kolom pencarian

KTI D3 Kebidanan[1] | KTI D3 Kebidanan[2] | cara pemesanan KTI Kebidanan | Testimoni | Perkakas
PERHATIAN : jika file belum ter-download, Sabar sampai Loading halaman selesai lalu klik DOWNLOAD lagi

05 February 2011

AUDIT KEPERAWATAN

A. Pengertian
Definisi standar audit klinik menurut National Institute for Clinical Excellence (NICE) yakni merupakan proses peningkatan mutu dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada pasien dan luarannya, melalui kajian sistematis terhadap pelayanan berdasarkan kriteria eksplisit dan upaya-upaya perbaikannya. Aspek struktur, proses dan hasil pelayanan dipilih dan dievaluasi secara sistematis berdasarkan kriteria eksplisit. Jika diindikasikan, upaya-upaya perbaikan diterapkan pada tim individu atau tingkat pelayanan dan monitoring selanjutnya digunakan untuk memberi konfirmasi adanya perbaikan dalam pemberian pelayanan.
Audit klinik adalah suatu kegiatan berkesinambungan penilaian mutu pelayanan yang dilakukan para pemberi jasa pelayanan kesehatan langsung (oleh dokter, perawat, dan atau profesi lain) suatu Rumah Sakit untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan jika hasil penilaian menunjukkan bahwa mutu pelayanan mereka ternyata dibawah optimal. Pengertian klinik dalam konteks ini meliputi kelompok medik dan keperawatan, dengan demikian audit klinik dapat merupakan audit medik, audit keperawatan, atau gabungan antara audit medik dan keperawatan.
Menurut Elison, audit keperawatan secara khusus merujuk pada pengkajian kualitas keperawatan klinis yang merupakan upaya evaluasi secara profesional terhadap mutu pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien, dengan menggunakan rekam keperawatan dan dilaksanakan oleh profesi keperawatan. Audit keperawatan internal dilakukan oleh organisasi profesi di dalam institusi tempat praktik keperawatan, audit keperawatan eksternal dilakukan oleh organisasi profesi di luar institusi.
Kebijakan audit medis di Rumah Sakit didasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 496/Menkes/SK/IV/2005 tanggal 5 April 2005 tentang Pedoman Audit Medis di RS, sedangkan untuk audit keperawatan belum ada kebijakan yang mengatur.
Pelaksana Audit Keperawatan di Rumah Sakit :
§ Direktur RS à membentuk tim pelaksana audit keperawatan beserta uraian tugasnya
§ Tim pelaksana dapat merupakan tim atau panitia yg dibentuk di bawah Komite Keperawatan atau panitia khusus untuk itu à pelaksana audit keperawatan di RS dapat dilakukan oleh Komite Keperawatan, Sub Komite (Panitia) Peningkatan Mutu Keperawatan atau Sub Komite (Panitia) Audit Keperawatan
§ Pelaksana audit keperawatan wajib melibatkan bagian rekam keperawatan
§ Pelaksana audit wajib melibatkan SMF mulai dari pemilihan topik, penyusunan standar & kriteria serta analisa hasil audit keperawatan
§ Apabila diperlukan dapat mengundang konsultan tamu atau organisasi profesi terkait untuk melakukan analisa hasil audit keperawatan & memberikan rekomendasi khusus

B. Langkah-langkah (Proses Audit)

1. Identifikasi masalah
Hal-hal yang dapat dipertimbangkan dalam pemilihan topik adalah :
- Adanya standar nasional dan pedoman yang menjadi rujukan praktik klinis yang lebih efektif
- Area yang menjadi masalah dapat dijumpai di lahan praktik
- Rekomendasi dari pasien dan masyarakat
- Berpotensi jelas untuk meningkatkan pemberian pelayanan
- Kaitan dengan volume, risiko dan biaya tinggi jika upaya perbaikan diterapkan
2. Menetapkan kriteria dan standar
- Kriteria adalah pernyataan eksplisit yang didefinisikan sebagai elemen representatif dari pelayanan yang dapat diukur secara objektif.
- Standar adalah aspek pelayanan yang dapat diukur, yang selalu didasarkan pada hasil penelitian yang terbaik (ekspektasi tiap kriteria)
- Standar & kriteria wajib (Must Do) à merupakan kriteria minimum yg absolut dibutuhkan utk menjalankan kegiatan sesuai kebutuhan & harus dipenuhi oleh setiap dokter
- Standar kriteria tambahan (Should do) à merupakan kriteria-2 dari hasil riset yg dapat dibuktikan dan penting
3. Pengumpulan data
Untuk menjamin pengumpulan data tepat dan teliti, dan hanya informasi penting yang dikumpulkan, tentunya detail dari hal-hal yang akan di audit ditetapkan sejak awal. Diantaranya adalah :
- Kelompok yang termasuk pengguna pelayanan, dengan tanpa perkecualian
- Profesional kesehatan yang termasuk pemberi pelayanan
- Periode penerapan dari kriteria
Ukuran sampel dapat ditentukan menggunakan statistik, data dapat dikumpulkan baik dengan sistem informasi komputer maupun secara manual. Yang terpenting adalah data apakah yang akan diambil?, dimanakah data dapat ditemukan? Dan siapakan yang akan mengambil data?
4. Membandingkan hasil pengumpulan data dengan standar
Tahap ini merupakan tahap analisis, dimana hasil dari pengumpulan data dibandingkan dengan kriteria dan standar. Hasil akhir dari analisis adalah apakah standar sudah sesuai, jika dapat diaplikasikan, identifikasi alasan ketidaksesuaian standar dengan kasus.
5. Melakukan upaya perbaikan (Melakukan analisa kasus yg tidak sesuai dgn standar & kriteria)
Setelah hasil audit dipublikasikan dan didiskusikan, kesepakatan sebaiknya dibuat sebagai rekomendasi perbaikan. Rencana kegiatan dilaporkan untuk menentukan siapa yang akan menyetujui, apa yang akan dilakukan dan kapan akan dimulai. Tiap-tiap poin sebaiknya didefinisikan dengan jelas termasuk nama-nama individu yang akan bertanggung jawab dan target waktu pencapaian.
6. Tindakan korektif
7. Rencana re-audit
C. Persiapan Pelaksanaan Audit Keperawatan di Rumah Sakit
§ Ditetapkan organisasi pelaksana audit keperawatan dengan SK Direktur RS
§ RS menyusun pedoman audit keperawatan RS, standar prosedur operasional, standar, clinical pathway & kriteria jenis kasus/jenis penyakit yg akan dilakukan audit
§ RS membudayakan PDCA (Plan, Do, Check, Action)
§ RS membuat ketentuan bahwa setiap perawat wajib membuat & melengkapi rekam keperawatan tepat waktu
§ RS melakukan sosialisasi kepada seluruh perawat yang memberikan pelayanan keperawatan tentang rencana pelaksanaan audit keperawatan
D. Persyaratan Pelaksanaan Audit Keperawatan di Rumah Sakit
§ Penuh tanggung jawab dengan tujuan meningkatkan mutu pelayanan, bukan untuk menyalahkan atau menghakimi seseorang
§ Obyektif, independen & memperhatikan aspek kerahasiaan pasien & wajib menyimpan rahasia keperawatan
§ Analisa hasil audit keperawatan dilakukan oleh kelompok staf keperawatan terkait yang mempunyai kompetensi, pengetahuan & keterampilan sesuai bidang pelayanan atau kasus yg di audit
§ Publikasi hasil audit harus memperhatikan aspek kerahasiaan pasien & citra RS di masyarakat
E. Cara Merencanakan Audit Keperawatan di Rumah Sakit
1.Membuat design audit
2.Mengumpulkan data kasus yang akan dilakukan audit
3.Menindaklanjuti hasil audit
4.Melakukan re-audit (second audit cycle)
F. Design Audit
§ Tujuan audit harus jelas
§ Standar & kriteria harus ditetapkan (kriteria wajib & kriteria tambahan)
§ Bagaimana melakukan pencarian literatur
§ Pemilihan topik harus jelas sehingga output jelas
§ Strategi pengumpulan data
§ Penetapan sampel
§ Metode analisa data
§ Perkiraan waktu audit à mulai dilaksanakan audit sampai audit selesai dilaksanakan
G. Pengumpulan Data
§ Perlu uji coba/pilot study à untuk mengetahui mudah tidaknya data dikumpulkan & dinilai
§ Dapat dengan komputer atau manual
§ Data yg dikumpulkan yg diperlukan saja
§ Menjamin untuk kerahasiaan pasien
H. Hasil Audit (Result)
- hasil à telah memenuhi standar atau belum
- rencana upaya perbaikan pelayanan keperawatan
I. Re-Audit (second audit cycle)
Peningkatan mutu pelayanan yang bagaimana yang ingin dicapai pada audit ke dua
"
BACA SELENGKAPNYA - AUDIT KEPERAWATAN

Antara lama Dirawat dan Hari Perawatan

Dalam penghitungan statistik pelayanan rawat inap di rumah sakit (RS) dikenal dua istilah yang masih sering rancu dalam cara pencatatan, penghitungan, dan penggunaannya. Dua istilah tersebut adalah Lama Dirawat (LD) dan Hari Perawatan (HP). Masing-masing istilah ini memiliki karakteristik cara pencatatan, penghitungan, dan penggunaan yang berbeda.



Lama Dirawat (LD)

LD menunjukkan berapa hari lamanya seorang pasien dirawat inap pada satu episode perawatan. Satuan untuk LD adalah “hari”. Cara menghitung LD yaitu dengan menghitung selisih antara tanggal pulang (keluar dari RS, hidup maupun mati) dengan tanggal masuk RS. Dalam hal ini, untuk pasien yang masuk dan keluar pada hari yang sama – LDnya dihitung sebagai 1 hari.

Tanggal masuk

Tanggal keluar

LD

10 mei

15 mei

15-10 = 5 hari

13 mei

20 mei

20 – 13 = 7 hari

20 mei

5 juni

(31 – 20)+5 = 16 hari

25 mei

7 juli

(31 – 25)+30+7 = 43 hari

27 mei

27 mei

1 hari

Angka rerata LD ini dikenal dengan istilah average Length of Stay (aLOS). aLOS merupakan salah satu parameter dalam penghitungan efisiensi penggunaan tempat tidur (TT) suatu bangsal atau RS. aLOS juga dibutuhkan untuk menggambar grafik Barber-Johnson (BJ). Kesalahan dalam mencatat dan menghitung LD berarti juga akan menyebabkan kesalahan dalam menggambar grafik BJ dan kesalahan dalam menghitung tingkat efisiensi penggunaan TT.

Jadi, untuk bisa menghitung LD dibutuhkan data tentang tanggal masuk dan tanggal keluar (baik keluar hidup maupun mati) dari setiap pasien. Umumnya data ini tercantum dalam formulir “Ringkasan Masuk dan Keluar (RM-1)”.

Dalam beberapa kasus tidak cukup hanya mencatat tanggal masuk dan keluar saja, tapi juga butuh mencatat jam pasien tersebut masuk perawatan dan keluar perawatan, terutama jika pasien tersebut keluar dalam keadaan meninggal. Data jam ini dibutuhkan untuk menentukan apakah pasien tersebut meninggal sebelum atau sesudah 48 jam dalam perawatan. Angka statistik yang berkaitan dengan jam meninggal ini adalah Gross Death Rate (GDR) dan Net Death Rate (NDR).

Hari Perawatan (HP)

Jika LD menunjukkan lamanya pasien dirawat (dengan satuan “hari”), maka HP menunjukkan banyaknya beban merawat pasien dalam suatu periode. Jadi satuan untuk HP adalah “hari-pasien”.

Cara menghitung HP berbeda dengan cara menghitung LD maupun menghitung Sensus Harian Rawat Inap (SHRI). Dalam SHRI, maka angka utama yang dilaporkan adalah jumlah pasien sisa yang masih dirawat pada saat dilakukan penghitungan / sensus, sedangkan HP menghitung juga jumlah pasien yang masuk dan keluar pada hari yang sama meskipun saat dilakukan sensus pasien tersebut sudah tidak ada lagi.

Kesimpulan

Jelas sudah bahwa LD dan HP berbeda cara pencatatan, penghitungan, dan penggunaannya. Sangat disayangkan bahwa masih cukup banyak RS yang tertukar dalam menggunakan LD dan HP untuk menghitung rumus-rumus indikator pelayanan rawat inap. Demikian pula antara LD, HP, dan SHRI.

