kolom pencarian

KTI D3 Kebidanan[1] | KTI D3 Kebidanan[2] | cara pemesanan KTI Kebidanan | Testimoni | Perkakas
PERHATIAN : jika file belum ter-download, Sabar sampai Loading halaman selesai lalu klik DOWNLOAD lagi

05 March 2011

Konsep dasar keperawatan I

Konsep dasar keperawatan I: "KONSEP DASAR KEPERAWATAN
PERKEMBANGAN, KONSEP DAN TREN KEPERAWATAN


Disampaikan oleh : Dafid Arifiyanto.



Keperawatan sebagai bagian intergral dari pelayanan kesehatan, ikut menentukan menentukan mutu dari pelayanan kesehatan. Tenaga keperawatan secara keseluruhan jumlahnya mendominasi tenaga kesehatan yang ada, dimana keperawatan memberikan konstribusi yang unik terhadap bentuk pelayanan kesehatan sebagai satu kesatuan yang relatif, berkelanjutan, koordinatif dan advokatif. Keperawatan sebagai suatu profesi menekankan kepada bentuk pelayanan professional yang sesuai dengan standart dengan memperhatikan kaidah etik dan moral sehingga pelayanan yang diberikan dapat diterima oleh masyarakat dengan baik.
A. Sejarah Keperawatan
Keperawatan sebagai suatu pekerjaan sudah ada sejak manusia ada di bumi ini, keperawatan terus berkembang sesuai dengan kemajuan peradaban teknologi dan kebudayaan. Konsep keperawatan dari abad ke abad terus berkembang, berikut adalah perkembangan keperawatan di dunia :
1. Mother Instink
Pekerjaan keperawatan sudah ada sejak manusia diciptakan, keperawatan ada sebagai suatu naluri (instink). Setiap manusia pada tahap ini menggunakan akal pikirannya untuk menjaga kesehatan, menggurangi stimulus kurang menyengkan, merawat anak, menyusui anak dan perilaku masih banyak perilaku lainnya.
2. Animisme
Manusia pada tahap ini memiliki keyakinan bahwa keadaan sakit adalah disebabkan oleh arwah/roh halus yang ada pada manusia yang telah meninggal atau pada manusia yang hidup atau pada alam ( batu besar, pohon, gunung, sungai, api, dll). Untuk mengupayakan penyembuhan atau perawatan bagi manusia yang sakit maka roh jahat harus di usir, para dukun mengupayakan proses penyembuhan dengan berusaha mencari pengetahuan tentang roh dari sesuatu yang mempengaruhi kesehatan orang yang sakit. Setelah dirasa mendapatkan kemampuan, para dukun berupaya mengusir roh dengan menggunakan mantra-mantra atau obat-obatan yang berasal dari alam.
3. Keperawatan penyakit akibat kemarahan para dewa
Pada tahap ini manusia sudah memiliki kepercayaan tentang adanya dewa-dewa, manusia yang sakit disebabkan oleh kemarahan dewa. Untuk membantu penyembuhan orang yang sakit dilakukan pemujaan kepada para dewa di tempat pemujaan (kuil), dengan demikian dapat dikatakan bahwa kuil adalah tempat pelayanan kesehatan.
4. Ketabiban
Mulai berkembang kemungkinan sejak ± 14 abad SM, pada masa ini telah dikenal teknik pembidaian, hygiene umum, anatomi manusia.
5. Diakones dan Philantrop
Berkembang sejak ± 400 SM, para diakones memberikan pelayanan perawatan yang diberikan dari rumah ke rumah, tugas mereka adalah membantu pendeta memberikan pelayanan kepada masyarakat dan pada masa ini merupakan cikal bakal berkembangnya ilmu keperawatan kesehatan masyarakat. Philantop adalah kelompok yang mengasingkan diri dari keramaian dunia, dimana mereka merupakan tenaga inti yang memberikan pelayanan di pusat pelayanan kesehatan (RS) pada masa itu.
6. Perkembangan ilmu kedokteran Islam
Pada tahun 632 Masehi, Agama Islam melalui Nabi Muhamad SAW dan para pengikutnya menyebarkan agama Islam keseluruh pelosok dunia. Selain menyebarkan ajaran agama beliau juga menyebarkan ilmu pengetahuan tentang perilaku hidup bersih dan pengobatan terhadap penyakit (kedokteran).
7. Perawat terdidik ( 600 – 1583 )
Pada masa ini pendidikan keperawatan mulai muncul, dimana program itu menghasilkan perawat-perawat terdidik. Pendidikan keperawatan diawali di Hotel Dien dan Lion Prancis yang kemudian berkembang menjadi rumah sakit terbesar disana. Pada awalnya perawat terdidik diseleksi dari para pengikut agama dimana tenaga mereka diperbantukan dalam kegiatan perawatan paska terjadinya perang salib. Tokoh perawat yang terkenal pada saat (1182 – 1226) itu adalah St Fransiscas dari Asisi Italia.
8. Perawat Profesional (abad 18 – 19)
Perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat sejak abad ini termasuk ilmu kedokteran dan keperawatan. Florence Nightingale (1820-1910) adalah tokoh yang berjasa dalam pengembangan ilmu keperawatan, beliau mendirikan sekolah keperawatan moderen pada tahun 1960 di RS St. Thomas di London.

Melihat perkembangan keperawatan di dunia dengan kemajuannya dari tahap yang paling klasik sampai dengan terciptanya tenaga keperawatan yang professional dan diakui oleh dunia internasional tentu dapat dijadikan cerminan bagi perkembangan keperawatan di Indonesia. Mengikuti perkembangan keperawatan di dunia, keperawatan di Indonesia juga terus berkembang, adapun perkembangannya adalah sebagai berikut :
1. Seperti halnya perkembangan keperawatan di dunia, di Indonesia pada awalnya pelayanan perawatan masih didasarkan pada naluri, kemudian berkembang menjadi aliran animisme, dan orang bijak beragama.
2. Penjaga orang sakit (POS/zieken oppasser)
Sejak masuknya Vereenigge oost Indische Compagine di Indonesia mulai didirikan rumah sakit, Binnen Hospital adalah RS pertama yang didirikan tahun 1799, tenaga kesehatan yang melayani adalah para dokter bedah, tenaga perawat diambil dari putra pertiwi. Pekerjaan perawat pada saat itu bukan pekerjaan dermawan atau intelektual, melainkan pekerjaan yang hanya pantas dilakukan oleh prajurit yang bertugas pada kompeni. Tugas perawat pada saat itu adalah memasak dan membersihkan bagsal (domestik work), mengontol pasien, menjaga pasien agar tidak lari/pasien gangguan kejiwaan.
3. Model keperawatan Vokasional (abad 19)
Berkembangnya pendidikan keperawatan non formal, pendidikan diberikan melalui pelatihan-pelatihan model vokasional dan dipadukan dengan latihan kerja.
4. Model keperawatan kuratif (1920)
Pelayanan pengobatan menyeluruh bagi masyarakat dilakukan oleh perawat seperti imunisasi/vaksinasi, dan pengobatan penyakit seksual.
5. Keperawatan semi profesional
Tuntutan kebutuhan akan pelayanan kesehatan (keperawatan) yang bermutu oleh masyarakat, menjadikan tenaga keperawatan dipacu untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dibidang keperawatan. Pendidikan-pendidikan dasar keperawatan dengan sistem magang selama 4 tahun bagi lulusan sekolah dasar mulai bermunculan.
6. Keperawatan preventif
Pemerintahan belana menganggap perlunya hygiene dan sanitasi serta penyuluhan dalam upaya pencegahan dan pengendalian wabah, pemerintah juga menyadari bahwa tindakan kuratif hanya berdampak minimal bagi masyarakat dan hanya ditujukan bagi mereka yang sakit. Pada tahun 1937 didirikan sekolah mantri higene di Purwokerto, pendidikan ini terfokus pada pelayanan kesehatan lingkungan dan bukan merupakan pengobatan.
7. Menuju keperawatan profesional
sejak Indonesia merdeka (1945) perkembangan keperawatan mulai nyata dengan berdirinya sekolah pengatur rawat (SPR) dan sekolah bidan di RS besar yang bertujuan untuk menunjang pelayanan kesehatan di rumah sakit. Pendidikan itu diberuntukan bagi mereka lulusan SLTP ditambah pendidikan selama 3 tahun, disamping itu juga didirikan sekolah bagi guru perawat dan bidan untuk menjadi guru di SPR. Perkembangan keperawatan semakin nyata dengan didirikannya organisasi Persatuan Perawat Nasional Indonesia tahun 1974.
8. Keperawatan profesional
Melalui lokakarya nasional keprawatan dengan kerjasama antara Depdikbud RI, Depkes RI dan DPP PPNI, ditetapkan definisi, tugas, fungsi dan kompetensi tenaga perawat professional di Indonesia. Diilhami dari hasil lokakarya itu maka didirikanlah akademi keperawatan, kemudian disusul pendirian PSIK FK-UI (1985) dan kemudian didirikan pula program paska sarjana (1999).

B. Pengertian Keperawatan
Pada lokakarya nasional 1983 telah disepakati pengertian keperawatan sebagai berikut, keperawatan adalah pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio psiko sosio spiritual yang komprehensif yang ditujukan kepada individu, kelompok dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Florence Nightingale (1895) mendefinisikan keperawatan sebagai berikut, keperawatan adalah menempatkan pasien alam kondisi paling baik bagi alam dan isinya untuk bertindak.
Calilista Roy (1976) mendefinisikan keperawatan merupakan definisi ilmiah yang berorientasi kepada praktik keperawatan yang memiliki sekumpulan pengetahuan untuk memberikan pelayanan kepada klien.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keperawatan adalah upaya pemberian pelayanan/asuhan yang bersifat humanistic dan professional, holistic berdasarkan ilmu dan kiat, standart pelayanan dengan berpegang teguh kepada kode etik yang melandasi perawat professional secara mandiri atau memalui upaya kolaborasi.

C. Definisi Perawat
Definisi perawat menurut UU RI. No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki diperoleh melalui pendidikan keperawatan.
Tyalor C Lillis C Lemone (1989) mendefinisikan perawat adalah seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dengan melindungi seseorang karena sakit, luka dan proses penuaan.
Definisi perawat menurut ICN (international council of nursing) tahun 1965, perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan yang memenuhi syarat serta berwenang di negeri bersangkutan untuk memberikan pelayanan keperawatan yan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesehatan, pencegahan penyakit dan pelayanan penderita sakit.

D. Tren Keperawatan
Setelah tahun 2000, dunia khususnya bangsa Indonesia memasuki era globalisasi, pada tahun 2003 era dimulainya pasar bebas ASEAN dimana banyak tenaga professional keluar dan masuk ke dalam negeri. Pada masa itu mulai terjadi suatu masa transisi/pergeseran pola kehidupan masyarakat dimana pola kehidupan masyarakat tradisional berubah menjadi masyarakat yang maju. Keadaan itu menyebabkan berbagai macam dampak pada aspek kehidupan masyarakat khususnya aspek kesehatan baik yang berupa masalah urbanisaasi, pencemaran, kecelakaan, disamping meningkatnya angka kejadian penyakit klasik yang berhubungan dengan infeksi, kurang gizi, dan kurangnya pemukiman sehat bagi penduduk. Pergeseran pola nilai dalam keluarga dan umur harapan hidup yang meningkat juga menimbulkan masalah kesehatan yang berkaitan dengan kelompok lanjut usia serta penyakit degeneratif.
Pada masyarakat yang menuju ke arah moderen, terjadi peningkatan kesempatan untuk meningkatkan pendidikan yang lebih tinggi, peningkatan pendapatan dan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hukum dan menjadikan masyarakat lebih kritis. Kondisi itu berpengaruh kepada pelayanan kesehatan dimana masyarakat yang kritis menghendaki pelayanan yang bermutu dan diberikan oleh tenaga yang profesional. Keadaan ini memberikan implikasi bahwa tenaga kesehatan khususnya keperawatan dapat memenuhi standart global internasional dalam memberikan pelayanan kesehatan/keperawatan, memiliki kemampuan professional, kemampuan intelektual dan teknik serta peka terhadap aspek social budaya, memiliki wawasan yang luas dan menguasi perkembangan Iptek.
Namun demikian upaya untuk mewujudkan perawat yang professional di Indonesia masih belum menggembirakan, banyak factor yang dapat menyebabkan masih rendahnya peran perawat professional, diantaranya :
1. Keterlambatan pengakuan body of knowledge profesi keperawatan. Tahun 1985 pendidikan S1 keperawatan pertama kali dibuka di UI, sedangkan di negara barat pada tahun 1869.
2. Keterlambatan pengembangan pendidikan perawat professional.
3. Keterlambatan system pelayanan keperawatan., ( standart, bentuk praktik keperawatan, lisensi )



Menyadari peran profesi keperawatan yang masih rendah dalam dunia kesehatan akan berdampak negatif terhadap mutu pelayanan kesehatan bagi tercapainya tujuan kesehatan “ sehat untuk semua pada tahun 2010 “, maka solusi yang harus ditempuh adalah :
1. Pengembangan pendidikan keperawatan.
Sistem pendidikan tinggi keperawatan sangat penting dalam pengembangan perawatan professional, pengembangan teknologi keperawatan, pembinaan profesi dan pendidikan keperawatan berkelanjutan. Akademi Keperawatan merupakan pendidikan keperawatan yang menghasilkan tenaga perawatan professional dibidang keperawatan. Sampai saat ini jenjang ini masih terus ditata dalam hal SDM pengajar, lahan praktik dan sarana serta prasarana penunjang pendidikan.
2. Memantapkan system pelayanan perawatan professional
Depertemen Kesehatan RI sampai saat ini sedang menyusun registrasi, lisensi dan sertifikasi praktik keperawatan. Selain itu semua penerapan model praktik keperawatan professional dalam memberikan asuhan keperawatan harus segera di lakukan untuk menjamin kepuasan konsumen/klien.
3. Penyempurnaan organisasi keperawatan
Organisasi profesi keperawatan memerlukan suatu perubahan cepat dan dinamis serta kemampuan mengakomodasi setiap kepentingan individu menjadi kepentingan organisasi dan mengintegrasikannya menjadi serangkaian kegiatan yang dapat dirasakan manfaatnya. Restrukturisasi organisasi keperawatan merupakan pilihan tepat guna menciptakan suatu organisasi profesi yang mandiri dan mampu menghidupi anggotanya melalui upaya jaminan kualitas kinerja dan harapan akan masa depan yang lebih baik serta meningkat.

Komitmen perawat guna memberikan pelayanan keperawatan yang bermutu baik secara mandiri ataupun melalui jalan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sangat penting dalam terwujudnya pelayanan keperawatan professional. Nilai professional yang melandasi praktik keperawatan dapat di kelompokkan dalam :
1. Nilai intelektual
Nilai intelektual dalam prtaktik keperawatan terdiri dari
a. Body of Knowledge
b. Pendidikan spesialisasi (berkelanjutan)
c. Menggunakan pengetahuan dalam berpikir secara kritis dan kreatif.
2. Nilai komitmen moral
Pelayanan keperawatan diberikan dengan konsep altruistic, dan memperhatikan kode etik keperawatan. Menurut Beauchamp & Walters (1989) pelayanan professional terhadap masyarakat memerlukan integritas, komitmen moral dan tanggung jawab etik.
Aspek moral yang harus menjadi landasan perilaku perawat adalah :
a. Beneficience
selalu mengupayakan keputusan dibuat berdasarkan keinginan melakukan yang terbaik dan tidak merugikan klien. (Johnstone, 1994)
b. Fair
Tidak mendeskriminasikan klien berdasarkan agama, ras, social budaya, keadaan ekonomi dan sebagainya, tetapi memprlakukan klien sebagai individu yang memerlukan bantuan dengan keunikan yang dimiliki.
c. Fidelity
Berperilaku caring (peduli, kasih sayang, perasaan ingin membantu), selalu berusaha menepati janji, memberikan harapan yang memadahi, komitmen moral serta memperhatikan kebutuhan spiritual klien.
3. Otonomi, kendali dan tanggung gugat
Otonomi merupakan kebebasan dan kewenangan untuk melakukan tindakan secara mandiri. Hak otonomi merujuk kepada pengendalian kehidupan diri sendiri yang berarti bahwa perawat memiliki kendali terhadap fungsi mereka. Otonomi melibatkan kemandirian, kesedian mengambil resiko dan tanggung jawab serta tanggung gugat terhadap tindakannya sendiribegitupula sebagai pengatur dan penentu diri sendiri.
Kendali mempunyai implikasi pengaturan atau pengarahan terhadap sesuatu atau seseorang. Bagi profesi keperawatan, harus ada kewenangan untuk mengendalikan praktik, menetapkan peran, fungsi dan tanggung jawab anggota profesi.
Tanggung gugat berarti perawat bertanggung jawab terhadap setiap tindakan yang dilakukannya terhadap klien.










PARADIGMA KEPERAWATAN

Oleh : Dafid Arifiyanto

A. Pengertian
( Kohu, 1997 )
Paradigma adalah suatu pandangan global yang dianut oleh mayoritas anggota suatu kelompok ilmiah.
Paradigma keperawatan Islam adalah cara pandang, persepsi, keyakinan, nilai-nilai dan konsep-konsep dalam menyelenggarakan profesi kperawatan yang melaksanakan sepenuhnya ajaran Islam.

