A tinggal bersama suaminya Tn. D yang berpendidikan Perguruan Tinggi atau universitas. Tn. D mempunyai persepsi yang lebih positif terhadap ansietas atau cemas istrinya dan mendorongnya untuk segara dioperasi. Karena kalau tidak dilakukan akan mengakibatkan ha yang lebih buruk lagi.

D. Diagnosa Keperawatan

1. Ansietas berhubungan dengan ancaman aktual atau yang dirasakan terhadap konsep diri sekunder akibat : perubahan status dan prestise kegagalan atau keberhasilan.

2. Nyeri berhubungan dengan peradangan.

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhungan dengan gangguan intake makanan.

E. Evaluasi

Evaluasi akan dilakukan selama proses belajar dan pada akhir dari proses pendidikan kesehatan. Evalasi akan dilakukan dengan mengajukan pertanyaan lisan.

F. Kesimpulan

Kondisi pasien :

Ø DS : klien mengatakan :

· Mual

· Sakit dibagian perut bawah kanan

· Sulit tidur

· Cemas akan di operasi

Ø DO :

· Gelisah

· Lingkaran hitam di sekitar mata

· Skala nyeri 5

SATUAN ACARA PEMBELAJARAN

1. Masalah Keperawatan : Ansietas berhubungan dengan ancaman aktual atau yang dirasakan terhadap konsep diri sekunder akibat : perubahan status dan prestise kegagalan atau keberhasilan.

Pokok Bahasan : Teknik relaksasi untuk mengurangi rasa cemas

Sub Pokok Bahasan : Cara mengurangi cemas

Hari / Tanggal : Januari 2009

Waktu : 20 menit

Tempat : Rumah Sakit Fatmawati

Sasaran : Individu

Pemberi Penkes : Nia Renianti

I. Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah dilakukan pembelajaran selama 20 menit, klien mampu memahami cemas dan cara mengurangi cemas.

II. Tujuan Pembelajaran Khusus

Klien akan mampu :

  1. menjelaskan pengertian kecemasan, dalam bahasanya sendiri dengan benar.
  2. menguraikan tingkatan kecemasan.
  3. menguraikan factor-faktor yang dapat menimbulkan stress.
  4. menguraikan tanda dan gejala cemas.
  5. menerapkan cara mengurangi cemas.

III. Materi Pembelajaran

1) Pengertian Kecemasan

2) Tingkat Kecemasan

3) Tanda dan gejala cemas

4) Faktor-faktor yang menimbulkan stress

5) Cara-cara mengurangi cemas

IV. Metode

  1. Ceramah
  2. Tanya jawab

V. Media, Alat dan Sumber

1. Media : lembar balik dan leaflet

2. Alat : Penggaris

VI. Kegiatan Belajar Mengajar

Kegiatan

Kegiatan Klien

Waktu

Pendahuluan

Memberi salam, memperhatikan sikap.

Memberi pertanyaan apersepsi.

Mengkomunikasikan pokok bahasan.

Mengkomunikasikan tujuan

Menjawab pertanyaan

Menyimak

Menyimak

2 menit

Kegiatan Inti

Menjelaskan materi secara sistematis

Memberi kesempatan bertanya

Mendemonstrasikan teknik relaksasi

Memberikan reinforsment

Memberikan jawaban secara tepat

Menyimak, bertanya, mengikuti contoh yang dipraktekan dan memberi jawaban pertanyaan

10 menit

Penutup

Menyimpulkan materi pelajaran bersama-sama

Memberikan evaluasi secara tanya jawab

Mengucapkan salam penutup

Menyimak dan menjawab pertanyaan

3 menit

VII. Evaluasi

1. Prosedur : Diberikan diakhir pendidikan kesehatan

2. Waktu : 5 menit

3. Bentuk Soal : Lisan

4. Jumlah Soal : 5

5. Jenis Soal : Essay

  • Butir soal :

1. apakah yang dimaksud dengan kecemasan ?

2. sebutkan tanda dan gejala dalam kecemasan ?

3. sebutkan tingkat kecemasan dan jelaskan?

4. sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi?

5. bagaimana cara mengurangi cemas?

  • Jawaban

1. Pengertian kecemasan

Kecemasan adalah bentuk perasaan khawatir,
gelisah dan perasaan-perasaan lain yang kurang menyenangkan.Biasanya
perasaan-perasaan ini disertai oleh rasa kurang percaya diri, tidak mampu, merasa rendah diri, dan tidak mampu menghadapi suatu masalah.

2. Tanda dan Gejala kecemasan

· Gejala motorik, meliputi: gemetar, muka tegang, nyeri otot, nyeri dada, letih, pegal, sakit kepala, sakit leher.

· Gejala otonomik, berupa hiperaktivitas saraf otonomik terutama saraf simpatis ditandai dengan gejala; palpitasi, hiperhidrosis, sesak nafas, diare, parestesia dll.

· Khawatir

Rasa khawatir yang berlebihan terutama mengenai hal-hal yang belum terjadi seperti mau mendapat musibah.

· Kewaspadaan berlebihan.