Dengan memperhatikan cara pencatatan, penghitungan, dan penggunaan yang benar antara LD, HP, dan SHRI maka akan didapatkan informasi yang lebih akurat dan valid untuk manajemen pasien rawat inap



"
BACA SELENGKAPNYA - Antara lama Dirawat dan Hari Perawatan

MANAJEMEN KONFLIK

PENDAHULUAN

Setiap kelompok dalam satu organisasi, dimana didalamnya terjadi interaksi antara satu dengan lainnya, memiliki kecenderungan timbulnya konflik. Dalam institusi layanan kesehatan terjadi kelompok interaksi, baik antara kelompok staf dengan staf, staf dengan pasen, staf dengan keluarga dan pengunjung, staf dengan dokter, maupun dengan lainnya yang mana situasi tersebut seringkali dapat memicu terjadinya konflik. Konflik sangat erat kaitannya dengan perasaan manusia, termasuk perasaan diabaikan, disepelekan, tidak dihargai, ditinggalkan, dan juga perasaan jengkel karena kelebihan beban kerja. Perasaan-perasaan tersebut sewaktu-waktu dapat memicu timbulnya kemarahan. Keadaan tersebut akan mempengaruhi seseorang dalam melaksanakan kegiatannya secara langsung, dan dapat menurunkan produktivitas kerja organisasi secara tidak langsung dengan melakukan banyak kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja. Dalam suatu organisasi, kecenderungan terjadinya konflik, dapat disebabkan oleh suatu perubahan secara tiba-tiba, antara lain: kemajuan teknologi baru, persaingan ketat, perbedaan kebudayaan dan sistem nilai, serta berbagai macam kepribadian individu.

DEFINISI KONFLIK

§ Situasi yang terjadi ketika ada perbedaan pendapat atau perbedaan cara pandang diantara beberapa orang, kelompok atau organisasi.
§ Sikap saling mempertahankan diri sekurang-kurangnya diantara dua kelompok, yang memiliki tujuan dan pandangan berbeda, dalam upaya mencapai satu tujuan sehingga mereka berada dalam posisi oposisi, bukan kerjasama.



ASPEK POSITIF DALAM KONFLIK

Konflik bisa jadi merupakan sumber energi dan kreativitas yang positif apabila dikelola dengan baik. Misalnya, konflik dapat menggerakan suatu perubahan :
§ Membantu setiap orang untuk saling memahami tentang perbedaan pekerjaan dan tanggung jawab mereka.
§ Memberikan saluran baru untuk komunikasi.
§ Menumbuhkan semangat baru pada staf.
§ Memberikan kesempatan untuk menyalurkan emosi.
§ Menghasilkan distribusi sumber tenaga yang lebih merata dalam organisasi.

Apabila konflik mengarah pada kondisi destruktif, maka hal ini dapat berdampak pada penurunan efektivitas kerja dalam organisasi baik secara perorangan maupun kelompok, berupa penolakan, resistensi terhadap perubahan, apatis, acuh tak acuh, bahkan mungkin muncul luapan emosi destruktif, berupa demonstrasi.

PENYEBAB KONFLIK

Konflik dapat berkembang karena berbagai sebab sebagai berikut:
1. Batasan pekerjaan yang tidak jelas
2. Hambatan komunikasi
3. Tekanan waktu
4. Standar, peraturan dan kebijakan yang tidak masuk akal
5. Pertikaian antar pribadi
6. Perbedaan status
7. Harapan yang tidak terwujud


PENGELOLAAN KONFLIK

Konflik dapat dicegah atau dikelola dengan:
1. Disiplin: Mempertahankan disiplin dapat digunakan untuk mengelola dan mencegah konflik. Manajer perawat harus mengetahui dan memahami peraturan-peraturan yang ada dalam organisasi. Jika belum jelas, mereka harus mencari bantuan untuk memahaminya.
2. Pertimbangan Pengalaman dalam Tahapan Kehidupan: Konflik dapat dikelola dengan mendukung perawat untuk mencapai tujuan sesuai dengan pengalaman dan tahapan hidupnya. Misalnya; Perawat junior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk mengikuti pendidikan kejenjang yang lebih tinggi, sedangkan bagi perawat senior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi.
3. Komunikasi: Suatu Komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang terapetik dan kondusif. Suatu upaya yang dapat dilakukan manajer untuk menghindari konflik adalah dengan menerapkan komunikasi yang efektif dalam kegitan sehari-hari yang akhirnya dapat dijadikan sebagai satu cara hidup.
4. Mendengarkan secara aktif: Mendengarkan secara aktif merupakan hal penting untuk mengelola konflik. Untuk memastikan bahwa penerimaan para manajer perawat telah memiliki pemahaman yang benar, mereka dapat merumuskan kembali permasalahan para pegawai sebagai tanda bahwa mereka telah mendengarkan.

TEKNIK ATAU KEAHLIAN UNTUK MENGELOLA KONFLIK

Pendekatan dalam resolusi konflik tergantung pada :
q Konflik itu sendiri
q Karakteristik orang-orang yang terlibat di dalamnya
q Keahlian individu yang terlibat dalam penyelesaian konflik
q Pentingnya isu yang menimbulkan konflik
q Ketersediaan waktu dan tenaga

STRATEGI :

q Menghindar
Menghindari konflik dapat dilakukan jika isu atau masalah yang memicu konflik tidak terlalu penting atau jika potensi konfrontasinya tidak seimbang dengan akibat yang akan ditimbulkannya. Penghindaran merupakan strategi yang memungkinkan pihak-pihak yang berkonfrontasi untuk menenangkan diri. Manajer perawat yang terlibat didalam konflik dapat menepiskan isu dengan mengatakan “Biarlah kedua pihak mengambil waktu untuk memikirkan hal ini dan menentukan tanggal untuk melakukan diskusi”

q Mengakomodasi
Memberi kesempatan pada orang lain untuk mengatur strategi pemecahan masalah, khususnya apabila isu tersebut penting bagi orang lain. Hal ini memungkinkan timbulnya kerjasama dengan memberi kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan. Perawat yang menjadi bagian dalam konflik dapat mengakomodasikan pihak lain dengan menempatkan kebutuhan pihak lain di tempat yang pertama.

q Kompetisi
Gunakan metode ini jika anda percaya bahwa anda memiliki lebih banyak informasi dan keahlian yang lebih dibanding yang lainnya atau ketika anda tidak ingin mengkompromikan nilai-nilai anda. Metode ini mungkin bisa memicu konflik tetapi bisa jadi merupakan metode yang penting untuk alasan-alasan keamanan.

q Kompromi atau Negosiasi
Masing-masing memberikan dan menawarkan sesuatu pada waktu yang bersamaan, saling memberi dan menerima, serta meminimalkan kekurangan semua pihak yang dapat menguntungkan semua pihak.



q Memecahkan Masalah atau Kolaborasi
- Pemecahan sama-sama menang dimana individu yang terlibat mempunyai tujuan kerja yang sama.
- Perlu adanya satu komitmen dari semua pihak yang terlibat untuk saling mendukung dan saling memperhatikan satu sama lainnya.

PETUNJUK PENDEKATAN SITUASI KONFLIK :
q Diawali melalui penilaian diri sendiri
q Analisa isu-isu seputar konflik
q Tinjau kembali dan sesuaikan dengan hasil eksplorasi diri sendiri.
q Atur dan rencanakan pertemuan antara individu-individu yang terlibat konflik
q Memantau sudut pandang dari semua individu yang terlibat
q Mengembangkan dan menguraikan solusi
q Memilih solusi dan melakukan tindakan
q Merencanakan pelaksanaannya

KASUS

Pada pukul 1 siang, Astuti, seorang kepala ruang bedah menghubungi Apoteker untuk menanyakan mengapa Tn Rahmat tidak diberikan obat untuk persiapan pulang. Dengan meletakan telpon, ia berkata, “saya kecewa dengan kerja mereka, apakah Ia pikir hanya Ia sendiri yang dapat bekerja dan tidak ada staf lain yang mampu mengerjakannya”. Kemudian Asuti melanjutkan kalimatnya, “Saya akan membicarakan hal ini pada seseorang”.

PERTANYAAN:
1. Apa sumber dari konflik yang sedang terjadi ?
2. Jika Anda sebagai kepala ruang/koordinator, yang bertanggung jawab atas situasi yang terjadi, darimana Anda akan memulai mencari pemecahan masalah ini ?
3. Anda dapat memilih satu cara penanggulangan konflik, dan uraikan pendapat anda.
4. Hal positif apa yang dapat diambil dari konflik diatas

EVALUASI

1. Sebutkan definisi konflik?
2. Sebutkan faktor penyebab konflik?
3. Sebutkan aspek positif dari konflik?
4. Sebutkan 2 – 3 strategi pemecahan konflik?
5. Jelaskan langkah – langkah 1 cara pemecahan konflik !


RINGKASAN

Hubungan interpersonal antara perawat dengan, kolega, kelompok, keluarga pasen maupun orang lain dapat merupakan sumber terjadinya konflik, oleh sebab itu perawat harus mengetahui dan memahami manajemen konflik. Penyebab konflik meliputi: ketidakjelasan uraian tugas, gangguan komunikasi, tekanan waktu, standar, kebijakan yang tidak jelas, perbedaan status, dan harapan yang tidak tercapai. Konflik dapat dicegah atau diatur dengan menerapkan disiplin, komunikasi efektif, dan saling pengertian antara sesama rekan kerja.Untuk mengembangkan alternatif solusi agar dapat mencapai satu kesepakatan dalam pemecahan konflik ,diperlukkan komitmen yang sungguh sungguh . Ada beberapa stragtegi yang dapat digunakan, antara lain ; akomodasi, kompetisi, kolaborasi, negosiasi, dan kompromi. Diharapkan Manajer Perawat dapat memahami dan menggunakan keahliannya secara khusus untuk mencegah dan mengatur konflik.
"
BACA SELENGKAPNYA - MANAJEMEN KONFLIK

INDIKATOR KINERJA

Pendahuluan

Kinerja (performance) menjadi isu dunia saat ini. Hal tersebut terjadi sebagai konsekuensi tuntutan masyarakat terhadap kebutuhan akan pelayanan prima atau pelayanan yang bermutu tinggi. Mutu tidak terpisahkan dari standar, karena kinerja diukur berdasarkan standar. Melalui kinerja klinis perawat dan bidan, diharapkan dapat menunjukkan kontribusi profesionalnya secara nyata dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dan kebidanan, yang berdampak terhadap pelayanan kesehatan secara umum pada organisasi tempatnya bekerja, dan dampak akhir bermuara pada kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat.

Untuk mengukur kinerja perawat dan bidan pada tatanan klinis, digunakan 'indikator kinerja klinis' sebagai langkah untuk mewujudkan komitmennya guna dapat menilai tingkat kemampuan individu dalam tim kerja. Dengan demikian, diharapkan kesadaran akan tumbuh, mau, dan mampu mengidentifikasi kualitas kinerja masing-masing, untuk dimonitor, diperbaiki serta ditingkatkan secara terus menerus. Model pengembangan dan manajemen kinerja klinis (SPMKK) bagi perawat dan bidan, dimulai dari elemen terkecil dalam organisasi yaitu pada tingkat 'First Line Manager', karena produktifitas (jasa) berada langsung ditangan individu-individu dalam kerja tim.

Namun demikian komitmen dan dukungan pimpinan puncak dan stakeholder lainnya tetap menjadi kunci utama. Bertemunya persepsi yang sama antara dua komponen tersebut dalam menentukan sasaran dan tujuan, merupakan modal utama untuk meningkatkan kinerja dalam suatu organisasi. Menentukan tingkat prestasi melalui indikator kinerja klinis akan menyentuh langsung faktor -faktor yang menunjukkan indikasi-indikasi obyektif terhadap pelaksanaan fungsi/tugas seorang perawat atau bidan, sejauh mana fungsi dan tugas yang dilakukan memenuhi standar yang ditentukan.
Pengertian Kinerja

Kata kinerja (performance) dalam konteks tugas, sama dengan prestasi kerja. Para pakar banyak memberikan definisi tentang kinerja secara umum, dan dibawah ini disajikan beberapa diantaranya:
1. Kinerja: adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu (Bernardin dan Russel, 1993).
2. Kinerja: Keberhasilan seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan (As'ad, 1991)
3. Kinerja adalah pekerjaan yang merupakan gabungan dari karakteristik pribadi dan pengorganisasian seseorang (Kurb, 1986)
4. Kinerja adalah apa yang dapat dikerjakan sesuai dengan tugas dan fungsinya (Gilbert, 1977)

Kinerja mengandung dua komponen penting yaitu

1. Kompetensi berarti individu atau organisasi memiliki kemampuan untuk mengidentifikasikan tingkat kinerjanya.
2. Produktifitas: kompetensi tersebut diatas dapat diterjemahkan kedalam tindakan atau kegiatan-kegiatan yang tepat untuk mencapai hasil kinerja (outcome).