B. Unsur Paradigma Keperawatan
Secara umum paradigma keperawatan terdiri dari 4 (empat) komponen dasar yaitu :
1. Manusia dan kemanusiaan (klien)
Manusia tersusun atas jasad (fisik) dan jiwa (roh), namun demikian sebenarnya manusia adalah makhluk yang diciptakan sempurna dan utuh meliputi bio-psiko sosio dan spiritual. Komponen fisik adalah komponen yang mempunyai wujud dan membutuhkan sesuatu untuk kelangsungan hidup seperti bernapas, minum, makan, melihat, mendengar dan lain sebagainya. Komponen roh merupakan komponen yang tak berujud dan kita wajib meyakini keberadaannya.
2. Lingkungan
Lingkungan terdiri dari dua bagian yaitu lingkungan internal dan lingkungan eksternal.
a. Lingkungan internal
· Genetika adalah lingkungan dalam diri manusia yang mempengaruhi unsure-unsur sifat dan struktur fungsi tubuh.
· Struktur dan fungsi tubuh merupakan komponen yang membentuk manusia, meliputi, system tulang, integumen, cardiovaskuler, respirasi, urinaria, eliminasi, gastrointestinal, persyarafan, endokrin dan system tubuh lainnya.
· Psikologis merupakan usnsur internal yang terdapat dalam diri manusia, yang memberikan warna tersendiri pada saat manusia berperilaku.
· Spiritual merupakan unsure hakiki sebagai modal dasar dalam menjalankan kehidupan.
b. Lingkungan eksternal
Lingkungan eksternal adalah lingkungan diluar manusia yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia secara langsung ataupun tidak langsung, begitu juga dengan pelaksanaan profesi keperawatan. Komponen yang terdapat dalam lingkungan eksternal adalah :
· Lingkungan biologis ( mahluk hidup ), yang berada dilingkungan manusia itu yang dapat mempengaruhi kesehatan baik sebagai reservoir atau agent.
· Lingkungan fisik, lingkungan selain makhluk hidup yang ada disekitar manusia yang dapat mempengaruhi manusia. Contoh : angin, air, udara, gunung, tanah, batu api dan benda-benda mati lainnya.
· Lingkungan social adalah lingkungan yang memungkinkan terjadinya interaksi antar sesama manusia sehinga terbentuk tatanan kehidupan bermasyarakat yang dinamis. Dari interaksi itu akan tertanam perilaku, nilai-nilai/norma yang akan dianut oleh manusia dalam lingkungannya.
· Lingkungan spiritual, adalah lingkungan yang dapat mendorong manusia untuk berperilaku seperti kaidah-kaidah yang diyakini dalam ajarannya. ( Al Quran, Injil, Zabur, Taurat, dan …… )
3. Kesehatan
· Kesehatan adalah karunia Tuhan yang harus disyukuri, dipelihara, dilindungi dan ditingkatkan.
· Kesehatan adalah hak azasi dan sekaligus investasi serta modal utama untuk berkarya dan beraktifitas secara produktif.
· Kesehatan adalah tujuan hidup manusia dan keperawatan.
4. Keperawatan
Pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio psiko sosio spiritual yang komprehensif yang ditujukan kepada individu, kelompok dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.

C. Konsep Paradigma
Terdapat berbagai macam teori yang menggambarkan/menjelaskan komponen-komponen yang terdapat dalam paradigma keperawatan, perbedaan itu terlatak pada penekanan pada salah satu komponen dari paradigma keperawatan.
Klien
Keperawatan Kesehatan
Lingkungan
Florence Nightingale (1859)


Klien
Keperawatan Kesehatan
Lingkungan
Pada awal tahun 1950 teori paradigma keperawatan berubah dimana dimana penekanan yang pada awalnya pada factor lingkungan beralih pada sifat dan hubungan perawat-klien. Penganut pandangan ini adalah :
1. Peplan (1952), memperkenalkan teori interpersonal sebagai dasar perawat dalam menganalisa proses interaksi dalam berhubungan dengan klien.
2. Orlande (1961), menggunakan teori komunikasi dalam menjelaskan “ A DELIBRATE NURSING APPROACH “
3. Johmson (1961), equilibrium atau stabilitas sebagai tujuan asuhan keperawatan.
4. Roy (1970), peran perawat dalam membantu pasien dalam mengembangkan adaptasi.
5. Rogers (1970), konsep manusia yang unik, manusia dan lingkungan takdapat dipisahkan, saling mempengaruhi dan bekerjasama dalam proses perubahan.
6. King (1971), Proses transaksi yang kompleks perawat-klien.
7. Orem (1971), meningkatkan kemandirian pasien untuk merawat dirinya sendiri.

Klien

Keperawatan Kesehatan


Lingkungan

Komponen paradigma keperawatan modern

Klien ( manusia )

Keperawatan Kesehatan

Lingkungan






KEPERAWATAN SEBAGAI PROFESI
Oleh : Dafid Arifiyanto


A. Pengertian Profesi
Profesi adalah suatu pekerjaan yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat dan bukan untuk kepentingan golongan atau kelompok tertentu. Profesi sangat mementingkan kesejahteraan orang lain, dalam konteks bahasan ini konsumen sebagai penerima jasa pelayanan keperawatan professional.
Menurut Webster profesi adalah pekerjaan yang memerlukan pendidikan yang lama dan menyangkut ketrampilan intelaktual.
Kelly dan Joel, 1995 menjelaskan professional sebagai suatu karakter, spirit atau metode professional yang mencakup pendidikan dan kegiatan diberbagai kelompok okupasi yang angotanya berkeinginan menjadi professional. Professional merupakan suatu proses yang dinamis untuk memenuhi atau mengubah karakteristik kearah suatu profesi.

B. Karakteristik Profesi
1. Gary dan Pratt (1991), Kiozer Erb dan Wilkinson (1995) mengemukakan karakteristik professional sebagai berikut :
a. Konsep misi yang terbuka terhadap perubahan
b. Penguasaan dan penggunaan pengetahuan teoritis
c. Kemampuan menyelesaikan masalah
d. Pengembangan diri secara berkesinambungan
e. Pendidikan formal
f. System pengesahan terhadap kompetensi
g. Penguatan secara legal terhadap standart professional
h. Praktik berdasarkan etik
i. Hukum terhadap malpraktik
j. Penerimaan dan pelayanan pada masyarakat
k. Perbedaan peran antara pekerja professional dengan pekerjaan lain dan membolehkan praktik yang otonom.




2. Menurut Lindberg, Hunter dan Kruszewski (1993), Leddy dan Pepper (1993) serta Berger dan Williams (1992), keperawatan sebagai suatu profesi memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Kelompok pengetahuan yang melandasi keterampilan untuk menyelesaikan masalah dalam tatanan praktik keperawatan.
Pada awalnya praktik keperawatan dilandasi oleh ketrampilan yang bersifat intuitif. Sebagai suatu disiplin, sekarang keperawatan disebut sebagai suatu ilmu dimana keperawatan banyak sekali menerapkan ilmu-ilmu dasar seperti ilmu perilaku, social, fisika, biomedik dan lain-lain. Selain itu keperawatan juga mempelajari pengetahuan inti yang menunjang praktik keperawatan yaitu fungsi tubuh manusia yang berkaitan dengan sehat dan sakit serta pokok bahasan pemberian asuhan keperawatan secara langsung kepada klien.
b. Kemampuan memberikan pelayanan yang unik kepada masyarakat.
Fungsi unik perawat adalah memberikan bantuan kepada sesorang dalam melakukan kegiatan untuk menunjang kesehatan dan penyembuhan serta membantu kemandirian klien.
c. Pendidikan yang mmenuhi standart dan diselenggarakan di perguruan tinggi atau universitas.
Beralihnya pendidikan keperawatan kepada institusi pendidikan tinggi memberikan kesempatan kepada perawat untuk mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan intelektual, interpersonal dan tehnikal yang memungkinkan mereka menjalankan peran dengan lebih terpadu dalam pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan berkesinambungan. Disampingg itu perawat dituntut untuk mengembangkan Iptek keperawatan.
d. Pengendalian terhadap standart praktik.
Standart adalah pernyatan atau criteria tentang kualitas praktik. Standart praktik keperawatan menekankan kpada tangung jawab dan tangung gugat perawat untuk memenuhi standart yang telah ditetapkan yang bertujuan menlindungi masyarakat maupun perawat. Perawat bekerja tidak dibawah pengawasan dan pengendalian profesi lain.
e. Bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukan.
Tangung gugat accountable berarti perawat bertanggung jawab pelayanan yang diberikan kepada klien. Tanggung gugat mengandung aspek legal terhadap kelompok sejawat, atasan dan konsumen. Konsep tangung gugat mempunyai dua implikasi yaitu bertanggung jawab terhadap konsekuensi dari tindakan yang dilakukan dan juga menerima tanggung jawab dengan tidak melakukan tindakan pada situasi tertentu.
f. Karir seumur hidup
Dibedakan dengan tugas/job yang merupakan bagian dari pekerjaan rutin. Perawat bekerja sebagai tenaga penuh yang dibekali dengan pendidikan dan ketrampilan yang menjadi pilihannya sendiri sepanjang hayat.
g. Fungsi mandiri
Perawat memiliki kewenangan penuh melakukan asuhan keperawatan walaupun kegiatran kolaborasi dengan profesilain kadang kala dilakukan dimana itu semua didasarkan kepada kebutuhan klien bukan sebagai ekstensi intervensi profesi lain.

C. Perkembangan Profesionalisme Keperawatan
Melihat catatan sejarah tentang awal mula keberadaan perawat di Indonesia, yang diperkirakan baru bermula pada awal abad ke 19, dimana disebutkan adanya perawat saat itu adalah dikarenakan adanya upaya tenaga medis untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik sehingga diperlukan tenaga yang dapat membantu atau tenaga pembantu. Tenaga tersebut dididik menjadi seorang perawat melalui pendidikan magang yang berorientasi pada penyakit dan cara pengobatannya. Sampai dengan perkembangan keperawatan di Indonesia pada tahun 1983 PPNI melakukan Lokakarya Nasional Keperawatan di Jakarta, melalui lokakarya tersebut prawat bertekad dan bersepakat menyatakan diri bahwa keperawatan adalah suatu bidang keprofesian.
Perkembangan profesionalisme keperawatan di Indonesia berjalan seiring dengan perkembangan pendidikan keperawatan yang ada di Indonesia. Pengakuan perawat profesionalan pemula adalah bagi mereka yang berlatar belakang pendidikan Diploma III keperawatan. Program ini menghasilkan perawat generalis sebagai perawat professional pemula, dikembangkan dengan landasan keilmuan yang cukup dan landasan professional yang kokoh.
Perkembangan pendidikan keperawatan dalam rangka menuju tingkat keprofesionalitasan tidak cukup sampai di tingkat diplima saja, di ilhami keinginan dari profesi keperawatan untuk terus mengembangkan pendidikan maka berdirilah PSIK FK-UI (1985) dan kemudian disusul dengan pendirian program paska sarjana FIK UI (1999).
Peningkatan kualitas organisasi profesi keperawatan dapat dilakukan melalui berbagai cara dan pendekatan antara lain :
1. Mengembangkan system seleksi kepengurusan melalui pnetapan criteria dari berbagai aspek kemampuan, pendidikan, wawasan, pandangan tentang visi dan misi organisasi, dedikasi serta keseterdiaan waktu yang dimiliki untuk organisasi.
2. Memiliki serangkaian program yang kongkrit dan diterjemahkan melalui kegiatan organisasi dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah. Prioritas utama adalah rogram pendidikan berkelanjutan bagi para anggotanya.
3. Mengaktifkan fungsi collective bargaining, agar setiap anggota memperoleh penghargaan yang sesuai dengan pendidikan dan kompensasi masing-masing.
4. Mengembangkan program latihan kepemimpinan, sehingga tenaga keperawatan dapat berbicara banyak dan memiliki potensi untuk menduduki berbagai posisi di pemerintahan atau sector swasta.
5. Meningkatkan kegiatan bersama dengan organisasi profesi keperawatan di luar negeri, bukan anya untuk pengurus pusat saja tetapi juga mengikut sertakan pengurus daerah yang berpotensi untuk dikembangkan.

D. Pohon Ilmu ( Body of Knowledge )
Pohon ilmu dari keperawatan adalah ilmu keperawatan itu sendiri. Pendidikan keperawatan sebagai pendidikan profesi harus dikembangkan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu dan profesi keperawatan, yang harus memiliki landasan akademik dan landasan professional yang kokoh dan mantap.
Pengembangan pendidikan keperawatan bertolak dari pengertian dasar tentang ilmu keperawatan seperti yang dirumuskan oleh Konsorsium Ilmu kesehatan (1991) yaitu : “ Ilmu keperawatan mencakup ilmu-ilmu dasar seperti ilmu alam, ilmu social, ilmu perilaku, ilmu biomedik, ilmu kesehatan masyarakat, ilmu dasar keperawatan, ilmu keperawatan komunitas dan ilmu keperawatan klinik, yang apluikasinya menggunakan pendekatan dan metode penyelesaian masalah secara ilmiah, ditujukan untuk mempertahankan, menopang, memelihara dan meningkatkan integritas seluruh kebutuhan dasar manusia “.
Wawasan ilmu keperawatan mencakup ilmu-ilmu yang mempelajari bentuk dan sebab tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, melalui pengkajian mendasar tentang hal-hal yang melatar belakangi, serta mempelajari berbagai bentuk upaya untuk mencapai kebutuhan dasar tersebut melalui pemanfaatan semua sumber yang ada dan potensial.
Bidang garapan dan fenomena yang menjadi objek studi keperawatan adalah penyimpangan dan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (bio-psiko-sosio-spiritual), mulai dari tingkat individu tang utuh (mencakup seluruh siklus kehidupan), sampai pada tingkat masyarakat, yang juga tercermin pada tidak terpenuhinya kebutuhan dasar pada tingkat system organ fungsional sampai sub seluler atau molekuler.






E. Cerminan Perawat Profesional
Cerminan nilai professional perawat dalam praktik keperawatan dikelompokkan dalam nilai intelektual dan nilai komitmen moral interpersonal, sebagai berikut :
1. Nilai intelektual
Nilai intelektual dalam prtaktik keperawatan terdiri dari
a. Body of Knowledge
b. Pendidikan spesialisasi (berkelanjutan)
c. Menggunakan pengetahuan dalam berpikir secara kritis dan kreatif.
2. Nilai komitmen moral
Pelayanan keperawatan diberikan dengan konsep altruistic, dan memperhatikan kode etik keperawatan. Menurut Beauchamp & Walters (1989) pelayanan professional terhadap masyarakat memerlukan integritas, komitmen moral dan tanggung jawab etik.
Aspek moral yang harus menjadi landasan perilaku perawat adalah :
a. Beneficience
Perawat selalu mengupayakan keputusan yang dibuat berdasarkan keinginan melakukan yang terbaik dan tidak merugikan klien. (Johnstone, 1994)
b. Fair
Tidak mendeskriminasikan klien berdasarkan agama, ras, social budaya, keadaan ekonomi dan sebagainya, tetapi memprlakukan klien sebagai individu yang memerlukan bantuan dengan keunikan yang dimiliki.
c. Fidelity
Berperilaku caring (peduli, kasih sayang, perasaan ingin membantu), selalu berusaha menepati janji, memberikan harapan yang memadahi, komitmen moral serta memperhatikan kebutuhan spiritual klien.












KONSEP SEHAT - SAKIT
Oleh : Dafid Arifiyanto


Konsep Sehat
A. Pengertian
1. Sehat menurut WHO 1974
Kesehatan adalah keadaan sempurna baik fisik, mental, social bukan hanya bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan.
2. UU N0. 23/1992 tentang kesehatan
kesehatan adalah suatu keadaan sejahtera dari badan (jasmani), jiwa (rohani) dan social yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara social dan ekonomis.
3. Pepkin’s
Sehat adalah suatu keadaan keseimbangan yang dinamis antara bentuk tubuh dan fungsi yang dapat mengadakan penyesuaian, sehingga dapat mengatasi gangguan dari luar.
4. Kesehatan mental menurut UU No.3/1961 adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain.
5. Kesehatan social adalah suatu kemampuan untuk hidup bersama dengan masyarakat dilingkungannya.
6. Kesehatan fisik adalah suatu keadaan dimana bentuk fisik dan fungsinya tidak ada ganguan sehingga memungkinkan perkembangan psikologis, dan social serta dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari dengan optimal.