Kewaspadaan yang berlebihan meliputi gejala tidur terganggu, sulit berkonsentrasi, mudah terkejut, tidak bisa santai dll.

3. Tingkat Kecemasan

· Cemas Ringan

Cemas ringan berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini lahan persepsi melebar dan individu akan berhati-hati dan waspada. Individu terdorong untuk belajar yang akan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. Respons cemas ringan seperti sesekali bernapas pendek, nadi dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir bergetar, lapang persepsi meluas, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif, tidak dapat duduk dengan tenang, dan tremor halus pada tangan.

· Cemas Sedang

Pada tingkat ini lahan persepsi terhadap masalah menurun. Individu lebih berfokus pada hal-hal penting saat itu dan mengesampingkan hal lain. Respons cemas sedang seperti sering napas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia, gelisah, lapang pandang menyempit, rangsangan luar tidak mampu diterima, bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur, dan perasaan tidak enak.

· Cemas Berat

Pada cemas berat lahan persepsi sangat sempit. Seseorang cenderung hanya memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal yang penting. Seseorang tidak mampu berpikir berat lagi dan membutuhkan lebih banyak pengarahan / tuntunan.

Respon kecemasan berat seperti napas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, berkeringat dan sakit kepala, penglihatan kabur, ketegangan, lapang persepsi sangat sempit, tidak mampu menyelesaikan masalah, verbalisasi cepat, dan perasaan ancaman meningkat.

4. Faktor-faktor yang menimbulkan stress

· Lingkungan yang asing

· Kehilangan kemandirian sehingga mengalami ketergantungan dan memerlukan bantuan orang lain

· Berpisah dengan pasangan dan keluarga

· Masalah biaya

· Kurang informasi

· Ancaman akan penyakit yang lebih parah

· Masalah pengobatan

5. Cara mengurangi cemas

Ø Teknik relaksasi segitiga pernapasan (Triangle Breathing):

o Ambil napas selama 3 detik dengan lambat,

o Tahan napas selama 3 detik

o Keluarkan perlahan selama 3 detik melalui mulut

o Ulangi selama 3 kali

Ø Teknik guided imagery:

o Diri dalam keadaan rileks

o Teman dan konselor membimbing anda dengan kondisi verbal (bicara perlahan dan lembut)

o Klien dapat terbawa ke tempat yang paling aman yang diinginkan oleh suara hatinya.

o Saat terbangun dari proses imagery, klien akan merasa damai, dan akan mempunyai persepsi yang baru terhadap sesuatu yang membebani, atau lebih siap menghadapinya.

Ø Hindari kafein, alkohol dan rokok

Rasa cemas ternyata bisa pula dipicu oleh makanan, minuman, serta kebiasaan yang kita konsumsi atau lakoni. Kafein, alkohol, dan rokok disebut-sebut sebagai substansi yang bisa meningkatkan rasa cemas seseorang.

Ø Tertawa dan olahraga.

Tidak ada yang membantah kalau banyak ketawa itu dianggap menyehatkan. Buktinya untuk mengatasi rasa cemas ini, para pakar juga menyarankan agar kita banyak tertawa. Karena cara tersebut ampuh mengusir emosi dengan sesuatu positif sifatnya. Tak ubahnya dengan olahraga. 20 hingga 30 menit melakukan olahraga bisa membantu mengurangi rasa cemas.

Ø Tulislah rasa cemas dalam secarik kertas.

Cara ini, menurut Bloomfield, lumayan ampuh mengurangi emosi dan rasa sesak di dada. Karenanya, tulislah dengan jujur ketakutan dan kecemasan yang ada dalam benak Anda, seperti "Saya takut ketika...", "Saya cemas karena...", atau "Saya nggak yakin kalau harus...'.

Ø Bersantai

Rasa cemas kerap datang akibat banyaknya pekerjaan atau tugas lainnya. Karena itu, usahakan untuk menyisihkan waktu buat bersenang-senang dan bersantai. Atau waktu tersebut bisa pula digunakan untuk meditasi, membangun mimpi dan berimajinasi. Karena kebiasaan tersebut akan membantu mengurangi rasa cemas.

Ø Dengar musik.

Berbahagialah orang yang gemar mendengarkan musik. Karena dengan mendengarkan musik-musik favorit, akan membantu menjalani ritme hidup Anda yang menyenangkan.

VIII. Daftar Pustaka

· Wartonah, Tarwoto. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

· Alimul, A. Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia : Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

· Hall, C. S. 1980. Suatu Pengantar Kedalam Ilmu Jiwa Sigmund Freud
(Terjemahan Oleh Tasrif).
Bandung: Pustaka Pelajar.

· Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta : EGC

· Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.

· Duenges, Marylin. E.2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Merencanakan & Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : EGC

"
BACA SELENGKAPNYA - SAP ANSIETAS
INGIN BOCORAN ARTIKEL TERBARU GRATIS, KETIK EMAIL ANDA DISINI:
setelah mendaftar segera buka emailnya untuk verifikasi pendaftaran. Petunjuknya DILIHAT DISINI