Dari berbagai pengertian tersebut diatas, pada dasarnya kinerja menekankan apa yang dihasilkan dari fungsi-fungsi suatu pekerjaan atau apa yang keluar (out-come). Bila disimak lebih lanjut apa yang terjadi dalam sebuah pekerjaan atan jabatan adalah suatu proses yang mengolah in-put menjadi out-put (hasil kerja). Penggunaan indikator kunci untuk mengukur hasil kinerja individu, bersumber dari fungsi-fungsi yang diterjemahkan dalam kegiatan/tindakan dengan landasan standar yang jelas dan tertulis. Mengingat kinerja mengandung komponen kompetensi dan produktifitas hasil, maka hasil kinerja sangat tergantung pada tingkat kemampuan individu dalam pencapaiannya.


Menurut Gibson (1987) ada 3 faktor yang berpengaruh terhadap kinerja seseorang antara lain :

Faktor individu: kemampuan, ketrampilan, latar belakang keluarga, pengalaman tingkat sosial dan demografi seseorang.
Faktor psikologis: persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi dan kepuasan kerja
Faktor organisasi : struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem penghargaan (reward system)

Tujuan

1. Meningkatkan prestasi kerja staf, baik secara individu maupun dalam kelompok setinggi tingginya. Peningkatan prestasi kerja perorangan pada gilirannya akan mendorong kinerja staf.
2. Merangsang minat dalam pengembangan pribadi dengan meningkatkan hasil kerja melalui prestasi pribadi.
3. Memberikan kesempatan kepada staf untuk menyampaikan perasaannya tentang pekerjaan, sehingga terbuka jalur komunikasi dua arah antara pimpinan dan staf.


Kinerja Klinis

Pengembangan dan managemen kinerja pada dasarnya sebuah proses dalam managemen sumber daya manusia. Implikasi dari kata 'manajemen' berarti proses diawali dengan penetapan tujuan dan berakhir dengan evaluasi. Kata 'klinis' menunjukkan bahwa kegiatan yang dilaksanakan berada pada tatanan pelayanan langsung kepada asuhan pasen.
Secara garis besar ada lima kegiatan utama yaitu:
1. Merumuskan tanggung jawab dan tugas yang harus dicapai oleh seorang perawat/bidan dan disepakati oleh atasannya. Rumusan ini mencakup kegiatan yang dituntut untuk memberikan kontribusi berupa hasil kerja (outcome).

2. Menyepakati sasaran kerja dalam bentuk hasil yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu, termasuk penetapan standar prestasi dan tolak ukurnya.
3. Melakukan 'monitoring', koreksi, memfasilitasi serta memberi kesempatan untuk perbaikan.
4. Menilai prestasi perawat/bidan tersebut dengan cara membandingkan prestasi aktual dengan standar yang telah ditetapkan.
5. Memberikan umpan balik kepada perawat/bidan yang dinilai berhubungan dengan seluruh hasil penilaian. Pada kesempatan tersebut atasan dan staf mendiskusikan kelemahan dan cara perbaikannya untuk meningkatkan prestasi berikutnya.

Pengertian Indikator

Ada beberapa pengertian yang disampaikan oleh para pakar antara lain:
1. Indikator adalah pengukuran tidak langsung suatu peristiwa atau kondisi. Contoh: berat badan bayi dan umurnya adalah indikator status nutrisi dari bayi tersebut ( Wilson & Sapanuchart, 1993).
2. Indikator adalah variabel yang mengindikasikan atau menunjukkan satu kecenderungan situasi, yang dapat dipergunakan untuk mengukur perubahan (Green, 1992).
3. Indikator adalah variable untuk mengukur suatu perubahan baik langsung maupun tidak langsung (WHO, 1981)

Ada dua kata kunci penting dalam pengertian tersebut diatas adalah pengukuran dan perubahan. Untuk mengukur tingkat hasil suatu kegiatan digunakan 'indikator' sebagai alat atau petunjuk untuk mengukur prestasi suatu pelaksanaan kegiatan. Indikator yang berfokus pada hasil asuhan kepada pasen dan proses-proses kunci serta spesifik disebut indikator klinis. Indikator klinis adalah ukuran kuantitas sebagai pedoman untuk mengukur dan mengevaluasi kualitas asuhan pasen dan berdampak terhadap pelayanan. Indikator tidak dipergunakan secara langsung untuk mengukur kualitas pelayanan, tetapi dapat dianalogikan sebagai 'bendera' yang menunjuk adanya suatu masalah spesifik dan memerlukan monitoring dan evaluasi. Dalam beberapa kegiatan, mungkin tidak relevan mengukurnya dengan ukuran kuantitatif untuk mengambil suatu keputusan. Sebagai contoh dalam komunikasi: bagaimana kualitas komunikasi interpersonal antara perawat - pasen, maka pengukurannya adalah melalui observasi langsung untuk mengetahui bagaimana kualitas interaksinya. Monitoring dilakukan terhadap indikator kunci guna dapat mengetahui penyimpangan atau prestasi yang dicapai. Dengan demikian setiap individu akan dapat menilai tingkat prestasinya sendiri (self assesment).

Indikator Memiliki Karakteristik sebagai berikut :

1. Sahih (Valid) artinya indikator benar-benar dapat dipakai untuk mengukur aspek-aspek yang akan dinilai.
2. Dapat dipercaya (Reliable): mampu menunjukkan hasil yang sama pada saat yang berulang kali, untuk waktu sekarang maupun yang akan datang.
3. Peka (Sensitive): cukup peka untuk mengukur sehingga jumlahnya tidak perlu banyak.
4. Spesifik (Specific) memberikan gambaran prubahan ukuran yang jelas dan tidak tumpang tindih.
5. Relevan: sesuai dengan aspek kegiatan yang akan diukur dan kritikal contoh: pada unit bedah indikator yang dibuat berhubungan dengan pre-operasi dan post-operasi.

Klasifikasi Indikator

Sistem klasifikasi indicator didasarkan atas kerangka kerja yang logis dimana kontinuum masukan (input) pada akhirnya mengarah pada luaran (outcomes).
Indikator input merujuk pada sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan aktivitas al: personel, alat/fasilitas, informasi, dana, peraturan/kebijakan.
Indikator proses adalah memonitor tugas atau kegiatan yang dilaksanakan.
Indikator output : mengukur hasil meliputi cakupan, termasuk pengetahuan, sikap, dan perubahan perilaku yang dihasilkan oleh tindakan yang dilakukan. Indikator ini juga disebut indicator effect.
Indikator outcome : dipergunakan untuk menilai perubahan atau dampak (impact) suatu program, perkembangan jangka panjang termasuk perubahan status kesehatan masyarakat/penduduk.

Ilustrasi dari kontinuum indikator dengan contoh kegiatan imunisasi: Input meliputi peralatannya, vaksin dan alat proteksi dan staf yang terlatih, proses adalah kegiatan dalam melakukan aktifitas pemberian imunisasi, output meliputi cakupan pemberian meningkat adalah (output), dan outcome adalah dampaknya sebagai efek output antara lain menurunnya morbiditas dan mortalitas dari upaya pencegahan penyakit melalui immunisasi (outcome)

Indikator Kinerja Klinis

Mengidentifikasi indikator yang tepat untuk suatu tindakan klinis yang memerlukan pertimbangan yang selektif dan membangun konsesus diantara manager lini pertama (First Line Manager) dan staf, sehingga apa yang akan dimonitor dan dievaluasi akan menjadi jelas bagi kedua belah pihak.

Pengukuran Indikator Kinerja Klinis

Untuk menilai keberhasilan suatu kegiatan pelayanan keperawatan/kebidanan dipergunakan indikator kinerja klinis. Indikator adalah pengukuran kuantitatif, umumnya pengukuran kuantitatif meliputi numerator dan denominator. Numerator adalah suatu data pembilang dari suatu peristiwa (events) yang yang sudah diukur. Denominator data penyebut adalah jumlah target sasaran atau jumlah seluruh pasen yang menjadi sasaran pemberian asuhan/pelayanan. Contoh data denominator di puskesmas: populasi sasaran dalam satu wilayah seperti: jumlah balita, bumil, bayi baru lahir. Indikator yang meliputi denominator sangat berguna untuk memonitor perubahan dan membandingkan tingkat keberhasilan suatu area dengan area lain pada suatu wilayah.

Cara pengukuran ini disebut dengan proprosi. Tetapi dalam kondisi tertentu indikator tanpa denominator (hanya data pembilang) sangat berarti untuk kejadian jarang atau langka tetapi penting misalnya kematian ibu. Indikator dapat dikategorikan serius dari peristiwa yang diukur. Bila peristiwa tersebut dinilai sangat berbahaya atau berdampak luas, walaupun frekuensinya rendah, maka diperlukan pengawasan atau monitoring yang lebih intens untuk perbaikan yang lebih cepat

Indikator adalah suatu peristiwa (event) atau suatu kondisi. Untuk mengukur suatu peristiwa yang terjadi, maka peristiwa tersebut dibandingkan dengan sejumlah peristiwa yang universal.

Misalnya pemasangan infus (IV terapi) yang menimbulkan pleibitis adalah suatu peristiwa (numerator) dan pemasangan infus merupakan kegiatan yang dilakukan pada sejumlah pasen yang memerlukan tindakan pemasangan infus adalah peristiwa yang universal (denominator). Indikator klinis yang dirumuskan dalam hal ini adalah tidak terjadi pleibitis setelah 3x24 jam sejak pemasangan contoh dibawah ini dapat dihitung dalam proporsi sebagai berikut:



Jumlah pasen dengan Intra Vena terapi terkena plebitis _____________________________________________ X100 %

Jumlah semua pasen dengan IV terapi



Waktu yang dipergunakan dalam pengukuran indikator bisa harian, mingguan, bulanan, besarnya masalah atau situasi. Indikator yang baik diperoleh dari standar tertulis, tanpa standar yang tertulis, akan sangat sulit menyusun indikator yang relevan. Oleh karena itu sebaiknya perangkat berupa standar tertulis perlu dipersiapkan organisasasi.


Pengumpulan data indikator kinerja

Pengumpulan data indikator merupakan tulang punggung dari program pengukuran kinerja. Hal tersebut hanya dapat dikembangkan melalui sistem manajemen informasi yang t.epat; dimana pengumpulan data, pengorganisasian serta reaksi terhadap data kinerja direncanakan dan diorganisir secara sistematik, sehingga dapat memberikan makna terhadap perubahan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan dalam suatu organisasi.

Ada enam sasaran kunci pengumpulan data kinerja:
(1) menata sistem informasi yang akurat yang mendasari keputusan mendatang,
(2) menghindari aspek hukum yang berkaitan dengan pengukuran dan hasil data yang dikumpulkan,
(3) menemukan lingkungan tepat yang dapat memberikan peluang untuk melakukan tindakan,
(4) menumbuhkan motivasi staf dan merencanakan peningkatan kinerja itu sendiri,
(5) mengumpukan data interval secara reguler terhadap­ proses-proses kritis, dalam upaya mempertahankan kinerja yang sudah meningkat,
(6) mengumpulkan data obyektif dan subyektif.

Rancangan sistem pengumpulan data kinerja untuk mencapai sasaran harus mempertimbangkan masalah atau isue yang ada. Siapa yang harus mengumpulkan data? Apa tujuan pengumpulan data? Apa sumber datanya? Berapa banyak data harus dikumpulkan? Apa alat yang akan digunakan? Penyimpangan apa yang terjadi?