Sesuai dengan pengertian sehat di atas dapat di simpulkan bahwa kesehatan terdiri dari 3 dimensi yaitu fisik, psikis dan social yang dapat diartikan secara lebih positif, dengan kata lain bahwa seseorang diberi kesempatan untuk mengembangkan seluas-luasnya kemampuan yang dibawanya sejak lahir untuk mendapatkan atau mengartikan sehat.
Meskipun terdapat banyak pengertian/definisi, konsep sehat adalah tidak standart atau baku serta tidak dapat diterima secara mutlak dan umum. Apa yang dianggap normal oleh seseorang masih mungkin dinilai abnormal oleh orang lain, masing-masing orang/kelompok/masyarakat memiliki patokan tersendiri dalam mengartikan sehat. Banyak orang hidup sehat walau status ekonominya kekurangan, tinggal ditempat yang kumuh dan bising, mereka tidak mengeluh adanya gangguan walau setelah ditimbang berat badanya dibawah normal. Penjelasan ini menunjukan bahwa konsep sehat bersifat relatif yang bervariasi sangat luas antara sesama orang walau dalam satu ruang/wilayah.
Sehat tidak dapat diartikan sesuatu yang statis, menetap pada kondisi tertentu, tetapi sehat harus dipandang sesuatu fenomena yang dinamis. Kesehatan sebagai suatu spectrum merupakan suatu kondisi yang fleksibel antara badan dan mental yang dibedakan dalam rentang yang selalu berfluktuasi atau berayun mendekati dan menjauhi puncak kebahagiaan hidup dari keadaan sehat yang sempurna.
Sehat sebagai suatu spectrum, Pepkins mendefinisikan sehat sebagai keadaan keseimbangan yang dinamis dari badan dan fungsi-fungsinya sebagai hasil penyesuaian yang dinamis terhadap kekuatan-kekuatan yang cenderung menggangunya. Badan seseorang bekerja secara aktif untuk mempertahankan diri agar tetap sehat sehingga kesehatan selalu harus dipertahankan. Berikut adalah tahap-tahap spectrum kesehatan :

Positive Health
Better Health
Freedom from Sickness
Spektrum
Kesehatan
Unrecognized Sickness
Mild Sickness
Severe Sickness
Death

Konsep Sakit
A. Pengertian
1. Perkins mendefinisikan sakit sebagai suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang menimpa seseorang sehingga seseorang menimbulkan gangguan aktivtas sehari-hari baik aktivitas jasmani, rohani dan social
2. R. Susan mendefinisikan sakit adalah tidak adanya keserasian antara lingkungan dan individu.
3. Oxford English Dictionary mengartikan sakit sebagai suatu keadaan dari badan atau sebagian dari organ badan dimana fungsinya terganggu atau menyimpang.





Keadaan sehat – Sakit
A. Kontinum Sehat - sakit
Status kesehatan seseorang terletak antara dua kutub yaitu “ sehat optimal dan “ kematian “, yang sifatnya dinamis. Bila kesehatan seseorang bergerak kekutub kematian maka seseorang berada pada area sakit (illness area) dan bila status kesehatan bergerak kearah sehat (optimal well being) maka seseorang dalam area sehat (wellness area).

Kematian Sehat

Illness area Wellness area

B. Mempertahankan status kesehatan
1. Sesuai dengan sifat sehat-sakit yang dinamis, maka keadaan seseorang dapat dibagi menjadi sehat optimal, sedikit sehat, sedikit sakit, sakit berat dan meninggal.
2. Bila seseorang dalam area sehat maka perlu diupayakan pencegahan primer (primary prevention) yang meliputi health promotion dan spesific protection guna mencegah terjadinya sakit.
3. Bila seseorang dalam area sakit perlu diupayakan pencegahan sekunder dan tersier yaitu early diagnosisand promt treatment, disability limitation dan rehabilitation.

C. Factor yang berpengaruh terhadap perunbahan sehat sakit
A. Blum, mengemukakan terdapat 6 faktor yang mempengaruhi status sehat-sakit, yaitu :
1. Faktor politik meliputi keamanan, tekanan, tindasan dll.
2. Faktor perilaku manusia meliputi kebutuhan manusia, kebiasaan manusia, adat istiadat.
3. Faktor keturunan meliputi genetic, kecacatan, etnis, fator resiko, ras dll.
4. Factor pelayanan kesehatan meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
5. Faktor lingkungan meliputi udara, air, sungai dll.
6. Factor social ekonomi meliputi pendidikan, pekerjaan dll.







D. Tingkat Pencegahan
Dalam perkembangan selanjutnya untuk mengatasi masalah kesehatan termasuk penyakit di kenal tiga tahap pencegahan:
Pencegahan primer: promosi kesehatan (health promotion) dan perlindungan khusus (specific protection).
Pencegahan sekunder: diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment), pembatasan cacat (disability limitation)
Pencegahan tersier: rehabilitasi.
1. Pencegahan primer dilakukan pada masa individu belum menderita sakit, upaya yang dilakukan ialah:
a. Promosi kesehatan/health promotion yang ditujukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap masalah kesehatan.
b. Perlindungan khusus (specific protection): upaya spesifik untuk mencegah terjadinya penularan penyakit tertentu, misalnya melakukan imunisasi, peningkatan ketrampilan remaja untuk mencegah ajakan menggunakan narkotik dan untuk menanggulangi stress dan lain-lain.
2. Pencegahan sekunder dilakukan pada masa individu mulai sakit
a. Diagnosa dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment), tujuan utama dari tindakan ini ialah 1) mencegah penyebaran penyakit bila penyakit ini merupakan penyakit menular, dan 2) untuk mengobati dan menghentikan proses penyakit, menyembuhkan orang sakit dan mencegah terjadinya komplikasi dan cacat.
b. Pembatasan cacat (disability limitation) pada tahap ini cacat yang terjadi diatasi, terutama untuk mencegah penyakit menjadi berkelanjutan hingga mengakibatkan terjadinya cacat yang lebih buruk lagi.
3. Pencegahan tersier
a. Rehabilitasi, pada proses ini diusahakan agar cacat yang di derita tidak menjadi hambatan sehingga individu yang menderita dapat berfungsi optimal secara fisik, mental dan sosial.
Adapun skema dari ketiga upaya pencegahan itu dapat di lihat pada gambar dua. Pada gambar dua proses perjalanan penyakit dibedakan atas a) fase sebelum orang sakit: yang ditandai dengan adanya keseimbangan antara agen (kuman penyakit, bahan berbahaya), host/tubuh orang dan lingkungan dan b) fase orang mulai sakit: yang akhirnya sembuh atau mati.
Gambar dua: Tingkat pencegahan penyakit (sumber: Leavel and clark, 1958)
Promosi kesehatan dilakukan melalui intervensi pada host/tubuh orang misalnya makan makanan bergizi seimbang, berperilaku sehat, meningkatkan kualitas lingkungan untuk mencegah terjadinya penyakit misalnya menghilangkan tempat berkembang biaknya kuman penyakit, mengurangi dan mencegah polusi udara, menghilangkan tempat berkembang biaknya vektor penyakit misalnya genangan air yang menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk Aedes, atau terhadap agent penyakit seperti misalnya dengan memberikan antibiotika untuk membunuh kuman.
Perlindungan khusus dilakukan melalui tindakan tertentu misalnya imunisasi atau proteksi pada bahan industri berbahaya dan bising . Melakukan kegiatan kumur-kumur dengan larutan flour untuk mencegah terjadinya karies pada gigi. Sedangkan terhadap kuman penyakit misalnya mencuci tangan dengan larutan antiseptik sebelum operasi untuk mencegah infeksi, mencuci tangan dengan sabun sebelum makan untuk mencegah penyakit diare.
Diagnosa dini dilakukan melalui proses skrining seperti misalnya skrining kanker payudara, kanker rahim, adanya penyakit-penyakit tertentu pada masa kehamilan, sehingga pengobatan dapat dilakukan saat dini dan akibat buruknya dapat dicegah.
Kadang-kadang batas dari ketiga tahap pencegahan itu tidak jelas sehingga ada kegiatan yang tumpang tindih dapat digolongkan pada perlindungan khusus akan tetapi juga dapat digolongkan pada diagnosa dini dan pengobatan segera misalnya pengobatan lesi prekanker pada rahim dapat termasuk pengobatan dini dapat juga perlindungan khusus.
Selain upaya pencegahan primer, sekunder dan tersier yang dikalangan kesehatan dokter, perawat dan praktisi kesehatan masyarakat dikenal sebagai lima tingkat pencegahan, juga dikenal empat tahapan kegiatan untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat, empat tahapan itu (Rossenberg, Mercy and Annest, 1998) ialah:
Apa masalahnya (surveillance). Identifikasi masalah, apa masalahnya, kapan terjadinya, dimana, siapa penderitanya, bagaimana terjadinya, kapan hal itu terjadi apakah ada kaitannya dengan musim atau periode tertentu.
Mengapa hal itu terjadi (Identifikasi faktor resiko). Mengapa hal itu lebih mudah terjadi pada orang tertentu, faktor apa yang meningkatkan kejadian (faktor resiko) dan faktor apa yang menurunkan kejadian (faktor protektif).
Apa yang berhasil dilakukan (evaluasi intervensi). Atas dasar kedua langkah terdahulu, dapat di rancang upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya masalah, menanggulangi dengan segera penderita dan melakukan upaya penyembuhan dan pendampingan untuk menolong korban dan menilai keberhasilan tindakan itu dalam mencegah dan menanggulangi masalah.
Bagaimana memperluas intervensi yang efektif itu (implementasi dalam skala besar). Setelah diketahui intervensi yang efektif, tindakan selanjutnya bagaimana melaksanakan intervensi itu di pelbagai tempat dan setting dan mengembangkan sumber daya untuk melaksanakannya.
Gambar 3. Empat tahapan kegiatan kesehatan masyarakat
Masalah
Response
Sumber: Rossenberg, Mercy and Annest, 1998
SEHAT SAKIT DILIHAT DARI PERSEPTUAL BUDAYA

Diasmpaikan Kembali Oleh : Dafid Arifiyanto




PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna ercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Dan kesehatan yang demikian yang menjadi dambaan setiap orang sepanjang hidupnya. Tetapi datangnya penyakit merupakan hal yang tidak bisa ditolak meskipun kadang-kadang bisa dicegah atau dihindari. Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena ada faktor-faktor lain di luar kenyataan klinis yang mempengaruhinya terutama faktor sosial budaya. Kedua pengertian saling mempengaruhi dan pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam konteks pengertian yang lain.
Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran, dan lain-lain bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memberikan pengertian tentang konsep sehat dan sakit ditinjau dari masing-masing disiplin ilmu. Masalah sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan manusia beradap-tasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun sosio budaya.
UU No.23,1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa : Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa merupakan bagian integral kesehatan. Definisi sakit: seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit menahun (kronis), atau gangguan kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas kerja/kegiatannya terganggu. Walaupun seseorang sakit (istilah sehari-hari) seperti masuk angin, pilek, tetapi bila ia tidak terganggu untuk melaksanakan kegiatannya, maka ia dianggap tidak sakit.


MASALAH SEHAT DAN SAKIT
Masalah kesehatan merupakan masalah kompleks yang merupakan resultante dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah buatan manusia, sosial budaya, perilaku, populasi penduduk, genetika, dan sebagainya. Derajat kesehatan masyarakat yang disebut sebagai psycho socio somatic health well being, merupakan resultante dari 4 faktor yaitu :
1. Environment atau lingkungan.
2. Behaviour atau perilaku, Antara yang pertama dan kedua dihubungkan dengan ecological balance.
3. Heredity atau keturunan yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi penduduk, dan sebagainya.
4. Health care service berupa program kesehatan yang bersifat preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif.

Dari empat faktor tersebut di atas, lingkungan dan perilaku merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya (dominan) terhadap tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kelas sosial, perbedaan suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan yang sama (yang ditentukan secara klinis), bergantung dari variabel-variabel tersebut dapat menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan pasien.
Pengertian sakit menurut etiologi naturalistik dapat dijelaskan dari segi impersonal dan sistematik, yaitu bahwa sakit merupakan satu keadaan atau satu hal yang disebabkan oleh gangguan terhadap sistem tubuh manusia. Pernyataan tentang pengetahuan ini dalam tradisi klasik Yunani, India, Cina, menunjukkan model keseimbangan (equilibrium model) seseorang dianggap sehat apabila unsur-unsur utama yaitu panas dingin dalam tubuhnya berada dalam keadaan yang seimbang. Unsur-unsur utama ini tercakup dalam konsep tentang humors, ayurveda dosha, yin dan yang. Departemen Kesehatan RI telah mencanangkan kebijakan baru berdasarkan paradigma sehat

1. Paradigma sehat adalah
Cara pandang atau pola pikir pembangunan kesehatan yang bersifat holistik, proaktif antisipatif, dengan melihat masalah kesehatan sebagai masalah yang dipengaruhi oleh banyak faktor secara dinamis dan lintas sektoral, dalam suatu wilayah yang berorientasi kepada peningkatan pemeliharaan dan perlindungan terhadap penduduk agar tetap sehat dan bukan hanya penyembuhan penduduk yang sakit. Pada intinya paradigma sehat memberikan perhatian utama terhadap kebijakan yang bersifat pencegahan dan promosi kesehatan, memberikan dukungan dan alokasi sumber daya untuk menjaga agar yang sehat tetap sehat namun tetap mengupayakan yang sakit segera sehat. Pada prinsipnya kebijakan tersebut menekankan pada masyarakat untuk mengutamakan kegiatan kesehatan dari pada mengobati penyakit. Telah dikembangkan pengertian tentang penyakit yang mempunyai konotasi biomedik dan sosio kultural
Dalam bahasa Inggris dikenal kata disease dan illness sedangkan dalam bahasa Indonesia, kedua pengertian itu dinamakan penyakit. Dilihat dari segi sosio kultural terdapat perbedaan besar antara kedua pengertian tersebut. Dengan disease dimaksudkan gangguan fungsi atau adaptasi dari proses-proses biologik dan psikofisiologik pada seorang individu, dengan illness dimaksud reaksi personal, interpersonal, dan kultural terhadap penyakit atau perasaan kurang nyaman
Para dokter mendiagnosis dan mengobati disease, sedangkan pasien mengalami illness yang dapat disebabkan oleh disease illness tidak selalu disertai kelainan organik maupun fungsional tubuh.
Tulisan ini merupakan tinjauan pustaka yang membahas pengetahuan sehat-sakit pada aspek sosial budaya dan perilaku manusia; serta khusus pada interaksi antara beberapa aspek ini yang mempunyai pengaruh pada kesehatan dan penyakit. Dalam konteks kultural, apa yang disebut sehat dalam suatu kebudayaan belum tentu disebut sehat pula dalam kebudayaan lain. Di sini tidak dapat diabaikan adanya faktor penilaian atau faktor yang erat hubungannya dengan sistem nilai.


KONSEP SEHAT SAKIT MENURUT BUDAYA MASYARAKAT
Istilah sehat mengandung banyak muatan kultural, sosial dan pengertian profesional yang beragam. Dulu dari sudut pandangan kedokteran, sehat sangat erat kaitannya dengan kesakitan dan penyakit. Dalam kenyataannya tidaklah sesederhana itu, sehat harus dilihat dari berbagai aspek. WHO melihat sehat dari berbagai aspek.
Definisi WHO (1981): Health is a state of complete physical, mental and social well-being, and not merely the absence of disease or infirmity. WHO mendefinisikan pengertian sehat sebagai suatu keadaan sempurna baik jasmani, rohani, maupun kesejahteraan sosial seseorang.
Sebatas mana seseorang dapat dianggap sempurna jasmaninya ?, Oleh para ahli kesehatan, antropologi kesehatan dipandang sebagai disiplin biobudaya yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosial budaya dari tingkah laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara keduanya sepanjang sejarah kehidupan manusia yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit. Penyakit sendiri ditentukan oleh budaya: hal ini karena penyakit merupakan pengakuan sosial bahwa seseorang tidak dapat menjalankan peran normalnya secara wajar. Cara hidup dan gaya hidup manusia merupakan fenomena yang dapat dikaitkan dengan munculnya berbagai macam penyakit, selain itu hasil berbagai kebudayaan juga dapat menimbulkan penyakit.
Masyarakat dan pengobat tradisional menganut dua konsep penyebab sakit, yaitu: Naturalistik dan Personalistik. Penyebab bersifat Naturalistik yaitu seseorang menderita sakit akibat pengaruh lingkungan, makanan (salah makan), kebiasaan hidup, ketidak seimbangan dalam tubuh, termasuk juga kepercayaan panas dingin seperti masuk angin dan penyakit bawaan. Konsep sehat sakit yang dianut pengobat tradisional (Battra) sama dengan yang dianut masyarakat setempat, yakni suatu keadaan yang berhubungan dengan keadaan badan atau kondisi tubuh kelainan-kelainan serta gejala yang dirasakan. Sehat bagi seseorang berarti suatu keadaan yang normal, wajar, nyaman, dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan gairah. Sedangkan sakit dianggap sebagai suatu keadaan badan yang kurang menyenangkan, bahkan dirasakan sebagai siksaan sehingga menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti halnya orang yang sehat.
Sedangkan konsep Personalistik menganggap munculnya penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi suatu agen aktif yang dapat berupa makhluk bukan manusia (hantu, roh, leluhur atau roh jahat), atau makhluk manusia (tukang sihir, tukang tenung).
Menelusuri nilai budaya, misalnya mengenai pengenalan kusta dan cara perawatannya. Kusta telah dikenal oleh etnik Makasar sejak lama. Adanya istilah kaddala sikuyu (kusta kepiting) dan kaddala massolong (kusta yang lumer), merupakan ungkapan yang mendukung bahwa kusta secara endemik telah berada dalam waktu yang lama di tengah-tengah masyarakat tersebut.
Hasil penelitian kualitatif dan kuantitatif atas nilai-nilai budaya di Kabupaten Soppeng, dalam kaitannya dengan penyakit kusta (Kaddala,Bgs.) di masyarakat Bugis menunjukkan bahwa timbul dan diamalkannya leprophobia secara ketat karena menurut salah seorang tokoh budaya, dalam nasehat perkawinan orang-orang tua di sana, kata kaddala ikut tercakup di dalamnya. Disebutkan bahwa bila terjadi pelanggaran melakukan hubungan intim saat istri sedang haid, mereka (kedua mempelai) akan terkutuk dan menderita kusta/kaddala. Ide yang bertujuan guna terciptanya moral yang agung di keluarga baru, berkembang menuruti proses komunikasi dalam masyarakat dan menjadi konsep penderita kusta sebagai penanggung dosa. Pengertian penderita sebagai akibat dosa dari ibu-bapak merupakan awal derita akibat leprophobia. Rasa rendah diri penderita dimulai dari rasa rendah diri keluarga yang merasa tercemar bila salah seorang anggota keluarganya menderita kusta. Dituduh berbuat dosa melakukan hubungan intim saat istri sedang haid bagi seorang fanatik Islam dirasakan sebagai beban trauma psikosomatik yang sangat berat.
Orang tua, keluarga sangat menolak anaknya didiagnosis kusta. Pada penelitian Penggunaan Pelayanan Kesehatan Di Propinsi Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat (1990), hasil diskusi kelompok di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa anak dinyatakan sakit jika menangis terus, badan berkeringat, tidak mau makan, tidak mau tidur, rewel, kurus kering. Bagi orang dewasa, seseorang dinyatakan sakit kalau sudah tidak bisa bekerja, tidak bisa berjalan, tidak enak badan, panas dingin, pusing, lemas, kurang darah, batuk-batuk, mual, diare. Sedangkan hasil diskusi kelompok di Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa anak sakit dilihat dari keadaan fisik tubuh dan tingkah lakunya yaitu jika menunjukkan gejala misalnya panas, batuk pilek, mencret, muntah-muntah, gatal, luka, gigi bengkak, badan kuning, kaki dan perut bengkak.
Seorang pengobat tradisional yang juga menerima pandangan kedokteran modern, mempunyai pengetahuan yang menarik mengenai masalah sakit-sehat. Baginya, arti sakit adalah sebagai berikut: sakit badaniah berarti ada tanda-tanda penyakit di badannya seperti panas tinggi, penglihatan lemah, tidak kuat bekerja, sulit makan, tidur terganggu, dan badan lemah atau sakit, maunya tiduran atau istirahat saja. Pada penyakit batin tidak ada tanda-tanda di badannya, tetapi bisa diketahui dengan menanyakan pada yang gaib. Pada orang yang sehat, gerakannya lincah, kuat bekerja, suhu badan normal, makan dan tidur normal, penglihatan terang, sorot mata cerah, tidak mengeluh lesu, lemah, atau sakit-sakit badan.
Sudarti (1987) menggambarkan secara deskriptif persepsi masyarakat beberapa daerah di Indonesia mengenai sakit dan penyakit; masyarakat menganggap bahwa sakit adalah keadaan individu mengalami serangkaian gangguan fisik yang menimbulkan rasa tidak nyaman. Anak yang sakit ditandai dengan tingkah laku rewel, sering menangis dan tidak nafsu makan. Orang dewasa dianggap sakit jika lesu, tidak dapat bekerja, kehilangan nafsu makan, atau 'kantong kering' (tidak punya uang). Selanjutnya masyarakat menggolongkan penyebab sakit ke dalam 3 bagian yaitu :
1. Karena pengaruh gejala alam (panas, dingin) terhadap tubuh manusia
2. Makanan yang diklasifikasikan ke dalam makanan panas dan dingin.
3. Supranatural (roh, guna-guna, setan dan lain-lain.).
Untuk mengobati sakit yang termasuk dalam golongan pertama dan ke dua, dapat digunakan obat-obatan, ramuan-ramuan, pijat, kerok, pantangan makan, dan bantuan tenaga kesehatan. Untuk penyebab sakit yang ke tiga harus dimintakan bantuan dukun, kyai dan lain-lain. Dengan demikian upaya penanggulangannya tergantung kepada kepercayaan mereka terhadap penyebab sakit. Beberapa contoh penyakit pada bayi dan anak sebagai berikut :
a. Sakit demam dan panas.
Penyebabnya adalah perubahan cuaca, kena hujan, salah makan, atau masuk angin. Pengobatannya adalah dengan cara mengompres dengan es, oyong, labu putih yang dingin atau beli obat influensa. Di Indramayu dikatakan penyakit adem meskipun gejalanya panas tinggi, supaya panasnya turun. Penyakit tampek (campak) disebut juga sakit adem karena gejalanya badan panas.
b. Sakit mencret (diare).
Penyebabnya adalah salah makan, makan kacang terlalu banyak, makan makanan pedas, makan udang, ikan, anak meningkat kepandaiannya, susu ibu basi, encer, dan lain-lain. Penanggulangannya dengan obat tradisional misalkan dengan pucuk daun jambu dikunyah ibunya lalu diberikan kepada anaknya (Bima Nusa Tenggara Barat) obat lainnya adalah Larutan Gula Garam (LGG), Oralit, pil Ciba dan lain-lain. Larutan Gula Garam sudah dikenal hanya proporsi campurannya tidak tepat.
c. Sakit kejang-kejang
Masyarakat pada umumnya menyatakan bahwa sakit panas dan kejang-kejang disebabkan oleh hantu. Di Sukabumi disebut hantu gegep, sedangkan di Sumatra Barat disebabkan hantu jahat. Di Indramayu pengobatannya adalah dengan dengan pergi ke dukun atau memasukkan bayi ke bawah tempat tidur yang ditutupi jaring.
d. Sakit tampek (campak)
Penyebabnya adalah karena anak terkena panas dalam, anak dimandikan saat panas terik, atau kesambet. Di Indramayu ibu-ibu mengobatinya dengan membalur anak dengan asam kawak, meminumkan madu dan jeruk nipis atau memberikan daun suwuk, yang menurut kepercayaan dapat mengisap penyakit.


KEJADIAN PENYAKIT
Penyakit merupakan suatu fenomena kompleks yang berpengaruh negatif terhadap kehidupan manusia. Perilaku dan cara hidup manusia dapat merupakan penyebab bermacam-macam penyakit baik di zaman primitif maupun di masyarakat yang sudah sangat maju peradaban dan kebudayaannya.
Ditinjau dari segi biologis penyakit merupakan kelainan berbagai organ tubuh manusia, sedangkan dari segi kemasyarakatan keadaan sakit dianggap sebagai penyimpangan perilaku dari keadaan sosial yang normatif. Penyimpangan itu dapat disebabkan oleh kelainan biomedis organ tubuh atau lingkungan manusia, tetapi juga dapat disebabkan oleh kelainan emosional dan psikososial individu bersangkutan. Faktor emosional dan psikososial ini pada dasarnya merupakan akibat dari lingkungan hidup atau ekosistem manusia dan adat kebiasaan manusia atau kebudayaan.
Konsep kejadian penyakit menurut ilmu kesehatan bergantung jenis penyakit. Secara umum konsepsi ini ditentukan oleh berbagai faktor antara lain parasit, vektor, manusia dan lingkungannya. Para ahli antropologi kesehatan yang dari definisinya dapat disebutkan berorientasi ke ekologi, menaruh perhatian pada hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan alamnya, tingkah laku penyakitnya dan cara-cara tingkah laku penyakitnya mempengaruhi evolusi kebudayaannya melalui proses umpan balik (Foster, Anderson, 1978).
Penyakit dapat dipandang sebagai suatu unsur dalam lingkungan manusia, seperti tampak pada ciri sel-sabit (sickle-cell) di kalangan penduduk Afrika Barat, suatu perubahan evolusi yang adaptif, yang memberikan imunitas relatif terhadap malaria. Ciri sel sabit sama sekali bukan ancaman, bahkan merupakan karakteristik yang diinginkan karena memberikan proteksi yang tinggi terhadap gigitan nyamuk Anopheles.


Bagi masyarakat Dani di Papua, penyakit dapat merupakan simbol sosial positif, yang diberi nilai-nilai tertentu. Etiologi penyakit dapat dijelaskan melalui sihir, tetapi juga sebagai akibat dosa. Simbol sosial juga dapat merupakan sumber penyakit. Dalam peradaban modern, keterkaitan antara simbol-simbol sosial dan risiko kesehatan sering tampak jelas, misalnya remaja merokok.
Suatu kajian hubungan antara psikiatri dan antropologi dalam konteks perubahan sosial ditulis oleh Rudi Salan (1994), berdasarkan pengalaman sendiri sebagai psikiater; salah satu kasusnya sebagai berikut : Seorang perempuan yang sudah cukup umur reumatiknya diobati hanya dengan vitamin dan minyak ikan saja dan percaya penyakitnya akan sembuh. Menurut pasien penyakitnya disebabkan karena 'darah kotor' oleh karena itu satu-satunya jalan penyembuhan adalah dengan makan makanan yang bersih , yaitu `mutih' (ditambah vitamin seperlunya agar tidak kekurangan vitamin) sampai darahnya menjadi bersih kembali. Bagi seorang dokter pendapat itu tidak masuk akal, tetapi begitulah kenyataan yang ada dalam masyarakat.


PERILAKU SEHAT DAN PERILAKU SAKIT
Penelitian-penelitian dan teori-teori yang dikembangkan oleh para antropolog seperti perilaku sehat ( health behavior ), perilaku sakit (illness behavior) perbedaan antara illness dan disease, model penjelasan penyakit (explanatory model ), peran dan karir seorang yang sakit (sick role), interaksi dokter-perawat, dokter-pasien, perawat-pasien, penyakit dilihat dari sudut pasien, membuka mata para dokter bahwa kebenaran ilmu kedokteran modern tidak lagi dapat dianggap kebenaran absolut dalam proses penyembuhan.
Perilaku sakit diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan, sedangkan perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri, penjagaan kebugaran melalui olah raga dan makanan bergizi.
Perilaku sehat diperlihatkan oleh individu yang merasa dirinya sehat meskipun secara medis belum tentu mereka betul-betul sehat. Sesuai dengan persepsi tentang sakit dan penyakit maka perilaku sakit dan perilaku sehat pun subyektif sifatnya. Persepsi masyarakat tentang sehat-sakit ini sangatlah dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu di samping unsur sosial budaya. Sebaliknya petugas kesehatan berusaha sedapat mungkin menerapkan kreteria medis yang obyektif berdasarkan gejala yang tampak guna mendiagnosis kondisi fisik individu.
PERSEPSI MASYARAKAT
Persepsi masyarakat mengenai terjadinya penyakit berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, karena tergantung dari kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat tersebut. Persepsi kejadian penyakit yang berlainan dengan ilmu kesehatan sampai saat ini masih ada di masyarakat; dapat turun dari satu generasi ke generasi berikutnya dan bahkan dapat berkembang luas.
Berikut ini contoh persepsi masyarakat tentang penyakit malaria, yang saat ini masih ada di beberapa daerah pedesaan di Papua (Irian Jaya). Makanan pokok penduduk Papua adalah sagu yang tumbuh di daerah rawa-rawa. Selain rawa-rawa, tidak jauh dari mereka tinggal terdapat hutan lebat. Penduduk desa tersebut beranggapan bahwa hutan itu milik penguasa gaib yang dapat menghukum setiap orang yang melanggar ketentuannya. Pelanggaran dapat berupa menebang, membabat hutan untuk tanah pertanian, dan lain-lain akan diganjar hukuman berupa penyakit dengan gejala demam tinggi, menggigil, dan muntah. Penyakit tersebut dapat sembuh dengan cara minta ampun kepada penguasa hutan, kemudian memetik daun dari pohon tertentu, dibuat ramuan untuk di minum dan dioleskan ke seluruh tubuh penderita. Dalam beberapa hari penderita akan sembuh.
Persepsi masyarakat mengenai penyakit diperoleh dan ditentukan dari penuturan sederhana dan mudah secara turun temurun. Misalnya penyakit akibat kutukan Allah, makhluk gaib, roh-roh jahat, udara busuk, tanaman berbisa, binatang, dan sebagainya. Pada sebagian penduduk Pulau Jawa, dulu penderita demam sangat tinggi diobati dengan cara menyiram air di malam hari. Air yang telah diberi ramuan dan jampi-jampi oleh dukun dan pemuka masyarakat yang disegani digunakan sebagai obat malaria.


PENUTUP
Cara dan gaya hidup manusia, adat istiadat, kebudayaan, kepercayaan bahkan seluruh peradaban manusia dan lingkungannya berpengaruh terhadap penyakit. Secara fisiologis dan biologis tubuh manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Manusia mempunyai daya adaptasi terhadap lingkungan yang selalu berubah, yang sering membawa serta penyakit baru yang belum dikenal atau perkembangan/perubahan penyakit yang sudah ada. Kajian mengenai konsekuensi kesehatan perlu memperhatikan konteks budaya dan sosial masyarakat .






MODEL KONSEPTUAL KEPRAWATAN

Oleh : Dafid Arifiyanto


A. Gambaran Model Konseptual Keperawatan
Model konseptual keperawatan merupakan suatu cara untuk memandang situasi dan kondisi pekerjaan yang melibatkan perawat di dalamnya. Model konseptual keperawatan memperlihatkan petunjuk bagi organisasi dimana perawat mendapatkan informasi agar mereka peka terhadap apa yang terjadi pada suatu saat dengan apa yang terjadi pada suatu saat juga dan tahu apa yang harus perawat kerjakan.
Konsep keperawatan terus dikembangkan dan diterapkan serta diuji melalui pendidikan dan praktik keperawatan. Hampir semua model keperawatan yang diaplikasikan dalam praktik keperawatan professional menggambarkan empat jenis konsep yang sama, yaitu :
1. Orang yang menerima asuhan keperawatan
2. Lingkungan (masyarakat)
3. Kesehatan (sehat/sakit, kesehatan dan penyakit)
4. Keperawatan dan peran perawat (tujuan/sasaran, peran dan fungsi)
Model keperawatan dapat diaplikasikan dalam dalam kegiatan praktik, penelitian dan pengajaran, oleh karena itu model harus diperkenalkan kepada perawat atau calon perawat guna memperkuat profesi keperawatan khususnya dalam mengkoreksi pemikiran yang salah tentang profesi keperawatan seperti : perawat sebagai pembantu dokter,, oleh karena itu model harus diperkenalkan kepada perawat atau calon perawat guna memperkuat profesi keperawatan khususnya dalam mengkoreksi pemikiran yang salah tentang profesi keperawatan seperti : perawat sebagai pembantu dokter.
Gambaran model konseptual keperawatan :
1. Florence Nightingale
a. Definisi keperawatan
Profesi untuk wanita dengan tujuan menemukan dan menggunakan hukum alam dalam pembangunan kesehatan dan pelayanan kesehatan.
b. Alasan tindakan keperawatan
Menempatkan manusia pada kondisi yang terbaik secara alami untuk menyembuhkan atau meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit dan luka.
c. Konsep individu
Merupakan kesatuan fisik, intelektual dan metafisik yang lengkap dan berpotensi.

d. Konsep sehat
Keadaan bebas dari penyakit dan dapat menggunakan kekuatannya secara penuh.
e. Konsep lingkungan
Bagian eksternal yang mempengaruhi kesehatan dan sakitnya seseorang.

2. Virginia Henderson
a. Definisi keperawatan
Bantuan yang diberikan kepada individu baik dalam keadaan sehat maupun sakit dalam kegiatannya untuk mencapai keadaan sehat atau sembuh dari penyakit sehingga ia mempunyai kekuatan, keinginan dan pengetahuan.
b. Alasan tindakan keperawatan
Pendekatan yang dilakukan untuk memenuhi 14 komponen dari keperawatan.
c. Konsep individu
Keadaan biologi dimana tidak dapat dipisahkan antara pikiran dan jasmani.
d. Konsep sehat
Kemampuan fungsi independent dalam hubungannya dengan 14 komponen.
e. Konsep lingkungan
Tidak terdefinisi dengan jelas, dapat berupa tindakan positif maupun negatif.

3. Sister Callista Roy
a. Definisi keperawatan
Suatu analisa proses dan tindakan sehubungan dengan perawatan sakit atau potensial seseorang untuk sakit.
b. Alasan tindakan keperawatan
Aktifitas keperawatan berasal dari model dimana berupa proses pengkajian dan intervensi-intervensi peran diselenggarakan dengan konteks keprawatan dan termasuk manipulasi dari stimuli.
c. Konsep individu
Keadaan biopsikososial yang berupa interaksi yang tetap dengan perubahan lingkungan, manusia bersifat sebagai system adaptif yang terbuka.
d. Konsep sehat
Rentang sehat sakit merupakan garis yang terus menerus yang menunjukan status sehat atau sakit dimana sesorang butuh pengalaman dan waktu. Sehat sakit merupakan bagian dari hidup manusia.
e. Konsep lingkungan
Suatu kondisi yang terus menerus dan mempengaruhi sekelilingnya dan perkembangan organisme serta group organisme.

4. Parsel
a. Definisi keperawatan
Ilmu dan seni yang berpusat pada kehidupan.
b. Alasan tindakan keperawatan
Partisipasi kualitatif seseorang dengan kesehatan yang pernah dialami oleh individu.
c. Konsep individu
Hubungan yang terbuka yang meluas ke dunia bebas untuk memilih situasi yang diinginkan.
d. Konsep sehat
Proses untuk mencari pengalaman seseorang.
e. Konsep lingkungan
Merupakan kerjasama untuk menghasilkan pertukaran energi yang bermutu dengan individu.