Evaluasi data penyimpangan kinerja melalui indikator kinerja klinis adalah satu bagian penting dari dalam peningkatan kinerja. Ada dua jenis penyimpangan; pertama penyebab umum terjadinya penyimpangan, erat kaitannya dengan penyimpangan minor yang terjadi dalam suatu organisasi pelayanan kesehatan tanpa memperdulikan sistem yang sudah mapan. Penyebab penyimpangan kinerja staf juga bisa terjadi karena, sistem atau prosedur yang tidak jelas, keterbatasan fasilitas. Oleh karena itu, keterbatasan sumber-sumber untuk mendeteksi penyebab dalam setiap penyimpangan minor masih dapat ditoleransi. Kedua penyebab khusus: terjadinya penyimpangan kinerja disebabkan karena, kesalahan staf itu sendiri, kurang pengetahuan dan ketrampilan, kemampuan yang kurang dalam pemeliharaan peralatan. Target suatu indikator adalah menggunakan deviasi standar untuk mengidentifikasi penyebab penyimpangan. Penyebab khusus terjadinya penyimpangan lebih mudah dikoreksi dari pada penyebab umum. Sebagai contoh: keharusan mencuci tangan secara rutin mungkin meningkat drastis, apabila staf menyadari dan menerima bahwa praktek cuci tangan penting untuk meningkatkan mutu kinerja dan akan dimonitor atau dievaluasi.

Indikator diarahkan sebanyak mungkin pada tindakan. Pada banyak organisasi, informasi yang diperoleh dari indikator akan memerlukan tindak lanjut melalui investigasi: seperti kunjungan supervisi untuk mengumpulkan lebih banyak data kualitatatif, survey khusus sebelum mengarah pada suatu pengambilan keputusan.

Tugas

Bagi peserta dalam kelompok perawat dan bidan puskesmas dan Rumah Sakit.
Tiap kelompok mengidentifikasi satu fungsi dan diterjemahkan kedalam kegiatan-kegiatan.
Buatlah indikator untuk setiap jenis kegiatan tersebut, dan pilih indikator kunci dari seluruh kegiatan tersebut
Presentasikan hasil diskusi, bila ada koreksi lakukan perbaikan.

Kesimpulan

Mengukur kinerja perawat dan bidan dengan menggunakan indikator kinerja klinis merupakan suatu langkah yang mempunyai keuntungan ganda. Pertama, cara ini akan memberikan kesempatan bagi staf perawat dan bidan untuk melakukan 'self assessment“ sehingga dapat mengetahui tingkat kemampuannya, dan berusaha untuk memperbaikinya. Peningkatan kemampuan dan produktifitas individu-individu akan memberikan kontribusi peningkatan mutu pelayanan pada organisasinya yang bermuara. pada kepuasan pasen dan staf. Sistem penilaian kinerja dengan indikator kunci akan memberikan kesempatan kepada manager dan staf untuk melakukan komunikasi interpersonal yang efektif, sehingga secara bersama.-sama dapat dilakukan evaluasi dan perbaikan yang mengarah pada perbaikan kinerja dan bermuara pada peningkatan mutu pelayanan.

Evaluasi Proses “Indikator“

1. Berikan salah satu pengertian indikator.
2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kinerja seseorang?
3. Apa yang dimaksud dengan indikator klinis?
4. Apa saja komponen indikator yang ideal?
5. Apa manfaat dari indikator?


Evaluasi Proses “Kinerja“

1. Apa yang dimaksud dengan kinerja? Sebutkan 2 komponen kinerja.
2. Sebutkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja. seseorang.
3. Sebutkan pengertian indikator klinis?
4. Jelaskan kriteria indikator yang baik.
5. Bagaimana mengukur kinerja dengan indikator klinis?


Referensi

DR. Achmad S. Ruky,(2001) 'Sistem Manajemen Kinerja' PT Gramedia, Jakarta.

World Health Organization (2000) 'Design and Implementation of Health
Information System', Genewa.

Jacqueline M.Katz and Eleanor Green (1997), 'Managing Quality, A Guide to
System Wide Performance Management in Health Care', Mosby Year Book.

The Agha Khan Foundation USA (1993), The PHC MAP Series of Module' Monitoring and Evaluating Programs'.

5. WHO dan Direktorat Jendral Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI 'Petunjuk Pelaksanaan Mutu Pelayanan Rumah sakit“, Jakarta 1998
"
BACA SELENGKAPNYA - INDIKATOR KINERJA

04 February 2011

P-PROCESS

P-PROCESS: "Agar pengembangan program Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) lebih efisien dan efektif perlu dilakukan 5 tahap :

Gb.1. P - PROCESS
Kelima tahapan ini saling berkait dan merupakan proses yang berkesinambungan.
TAHAP I : ANALISIS KHALAYAK DAN PROGRAM
1.Meninjau khalayak potensial
2.Mengkaji kebijaksanaan dan program yang ada
3.Mencari lembaga atau organisasi yang potensial untuk mendukung program
4.Mengevaluasi sumber daya KIE

Di dalam analisis khalayak sasaran yang ditinjau adalah :
Ø Khalayak sasaran (lingkungan sosial) untuk menentukan faktor-faktor demografi, geografi, ekonomi, dan sosial yang berpengaruh terhadap kegiatan KIE
Dalam analisis program yang ditinjau adalah :
Ø Kebijaksanaan, program dan kegiatan-kegiatan yang telah ada
Ø Kemampuan lembaga atau organisasi yang potensial untuk mendukung program
Ø Kapasitas sumber daya KIE untuk bisa digunakan

TAHAP II : PENYUSUNAN RANCANGAN PROGRAM

1. Menentukan tujuan komunikasi
2. Mengidentifikasi khalayak sasaran
3. Mengembangkan pesan
4. Memilih media
5. Merencanakan dukungan, penguatan interpersonal
6. Menyusun rencana kegiatan

Penyusunan rancangan program dapat diidentifikasi dan ditentukan melalui 8 komponen rumusan :
Ø Menentukan tujuan
Ø Mengidentifikasikan khalayak sasaran
Ø Pengembangan pesan
Ø Pemilihan media
Ø Memperkuat dukungan antar pribadi
Ø Jadwal kerja
Ø Anggaran
Ø Struktur organisasi

TAHAP III : PENGEMBANGAN, UJI COBA, PENYEMPURNAAN DAN PRODUKSI MEDIA

1. Mengembangkan konsep pesan
2. Melakukan pre-test atau uji coba terhadap khalayak sasaran
3. Merumuskan pesan lengkap dan bentuk kemasannya
4. Melakukan pre-test atau uji coba tahap lanjutan terhadap khalayak sasaran
5. Melakukan uji ulang terhadap bahan KIE yang ada (sudah pernah dibuat dan akan diproduksi ulang)

TAHAP IV : PENERAPAN DAN PEMANTAUAN

1. Mengelola iklim organisasi
2. Menerapkan rencana kegiatan
3. Memantau hasil program

Pengelola program harus terampil dalam memutuskan tiga hal :
Ø Mengelola iklim organisasi : pendekatan untuk menjangkau sasaran program harus belajar dari pengalaman, tidak mengkritik
Ø Mengelola manusia : mengetahui kapan harus memberi petunjuk, kapan harus mendelegasikan tanggungjawab dan kapan harus mendorong staf untuk berkarya yang kreatif
Ø Mengelola tugas : mendorong dalam mengejar kegiatan yang produktif dan menghentikan kegiatan yang tidak produktif serta mengetahui bahwa menghentikan kegiatan yang tidak produktif seringkali lebih efisien

Langkah-langkah penerapan adalah :
Ø Memproduksi pesan final dan materi berdasarkan hasil pre-test
Ø Menjadwalkan dan mengintegrasikan penyebaran materi melalui jalur yang efektif untuk mendapatkan dampak yang maksimal
Ø Melatih tenaga yang akan menggunakan materi KIE
Ø Mengedarkan jadwal penerapan program dan laporan-laporan secara luas

Langkah-langkah pemantauan adalah :
Ø Memantau jumlah produksi bahan KIE
Ø Memantau penyebaran di media dan melalaui komunikasi antar pribadi
Ø Memantau struktur internal dan ketaatan petugas, jadwal kerja dan anggaran
Ø Memantau dan memperkuat hubungan kerja dengan lembaga lain termasuk petugas kesehatan dan organisasi yang telah mendukung maupun yang belum
Ø Membuat revisi yang diperlukan untuk penyempurnaan rancangan

TAHAP V : EVALUASI DAN RANCANG ULANG

1. Mengukur dampak keseluruhan
2. Menyusun rancangan ulang untuk periode berikutnya

Langkah – langkah yang ditempuh adalah :
Ø Mengukur dan melacak kesadaran, pengenalan, pemahaman, mengingat kembali dan praktek dengan menggunakan teknik riset yang sesuai dan dapat dijangkau untuk mendapatkan umpan balik yang cepat dan tepat
Ø Melakukan analisis hasil yang diperoleh, disesuaikan dengan tujuan yang spesifik saat merancang Program K3 menelaah dan menganalisis kumpulan informasi yang didapat pada setiap tahap proses
Ø Melakukan analisis dampak proyek dari kaca mata khalayak, organisasi penyandang dana dan pihak lain yang terkait
Ø Mengidentifikasi perubahan yang signifikan atau berarti pada lingkup nasional
Ø Mengidentifikasi peluang-peluang dan kelemahan - kelemahan
Ø Mengevaluasi ketrampilan yang diperoleh personil
Ø Mengestimasi sumber daya yang mendukung di masa yang akan dating
Ø Mendesain ulang kegiatan-kegiatan KIE secara berkesinambungan
Ø Melakukan penilaian ulang data untuk digunakan pada program baru

* BERKESINAMBUNGAN

Ø Buat rancangan dalam bentuk proses yang berkesinambungan
Ø Selalu sesuaikan dengan perubahan menurut kebutuhan khalayak

PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGEMBANGAN KIE DENGAN PENDEKATAN P-PROCESS

1. Pendekatan interdisipliner
2. Koordinasi dengan pihak penyedia layanan
3. Segmentasi khalayak sasaran
4. Pre-test dengan khalayak sasaran
5. Jalur ganda untuk memperkuat
6. Keterlibatan lintas sector
7. Pemantauan secara sistimatis dan penyesuaian
8. Kesinambungan

CATATAN:
Adaptasi dari The Johns Hopkins University, Population Communication Services, Center for Communication Programs (JHU/PCS)
BACA SELENGKAPNYA - P-PROCESS

Konsep Duka Cita Menurut Model Betty Neuman


ABSTRACT

Much has been written in the professional and popular literature about grief. The multiplicity of sources for information about the phenomenon often leads to confusion regarding terminology and process. In addition, assessment and intervention methods show the phenomenon as unidimensional despite evidence to the contrary. Because nursing routinely deals with grief, it is important that a framework be developed to help understand the process and guide appropriate interventions. The Neuman systems model is particularly well suited as a framework because concepts found in the model are similar to descriptions of the concept of grief. An analHysis of the grief concept using the Neuman model is presented, with perinatal grief presented as an example.

Keywords: concept analysis, grief, Neuman systems model, perinatal grief




PENDAHULUAN

Konsep kehilangan dan berduka (duka cita) telah secara luas dipublikasikan di berbagai textbook maupun jurnal sejak 50 tahun yang lalu. Dari pemikiran klasik Bowlby (1980) tentang perasaan cinta dan kehilangan (attachment and loss) sampai dengan penjelasan mengenai kepedihan (poignant) dari C.S. Lewis (1994). Perawat jarang sekali mendalami perasaan duka cita yang sedang dialami oleh kliennya, meskipun duka cita adalah sebuah pengalaman universal dalam diri manusia. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian mengenai struktur pengalaman duka cita yang dialami oleh klien dan pengkajian tentang kompleksitas perilaku seseorang yang terkait dengan pengalaman duka cita agar kita dapat memahami proses duka cita tersebut dan menyusunnya dalam terminologi yang terukur.

Tulisan ini berupaya untuk menyajikan konsep duka cita berdasarkan pendekatan dengan model Neuman (Neuman,1982). Penggunaan model asuhan keperawatan yang berorientasi pada proses secara holistik akan dapat membantu kita untuk memahami secara jelas mengenai proses, perilaku, dan tanggapan manusia terhadap duka cita yang sedang dialaminya.