5. Myra Estrin Levine
a. Definisi keperawatan
Interaksi manusia yang berdasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah yang digunakan dalam proses keperawatan.
b. Alasan tindakan keperawatan
Perawatan individu yang bersifat holistic untuk setiap kebutuhan seseorang, seseorang mendorong perawat untuk beradaptasi.
c. Konsep individu
Interaksi dari individu yang bersifat kompleks antara lingkungan interna dan eksterna yang mengubah adaptasi.

6. Fitspatrick
a. Definisi keperawatan
Ilmu dan profesi yang mempunyai pusat tentang arti perjuangan hidup (sehat)
b. Alasan tindakan keperawatan
Berpusat pada mempertinggi proses perkembangan menuju sehat.
c. Konsep individu
Sistem terbuka, menyeluruh, yang dikarakteristikkan sebagai dasar irama hidup.
d. Konsep sehat
Perkembangan terus menerus tentang karakteristik manusia yang penuh potensi, kesadaran arti kehidupan.

e. Konsep lingkungan
Sistem terbuka dalam interaksi terus menerus dengan manusia.

7. Imogane M. King
a. Definisi keperawatan
Suatu proses interaksi manusia antara perawat dan klien.
b. Alasan tindakan keperawatan
Perawat dan klien saling mengamati dalam informasi, komuniksai, situasi, tujuan dan tindakan untuk mencapai tujuan.
c. Konsep individu
suatu system terbuka mengenai penukaran masalah, energi dan dengan lingkungan yang terbatas.
d. Konsep sehat
Aturan dinamik dari stressor dalam lingkungan eksternal dan internal melalui penggunaan optimal untuk mencapoai potensi maksimal dalam kehidupan sehari-hari.
e. Konsep lingkungan
Sustu system terbuka yang menunjukkan penukaran masalah energi, informasi dengan keberadaan manusia.
Perawat bahagia
BACA SELENGKAPNYA - Konsep dasar keperawatan I

Konsep manusia dan kebutuhan dasar

Konsep manusia dan kebutuhan dasar: "KEBUTUHAN DASAR MANUSIA (KDM)
“ Konsep Manusia dan Kebutuhan Dasar “


Oleh ; Dafid Arifiyanto


Manusia adalah satu dari sekian banyak mahluk ciptaan tuhan yang diberikan banyak kelebihan dari mahluk yang lain. Manusia adalah mahluk yang utuh dan unik. Sebagai mahluk yang utuh manusia terdiri dari bio psiko sosio dan spiritual.
Manusia adalah terdiri dari satu kesatuan yang merupakan karakteristik dan berakal, memiliki sifat-sifat yang unik yang ditimbulkan oleh berbagai macam-macam kebudayaan.
Dikatakan unik karena manusia memiliki beragai macam perbedaan dengan setiap manusia lain, mempunyai cara yang berbeda dalam upaya memenuhi kebutuhannya. Manusia sebagai mahluk individu, dimana manusia perbedaan dengan manusia lain dalam salah satu atau beberapa segi meliputi bio- psiko sosio dan spiritual.
1. Manusia sebagai mahluk biologis
Manusia adalah mahluk hidup yang lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan. Sebagai mahluk biologi manusia memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Manusia merupakan susunan sel-sel yang hidup yang membentuk satu jaringan dan jaringan akan bersatu membentuk organ dan system organ. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya manusia dipengaruhi oleh berbagai macam factor meliputi :
1). Faktor lingkungan, meliputi idiologi, politik, ekonomi, budaya, agama.
2). Faktor social, sosialisasi dengan orang lain
3). Faktor fisik : geografis, iklim/cuaca.
4). Factor fisiologis : system tubuh manusia
5). Faktor psikodinamik : kepribadian, konsep diri, cita-cita.
6). Spiritual : pandangan, motivasi, nilai-nilai.
b. Tunduk terhadap hukum alam
c. Memiliki individu
2. Manusia sebagai mahluk psikologis
a. Memiliki struktur kepribadian yang terdiri dari id, ego dan super ego
b. Dipengaruhi perasaan dan kata hati
c. Memiliki daya pikir dan kecerdasan
d. Memiliki kebutuhan psikologis agar pribadi dapat berkembang
e. Memiliki kepribadian yang unik

3. Manusia sebagai mahluk social
Manusia membutuhkan manusia lain didalam menjalani kehidupannya. Ciri-ciri mahluk sosial adalah :
a. Sebagai mahluk yang tidak dapat lepas dari orang lain manusia memiliki cipta (kemampuan untuk melakukan sesuatu), rasa (perasaan), dan karsa (tujuan).
b. Manusia hidup dalam kelompoknya (keluarga, masyarakat), manusia suci bagi manusia lain (Homosacra Res Homonim), dan engkau adalah aku (Tat Twan Asi)
c. Manusia selalu bersosialisasi, berhubungam, menyesuaikan diri, saling mencintai, menghormati, dan saling menghargai manusia lain dari masa kanak-kanak sampai dengan meningal dunia.
4. Manusia sebagai mahluk spiritual
Manusia diciptakan oleh Allah SWT, dalam bentuk yang sebaik-baiknya, memiliki jiwa yang sempurna, untuk menjadi khalifah dibumi. Bukti manusia mahluk spiritual :
a. Memiliki keyakinan dan kepercayaan
b. Menyembah tuhan

Konsep atau pemahaman tentang manusia perlu di tanamkan kepada para perawat karena pada saat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya perawat akan berhadapan dengan manusia yang utuh dan unik sebagai individu. Perawat harus menggunakan pendekatan yang komprehensif dalam mengidentifikasi kebutuhan pasien atau dalam upaya mengembangkan potensi pasien serta menolongnnya dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar.
Pada dasarnya manusia memiliki kebutuhan yang sama tetapi adakalanya suatu kebutuhan lebih penting bagi seseorang dari pada kebutuhan lainnya begitu pula dengan bagaimana cara memenuhinya. Artinya betapapun arif dan bijaksanannya ataupun bagaimana kerasnya usaha perawat ia tidak mungkin pernah bisa menyelami atau memenuhi segala sesuatu yang diperlukan oleh klien dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini disebabkan pengetahuan manusia untuk mengetahui kebutuhan orang lain sangat terbatas, namun demikian perawat dapat melakukan beberapa hal untuk dapat mengetahui kebutuhan klien, antara lain :
Menciptakan rasa kekeluargaan dengan klien
Berusaha mengerti maksud klien
Peka terhadap ekspresi non verbal klien
Mendorong kliebn mengekspresikan perasaannya
Berusaha mengenal dan menghargai klien.
Kebutuhan dasar manusia menurut Abraham Maslow
A. Maslow menyusun kebutuhan dasar manusia secara hirarkhi, dimana kebutuhan fisiologis diletakan sebagai kebutuhan yang paling dasar.
1. Kebutuhan fisiologis
Udara segar (O2), air (H2O) dan elektrolit, makanan, pengeluaran zat sisa, tidur, istirahat, latihan, kebersihan dan seksual.
2. Kebutuhan rasa aman
Perlindungan dari udara panas/dingin, cuaca jelek, kecelakaan, infeksi, alergi, terhindar dari pencurian dan mendapatkan perlindungan hukum.
3. Kebutuhan akan cinta, dicintai dan mencintai
Mendambakan kasih saying, ingin dicintai individu/kelompok dan lain sebagainya.
4. Kebutuhan harga diri
Dihargai dalam pekerjaan, profesi, kecakapan, keluarga, kelompok dan masyarakat.
5. Kebutuhan aktualisasi diri
Kepuasan bekerja sesuai dengan potensi dan dilaksanakan dengan senang hati serta jika berhasil mendapat pengakuan orang lain.






Actualization Need

Self Esteem Need
Love Need
Kebutuhan Rasa Aman


Kebutuhan Fisiologis



Manusia Sebagai Sistem
Manusia merupakan system terbuka, dimana manusia adalah mahluk yang dinamis, belajar mengembangkan diri, selalu berinteraksi dengan alam dan lingkungannya, serta saling mempengaruhi satu sehingga mengalami perkembangan bio psiko sosio dan spiritual. Tujuan utama manusia sebagai sebuah system terbuka adalah :
1. Manusia mampu pertahan hidup di dunia dan berusaha mencapai kebahagiaan lahir dan batin.
2. Manusia dapat menempatkan diri di dalam lingkungannya dalam segala situasi dan bertahan untuk dapat tetap dalam keadaan sehat.
3. Derajat kesehatan ditentukan oleh kemampuan manusia dalam menerima segala pengaruh baik dari dirinya (dalam) ataupun dari orang lain (luar)

Konsep manusia sebagai system tertutup kurang dapat diterima/kurang memuaskan, karena system tertutup memandang manusia adalah mahluk yang statis, tidak dapat berkembang dalam menjalankan aktifitas kehidupannya serta dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi manusia dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar adalah :
1. Umur dan tingkat perkembangan
2. Sex
3. Status kesehatan
4. Social budaya
5. Status ekonomi
6. spiritual
7. Emosi

Homeostasis dan equilibrium
Homeostasis adalah pemeliharaan kesatuan, stabilitas dan ketetapan fungsi tubuh. Konsep homeostasis menjelaskan bagaimana tubuh berusaha memerangi penyakit untuk memelihara ketetapan lingkungan didalamnya. Homeostatis berfungsi sebagai system terbuka dimana manusia berupaya untuk tetap memelihara stabilitas dan ketetapan dalam dirinya karena manusia adalah sebagai subjek terhadapa segala pengaruh dan tantangan yang ada pada dirinya.
Konsep homeostatis telah digunakan oleh berbagai macam fungsi organ tubuh secara fisiologis. Menurut Cannon tujuan homeostatis adalah kebebasan, yaitu bahwa dari detik ke detik manusia bebas tidak memperhatikan proses-proses tubuh dalam memelihara keseimbangan asam-basa, cairan, makanan sel dan lain-lain.
Equilibrium merupakan proses keseimbangan yang terjadi akibat adanya proses adaptasi manusia terhadap kondisi yang akan menyebabkan sakit. Proses menjaga keseimbangan dalam tubuh manusia terjadi secara dinamis dimana manusia berusaha menghadapi segala tantangan dari luar sehingga keadaan seimbang dapat tercapai.
Apabila manusia tidak mampu menghadapi pengaruh dari luar maka pada dirinya akan terjadi suatu ketidak seimbangan dan manusia dikatakan dalam keadaan sakit, sebagai gambaran dapat dilihat pada rentang sebagai berikut :
Keseimbangan lingkungan

Ketidak seimbangan/kelemah
Immune
Genetic
Need
Budaya
Tujuan dan emosi

Biologis
Fisik (iklim, suhu)
Zat kimia
Mekanis (polusi)
Social








Sakit/Sehat




Steady State atau homeostasis akan terancam apabila tubuh tidak dapat menjaga kesimbangan yang dinamis, fungsinya akan rusak dan mekanisme fisiologis berubah menjadi mekanisme patofisiologi. Mekanisme patofisiologi akan menyebabkan penyakit dan akan tetap aktif selama sakit, disini penyakit adalah ancaman dari homeostasis dimana terjadi variasi abnormal dari struktur dan fungsi setiap bagian tubuh. Mekanisme koping merupakan proses penyesuaian yang berlangsung terus menerus dalam tubuh untuk memelihara keseimbangan dinamis, proses ini diatur oleh system syaraf otonom dan system endokrin dan pengontrolannya dengan umpan balik negatif.
Implikasi keperawatan yang dapat diambil adalah, penting bagi perawat untuk memahami titik intervensi optimal dalam memelihara kesehatan saat mekanisme kompensisi seseorang masih berfungsi.







Kecerdasan emosional Perawat
Integritas perawat
Self Awarness
Kebutuhan Dasar Menurut Kreagel

































STRESS dan ADAPTASI
Oleh : Dafid Arifiyanto

Stress
A. Pengertian
Hans Selye (1956) mendefinisikan stress sebagai respon nonspesifik tubuh terhadap setiap kebutuhan tanpa memperhatikan sifatnya. Respon tubuh tersebut merupakan satu seri reaksi fisiologis yang disebut General Adaptasi Sindrom (GAS).
Lazarus dan Folkman (1994) mendefinisikan stress psikologis sebagai hubungan khusus antara seseorang dengan lingkungan yang dihargai oleh orang tersebut sebagai pajak terhadap sumber dayanya dan membahayakan kemampuannya.
Stress adalah keadaan yang dihasilkan oleh perubahan lingkungan yang diterima sebagai suatu hal yang menantang, mengancam atau merusak keseimbangan atau ekuilibrium dinamis seseorang. Perubahan atau stimulus yang membangkitkan keadaan stress disebut stresor. Sifat stressor sangat berbeda-beda, kejadian, atau perubahan yang dapat menimbulkan stress pada seseorang. Seseorang akan berusaha menghindari atau mengatasi stress dengan mengubah situasi dengan tujuan yang diingginkan sampai tercipta keadaan adaptasi.. mekanisme ini disebut stress koping yaitu suatu kompensasi dengan mekanisme fisiologis dan psikologis.

B. Penyebab
Penyebab stress dapat berasal internal dan eksternal yang bersifat bersifat fisik, fisiologis, psikososial dan spiritual.
Eksternal stressor :
Stressor fisik dapat berupa perubahan suhu panas atau dingin dan agen kimia, model tempat tidur, alat tenun dan kebersihannya serta tidak adanya bel.
Stresor psikologis berupa reaksi emosi, takut atau kegagalan dalam mencapai tujuan, suara, sikap tenaga kesehatan.
Stresor social (ekonomi) berupa penolakan, kemiskinan, hubungan klien dengan keluarga, jam berkunjung, dan informasi.
Internal stressor :
Perubahan fisiologis yang tampak melalui tanda dan gejala (nyeri, kelelahan)
Proses pemeriksaan seperti rontgent, ct scan yang mengunakan sesuatu alat yang asing dipikiran klien.
Proses perawatan seperti tindakan pemberian obat parenteral, prosedur invasive.
Penilaian klien terhadap penyakit dan lingkungan.
Stresor transisional berupa pertumbuhan dan perkembangan, melahirkan, perkawinan.

C. Manifestasi Klinis
1. Reaksi fisiologis
a. Pelebaran pupil untuk meningkatkan persepsi visual
b. Peningkatan keringat untuk mengontrol kenaikan suhu tubuh berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme
c. Nadi meningkat
d. Kulit teraba dingin karena knnstriksi perifer sebagai efek norepineprin
e. Tekanan darah meningkat
f. Frekuensi dan kedalaman pernapasan meningkat
g. Urine menurun
h. Mulut kering
i. Ketegangan otot
j. Dan lain-lain
2. Psikososial
a. Reaksi yang berorientasi kepada ego ( ego defens mekanisme )
· Denial
· Projeksi
· Regrsi
· Displacement
· Isolasi
· Supresi
b. Reaksi verbal dan motorik
· Menangis, menurunkan perasaan tegang terhadap situasi yang menyakitkan, menyedihkan dan menyenagkan.
· Tertawa
· Berteriak, respon terhadap ketakutan, frustasi atau marah.
· Mencerca, diarahkan kepada sumber stress, dapat meningkatkan stressor jika sumber stress melakukan konfrontasi.
· Memukul dan menendang, respon spontan terhadap ancaman fisik.
· Menggenggam dan meremas, respon keadaan tegang, menyakitkan atau sedih.


c. Reaksi yang berorientasi pada penyelesaian masalah
Koping ini melibatkan proses kognitif afektif dan psikomotor.
· Berbicara dengan orang lain
· Mencari tahu lebih banyak tentang situasi
· Meningkatkan kegiatan ibadah
· Melakukan latihan penanganan stress (pernapasan, meditasi)
· Membuat alternatif pemecahan masalah (compromi)
· Belajar dari pengalaman masa lalu.
Selain koping pada diri individu, koping keluarga juga dapat membantu klien menghadapi stressor karena keluarga merupakan system pendukung yang paling dekat dengan klien.
· Mencari dukungan social.
· Reframing, mengkaji ulang kejadian stress sehingga dapat mendalami untuk menangani dan menerimannya.
· Mencari dukungan spiritual (berdoa, perkumpulan peribadatan).
· Menggerakan keluarga untuk mendapat dan menerima bantuan.
· Penilaian secara pasif (diam, nonton tv).

D. Dampak stressor dapat dipengaruhi oleh beberapa factor :
1. Sifat stresor
apa arti sebuah stressor bagi klien ?, stressor yang sama memberikan arti yang berbeda bagi seseorang. Luka diwajah seorang aktris menjadi stressor yang berat dibanding orang biasa seperti saya.
2. Jumlah stresor
Pada waktu yang bersamaan seseorang memiliki beberapa atau banyak stressor yang harus dihadapi, sehingga stressor yang kecil dapat menjadi berat.
3. Lama pemajanan terhadap stressor
Semakin lama seseorang terpapar stressor maka orang tersebut mengalami penurunan kemampuan dalam mengatasi masalah karena kelelahan.
4. Pengalaman masa lalu
Pengamlaman klien masa lalu seseorang mempengaruhinya dalam menghadapi stressor. Seorang klien yang mendapatkan perlakuan yang kurang baik oleh perawat maka ketika sakit dan harus dirawat kembali akan bertambah cemas.
5. Tingkat perkembangan
Menikah pada seorang yang masih remaja berbeda rekasinya dengan seseorang yang telah dewasa (tergantung kesiapannya).
Adaptasi
A. Pengertian
Adaptasi adalah suatu proses yang konstan dan berklanjutan yang membutuhkan perubahan dalam hal struktur, fungsi dan perilaku sehingga sesorang lebih sesuai dengan suatu lingkungan tertentu.
Beradaptasi berarti mendapatkan persepsi, perilaku dan lingkungan yang berubah sehinga tercapai keseimbangan. Namun demikian hasil akhir adaptasi tergantung pada tingkat tingkat kesesuaian antara ketrampilan dan kapasitas seseorang dan sumber dukungan sosialnya disatu sisi dan jenis tantangan atau stressor yang dihadapi disisi lain.