BATASAN

Duka cita bermakna kesedihan yang mendalam disebabkan karena kehilangan seseorang yang dicintainya (misal kematian). Menurut Cowles dan Rodgers (2000), duka cita dapat digambarkan sebagai berikut :

  1. Duka cita dilihat sebagai suatu keadaan yang dinamis dan selalu berubah-ubah. Duka cita tidak berbanding lurus dengan keadaan emosi, pikiran maupun perilaku seseorang. Duka cita adalah suatu proses yang ditandai dengan beberapa tahapan atau bagian dari aktivitas untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu : (1) menolak (denial); (2) marah (anger); (3) tawar-menawar (bargaining); (4) depresi (depression); dan (5) menerima (acceptance) (TLC, 2004) . Pekerjaan duka cita terdiri dari berbagai tugas yang dihubungkan dengan situasi ketika seseorang melewati dampak dan efek dari perasaan kehilangan yang telah dialaminya. Duka cita berpotensi untuk berlangsung tanpa batas waktu.
  2. Pengalaman duka cita bersifat individu dan dipengaruhi oleh banyak faktor, kemudian dapat mempengaruhi aspek kehidupan lainnya. Duka cita lebih dari sekedar tetesan air mata, dimana ia memanifestasikan dirinya sendiri dalam kesadaran, fisik, tingkah laku, jiwa, psikologis, dan kehidupan sosial seseorang, seperti halnya perilaku emosional.
  3. Duka cita bersifat normatif namun tidak ada kesepakatan universal yang bisa menjelaskan sejauhmana kondisi normalnya. Perawat seringkali merasakan adanya sesuatu yang membatasi duka cita klien sehingga tidak sesuai dengan apa yang perawat pikirkan; penghalang tersebut berasal dari latar belakang sosial budaya klien yang mendorong terciptanya berbagai macam respon duka cita (Cowles& Rodgers, 2000, pp. 109-110).Dengan memanfaatkan literatur dari berbagai disiplin ilmu sebagai basis analisis, Cowles and Rodgers (1991) mendefinisikan duka cita sebagai “suatu proses dinamis, menyebar, dan sangat individual dengan komponen yang bersifat normatif” (p. 121). Atribut duka cita yang dikembangkan mencakup hal-hal sebagai berikut : dinamis, proses, individual, menyebar, dan normatif (Cowles & Rodgers, 2000). Namun atribut-atribut tersebut belum menghasilkan suatu variabel yang dapat diukur. Menurut Reed (2003), perlu dilakukan eksplorasi lebih lanjut tentang berbagai aspek duka cita yang lebih spesifik dan operasional.

PARADIGMA KEPERAWATAN DALAM MODEL SISTEM NEUMAN

Model sistem Neuman (Neuman & Fawcett, 2002) mempunyai empat komponen utama yang dapat digambarkan sebagai interaksi antar ranah (domain), yaitu : orang, lingkungan, kesehatan, dan ilmu keperawatan. Komponen dan terminologi yang terkait dengan ranah-ranah tersebut adalah :

  1. Sistem klien : struktur dasar, garis penolakan, garis pertahanan normal, dan garis pertahanan fleksibel.
  2. Lingkungan : internal, eksternal, diciptakan, dan stressor.
  3. Kesehatan : rentang sehat-sakit (wellness-illness continuum)
  4. Keperawatan : upaya pencegahan (preventif), konstitusi ulang (reconstitution), promosi kesehatan .

Neuman (1995) menguraikan model keperawatan sebagai suatu konsep berdasarkan sistem yang komprehensif. Hal ini menempatkan klien dalam suatu perspektif sistem yang holistik dan multi-dimensi. Model digambarkan sebagai gabungan dari lima variabel yang saling berinteraksi, idealnya berfungsi secara harmonis dan stabil dalam kaitannya dengan stressor lingkungan internal maupun eksternal yang sedang dirasakan pada saat tertentu oleh klien sebagai sebuah sistem.

1. Manusia (Klien)

Sistem klien terdiri dari satu rangkaian lingkaran konsentris yang mengelilingi dan melindungi struktur dasar (basic structure). Tingkatan dari masing-masing lingkaran memiliki tugas pertahanan spesifik dan terdiri dari lima variabel, yaitu : (1) fisiologis, (2) psikologis, (3) perkembangan, (4) sosial budaya, dan (5) rohani. Lingkaran terjauh atau garis pertahanan fleksibel (flexible line of defense) merupakan pertahanan awal untuk melawan stressor dan penyangga kondisi kesehatan yang normal. Garis pertahanan normal (normal line of defense) adalah basis yang dimanfaatkan oleh sistem klien untuk menghindari dampak dari stressor, dimana tergantung dari kondisi kesehatan seseorang. Garis-garis perlawanan (lines of resistance) melindungi struktur dasar bilamana suatu stressor dapat melampaui garis pertahanan fleksibel dan garis pertahanan normal (Neuman, 1995).


Variabel-variabel yang membangun sistem klien, menurut Neuman (1995) antara lain : variabel fisiologis, psikologis, sosial budaya, rohani, dan perkembangan. Variabel-variabel tersebut dibentuk berdasarkan pengalaman masa lalu dan material yang sudah ada dalam struktur dasar, mereka saling berinteraksi satu sama lain dan unik dalam setiap sistem klien. Susunan variabel kemudian akan diteruskan melalui keluarga dan masyarakat, dengan jalan tersebut sistem klien memelihara karakteristiknya dari satu generasi ke generasi lainnya (Reed, 2003).

2. Lingkungan (Stressor)

Menurut Neuman (1995), stressor dalam konteks lingkungan klien dapat disebabkan oleh berbagai faktor eksternal atau internal, dan dapat berdampak negatif maupun positif bagi seseorang. Stressor dapat dirasakan oleh klien secara berulang, sehingga klien akan merespon dan akan memodifikasi atau mengubahnya. Terdapat tiga hal yang dapat membedakan dampak stressor terhadap sistem klien, yaitu : kekuatan stressor, jumlah stressor, dan elastisitas garis pertahanan fleksibel. Stressor lingkungan dapat diklasifikasikan sebagai : (1) intra-personal, (2) inter-personal, dan (3) ekstra-personal. Keberadaannya dalam diri klien sama halnya dengan stressor yang ada di luar sistem klien.

3. Keperawatan (Rekonstitusi)

Rekonstitusi menggambarkan suatu upaya pengembalian dan perbaikan stabilitas sistem yang selalu menyertai tindakan perawatan reaksi stress klien, dimana dapat menghasilkan tingkat kesehatan yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada sebelumnya (Neuman, 1995). Sebelumnya Neuman (1989) mendefinisikan rekonstitusi sebagai suatu kondisi adaptasi terhadap stressor lingkungan internal maupun eksternal, dimana dapat dimulai dari derajat atau tingkat reaksi apapun. Rekonstitusi ditandai dengan beberapa tahapan aktivitas untuk menuju tujuan yang diinginkan.

MENGINTEGRASIKAN MODEL SISTEM NEUMAN DENGAN KONSEP DUKA CITA

Model Sistem Neuman (1982) dapat digunakan untuk menjelaskan kerangka konsep duka cita. Variabel yang tidak bisa dipisahkan dalam sistem klien, yaitu : fisiologis, psikologis, rohani, perkembangan, dan sosial budaya, dapat digunakan untuk menguraikan atribut dari duka cita. Kehilangan di masa lalu dapat dijelaskan sebagai sebuah stressor, dan akibat dari duka cita diartikan sebagai suatu proses yang serupa dengan konsep Neuman yaitu rekonstitusi. Intervensi untuk membantu klien dalam menghadapi pengalaman duka cita dapat dikategorikan sebagai upaya pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Reed, 2003).

Penggunaan terminologi dari teori Neuman untuk menguraikan konsep duka cita dimulai dengan terlebih dahulu mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang muncul sebelumnya. Dalam terminologi Neuman, kejadian di masa lalu merupakan stressor, dan dalam kasus duka cita, stressor adalah perasaan kehilangan. Perasaan kehilangan mungkin bersifat intra-personal (misalnya : kehilangan salah satu anggota badan, kehilangan peran atau fungsi), interpersonal (misalnya : berpisah dengan pasangannya, anak, atau orangtua), atau ekstra-personal (misalnya: hilangnya pekerjaan, rumah, atau hilangnya lingkungan yang dikenal). Neuman (1995) menyatakan bahwa dampak dari stressor dapat didasarkan pada dua hal, yaitu : kekuatan stressor dan banyaknya stressor.

Modifikasi terhadap respon duka cita diidentifikasi sebagai kombinasi dari beberapa pengalaman yang bersifat individual dan dipengaruhi oleh banyak faktor yang terdiri dari hubungan antara orang yang berduka dengan obyek yang hilang, sifat alami dari kehilangan, dan kehadiran sistem pendukung (support system). Faktor-faktor lain memiliki efek yang kuat pada perasaan duka cita, seperti pengalaman individu yang sama sebelumnya, kepercayaan spiritual dan budaya yang dianut. Penjelasan mengenai modifikasi respon duka cita sama halnya dengan gagasan Neuman mengenai interaksi antar variabel (fisik, psikologis, sosial budaya, perkembangan, dan rohani). Kombinasi beberapa variabel yang unik pada diri seseorang (pengalaman sebelumnya dengan duka cita, nilai-nilai, kepercayaan spiritual, status fisiologis, batasan sosial budaya, dan yang lainnya) dapat dibandingkan dengan variabel-variabel yang menyusun garis pertahanan normal (normal lines of defense) dan garis perlawanan. Masing-masing garis pertahanan dan garis perlawanan memodifikasi pada tingkatan tertentu dimana stressor mempunyai efek yang negatif pada diri seseorang. Garis pertahanan normal membantu sistem klien untuk menyesuaikan dengan stres akibat kehilangan; garis perlawanan bertindak sebagai kekuatan untuk membantu klien kembali ke kondisi yang stabil. Faktor yang lain, seperti pengalaman individu sebelumnya dengan perasaan kehilangan dan duka cita, budaya, dan kepercayaan religius menjadi bagian dari struktur dasar individu. Garis pertahanan dan perlawanan melindungi struktur dasar dari gangguan stres yang menimpa individu (Reed, 1993).

Cowles dan Rodgers (1993) sebelumnya telah mendefinisikan kondisi respon seseorang yang normal terhadap perasaan duka cita. Namun, penjelasan mengenai batasan normal dan batas waktu proses duka cita tersebut sebagian besar didasarkan pada pandangan dan pengetahuan perawat bukan berasal dari klien yang sedang mengalaminya sendiri. Reed (2003) mencoba untuk mendeskripsikannya tidak hanya sebatas pada respon normal saja, namun sampai pada cakupan respon itu sendiri. Serupa dengan Neuman (1995) yang telah menggunakan teori rentang sehat-sakit (wellness-illness continuum) untuk mendefinisikan batasan sehat. Dimana, rentang sehat-sakit menempatkan kondisi kesehatan seseorang yang optimal pada titik tertentu dan kondisi sakit pada titik yang lain. Kesehatan klien disamakan dengan kemampuan klien untuk memelihara stabilitas yang optimal dan hal itu dilihat sebagai batasan normal. Respon terhadap perasaan duka cita, selanjutnya dapat ditentukan dari efek kehilangan pada tingkat energi tertentu yang dibutuhkan untuk memelihara stabilitas klien. Berbagai macam tingkatan reaksi duka cita dapat diamati, tergantung pada kemampuan untuk mengelola perasaan kehilangan dan efeknya dalam kehidupan klien (Reed, 2003).

Akibat dari perasaan duka cita bagi seseorang adalah penyusunan karakter baru dan penetapan kenyataan baru. Proses kerja duka cita, melibatkan interaksi antara klien dan lingkungan sekitarnya. Menurut Dyer (2001), proses kerja duka cita dapat disimpulkan sesuai dengan akronim TEAR, yaitu :

T = To accept the reality of the loss
E = Experience the pain of the loss
A = Adjust to the new environment without the lost object
R = Reinvest in the new reality

Hal ini sesuai dengan gagasan Neuman mengenai rekonstitusi dimana tujuannya adalah untuk mengembalikan sistem klien pada kondisi yang stabil. Rekonstitusi dapat dijelaskan sebagai proses kerja duka cita, penyusunan karakter baru, dan penetapan kenyataan baru. Sistem klien berupaya untuk mengembalikan keadaannya pada kondisi yang stabil, atau mengoptimalkan dirinya untuk mencapai daerah di luar garis pertahanan normal. Dengan kata lain, seseorang akan mencoba untuk mengatasi perasaan dukanya agar lebih baik atau normal (sehat).

KASUS PENERAPAN KONSEP DUKA CITA

Berikut kita berikan contoh pengkajian duka cita pada ibu yang mengalami abortus dengan menggunakan pendekatan Model Sistem Neuman.

Contoh kasus :

Sebuah keluarga yang bahagia sedang menantikan kehadiran anak pertama mereka. Sang ibu telah mengandung dua bulan. Namun, suatu saat ibu mengalami perdarahan dan menurut dokter kehamilan tersebut tidak bisa dipertahankan. Oleh karena itu dilakukan aborsi untuk menyelamatkan jiwa ibunya.