B. Respon fisiologis Stres
1. Interprestasi stimuli oleh otak
Respon fisiologis terhadap streseo merupakan mekanisme protektif dan adaptif untuk memelihara homeostasis dalam tubuh. Dalam proses stress, stressor akan diterima oleh impuls aferen yang ditangkap oleh organ pancaindera dan penmgindera internal ( baroreseptor, kompreseptor )m ke teruskan ke pusat syaraf di otak. Stressor diterima oleh pusat yang berbeda mulai dari korteks kebatang otak, yang pada akhirnya menyampaikan informasinya kehipotalamus.respon terhadap persepsi stress diintegrasikan di hipotalamus, yang kemudian melakukan koordinasi penyesuaian untuk mencapai keseimbangan.
Hipothalamus mengintegrasikan mekanisme syaraf otonom yang memelihara kesetabilan kimia lingkungan internal tubuh. Hypothalamus dan system limbic mengatur emosi dan memelihara kegiatan visceral (makan, minum, pengaturan suhu, reproduksi, pertahanan dan agresi)
2. Respon neuroendokrin
a. Respon system saraf simpatis
Respon system saraf simpatis bekerja sangat singkat dan cepat. Norepineprin akan dikeluarkan menuju ujung-ujung syaraf pada organ yang dituju sehinga mengakibatkan peningkatan fungsi organ fital dan perangsangan tubuh secara umum. Peningkatan frekuensi jantung (kontraksi), vasokonstriksi perifer, dan kedua haltersebut menyebabkan peningkatan tekanan darah.
Pada keadaan stress akan terjadi peningkatan pemecahan lemak untuk mendapatkan sumber energi yang siap pakai (glukosa) yang akan digunakan selama tubunh mencoba beradaptasi/mengatasi dengan stress.
b. Respon simpatis adrenal-medular
Stimulasi kelenjar adrenal akan merangsang dikeluarkannya epineprin dan nor epineprin menuju aliran darah. Efek hormon ini akan memperlambat dan memperlama reaksi awalnya. Epineprin dan norepineprin akan meningkatkan system metabolic dan peningkatan kadar glukosa darah, peningkatan ketegangan otot, meningkatkan ventilasi dan peningkatan koagulabilitas darah. Respon ini disebut reaksi fight or flight.
c. Respon hypothalamus-pituitari
Hipothalamus mensekresi CRH (cortikotropin realizing hormon), yang bakan menstimulasi pituitary anterior untuk melepaskan ACTH dimana ACTH akan menstimulasi pengeluaran glukokortikoid terutama kortisol. Kortisol berperan menstimulasi katabolisme protein, melepaskan asam amino, menstimulasi ambilan asam amino oleh hepar dan merubahnya menjadi glukosa dan menghinbisi ambilan glukosa oleh berbagai sel tubuh terutama selain jantung dan otak.
Aksi katekolamamin juga akan brepengaruh terhadap dikeluarkannya hormon korteks adrenal, ADH dan Aldosteron akan menyebabkan retensi air dan natrium, yang merupakan mekanisme adaptif jika terdapat perdarahan atau kehilangan cairan melalui keringat yang berlebihan.
Perawat bahagia
BACA SELENGKAPNYA - Konsep manusia dan kebutuhan dasar

Komunikasi Umum

Komunikasi Umum: "Tentang Komunikasi

Pengertian Komunikasi
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa latin communis yang berarti "sama", communico, atau communicare yang berarti "membuat sama" (to make common). Istilah pertama (communis) adalah istilah yang pa­ling sering disebut sebagai asal-usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata - kata Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama. Akan tetapi definisi-definisi kontemporer menyarankan bahwa komunikasi merujuk pada cara berbagi hal-hal tersebut, seperti dalam kalimat "Kita berbagi pikiran", "Kita mendiskusikan makna, dan "Kita mengirimkan pesan".
Berbicara tentang definisi komunikasi, tidak ada definisi yang benar ataupun yang salah. Seperti juga model atau teori, definisi harus dilihat dari kemanfaatannya untuk menjelaskan fenomena yang didefinisikan dan mengevaluasinya. Beberapa definisi mungkin terlalu sempit, misalnya 'Komunikasi adalah penyampai pesan melalui media elektronik', atau terlalu luas, misalnya 'Komunikasi adalah interaksi antara dua makhluk hidup atau lebih sehingga para peserta komunikasi ini mungkin termasuk hewan tanaman, dan bahkan jin. Komunikasi didefinisikan secara luas sebagai 'berbagi pengalaman'. Sampai batas tertentu, setiap makhluk dapat dikatakan melakukan komunikasi dalam pengertian berbagi pengalaman.
Sebagaimana dikemukakan Johr R. Wenburg dan William W. Wilmot juga Kenneth K. Sereno dan Edward M. Bodaken, seti­daknya ada tiga pemahaman mengenai komunikasi, yakni komunikasi sebagai tindakan satu-arah, komunikasi sebagai in­teraksi, dan komunikasi sebagai transaksi.
Suatu pemahaman populer mengenai komunikasi manusia adalah komunikasi yang mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang (atau suatu lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang) baik secara langsung (tatap-muka) ataupun melalui media (selebaran), surat kabar, majalah, radio, atau televisi. Misalnya, seseorang itu mempunyai informasi mengenai suatu masalah, lalu ia menyampaikannya kepada orang lain, orang lain mendengarkan, dan mungkin berperilaku sebagai hasil mende­ngarkan pesan tersebut, lalu komunikasi dianggap telah terjadi. Jadi, komunikasi dianggap suatu proses linier yang dimulai dengan sumber atau pengirim dan berakhir pada penerima, sasaran atau tujuannya.
· Komunikasi sebagai tindakan satu arah
Pemahaman komunikasi sebagai proses searah ini oleh Michael Burgoon disebut sebagai "definisi berorientasi-sumber" (source-oriented definition) Definisi seperti ini mengisyaratkan komunikasi sebagai semua kegiatan yang secara sengaja dilakukan seseorang untuk menyampaikan rangsangan untuk membangkitkan respons orang lain. Dalam konteks ini, komunikasi dianggap suatu tindakan yang disengaja (intentional act) untuk menyampaikan pesan demi memenuhi kebutuhan komunikator, seperti menjelaskan sesuatu ke­pada orang lain atau membujuknya untuk melakukan sesuatu. Definisi komunikasi demikian mengabaikan komunikasi yang tidak disengaja, seperti pesan yang tidak direncanakan yang terkandung dalam nada suara atau ekspresi wajah, atau isyarat lain yang spontan. Definisi-definisi berorientasi-sumber ini juga mengabaikan sifat prosesual interaksi-memberi dan menerima- yang menimbulkan pengaruh timbal balik antara pembicara dan pendengar. Singkatnya, konseptualisasi komunikasi sebagai tindakan satu­-arah menyoroti penyampaian pesan yang efektif dan mengisyaratkan bahwa semua kegiatan komunikasi bersifat persuasif. Beberapa definisi yang sesuai dengan konsep ini adalah sebagai berikut.
Bernard Berelson dan Gary A. Steiner:
'Komunikasi: transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya, dengan menggunakan simbol-simbol kata-kata, gambar, figur, grafik, dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi.'
Theodore M. Newcomb:
'Setiap tindakan komunikasi dipandang sebagai suatu transmisi informasi terdiri dari rangsangan yang diskriminatif, dari sumber kepada penerima
Carl L Hovland:
'Komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang mengubah perilaku orang lain (komunikate).'
Gerald R. Miller:
'Komunikasi terjadi ketika suatu kepada penerima dengan niat yang penerima.'
Everett M. Rogers:
'Komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.
Raymond S. Ross:
'Komunikasi (intensional) adalah suatu proses menyortir, memilih dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan komunikator.'
Harold Lasswell:
(Cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut) Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? Atau Siapa Mengatakan A~ Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana?'
· Komunikasi sebagai interaksi
Konseptualisasi kedua yang sering diterapkan pada komunikasi interaksi. Pandangan ini menyetarakan komunikasi dengan proses sebab-akibat atau aksi-reaksi, yang arahnya bergan­tung pada seseorang menyampaikan pesan, baik verbal atau nonverbal, seorang penerima bereaksi dengan memberi jawaban verbal atau anggukkan kepala, kemudian orang pertama bereaksi lagi menerima respons atau umpan balik dari orang kedua, dan begitu seterusnya.

 Komunikasi sebagai transaksi
Ketika anda mendengarkan seseorang yang berbicara, sebenarnya pada saat itu bisa saja anda pun mengirimkan pesan secara nonver­bal (isyarat tangan, ekspresi wajah, nada suara, dan sebagainya) kepada pembicara tadi. Anda menafsirkan bukan hanya kata-kata pembicara tadi, juga perilaku nonverbalnya. Dua orang atau bebe­rapa orang yang berkomunikasi, saling bertanya, berkomentar, me­nyela, mengangguk, menggeleng, mendehem, mengangkat bahu, memberi isyarat dengan tangan, tersenyum, tertawa, menatap, dan sebagainya, sehingga proses penyandian (encoding) dan penyandian-balik (decoding) bersifat spontan dan simultan di antara orang­ orang yang terlibat dalam komunikasi. Semakin banyak orang yang berkomunikasi, semakin rumit transaksi komunikasi yang terjadi. Bila empat orang peserta terlibat dalam komunikasi, akan terdapat lebih banyak peran, hubungan yang lebih rumit, dan lebih banyak pesan verbal dan nonverbal.
Dalam konteks ini komunikasi adalah suatu proses personal karena makna atau pemahaman yang kita peroleh pada dasarnya bersifat pribadi. Penafsiran anda atas perilaku verbal dan nonverbal orang lain yang anda kemukakan kepadanya juga mengubah penaf­siran orang lain tersebut atas pesan-pesan anda, dan pada giliran­nya, mengubah penafsiran anda atas pesan-pesannya, begitu sete­rusnya. Menggunakan pandangan ini, tampak bahwa komunikasi bersifat dinamis. Pandangan inilah yang disebut komunikasi sebagai transaksi, yang lebih sesuai untuk komunikasi tatap muka yang mungkinkan pesan atau respons verbal dan nonverbal bisa di­ketahui secara langsung.
Kelebihan konseptualisasi komunikasi sebagai transaksi adalah bahwa komunikasi tersebut tidak membatasi kita pada komunikasi yang disengaja atau respons yang dapat diamati. Artinya, komunikasi terjadi apakah para pelakunya menyengajanya atau tidak, dan bahkan meskipun menghasilkan respons yang tidak dapat diamati. Berdiam diri, mengabaikan orang lain di sekitar, bahkan meninggalkan ruangan, semuanya bentuk-bentuk komunikasi, semuanya mengi­rimkan sejenis pesan. Gaya pakaian dan rambut anda, ekspresi wajah anda, jarak fisik antara anda dengan orang lain, nada suara anda, kata-kata yang anda gunakan, semua itu mengkomunikasikan sikap, kebutuhan, perasaan dan penilaian anda.Dalam komunikasi transaksional, komunikasi dianggap telah berlangsung bila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, baik perilaku verbal maupun perilaku nonverbalnya. Beberapa definisi yang sesuai dengan pemahaman ini adalah, antara lain:
John. R. Wenburg dan William W. Wilmot:
“Komunikasi adalah suatu usaha untuk memperoleh makna”
Donald Byker dan Loren J Andersou:
'Komunikasi (manusia) adalah berbagi informasi antara dua orang atau lebih.'
William l. Gorden:
'Komunikasi secara ringkas dapat didefinisikan sebagai suatu transaksi dinamis yang melibatkan gagasan dan perasaan.'
Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson:
“Komunikasi adalah proses memahami dan berbagi makna.'
Stervart L. Tubbs dan Sylvia Moss:
“Komunikasi adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih.'
Klasifikasi Komunikasi
Komunikasi tidak berlangsung dalam ruang hampa sosial melainkan pada situasi tertentu. Indikator paling umum untuk mengklasifikasikan komunikasi adalah berdasarkan jumlah peserta yang terlibat dalam komunikasi.
a. Menurut Kelompok Sarjana Komunikasi Amerika (Human Comm. 1980)
· Komunikasi Antar Pribadi (Interpersonal Communications)
· Komunikasi Kelompok (Group Communications)
· Komunikasi Organisasi (Organizational Communications)
· Komunikasi Massa (Mass Communications)
· Komunikasi Publik (Public Communications
b. Joseph A DeVito (Communicology 1982)
 Komunikasi Antar Pribadi (Interpersonal Communications)
 Komunikasi Kelompok Kecil (Small Group Communications)
 Komunikasi Publik (Public Communications)
 Komunikasi Massa (Mass Communications)
c. R. Wayne Pace (Techniques for Effective Communications, 1979)
1. Komunikasi dengan diri sendiri (Intrapersonal Communications)
2. Komunikasi antarpribadi (Interpersonal Communications)
3. Komunikasi khalayak (Audience Communications)
Penjelasan:
1. Intrapersonal Communications
• Proses Komunikasi yang terjadi dalam diri individu (dengan diri sendiri)
• Terjadi karena terjadinya pemberian makna pada obyek. Obyek yang diamati mendapatkan rangsangan panca indra kemudian mengalami proses perkembangan dalam pikiran manusia.
• Mendapatkan perhatian besar dari kalangan psikologi behavioristik.
• Merupakan landasan untuk melakukan komunikasi antarpribadi. Keberhasilan komunikasi kita dengan orang lain bergantung pada keefektifan komunikasi kita dengan diri sendiri.
2. Interpersonal Communications
• Proses komunikasi yang berlangsung antara 2 orang atau lebih secara tatap muka (R wayne Pace, 1979)
• Bentuk khusus dari komunikasi ini adalah Komunikasi Diadik (Dyadic Communications) yaitu dengan karakteristik : Proses komunikasi yang berlangsung antara 2 orang dalam situasi tatap muka, dibagi atas percakapan, dialog, wawancara. Komunikasi diadik memkiliki ciri: Pihak-pihak yang berkomunikasi berada dalam jarak dekat dan pihakpihak yang berkomunikasi mengirimkan dan menerima pesan secara spontan dan simultan.
• Komunikasi antar pribadi sangat potensial untuk mempengaruhi atau membujuk orang lain.
3. Komunikasi Kelompok
Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama, yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut Contohnya seperti; keluarga, kelompok studi dan kelompok diskusi. Dapat juga terjadi pada kelompok kecil (small group communications)
4. Komunikasi Kelompok Kecil
Proses komunikasi yang berlangsung antara 3 orang atau lebih secara tatap muka dimana anggota-anggotanya saling berinteraksi satu sama lain. Tidak ada jumlah batasan anggota yang pasti, 2-3 orang atau 20-30 orang tetapi tidak lebih dari 50 orang. Komunikasi kelompok dengan sendirinya melibatkan pula komunikasi antarpribadi.
5. Public Communications
Komunikasi publik adalah proses komunikasi dimana pesan-pesan disampaikan oleh pembicara dalam situasi tatap muka di depan khalayak yang lebih besar dan tidak dikenali satu persatu. Disebut juga sebagai komunikasi kelompok besar (large group comm.), komunikasi pidato, komunikasi retorika, public speaking. Berlangsung secara lebih formal, dituntut persiapan pesan yang cermat, keberanian dan keahlian menghadapi sejumlah besar orang. Daya tarik fisik, keahlian dan kejujran pembicara dapat menentukan efektifitas penyampaian pesan
Ciri-ciri Komunikasi Publik
• Satu pihak (pendengar ) cenderung lebih pasif.
• Interaksi antara sumber dan penerima terbatas
• Umpan balik yang diberikan terbatas
• Dilakukan di tempat umum seperti di kelas, auditorium, tempat ibadah.
• Dihadiri oleh sejumlah besar orang
• Biasanya telah direncanakan
• Sering bertujuan untuk memberikan penerangan, menghibur, memberikan penghormatan dan membujuk
6. Organizational Communications
Komunikasi organisasi terjadi dalam suatu organisasi, bersifat formal dan informal, dan berlangsung dalam jaringan komunikasi yang lebih besar daripada komunikasi kelompok. Melibatkan komunikasi diadik, komunikasi antar pribadi dan komunikasi publik. Komunikasi formal adalah menurut struktur organisasi yaitu komunikasi ke bawah dan ke atas serta komunikasi horizontal. Komuniksi informal tidak tergantung pada struktur organisasi seperti komunikasi dengan sejawat, termasuk juga gosip.
7. Mass Communications
Adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi), yang dikelola oleh suatu lembaga yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, anonim dan heterogen. Proses komunikasi yang berlangsung dimana pesannya dikirim dari sumber yang melembaga kepada khalayak yang sifatnya massal melalui alat-alat yang bersifat mekanik seperti; radio, televisi, surat kabar dan film. Pesan-pesan bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak dan selintas (khususnya media elektronik). Komunikasi antar pribadi, komunikasi kelompok dan komunikasi organisasi berlangsung juga dalam proses untuk mempersiapkan pesan yang disampaikan media massa ini.
Ciri-ciri Komunikasi Massa
• Sifat pesan terbuka
• Khalayak variatif baik dari segi usia,agama, suku, pekerjaan maupun dari segi kebutuhan
• Sumber dan penerima dihubungakan oleh saluran yang diproses secara mekanik
• Sumber merupakan suatu lembaga atau institusi
• Komunikasi berlangsung satu arah
• Umpan balik lambat (tertunda) dan sangat terbatas. Dengan kemajuan teknologi, saat ini sudag lebih dapat teratasi
• Sifat penyebaran pesan yang berlansung cepat dan serempak serta luas mampu mengatasi jarak dan waktu. Dapat bertahan lama bila didokumentasikan
• Dari segi ekonomi biaya untuk memproduksi komunikasi massa cukup mahal dan memerlukan dukungan tenaga kerja yang relatif banyak untuk mengelolanya
Komunikasi massa menurut De Vito (1996) adalah milik umum, setiap orang dapat mengetahui pesn-pesan komunikasi melalui media massa, karena komunikasi berjalan cepat maka pesan yang akan disampaikan kepada khalayak silih berganti tanpa selisih waktu.
Unsur – unsur dalam komunikasi
a. Sumber ( Source ) : Pihak yang berinisiatif atau berkebutuhan untuk berkomunikasi, bisa seorang individu, kelompok, organisasi, perusahaan, dll.
b. Pesan (Massage) : Apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Pesan merupakan seperangkat symbol verbal dan/ atau nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan atau maksud sumber tadi.
c. Saluran/Media (Channel) : alat/ wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima.
d. Penerima (Receiver) : Orang yang menerima pesan dari sumber. Berdasarkan pengalaman masa lalu, rujukan nilai, pengetahuan, persepsi, pola pikir dan perasaan. Penerima pesan ini menerjemahkan/ menafsirkan seperangkat symbol verbal dan/ atau non verbal yang ia terima menjadi gagasan yang dapat ia pahami.
e. Efek (Effect) : Apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan tersebut.
f. Proses Encoding: Adalah proses pemilihan symbol/alat angkut pesan. Dilakukan oleh Pengirim pesan.
Sumber : Toto Hernawo, 30 Juli 2006.
http://totohernawo.blog.m3-access.com/posts/11668_Tentang-Komunikasi.html
PENDIDIKAN [2]
Pendidikan ada sejak pertama manusia mengenal komunikasi, sebab pendidikan tak mungkin bisa dilakukan tanpa adanya komunikasi, baik komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal. Hal ini bisa dipahami sebab sejak semula, pendidikan beriringan dengan kepercayaan. Kepercayaan terhadap sifat-sifat hakiki kemanusiaan sendiri, dan kepercayaan terhadap ada atau tidak adanya daya ruhaniah yang lebih besar dibanding kekuatan manusia, yang memayungi jagat seisinya.[1] Kepercayaan atas sebuah kebenaran yang disampaikan ke orang lain inilah yang melahirkan adanya pendidikan.
Pendidikan pada masa 'Sophistic' di Yunani dilakukan oleh para guru yang selalu berkeliling mengajar ditempat-tempat umum yang dipanggil dengan nama 'Sofis'. Dalam bahasa Yunani ada kata 'sophisma' yang berarti 'akal cerdik', 'ketrampilan berargumen' dengan konotasi 'licik' yang dipakai di dalam perdebatan atau pengajaran dengan satu tujuan yaitu agar keluar sebagai seorang pemenang. Kaum Sofis ini berpendapat bahwa pendidikan yang diperlukan adalah retorika, tata bahasa, logika, hukum, matematika, sastra, dan politik yang di dalam prakteknya kaum Sofis ini 'terjebak' ke dalam permainan lambang dan simbol semata dalam bentuk permainan kata, ber-'silat-lidah', menyusun argumentasi yang bersifat manipulatif melalui pemutar-balikan fakta, memanipulasi lambang dan makna yang disampaikan pada para pendengarnya[2] yang menurut Yasraf A. Piliang mereka terjebak di dalam dunia citra (image), dunia lambang yang berbeda dari realitas yang ada, berbeda dari kebenaran itu sendiri. Sehingga kebebasan yang diharapkan ada di dalam proses pendidikan secara tidak langsung sudah mengalami apa yang disebut oleh Pierre Bourdieu sebagai 'kekerasan simbolik' yaitu kekerasan yang halus dan tak tampak,[3] baik dari sisi struktrur bahasa maupun ditingkat semantik yang mengakibatkan di dalam proses pendidikan kaum Sofis yang ada sebenarnya adalah kebebasan semu.
Socrates menganggap bahwa pendidikan yang tidak mengajarkan pada murid untuk mencari kebenaran atau mengajarkan kebenaran tidaklah termasuk pendidikan dalam arti yang sebenarnya. Untuk mencapai kebenaran melalui pendidikan itulah, Socrates menggunakan metoda dialektika yang membebaskan murid untuk berpikir sendiri tanpa terpengaruh oleh gagasan gurunya.[4]
Senada dengan Socrates, Plato (427-347 SM) melalui karyanya yang berjudul 'Republica' juga menggunakan metoda dialektika ini untuk memberikan kebebasan kepada murid-muridnya untuk berpikir sendiri tentang musik, tentang pernikahan, tentang pemerintahan, tentang perundang-undangan dan yang lainnya.
Meski kebebasan di dalam pendidikan diakui perlunya sejak awal adanya pendidikan, tetapi di dalam perjalanan sejarah yang ada, cukup banyak paradigma-paradigma yang meminimalkan kebebasan di dalam pendidikan. Selain di masa Shopistic kebebasan menjadi minim sebab adanya 'kekerasan simbolik' yang dilakukan, dimasa-masa selanjutnya masih juga terjadi reduksi kebebasan dalam pendidikan. Seiring dengan masa Yunani Sophistic, berkembang pula pendidikan di Romawi yang meminimkan kebebasan melalui penekanan disiplin, organisasi dan ketrampilan militer.[5]
Santo Benediktus dari Nursia (480-550 M) mendirikan ordonya di Monte Cassino, Italia, dengan dekrit ketat yang meminimkan kebebasan dalam pendidikannya. Pendidikan yang dilakukan mewajibkan setiap biarawan membaca kitab-kitab suci sekurang-kurangnya dua jam perhari, dan tidak memperkenankan membaca buku-buku lain, tidak membolehkan para biarawan itu memiliki pena untuk menulis sendiri.[6] Setelah masa itu dilanjutkan dengan monopoli Gereja atas pendidikan formal di seluruh Eropa yang berlangsung seribu tahun, kebebasan di dalam pendidikan diminimkan lagi sebagai pelaksanaan pendidikan atas doktrin Gereja (kaum Skolastik). Kebebasan berpikir ditekan, kebebasan berbeda pendapat diberangus yang sampai memakan korban seperti Galileo yang harus kehilangan nyawanya akibat berbeda pendapat dengan pihak gereja akan pengetahuan ilmu alam. Berbagai perguruan pendidikan yang bertebaran sampai abad ke 16 masih dilandasi niat untuk memasok calon-calon pendeta dan mendidik kaum ningrat yang kawasan rohaniahnya dikendalikan oleh pejabat gereja.
William F. O'neil berpendapat bahwa pendidikan yang meminimkan kebebasan itu disebut sebagai pendidikan yang konservatif. O'neil membaginya menjadi tiga bagian yaitu pendidikan fundamental, pendidikan intelektual dan pendidikan konservatif. Lebih lanjut O'neil menjelaskan tentang Fundamentalisme pendidikan sebagai berikut :
'.pada dasarnya anti-intelektual dalam arti bahwa mereka ingin meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan atau intelektual, serta cenderung untuk mendasarkan diri mereka pada penerimaan yang relatif tanpa kritik terhadap Kebenaran yang diwahyukan atau konsensus sosial yang sudah mapan.' [7]
O'neil juga menjelaskan tentang Intelektualisme pendidikan sebagai berikut :
'.pada dasarnya otoritarian.demi menyesuaikan secara lebih sempurna dengan cita-cita intelektual atau rohaniah yang sudah mapan dan tidak bervariasi.'[8]
O'neil juga menjelaskan tentang Konservatisme pendidikan sebagai berikut :
'Konservatisme pada dasarnya adalah posisi yang mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu (sudah cukup tua atau dan mapan), didampingi dengan rasa hormat mendalam terhadap hukum dan tatanan, sebagai landasn perubahan sosial yang konstruktif'[9]
Pendidikan yang konservatif beranggapan bahwa sasaran utama sekolah adalah pelestarian dan penerusan pola sosial serta tradisi-tradisi yang sudah mapan.
Pada abad ke 17, muncul kembali pemikiran-pemikiran yang mengedepankan kebebasan di dalam pendidikan di Eropa yang diawali dengan kebebasan dalam pendidikan berdasar kepada paradigma liberal arts klasik.
William F. O'Neil menyebutnya dengan pendidikan Liberal yang oleh O'Neil dibagi menjadi tiga macam yaitu Liberalisme pendidikan, Liberasionisme pendidikan dan Anarkisme pendidikan.
O'Neil menjelaskan Liberalisme pendidikan sebagai berikut:
'..tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana cara menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari secara efektif.'[10]
O'Neil menjelaskan Liberasionisme pendidikan sebagai berikut :
'Liberasionisme adalah sebuah sudut pandang yang menganggap bahwa kita musti segera melakukan perombakan berlingkup besar terhadap tatanan politik (dan pendidikan) yang ada sekarang, sebagai cara untuk memajukan kebebasan-kebebasan individu dan mempromosikan perujudan potensi-potensi diri semaksimal mungkin'[11]
Bagi pendidik liberasionis, sekolah bersifat obyektif namun tidak sentral dan sekolah bukan hanya mengajarkan pada siswa bagaimana berpikir yang efektif secara rasional dan ilmiah, melainkan juga mengajak siswa untuk memahami kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam pemecahan-pemecahan masalah secara intelek yang paling meyakinkan. Dengan kata lain, liberasionisme pendidikan dilandasi oleh sebuah sistem kebenaran yang terbuka. Secara moral, sekolah berkewajiban mengenalkan dan mempromosikan program-program sosial konstruktif dan bukan hanya melatih pikiran siswa. Sekolahpun harus memajukan pola tindakan yang paling meyakinkan yang didukung oleh sebuah analisis obyektif berdasarkan fakta-fakta yang ada. Hal ini sejalan dengan pendapat Aristoteles tentang prinsip pendidikan yaitu sebagai wahana pengkajian fakta-fakta, mencari 'yang obyektif' , melalui pengamatan atas kenyataan.[12]
O'neil menjelaskan Anarkisme pendidikan sebagai berikut :
' ...seperti pendidik liberal dan liberasionis, pada umumnya (anarkisme pendidikan) menerima sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka (pembuktian pengetahuan melalui penalaran ilmiah).'[13]
Tetapi berbeda dengan liberal dan liberasionis, anarkisme pendidikan beranggapan bahwa harus meminimalkan dan atau menghapuskan pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perilaku personal, bahwa musti dilakukan untuk membuat masyarakat yang bebas lembaga.. Menurut anarkisme pendidikan, pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang mengupayakan untuk mempercepat perombakan humanistik berskala besar yang mendesak ke dalam masyarakat, dengan cara menghapuskan sistem persekolahan sekalian.


Komunikasi ialah penyampaian atau pertukaran pikiran, pesan, atau informasi seperti melalui pembicaraan, tulisan ataupun perilaku antara dua atau lebih manusia.
Komunikasi dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan atau proses memberikan dan menggali informasi dari orang lain atau mahluk hidup lain dengan memakai sinyal-sinyal seperti pembicaraan, gerakan dan isyarat tubuh atau sinyal-sinyal suara [1]. Atau, komunikasi adalah “suatu tindakan di mana seseorang memberikan atau menerima dari orang lain informasi tentang kebutuhan, keinginan, persepsi, pengetahuan atau kondisi afektif. Komunikasi dapat bersifat sengaja maupun tidak disengaja, dapat menyangkut sinyal-sinyal kovensional maupun tidak konvensional, dan dapat terjadi lewat modus lisan maupun lain-lainnya”.[2]

Empati adalah “suatu kualitas atau proses memasuki secara penuh melalui imaginasi ke dalam perasaan-perasaan atau motif-motif orang lain”. [3] Istilah empati diperkenalkan pertama kalinya oleh seorang psikolog Jerman bernama Theodore Lipps, sekitar tahun 1880-an dalam istilah “einfuhlung” atau ‘in-feeling” yang menjabarkan apresiasi emosional terhadap perasaan-perasaan orang lain.[4]

Maka Komunikasi Empati ialah pengetahuan tentang cara-cara untuk memperoleh atau menyerap informasi dari orang lain tentang kebutuhan, keinginan, pemahaman, pengetahuan, dan kondisi afektif yang tersimpan dalam “memori kolektif” dari orang tersebut baik secara disengaja maupun tidak, baik yang mencakup simbol-simbol yang telah disepakati maupun belum, baik dalam bentuk bahasa biasa maupun para-bahasa [5], dan yang mungkin terjadi melalui sarana wacana vokal maupun sarana lain-lainnya yang bersifat non-vokal.

Manfaat Komunikasi Empati Dalam Bidang Medis
Apakah Komunikasi Empati mempunyai sesuatu manfaat bagi dunia kedokteran? Dalam setiap hubungan interpersonal terjadilah. komunikasi. Ada corak komunikasi yang efektif tetapi ada pula komunikasi yang sama sekali tidak produktif apalagi kondusif.

Di masa lampau – atau mungkin sebagian masih berlaku sampai sekarang juga - ilmu Pengobatan allopatik dalam penanganan suatu kasus penyakit terdapat pola pikir “Find it and fix it.” Yaitu pada tahap prognosis mengamati simtom-simtomnya dan kemudian memikirkan metode penanganannya. Secara keseluruhan agak mirip dengan pekerjaan seorang montir elektronik. Padahal yang dihadapi para dokter ialah manusia yang memiliki tiga matra dalam jatidirinya yaitu matra fisik, kejiwaan dan spiritual.
Untuk penanganan penyakit-penyakit yang jelas-jelas bersifat fisikal tentunya tidak memerlukan Komunikasi Empati. Kalau kaki pasien patah yang diperlukan pertama-tama ialah selembar foto rontgen dan kemudian diperlukan bilah supaya kaki itu dapat disalut gipsum.
Untuk mules-mules saja sudah diperlukan informasi tambahan tentang kondisi psikologis pasien. Mungkin saja benar hal itu hanya akibat kontaminasi bakteri E Coli biasa atau gejala flatulensi biasa akibat ekskresi getah lambung berlebihan karena kerap makan terlambat. Tetapi mungkin saja ada sebab kejiwaan, misalnya karena stress menghadapi suatu persoalan yang pelik dan belum lagi terpikirkan bagaimana cara pemecahannya.
Pernah ada kisah tentang pasien yaitu seorang nenek tua yang semua jari-jari tangannya selalu dalam keadaan mencengkeram kaku dan tidak kunjung tersembuhkan. Lewat konseling yang intensif diketahui bahwa nenek itu sangat membenci menantunya dan menganggap dia itu ingin merebut semua hartanya. Ia sama sekali tidak rela hartanya jatuh ke tangan menantunya itu. Kebencian itu telah merasuk jauh ke dalam hatinya. Kemudian nenek itu secara perlahan dapat diyakinkan tentang pentingnya nilai pengampunan serta nilai keterbukaan untuk dapat menerima manusia lain sebagaimana adanya. Juga nilai kepasrahan untuk menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan sesuai agama yang iyakininya. Akhirnya, quasi carpal syndrome itu sembuh dengan sendirinya dan nenek itu menjadi seorang penderma yang sangat murah hati dan selanjutnya memiliki muka yang enuh senyum.
Dalam wawancara singkat antara dokter dengan pasien di ruang praktek tidak mungkin seorang dokter melalui tanya jawab biasa untuk menemukan akar masalah kejiwaan dan kerohanian yang mendalam seperti itu yang menjadi akar masalah penyakitnya. Justru Dalam hal seperti ini dan dalam waktu sesingkat itulah Komunikasi Empati dapat sangat bermanfaat bagi para dokter untuk menggali sedalam-dalamnya semua informasi yang dibutuhkan dari memori para pasiennya.
Tiga hal yang patut dipertimbangkan ialah:
1. Pemberian pelayanan yang lebih sesuai kepada para pasien. 2. Mengurangi risiko tuntutan mal-praktek karena kesalahan diagnose. 3. Meningkatkan kepuasan batin bagi kedua belah pihak.