Pada kasus di atas, perasaan duka cita dari kedua pasangan tersebut memiliki karakteristik yang kompleks. Misalnya, sang ibu berduka karena calon bayinya tidak bisa dipertahankan (kehilangan inter-personal), atau hilangnya harapan terhadap kehamilan yang telah ditunggu-tunggu (kehilangan intra-personal), atau barangkali merasa bersalah kepada anggota keluarga lainnya karena tidak sesuai harapan mereka (kehilangan extra-personal). Ketika kita akan menentukan tingkat pengaruh kehilangan pada diri seseorang, kita juga harus mengkaji dampak dari perasaan kehilangan tersebut pada kehidupan mereka sehari-hari; cara mereka mengatasi kesedihannya; atau nilai-nilai dan kepercayaan yang dianut mengenai kehilangan. Secara umum kita akan mengkaji fungsi dari masing-masing garis pertahanan fleksibel, garis pertahanan normal, garis perlawanan, dan struktur dasar. Pengkajian harus meliputi banyak aspek, meliputi : aspek fisiologis, spiritual, psikologis, perkembangan, dan sosial budaya. Sebagai contoh, pertanyaan yang perlu disampaikan adalah : (a) Apakah makna kehilangan bagi orang tua? (aspek spiritual); (b) Bagaimana rencana keluarga selanjutnya? (aspek perkembangan); (c) Bagaimana perasaan duka cita ditunjukkan oleh anggota keluarga? (aspek sosial budaya); (d) Apakah keluarga melakukan perenungan? Apakah mereka mengalami kelemahan memori dan kesadaran?, Apakah mereka kehilangan harga diri? (aspek kejiwaan); dan (e) Gejala fisik apakah yang mereka rasakan? (aspek fisiologis).

Untuk membantu kedua pasangan tersebut mencapai rekonstitusi, dukungan inter-personal maupun ekstra-personal merupakan dua hal penting yang perlu dikaji. Siapakah anggota keluarga yang dapat memberikan dukungan positif? Apakah sistem pendukung secara kultural dapat diterima oleh kedua pasangan? (Mann et al, 1999). Setiap orangtua akan memberikan reaksi yang berbeda, tergantung pada struktur dasar yang dimilikinya. Sebuah penelitian telah membuktikan adanya perbedaan respon berdasarkan jender terhadap perasaan kehilangan pada masa perinatal (Adler & Boxley, 1985; Gilbert, 1989), maka respon terhadap pengalaman duka cita bagi masing-masing orang tidak akan sama, termasuk rentang waktu pemulihannya pun berbeda. Perbedaan dalam proses duka cita tentu akan memberikan stres tambahan di antara para orang tua. Selanjutnya, faktor-faktor ekstra-personal berpotensi memberika dampak bagi mereka.

Setelah dilakukan pengkajian secara menyeluruh, selanjutnya tahapan perencanaan, intervensi, dan evaluasi akan menggunakan proses yang sama. Perangkat penilaian akan mengukur hal-hal yang akan berdampak secara khusus pada aspek-aspek fisiologis, psikologis, rohani, sosial budaya, dan perkembangan. Misalnya, aspek sosial budaya akan mempengaruhi jenis intervensi yang bisa diterima oleh keluarga. Kehilangan pada masa perinatal merupakan suatu pengalaman yang sangat pribadi bagi banyak orang. Pemahaman mengenai arti dan pengalaman pribadi akan sangat membantu petugas kesehatan untuk menentukan intervensi yang spesifik dan terbaik. Intervensi terhadap gangguan fisiologis yang dapat menghalangi proses rekonstitusi bisa juga diberikan tergantung kondisi klien, misalnya perubahan pola tidur, nutrisi, dan sebagainya. Selanjutnya, perawat perlu mempertimbangkan aspek perkembangan seseorang dari perasaan berduka. Intervensi yang sesuai untuk ibu muda primigravida tentunya akan sangat berbeda dengan ibu yang telah memiliki anak sebelumnya (Mann et al., 1999).

PENUTUP

Penggunaan model konsep keperawatan untuk menganalisis suatu konsep tertentu dapat memberikan pedoman bagi kita dalam pengembangan perangkat penilaian dan pengukuran yang lebih spesifik, andal (reliable) dan akurat. Sebab fokus utama keperawatan adalah klien, lingkungan, dan kesehatan. Model keperawatan memberikan kerangka pikir holistik dan tak terpisahkan untuk menilai konsep-konsep yang menarik perhatian bagi profesi perawat. Sudut pandang yang holistik seperti itu penting sekali digunakan bila perawat berhadapan dengan variabel yang bersifat multidimensional, misalnya duka cita, nyeri, takut, marah, atau hal-hal lain yang penting dalam asuhan keperawatan.

Dalam praktek pelayanan keperawatan, penggunaan model keperawatan akan membantu perawat dalam mendefinisikan area penilaian dan memberikan pedoman untuk menentukan standar outcome yang sesuai. Ketika perawat melakukan sebuah riset keperawatan, maka model konseptual akan membantu dalam menyusun struktur yang logis dan konsisten dengan asumsi-asumsi yang sdh ada, terutama dalam menyusun berbagai instrumen, metode, dan indikator hasil pengukuran. Sebab banyak dari konsep-konsep keperawatan yang justru menggunakan atau dijelaskan dengan pendekatan disiplin ilmu lain. Seharusnya, kita dapat mendeskripsikan suatu terminologi dengan perspektif ilmu keperawatan. Reformulasi informasi hasil penelitian ke dalam model keperawatan dapat memperkuat tubuh ilmu pengetahuan (body of knowledge) keperawatan sehingga akan lebih mudah mempelajari dan memahami manusia beserta implikasinya.

KEPUSTAKAAN :

  • Adler, J. D., & Boxley, R. L. (1985). The psychological reactions to infertility: Sex roles and coping styles. Sex Roles, 12, 271-279.
  • Bowlby, J. (1980). Attachment and loss. New York: Basic Books.
  • Cowles, K., & Rodgers, B. (1991). The concept of grief: A foundation for nursing research and practice. Research in Nursing & Health, 14, 119-127.
  • Cowles, K., & Rodgers, B. (1993). The concept of grief: An evolutionary perspective. In B. Rodgers & K. Knafl (Eds.), Concept development in nursing (pp. 93-106). Philadelphia:.W.B. Saunders.
  • Cowles, K., & Rodgers, B. (2000). The concept of grief: An evolutionary perspective. In B. Rodgers & K. Knafl (Eds.), Concept development in nursing (2nd ed., pp. 103-117). Philadelphia: W.B. Saunders.
  • Dyer, K. A. (2001) Dealing with Death & Dying in Medical Education and Practice , http://www.journeyofhearts.org/jofh/kirstimd/AMSA/cross_cult.htm [diakses tanggal 3 Desember 2004]
  • Gilbert, K. (1989). Interactive grief and coping in the marital dyad. Death Studies, 13, 605-626.
  • Lewis, C. S. (1994). A grief observed. San Francisco: HarperSanFrancisco.
    Mann, R., Abercrombie, P., DeJoseph, J., Norbeck, J., & Smith, R. (1999). The personal experience of pregnancy for African-American women. Journal of Transcultural Nursing, 10, 297-305.
  • Neuman. B. (1982). The Neuman systems model: Application to nursing education and practice. New York: Appleton-Century-Crofts.
  • Neuman, B. (1989). The Neuman systems model (2nd ed.). Norwalk, CT: Appleton-Lange.
  • Neuman, B. (1995). The Neuman systems model (3rd ed.). Norwalk, CT: Appleton-Lange.
  • Neuman, B., & Fawcett, J. (2002). The Neuman systems model (4th ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
  • Reed, K. S. (1993). Betty Neuman: The Neuman systems model. Newbury Park, CA: Sage.
  • Reed, K. S. (2003). Grief is More Than Tears, Nursing Science Quarterly, 16 (1), 77-81.
  • Rodgers, B. L. (1993). Concept analysis: An evolutionary view. In B. Rodgers & K. Knafl (Eds.), Concept development in nursing: Foundations, techniques, and applications (pp. 73-92). Philadelphia:Saunders.
  • TLC Group. (2004) Beware the 5 Stages of 'Grief', http://www.counselingforloss.com/article8.htm [diakses tanggal 3 Desember 2004
BACA SELENGKAPNYA - Konsep Duka Cita Menurut Model Betty Neuman

Memberikan Obat Sublingual

URAIAN UMUM

Suatu kegiatan pelayanan keperawatan dalam memberikan obat yang diberikan secara sub lingual


PERSIAPAN


Persiapan Klien


- Cek perencanaan Keperawatan klien


- Klien diberi penjelasan tentang prosedur yang akan dilakukan


Persiapan Alat


- Obat yang sudah ditentukan


- Tongspatel (bila perlu )


- Kasa untuk membungkus tongspatel



PELAKSANAAN


- Perawat cuci tangan


- Memasang tongspatel ( jika klien tidak sadar ) kalau sadar anjurkan klien untuk mengangkat lidahnya


- Meletakan obat dibawah lidah


- Memberitahu klien supaya tidak menelan obatt


- Perawat cuci tangan


- Perhatikan dan catat reaksi klien setelah pemberian obat



EVALUASI


- Perhatikan respon klien dan hasil tindakan



DOKUMENTASI


- Mencatat tindakan yang telah dilakukan (waktu pelaksanaan, respon klien, hasil tindakan,nama obat dan dosis, perrawat yang melakukan ) pada catatan keperawatan

"
BACA SELENGKAPNYA - Memberikan Obat Sublingual

03 February 2011

TETANUS dan TETANUS NEONATORUM

TETANUS dan TETANUS NEONATORUM
Tetanus
Definisi
Penyakit infeksi dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran.

Etiologi
Disebabkan eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan kuman, yang menghambat neurotransmitter pada sinaps ganglion sambungan sum-sum tulang belakang dengan neuromuskuler (neuromuskuler junction) dan saraf otonom.
Etiologi
Clostridium Tetanii :
Kuman berbentuk batang
Gram positif
Berspora dengan ujung berbentuk genderang
Obligant anaerob dan menghasilkan eksotoksin
Etiologi
Tempat Masuk kuman/spora melalui :
Luka tusuk
Patah tulang
Gigitan binatang
Luka bakar luas
Luka operasi
Luka gigi
Pemotongan tali pusat tidak steril
Patogenesis
Spora masuk lewat luka ke dalam tubuh,
Pada lingkungan anaerobik akan berubah bentuk menjadi bentuk vegetatif serta menghasilkan eksotoksin yang menyebar lewat motor endplate dan aksis silindris saraf tepi ke kornu anterior sum-sum tulang belakang,
Menyebar ke seluruh saraf pusat.
Patogenesis
Toksin tersebut akan menimbulkan gangguan, enzim kolinesterase tidak aktif sehingga kadar asetilkolin menjadi tinggi dan blokade pada sinaps yang terkena, mengakibatkan tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan.


Laboratorium

Tak ada yang spesifik, biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik dan mahal.
Gejala Klinis
Masa inkubasi 5 - 14 hari, terpendek 2 hari.
Demam ringan dengan gejala lain :
Trismus, risus sardonikus, opistotonus, otot dinding perut kaku seperti papan, kejang dan gangguan saraf otonom.
Gangguan irama jantung, suhu meningkat, berkeringat, kekakuan otot sfingter dan otot polos sehingga terjadi retensio urine, spasme laring dan gangguan otot pernafasan.

Gejala Klinis
Secara praktis Tetanus dapat dibagi menjadi :
1. Tetanus ringan
Trismus tanpa rangsang kejang.
2. Tetanus sedang
Kaku, tanpa kejang spontan, rangsang kejang positif.
3. Tetanus berat
Kaku, kejang spontan, rangsang kejang positif.