Pembelajaran Komunikasi Empati
Masalahnya kini ialah apakah ketrampilan – kalau belum dapat disebut bagian dari pada ilmu pengetahuan resmi Komunikasi Empati itu dapat dipelajari secara klasikal ? Tentu saja ketrampilan Komunikasi Empati ini dapat dipelajari oleh semua orang karena pada dasarnya semua orang telah mempraktekkannya secara tidak sadar sejak masa kecilnya.
Bagaimana seorang bayi dan balita berkomunikasi dengan ibunya padahal ia belum menguasai bahasa apapun kecuali bahasa isyarat dan yang terpenting kemampuan untuk membaca dan menginterpretasi “bahasa air muka ibunya”. Bagaimana pula seorang bayi mampu mendeteksi kehadiran “orang yang jahat” di sekitarnya yang dapat membahayakan nyawa diri dan ibunya dan memberikan “early warning” lewat para-bahasa satu-satunya yang dikenalnya yaitu dengan cara menangis sekeras-kerasnya? Bayi memiliki “kecerdasan intuitif” yang berada pada domain otak hemisfir kanan sementara kecerdasan analitis dari otak kirinya sama sekali masih belum berkembang.
Dengan masuknya anak-anak pasca-balita ke dalam sistem pendidikan formal - yang secara berat sebelah sangat menekankan pentingnya “kecerdasan intelektual”, maka kemampuan “kecerdasan intuitif” anak semakin ditekan dan dianggap “kurang ilmiah” itupun hanya karena belum dapat dijelaskan secara memadai oleh dunia ilmu pengetahuan. Bersamaan dengan itu terdapat gejala umum fakta menciutnya kelenjar pineal pada otak anak sehingga “kecerdasan spiritual”-nya juga secara bertahap mulai menghilang. Ia tidak dapat lagi “melihat” kawan-kawannya yang nir-wujud yang selama ini dapat diajaknya “berbicara dan bermain-main” di mana oleh dan dalam dunia orang dewasa kemampuan “indra keenam” yang nyata itu hanya dianggap sebagai suatu bentuk halusinasi, atau secara umum sebagai daya khayal dan imaginasi anak-anak belaka.
Komunikasi Empati melatih kembali orang dewasa untuk memanfaatkan “kecerdasan intuitive”nya untuk dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan dalam berbagai bidang profesinya masing-masing di mana selalu terdapat kebutuhan akan suatu komunikasi interpersonal dengan orang lain.
Sukarkah Mempelajari Komunikasi Empati?
Melatih ketrampilan Komunikasi Empati itu dapat dikatakan mudah tetapi sekaligus dapat Juga dikatakan rumit. Intinya, komunikasi Empati tidak dapat dipelajari seperti mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan eksakta atau humaniora lainnya yang menekankan dominansi fungsi “kecerdasan intelektual”. Dikatakan mudah karena ketrampilan ini lebih mudah dipelajari oleh anak-anak karena mereka memiliki semangat avonturir, spontanitas, sikap relaks, sikap berani salah dan berani malu, karena di sini tidak diperlukan ketajaman otak untuk menganalisis dan mengajukan bermacam-macam pertanyaan yang rumit. “Mengapa begini?” “Apa dasar metodiknya?” “Bagaimana validitas jawabannya?” “Bagaimana Proses terjadinya?” “Apakah hasilnya standar dan terukur?” “Apakah prosesnya repeatable dan hasilnya homogen? Semua pertanyaan tersebut timbul dari disiplin ilmu yang mengandalkan “kecerdasan intelektual”.
Selama para peminat tidak mampu melakukan “switching” dominansi otaknya dari hemisfir kiri ke hemisfir kanan, maka ia selalu akan gagal mempraktekkan Komunikasi Empati. Just that simple ! Pertanyaan selanjutnya kemudian ialah: Bagaimana caranya melakukan aktivasi dominansi otak hemisfir kanan supaya “intuitive intelligence” seseorang dapat mulai beroperasi? Tekniknya tidak akan dibahas dalam session ini namun pada dasarnya ialah dengan cara melakuklan apa yang dinamakan “proses de-konsentrasi” secukupnya selama beberapa menit.
James T. Hardee MD. memberikan beberapa petunjuk untuk meningkatkan empati dokter kepada para pasien. Dalam Komunikasi Empati hal-hal itu dapat diperhatikan dan tentu akan sangat bermanfaat namun bukan merupakan syarat bagi keberhasilannya.
Langkah-langkah kunci yang disarankannya mencakup hal-hal seperti:
1. Mengakui adanya perasaan-perasaan kuat dalam situasi klinis bagi pasien seperti rasa takut, marah terpendam, kesedihan, kekecewaan dsb.
2. Berhenti sejenak dan embayangkan apa yang sedang diraskan oleh pasien yang bersangkutan.3. Mengekspresikan persepsi doktervtentang perasaan pasien tersebut (Misalnya, “Saya dapat membayangkan bahwa anda...” atau “sepertinya anda merasa kesal tentang ...”) 4. Melegitimasi perasaan-perasaan tersebut.
5. Menghargai usaha-usaha pasien untuk bekerjasama.dalam proses pengobatan.
6. Menawarkan suatu dukungan atau kerjasama (Misalnya: “Saya janji untuk memberikan kerjasama yang sebaik-baiknya...” atau ‘Mari kita lihat apa yang dapat kita lakukan bersama untuk mengatasi hal ini ...”) [6]
Kesimpulan Dan Penutup
Komunikasi Empati dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat, efektif dan efisien serta tidak kentara sebagai alat komunikasi antara dokter dengan pasien dalam suatu wawancara medis maupun sepanjang masa pengobatan.

Pendahuluan
Dua kata terlibat dalam topik kita di sini. Yaitu kata Komunikasi dan Empati.
Komunikasi ialah penyampaian atau pertukaran pikiran, pesan, atau informasi seperti melalui pembicaraan, tulisan ataupun perilaku antara dua atau lebih manusia. Komunikasi dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan atau proses memberikan dan menggali informasi dari orang lain atau mahluk hidup lain dengan memakai sinyal-sinyal seperti pembicaraan, gerakan dan isyarat tubuh atau sinyal-sinyal suara [1]. Atau, komunikasi adalah “suatu tindakan di mana seseorang memberikan atau menerima dari orang lain informasi tentang kebutuhan, keinginan, persepsi, pengetahuan atau kondisi afektif. Komunikasi dapat bersifat sengaja maupun tidak disengaja, dapat menyangkut sinyal-sinyal kovensional maupun tidak konvensional, dan dapat terjadi lewat modus lisan maupun lain-lainnya”.[2]
Empati adalah “suatu kualitas atau proses memasuki secara penuh melalui imaginasi ke dalam perasaan-perasaan atau motif-motif orang lain”. [3]
Istilah empati diperkenalkan pertama kalinya oleh seorang psikolog Jerman bernama Theodore Lipps, sekitar tahun 1880-an dalam istilah “einfuhlung” atau ‘in-feeling” yang menjabarkan apresiasi emosional terhadap perasaan-perasaan orang lain.[4]
Maka Komunikasi Empati ialah pengetahuan tentang cara-cara untuk memperoleh atau menyerap informasi dari orang lain tentang kebutuhan, keinginan, pemahaman, pengetahuan, dan kondisi afektif yang tersimpan dalam “memori kolektif” dari orang tersebut baik secara disengaja maupun tidak, baik yang mencakup simbol-simbol yang telah disepakati maupun belum, baik dalam bentuk bahasa biasa maupun para-bahasa [5], dan yang mungkin terjadi melalui sarana wacana vokal maupun sarana lain-lainnya yang bersifat non-vokal.
Manfaat Komunikasi Empati Dalam Bidang Medis
Apakah Komunikasi Empati mempunyai sesuatu manfaat bagi dunia kedokteran? Dalam setiap hubungan interpersonal terjadilah komunikasi. Ada corak komunikasi yang efektif tetapi ada pula komunikasi yang sama sekali tidak produktif apalagi kondusif. Di masa lampau – atau mungkin sebagian masih berlaku sampai sekarang juga - ilmu pengobatan allopatik dalam penanganan suatu kasus penyakit terdapat pola pikir “Find it and fix it.” Yaitu pada tahap prognosis mengamati simtom-simtomnya dan kemudian memikirkan metode penanganannya. Secara keseluruhan agak mirip dengan pekerjaan seorang montir elektronik. Padahal yang dihadapi para dokter ialah manusia yang memiliki tiga matra dalam jatidirinya yaitu matra fisik, kejiwaan dan spiritual.
Untuk penanganan penyakit-penyakit yang jelas-jelas bersifat fisikal tentunya tidak memerlukan Komunikasi Empati. Kalau kaki pasien patah yang diperlukan pertama-tama ialah selembar foto rontgen dan kemudian diperlukan bilah supaya kaki itu dapat disalut gipsum.
Untuk mules-mules saja sudah diperlukan informasi tambahan tentang kondisi psikologis pasien. Mungkin saja benar hal itu hanya akibat kontaminasi bakteri E. Coli biasa atau gejala flatulensi biasa akibat ekskresi getah lambung berlebihan karena kerap makan terlambat. Tetapi mungkin saja ada sebab kejiwaan, misalnya karena stress menghadapi suatu persoalan yang pelik dan belum lagi terpikirkan bagaimana cara pemecahannya.
Pernah ada kisah tentang pasien yaitu seorang nenek tua yang semua jari-jari tangannya selalu dalam keadaan mencengkeram kaku dan tidak kunjung tersembuhkan. Lewat konseling yang intensif diketahui bahwa nenek itu sangat membenci menantunya dan menganggap dia itu ingin merebut semua hartanya. Ia sama sekali tidak rela hartanya jatuh ke tangan menantunya itu. Kebencian itu telah merasuk jauh ke dalam hatinya. Kemudian nenek itu secara perlahan dapat diyakinkan tentang pentingnya nilai pengampunan serta nilai keterbukaan untuk dapat menerima manusia lain sebagaimana adanya. Juga nilai kepasrahan untuk menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan sesuai agama yang diyakininya. Akhirnya, quasi carpal syndrome itu sembuh dengan sendirinya dan nenek itu menjadi seorang penderma yang sangat murah hati dan selanjutnya memiliki muka yang penuh senyum.
Dalam wawancara singkat antara dokter dengan pasien di ruang praktek tidak mungkin seorang dokter melalui tanya jawab biasa untuk menemukan akar masalah kejiwaan dan kerohanian yang mendalam seperti itu yang menjadi akar masalah penyakitnya. Justru dalam hal seperti ini dan dalam waktu sesingkat itulah Komunikasi Empati dapat sangat bermanfaat bagi para dokter untuk menggali sedalam-dalamnya semua informasi yang dibutuhkan dari memori para pasiennya.
Tiga hal yang patut dipertimbangkan ialah:
1. Pemberian pelayanan yang lebih sesuai kepada para pasien. 2. Mengurangi risiko tuntutan mal-praktek karena kesalahan diagnose. 3. Meningkatkan kepuasan batin bagi kedua belah pihak.
Pembelajaran Komunikasi Empati
Masalahnya kini ialah apakah ketrampilan – kalau belum dapat disebut bagian dari pada ilmu pengetahuan resmi – Komunikasi Empati itu dapat dipelajari secara klasikal? Tentu saja ketrampilan Komunikasi Empati ini dapat dipelajari oleh semua orang karena pada dasarnya semua orang telah mempraktekkannya secara tidak sadar sejak masa kecilnya.
Bagaimana seorang bayi dan balita berkomunikasi dengan ibunya padahal ia belum menguasai bahasa apapun kecuali bahasa isyarat dan yang terpenting kemampuan untuk membaca dan menginterpretasi “bahasa air muka ibunya”. Bagaimana pula seorang bayi mampu mendeteksi kehadiran “orang yang jahat” di sekitarnya yang dapat membahayakan nyawa diri dan ibunya dan memberikan “early warning” lewat para-bahasa satu-satunya yang dikenalnya yaitu dengan cara menangis sekeras-kerasnya? Bayi memiliki “kecerdasan intuitif” yang berada pada domain otak hemisfir kanan sementara kecerdasan analitis dari otak kirinya sama sekali masih belum berkembang.
Dengan masuknya anak-anak pasca-balita ke dalam sistem pendidikan formal - yang secara berat sebelah sangat menekankan pentingnya “kecerdasan intelektual”, maka kemampuan “kecerdasan intuitif” anak semakin ditekan dan dianggap “kurang ilmiah” – itupun hanya karena belum dapat dijelaskan secara memadai oleh dunia ilmu pengetahuan. Bersamaan dengan itu terdapat gejala umum fakta menciutnya kelenjar pineal pada otak anak sehingga “kecerdasan spiritual”-nya juga secara bertahap mulai menghilang. Ia tidak dapat lagi “melihat” kawan-kawannya yang nir-wujud yang selama ini dapat diajaknya “berbicara dan bermain-main” di mana oleh dan dalam dunia orang dewasa kemampuan “indra keenam” yang nyata itu hanya dianggap sebagai suatu bentuk halusinasi, atau secara umum sebagai daya khayal dan imaginasi anak-anak belaka.
Komunikasi Empati melatih kembali orang dewasa untuk memanfaatkan “kecerdasan intuitive”nya untuk dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan dalam berbagai bidang profesinya masing-masing di mana selalu terdapat kebutuhan akan suatu komunikasi interpersonal dengan orang lain.
Sukarkah Mempelajari Komunikasi Empati?
Melatih ketrampilan Komunikasi Empati itu dapat dikatakan mudah tetapi sekaligus dapat juga dikatakan rumit. Intinya, komunikasi Empati tidak dapat dipelajari seperti mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan eksakta atau humaniora lainnya yang menekankan dominansi fungsi “kecerdasan intelektual”. Dikatakan mudah karena ketrampilan ini lebih mudah dipelajari oleh anak-anak karena mereka memiliki semangat avonturir, spontanitas, sikap relaks, sikap berani salah dan berani malu, karena di sini tidak diperlukan ketajaman otak untuk menganalisis dan mengajukan bermacam-macam pertanyaan yang rumit. “Mengapa begini?” “Apa dasar metodiknya?” “Bagaimana validitas jawabannya?” “Bagaimana proses terjadinya?” “Apakah hasilnya standar dan terukur?” “Apakah prosesnya repeatable dan hasilnya homogen? Semua pertanyaan tersebut timbul dari disiplin ilmu yang mengandalkan “kecerdasan intelektual”.
Selama para peminat tidak mampu melakukan “switching” dominansi otaknya dari hemisfir kiri ke hemisfir kanan, maka ia selalu akan gagal mempraktekkan Komunikasi Empati. Just that simple ! Pertanyaan selanjutnya kemudian ialah: Bagaimana caranya melakukan aktivasi dominansi otak hemisfir kanan supaya “intuitive intelligence” seseorang dapat mulai beroperasi? Tekniknya tidak akan dibahas dalam session ini namun pada dasarnya ialah dengan cara melakuklan apa yang dinamakan “proses de-konsentrasi” secukupnya selama beberapa menit.
James T. Hardee MD. memberikan beberapa petunjuk untuk meningkatkan empati dokter kepada para pasien. Dalam Komunikasi Empati hal-hal itu dapat diperhatikan dan tentu akan sangat bermanfaat namun bukan merupakan syarat bagi keberhasilannya.
Langkah-langkah kunci yang disarankannya mencakup hal-hal seperti: 1. Mengakui adanya perasaan-perasaan kuat dalam situasi klinis bagi pasien seperti rasa takut, marah terpendam, kesedihan, kekecewaan dsb. 2. Berhenti sejenak dan membayangkan apa yang sedang diraskan oleh pasien yang bersangkutan. 3. Mengekspresikan persepsi doktervtentang perasaan pasien tersebut (Misalnya, “Saya dapat membayangkan bahwa anda...” atau “sepertinya anda merasa kesal tentang ...”) 4. Melegitimasi perasaan-perasaan tersebut. 5. Menghargai usaha-usaha pasien untuk bekerjasama dalam proses pengobatan. 6. Menawarkan suatu dukungan atau kerjasama (Misalnya: “Saya janji untuk memberikan kerjasama yang sebaik-baiknya...” atau ‘Mari kita lihat apa yang dapat kita lakukan bersama untuk mengatasi hal ini ...”) [6]
Kesimpulan Dan Penutup
Komunikasi Empati dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat, efektif dan efisien serta tidak kentara sebagai alat komunikasi antara dokter dengan pasien dalam suatu wawancara medis maupun sepanjang masa pengobatan.
Komunikasi Empati melampaui semua hal-hal yang mungkin dijangkau oleh wawancara biasa karena sistem ini dapat mendalami aspek nilai-nilai, pendapat pribadi, motivasi, kondisi kejiwaan serta perasaan-perasaan pasien yang mungkin segan atau tidak mungkin diungkapkannya secara sadar dan terbuka kepada dokternya.
Hasil-hasil dan manfaat nyata dari pada Komunikasi Empati dapat dinikmati secara bersama baik oleh pihak dokter maupun para pasien mereka. Dan apabila hal tersebut berlangsung pada suatu Rumah Sakit tertentu maka akan dapat mendatangkan manfaat sampingan juga bagi nama baik dan keuntungan nyata bagi Rumah Sakit yang bersangkutan.
Dengan demikian pasien bukan lagi hanya sekedar nomor urut senata-mata, atau suatu obyek ekonomi, melainkan adalah manusia seutuhnya yang sedang menghadapi masalah gangguan kesehatan tetapi yang dapat dipahami secara lebih menyeluruh dan dapat diperlakukan secara lebih manusiawi.
Perawat bahagia
BACA SELENGKAPNYA - Komunikasi Umum
INGIN BOCORAN ARTIKEL TERBARU GRATIS, KETIK EMAIL ANDA DISINI:
setelah mendaftar segera buka emailnya untuk verifikasi pendaftaran. Petunjuknya DILIHAT DISINI