Komplikasi
Pada neonatus sering terjadi sepsis.
Pada anak sering terjadi :
Bronkopneumonia
Kekakuan otot laring dan pernafasan
Aspirasi
Fraktur kompresi
Prognosis
Tergantung pada :
Umur penderita
Masa inkubasi
Onset penyakit
Berat ringannya tetanus
Kecepatan pemberian ATS

Pencegahan

Perawatan luka, terutama luka kotor dan dalam
ATS profilaksis
Perawatan tali pusat (kebersihan persalinan)
Imunisasi aktif
Diagnosis

Berdasarkan Gejala klinis dan
Anamnesis yang teliti.
Diagnosis Banding
Bisa dengan :
Meningitis
Meningoensefalitis
Ensefalitis
Keracunan striknin
Rabies
Abses tonsilar
Mastoiditis
Penatalaksanaan
Umum
Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi
Menjaga saluran nafas tetap bebas
Mengatasi kejang
Penatalaksanaan
Mengatasi Kejang :
Diazepam 0,1 – 0,3 mg/KgBB/kali tiap 2-4 jam IV (IntraVena) atau rectal.
Bila kejang berhenti dilanjutkan dengan dosis rumatan.
Bila klinis membaik dosis dipertahankan 3-5 hari kemudian.
Bila kejang tidak berhenti pertimbangkan dirawat di ICU.
Penatalaksanaan
… Mengatasi Kejang

Tetanus Berat
Diazepam 20 mg/KgBB/hari drip infus IV perlahan, dan dirawat di ICU.
Dosis pemeliharaan 8 mg/KgBB/hari, oral dibagi 6-8 dosis.
Penatalaksanaan
… Mengatasi Kejang

Perawatan luka dengan perhidrol 3% atau rivanol, perawatan tali pusat dengan steril, konsul gigi atau THT jika dicurigai sebagai tempat masuk.
Penatalaksanaan
Khusus
Antibiotik :
PP (Penicillin Prokain) 50 U/KgBB/hari IM tiap 12 jam selama 7-10 hari, atau
Ampicillin 150 mg/KgBB/hari dibagi 4 dosis.
Penatalaksanaan
… Khusus

Metronidazole loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam, atau
Eritromisin 50 mg/KgBB/hari per oral dibagi 4 dosis.

Penatalaksanaan
… Khusus

Antiserum (ATS) 50.000 – 100.000 unit, separoh IV dan separohnya IM, didahului skin test.
Apabila tersedia Human Tetanus Imunoglobulin (HTIG) 3000-6000 IU, IM dapat diberikan.

Tetanus Neonatorum
Definisi

Penyakit yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan oleh kuman “Clostridium Tetanii”, yang masuk melalui luka tali pusat atau tempat lainnya karena tindakan yang tidak memenuhi syarat kebersihan.
Dasar Diagnosis
Bayi tiba-tiba panas dan tidak mau atau tidak dapat menetek lagi (trismus).
Sebelumnya bayi menetek biasa.
Mulut mencucu seperti mulut ikan (kapermond), mudah sekali dan sering kejang disertai sianosis, kaku kuduk sampai opistotonus.
Pengobatan
IVFD D5% + NaCl fisiologis (4 : 1) selama 48 – 72 jam sesuai dengan kebutuhan, selanjutnya IVFD untuk memasukkan obat.
Diazepam dosis awal 2,5 mg IV perlahan-lahan selama 2-3 menit.
Dosis rumatan 8-10 mg/KgBB/hari melalui IVFD (Diazepam dimasukkan dalam cairan IV dan diganti tiap 6 jam).
Pengobatan
… Diazepam dosis awal …

Bila kejang masih timbul, boleh diberikan diazepam tambahan 2,5 mg secara IV perlahan-lahan dan dalam 24 jam boleh diberikan tambahan diazepam 5 mg/KgBB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhan menjadi 15 mg/KgBB/hari.
Setelah klinis membaik, diazepam diberikan per oral dan diturunkan secara bertahap.
Pengobatan
ATS 10.000 UI/hari dan diberikan selama 2 hari berturut-turut.
Ampicillin 100 mg/KgBB/hari dibagi 4 dosis secara IV selama 10 hari.
Tali pusat dibersihkan dengan alkohol 70% atau betadine.
Pengobatan
Perhatikan jalan nafas, diuresis dan keadaan vital lainnya.
Bila banyak lendir jalan nafas dibersihkan dan perlu diberikan oksigen.

Pencegahan

Ibu hamil harus mendapat imunisasi TT (Tetanus Toxoid).
Diagnosa Keperawatan
Risiko terjadi cedera fisik b.d serangan kejang berulang.
Risiko jalan nafas tidak efektif b.d sekunder dari depresi pernafasan.
Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi sekret yang berlebih pada jalan nafas.
Diagnosa Keperawatan
Kurang pengetahuan keluarga tentang penanganan penyakitnya b.d keterbatasan informasi.
Peningkatan suhu tubuh b.d reaksi eksotoksin.

Sumber : Materi Kuliah Keperawatan Anak
STIKes Muhammaadiyah Banjarmasin 2009
dosen : Kamilah F Mustika, S.Kep.Ners
http://askep-askeb.cz.cc/

BACA SELENGKAPNYA - TETANUS dan TETANUS NEONATORUM

Penyakit Kusta

Penyakit Kusta
1. Pengertian
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta ( mycobacterium leprae ) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI Ditjen PPM & PLP 1997 : 15 )
2. Penyebab.
Penyebab penyakit kusta adalah kuman kusta, yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 8 mic, lebar 0,2 – 0,5 mic biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu – satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA)
3. Masa Tunas penyakit kusta.
Masa belah diri kuman kusta adalah memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman yang lain, yaitu 12 – 21 hari. Hal ini merupakan salah satu penyebab masa tunas yang lama yaitu rata-rata 2 – 5 tahun..


4. Cara Penularan .
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi basiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang belum pasti diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit.
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain :
a. Faktor sumber penularan :
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe MB. penderita MB ini pun tidak akan menularkan kusta, apabila berobat teratur.
b. Faktor kuman kusta :
Kuman kusta dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1 – 9 hari tergantung pada suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh ( solid ) saja yang dapat menimbulkan penularan.
c. Faktor daya tahan tubuh :
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta ( 95 %). Dari hasil penelitian menunjukkan gambaran sebagai berikut, dari 100 orang yang terpapar 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh tanpa obat, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan.


5. Jenis/Type Penyakit Kusta
a. Tipe MB (Tipe basah), merupakan tipe yang dapat menularkan kepada orang lain. dengan tanda - tanda :
1) Bercak keputihan atau kemerahan tersebar merata diseluruh badan.
2) Dengan atau tanpa penebalan pada bercak
3) Pada permukaan bercak, sering masih ada rasa bila disentuh dengan kapas.
4) Tanda-tanda permulaan sering berupa penebalan kulit kemerahan pada cuping telinga dan muka.
b. Tipe PB ( Tipe Kering) tipe ini tidak menular tetapi dapat menimbulkan cacat bila tidak segera diobati. Tanda-tandanya : bercak putih seperti panu yang mati rasa, artinya bila bercak tersebut disentuh dengan kapas tidak terasa atau kurang terasa.

6. Kriteria penentuan tipe.
Dalam menentukan klasifikasi tipe PB dan MB didasarkan pada kriteria seperti tabel di bawah ini, penentuan tipe tidak boleh berpegang pada hanya salah satu dari kriteria, akan tetapi harus dipertimbangkan dari seluruh kriteria.

Kriteria penentuan tipe.
Kelainan kulit dan Hasil pemeriksaan bakteriologis
PB
Bercak (Makula): Jumlah 1 – 5, Ukuran Kecil dan besar,Distribusi Unilateral, atau bilateral Asimetris, Konsistensi Kering dan kasar, Batas Tegas, Kehilangan rasa pada bercak Selalu ada dan jelas

MB
Bercak (Makula).Jumlah Banyak, Ukuran Kecil-kecil, Distribusi Bilateral,simetris, KonsistensiHalus, berkilat, Batas Kurang tegas, Kehilangan rasa pada berca Biasanya tidak jelas, jika ada, terjadi pada yang sudah lanjut.

7. Pengobatan penyakit kusta
Pengobatan penderita kusta dilakukan untuk menyembuhkan dan mencegah timbulnya cacat. pada penderita tipe PB yang berobat dini dan teratur akan cepat sembuh tanpa menimbulkan cacat. akan tetapi bagi penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanent pengobatan hanya dapat mencegah cacat lebih lanjut.
Memutuskan mata rantai penularan dari penderita kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain. pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh, dan tanda-tanda penyakit menjadi kurang aktif dan akhirnya hilang. dengan hancurnya kuman maka sumber penularan dari penderita terutama tipe MB ke orang lain menjadi terputus.
a. Obat-obat yang digunakan.
1) DDS ( Dapsone ).
a) Singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfone.
b) Bentuk obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/ tab dan 100 mg/tab.
c) Sifat bakteriostatik yaitu menghalangi ,menghambat pertumbuhan kuman kusta.
d) Dosis, untuk dewasa 100 mg/ hari dan anak-anak 1 – 2 mg/kg berat badan / hari.
e) Efek samping, ini jarang terjadi berupa, anemia hemoltik dan manifestasi kulit ( alergi ) seperti halnya obat lain, manifestasi saluran pencernaan makanan misalnya Anorexia, muntah dan manifestasi urat syaraf, vertigo, penglihatan kabur dan sulit tidur.

2) Lamprene (B663) juga disebut clofazimine.
a) Bentuk, kapsul warna coklat, ada takaran 50 mg / kapsul dan 100 mg / kaps.
b) Sifat, bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman kusta dan anti reaksi ( menekan reaksi ).
c) Dosis, untuk dipergunakan dalam pengobatan kombinasi ,lihat pada rigimen pengobatan MDT.
d) Efek sampingan, warna kulit terutama pada infiltrate berwarna ungu sampai kehitam-hitaman yang dapat hilang bila pemberian obat lamprene distop dan gangguan pencernaan berupa diare, nyeri lambung.
3) Rifampicin .
a) Bentuk, kapsul atau kaplet takaran 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600 mg.
b) Sifat, mematikan kuman kusta (Bakteriosid).
c) Dosis , untuk dipergunakan dalam pengobatan kombinasi, untuk anak-anak 10-15 mg/kg berat badan.
d) Efek sampingan, yaitu dapat menimbulkan kerusakan pada hati dan ginjal.


b. Regimen pengobatan MDT
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan oleh WHO, Regimen tersebut adalah sebagai berikut :
1) Tipe PB 1 : Lesi 1
Diberikan dosis tunggal ROM :
Tabel 2.2, dosis tunggal ROM
Rifampicin Ofloxacin Minocylin
Dewasa 50 – 70 Kg 600 mg 400 mg 100 mg
Anak 5 – 14 Tahun 300 mg 200 mg 50 mg

Obat ditelan didepan petugas, pemberian pengobatan sekali saja dan langsung RFT.
2) Tipe PB 2-5 : Lesi 2 – 5
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa ; rifampicin 600mg / bulan diminum didepan petugas dan DDS tablet 100 mg/ hari diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 9 bulan . setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (“Release from Treatemen” = berhenti minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif.

3) Tipe MB : Lesi lebih dari 5
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa, rifampicin 600 mg / bulan diminum di depan petugas, laprene 300 mg / bulan diminum di depan petugas dan lamprene 50 mg / hari diminum dirumah.
DDS 100 mg / hari diminum dirumah , pengobatan 12 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan. Sesudah selesai minum 12 dosis dinyatakan RFT (“Release from Treatemen” = berhenti minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif.
Adapaun dosis Lamprene untuk anak, umur di bawah 10 tahun bulanan 100 mg/bulan, harian 50 mg/2kali/minggu dan umur 11 – 14 tahun bulanan 200 mg/bulanan, harian 50 mg/3 kali/ minggu.
Dosis DDs untuk anak-anak 1 -2mg/ kg berat badan, dosis rifampicin untuk anak 10 – 15mg/kg berat badan.

Sumber :
Ditjen PPM & PLP. 1999. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta.Cetakan XI.
http://askep-askeb.cz.cc/
BACA SELENGKAPNYA - Penyakit Kusta

02 February 2011

KEGAWATAN PADA TRAUMA

DEFINISI

Istilah “trauma” diambil dari kata Greek untuk menunjukan “luka”. Seringkali masyarakat umum cenderung mengasosiasikan kata “trauma” dengan suatu “krisis” seperti serangan jantung (heart attack) ataupun stress psikologis berat. Istilah tersebut sesungguhnya berkaitan dengan cedera pada tubuh (bodily injury) (Bucher & Melander, 1999).

Cedera traumatic merupakan penyebab nomor satu dari kematian pada usia dibawah 45 tahun dan penyebab ke empat kematian di US secara keseluruhan. Setiap tahun sekitar 150.000 orang meninggal sebagai akibat cedera baik yang secara sengaja maupun tidak dan merupakan problem utama kesehatan masyarakat di Amerika (Bucher & Melander, 1999).

Trauma mengenai orang disepanjang rentang hidupnya, dimana risiko tertinggi adalah pada kelompok usia antara 15 dan 24 tahun (Bucher & Melander, 1999) atau kelompok usia muda. Namun demikian kematian hanyalah salah satu dampak diantara dampak lainnya yaitukecacatan permanen dan berbagai tingkatan gangguan fisik lainnya. Setiap tahun sekitar 2.1 juta orang dirawat dirumah sakit untuk cedera traumatic. Biaya social yang diakibatkannya cukup besar yang dikeluarkan untuk perawatan medical (medical care), perawatan dirumah (nursing home care), rehabilitasi, kehilangan pendapatan/gaji, dan kerugian hak milik lainnya. Biaya real yang harus ditanggung oleh pasien dan keluarga berupa penderitaan manusiawi dan terganggunya lifestyle tidak dapat dihitung dengan dollar, tetapi harus dipertimbangkan sebagai akibat dari cedera/injury yang sangat berarti. Karena perawat adalah tangan pertama yang menghadapi kejadian traumatic yang sringkali dapat dicegah, maka mereka idealnya dipersiapkan untuk dapat membagi pemahamannya yang mendalam dengan klien dan masyarakat.

SISTEM PELAYANAN TRAUMA

Pusat trauma (trauma center) adalah fasilitas pelayanan spesial yang secara formal melakukan penilaian/mengevaluasi berdasarkan standar negara bagian, regional dan standar nasional dan memenuhi kriteria untuk memastikan pemberian pelayanan/perawatan pasien cedera secara kompeten dan bijaksana. Adalah penting untuk memahami bahwa tidak semua rumah sakit yang memberikan pelayanan gawat darurat 24 jam dapat dipertimbangkan sebagai pusat trauma. Sesungguhnya pusat trauma lebih didasarkan pada adanya kebutuhan yang merefleksikan komitmen institusi terhadap penyediaan sumber-sumber pelayanan trauma. Saat ini pusat trauma masyarakat merupakan turunan dari unit rumah sakit bedah militer yang mobile (mobile army surgical hospitals/MASH) di era konflik Vietnam dan Korea. Transportasi yang cepat dari medan perang ke pasilitas pelayanan trauma yang memiliki staf ahli bedah, staf keperawatan dan lainnya yang qualified yang dengan segera memberikan intervensi penyelamatan hidup secara dramatik menurunkan laju mortalitas dari prajurit yang cedera. Konsep pengorganisasian pelayanan dan sumber-sumber diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pasien trauma secepatnya, tetapi secara perlahan, berkembang pada rumah sakit civil yang dimulai pada 1960-an dan 1970-an.

Pada 1976, American College of Surgeon (ACS) mempublikasi panduan pertama untuk mengklasifikasikan pusat-pusat trauma di US. Namun demikian, tidak sampai 1980-an telah tumbuh menyebar pusat-pusat trauma di US. Penelitian dimulai untuk memvalidasi asumsi bahwa pusat trauma dapat menyelamatkan banyak kehidupan. Pada 1979 studi California memperlihatkan dengan jelas penurunan secara bermakna mortalitas karena injury ketika korban trauma ditangani pada pusat trauma, dan sangat berlawanan dibandingkan dengan penanganan yang dilakukan oleh rumah sakit yg ada dimasyarakat. Pada 1990 fokus lebih pada pengembangan system trauma, dengan memperkenalkan pusat trauma yang memiliki mekanisme yang baik dalam mengangkut/mentransport pasien untuk mempermudah pengintegrasian kembali melalui pelayanan rahabilitasi yang tepat. Untuk memfasilitasi pengembangan system trauma di seluruh Amerika, Trauma Care Systems Planning and Development Act pada 1990 menyediakan pendanaan untuk membuat system trauma. Dalam 1992, US Public Health Service, Health Resources and Services Administration, menawarkan Rencana Model Sistem Pelayanan Trauma pada negara sebagai kerangka kerja umum untuk menciptakan system yang bersifat individual. Rencana yang telah diidentifikasi mewakili komponen system pelayanan trauma dengan melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan atau fasilitas yang dapat melibatkan sumber2 pelayanan trauma: kepemimpinan; pengembangan system; legislasi; pembiayaan; pemberian informasi dan pendidikan publik dan pencegahan; sumber baya manusia; pelayanan prehospital meliputi komunikasi, medical direction, triage, dan transport; pelayanan pasti yang mencakup fasilitas pelayanan trauma, trasnper antar fasilitas, rehabilitasi, dan evaluasi.

Panduan ACS meliputi tidak hanya standar bagi berbagai macam tingkatan pusat trauma, tetapi juga keseluruhan sistem pelayanan trauma sebagai digambarkan di Rencana Model Sistem Pelayanan Trauma. 4 tingkatan pusat-pusat trauma saat ini telah didefinisikan dan dikarakteristikan oleh ACS sbb: level I (kemampuan tertinggi), level II, level III dan level IV. Perawat sebagai penyedia pelayanan kesehatan, perlu memahami pelayanan trauma yang tersedia di masyarakatnya.

Pusat Trauma Tingkat I

Pusat trauma regional—dengan kemampuan menyediakan kepemimpinan dan pelayanan total untuk setiap aspek cedera, dari pencegahan sampai rehabilitasi. Kemampuan klinik yang membedakan pusat trauma level I dengan level lainnya meliputi bedah jantung, bedah lengan, bedah mikrovaskuler utk replanasi trauma berat anggota gerak, bedah umum, nuclear scanning, neuroradiologi, cardiopulmonary bypass, hemodialisis akut. Biasanya rumah sakit berbasis universitas atau rumah sakit pendidikan yang besar, bertanggung jawab untuk memperluas aspek klinik termasuk pendidikan trauma untuk semua level staf, penelitian, pencegahan cedera masyarakat dan perluasan program dan perencanaan system trauma. Kebanyakan pusat trauma level I terletak di area urban.

Pusat Trauma Tingkat II

Pusat trauma level II umumnya merupakan rumah sakit komunitas dengan kebutuhan yang sama untuk “pelayanan trauma definitif awal”, pendidikan trauma, dan pencegahan trauma.

Pusat Trauma Tingkat III

Pusat trauma level III menyediakan mata rantai kritis pada komunitas yang tidak mempunyai fasilitas level I atau II. Pada pusat ini, tujuannya adalah resusitasi dan stabilisasi awal yang cepat pada pasien dan kemudian mentransfer pusat trauma yang mempunyai kemampuan tinggi dengan berbagai sumber untuk memebuhi kebutuhan pasien. Dalam beberapa kasus, pembedahan mungkin diperlukan untuk menstabilkan pasien sebelum ditransfer. Pusat trauma level III harus mempunyai persetujuan tranfer dengan pusat trauma level I atau II dan harus menggunakan standar protocol penanganan untuk menajemen trauma. Bedah umum harus selalu tersedia.

Pusat Trauma Tingkat IV

Area rural atau jauh/terpencil yang tidak mempunyai akses pada pusat trauma level I, II atau III, atau bahkan dokter, maka klinik atau fasilitas dapat berperan sebagai tempat pertama untuk masuk ke dalam system trauma. Yang dibutuhkan bagi status pusat trauma level IV meliputi memiliki personel yang telah dilatih pada ATLS (advance trauma life support), atandar protocol penanganan dan persetujuan tranfer dengan pusat trauma yang memiliki kemampuan lebih tinggi.


http://askep-askeb.cz.cc/

BACA SELENGKAPNYA - KEGAWATAN PADA TRAUMA

AIRWAY POSITIONING

Tujuan

Untuk mempertahankan dan memelihara kepatenan jalan napas.

Untuk menghilangkan obstruksi parsial maupun total akibat kesalahan letak dimana lidah jatuh kebelakang pharynx dan/atau epiglotis setingkat larynx.

Indikasi

Diinsikasikan untuk klien tidak sadar dimana jalan napasnya tidak adekuat.

Kontraindikasi dan Perhatian

Pada pasien trauma yg tidak sadar atau pasien yang diketahui atau dicurigai mengalami cedera/trauma leher, maka kepala dan leher harus dipertahankan dalam posisi netral tanpa hiperekstensi leher. Gunakan jaw thrust atau chin-lift utk membuka jalan napas pd situasi tsb.

Positioning saja mungkin belum/tidak mencukupi untuk mencapai, mempertahankan dan memelihara jalan napas agar tetap terbuka. Intervensi tambahan, seperti suction atau intubasi, mungkin diperlukan.

Macam Airway Positioning

1. Head-tilt, chin-lift

2. Jaw thrust

3. Chin-lift

4. Sniffing position

Prosedur Airway Positioning ”Head-tilt, chin-lift”

1. Letakan/tempatkan pasien dalam posisi supine/terlentang.

2. Angkat
dagu ke depan untuk memindahkan mandibula ke depan sementara gerakan
kepala pasien ke belakang dengan satu tangan yang berada di dahi (lihat
gbr. 1). Manuver ini mengakibatkan hiperekstensi leher dan
(kontraindikasi jika diketahui/dicurigai adanya trauma leher)

Prosedur Airway Positioning ”Jaw thrust” dan “Chin lift”

1. Jika manuver head-tilt, chin-lift tidak berhasil atau tidak dapat digunakan, maka lakukan jaw thrust atau chin lift.

2. Prosedur jaw thrust:

a. Letakan/tempatkan pasien dalam posisi supine/terlentang.

b. Angkat mandibula ke depan dengan jari telunjuk sambil mendorong melawan arkus zigomatik dengan ibu jari (lihat gbr. 2). Ibu jari memberikan tekanan berlawanan untuk mencegah pergerakan kepala saat mandibula didorong ke depan.

  1. Prosedur chin lift:

a. Letakan satu lengan (lengan kiri anda) pada dahi untuk menstabilkan kepala dan leher pasien.

b. Pegang/tangkaplah
mandibula pasien dengan ibu jari dan jari lainnya (lengan kanan anda),
kemudian angkat mendibula ke arah depan (ligar gbr. 3).

c. Keji kembali (kaji ulang) kepatenan jalan napas setelah dilakukan tindakan.

Pertimbangan Untuk Usia Tertentu

1. Untuk tindakan head-tilt, chin-lift pada bagi (infant),
tempatkan satu lengan pada dahi bayi dan angkat kepala secara hati-hati
ke belakang dalam suatu posisi netral. Leher akan sedikit ekstensi. Ini
disebut sebagai sniffing position (lihat gbr. 4). Hiperekstensi pada leher bayi dapat menyebabkan gangguan atau obstruksi jalan napas. Tempatkan
jari-jari di bawah bagian tulang dagu bawah, kemudian angkat mandibula
ke atas dan ke luar. Perhatikan agar mulut tidak tertutup atau
terdorong pada jaringan lunak di bawah dagu, karena dapat mengobstruksi
jalan napas

2. Pada anak yang memperlihatkan gejala epiglottitis, seperti demam tinggi, drolling,
distres pernapasan, dsb, jangan dipaksa pada posisi supine, yang akan
menyebabkan obstruksi komplit jalan napas. Biarkan anak untuk
memelihara/mempertahankan posisi nyaman sampai tindakan definitif pada
jalan napas tersedia.

Komplikasi

Jika jalan napas terteap terobstruksi, suction perlu dilakukan, dan kemudian lakukan pemasangan OPA (oropharyngeal airway, misal: gudel) atau nasopharyngeal airway.

Cedera pada spinal dapat terjadi jika dilakukan pergerakan pada kepala dan/atau leher pada pasien dengan cedera servical.

Jika jari-jari anda menekan terlalu dalam jaringan lunak di bawah dagu, maka jalan napas akan terobstruksi.

Daftar Pustaka

Proehl, J.A. (1999). Eemergency nursing procedures. (2nd ed.). Philadelphia: W.B. Saunder Company.

Further Reading:

American Academy of Pediatrics & American College of Emergency Physicians. (1993). Advanced pediatric life support: The pediatric emergency medicine course. Dallas: Author.

American Heart Association. (1994). Basic life support for healthcare providers. Dallas: Author.

Emergency Nursing Association. (1993). Trauma nursing core course: Provider manual. (4th ed.). Park Ridge: Author.

http://askep-askeb.cz.cc/

BACA SELENGKAPNYA - AIRWAY POSITIONING
INGIN BOCORAN ARTIKEL TERBARU GRATIS, KETIK EMAIL ANDA DISINI:
setelah mendaftar segera buka emailnya untuk verifikasi pendaftaran. Petunjuknya DILIHAT DISINI