kolom pencarian

KTI D3 Kebidanan[1] | KTI D3 Kebidanan[2] | cara pemesanan KTI Kebidanan | Testimoni | Perkakas
PERHATIAN : jika file belum ter-download, Sabar sampai Loading halaman selesai lalu klik DOWNLOAD lagi

08 January 2011

Askep BPH

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN MASALAH
BENIGNA PROSTAT HIPERTROPY


A. DEFINISI
BPH adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah Benigna Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami hiperplasia(sel-selnya bertambah banyak.
Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di benigna hiperplasia of prostat gland atau adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai.

B. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya Benigna Prostat Hipertropi belum diketahui secara pasti. Prostat merupakan alat tubuh yang bergantung kepada endokrin dan dapat pula dianggap undangan(counter part). Oleh karena itu yang dianggap etiologi adalah karena tidak adanya keseimbangan endokrin.
Namun menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 etiologi dari BPH adalah:
o Adanya hiperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan keseimbangan testosteron dan estrogen.
o Ketidakseimbangan endokrin.
o Faktor umur / usia lanjut.
o Unknown / tidak diketahui secara pasti.

C. PATOLOGI ANATOMI
Kelenjar prostate adalah suatu kelenjar fibro muscular yang melingkar Bledder neck dan bagian proksimal uretra. Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20 gram dengan ukuran rata-rata:
- Panjang 3.4 cm
- Lebar 4.4 cm
- Tebal 2.6 cm
Secara embriologis terdiro dari 5 lobur:
- Lobus medius 1 buah
- Lobus anterior 1 buah
- Lobus posterior 1 buah
- Lobus lateral 2 buah
Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan lobus posterior akan menjadi saru disebut lobus medius. Pada penampang lobus medius kadang-kadang tidak tampak karena terlalu kecil dan lobus ini tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Pada potongan melintang uretra pada posterior kelenjar prostat terdiri dari:
- Kapsul anatomis
- Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
- Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian:
Ø Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya
Ø Bagian tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut juga sebagai adenomatus zone
Ø Di sekitar uretra disebut periuretral gland
Saluran keluar dari ketiga kelenjar tersebut bersama dengan saluran dari vesika seminalis bersatu membentuk duktus ejakulatoris komunis yang bermuara ke dalam uretra. Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur, sedangkan pada oran dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya mudah teraba.
Sedangkan pada penampang tonjolan pada proses hiperplasi prostat, jaringan prostat masih baik. Pertambahan unsur kelenjar menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak dan berbatas jelas dengan jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan keluar cairan seperti susu.
Apabila jaringan fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu, padat dan tidak mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat menekan uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang juga penonjolan ini dapat menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar yang berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi dari vesika yang dapat mengakibatkan peradangan.



D. PATOFISIOLOGI
Menurut syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 adalah Umumnya gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan hormonal. Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma yang tersebar. Pembesaran adenoma progresif menekan atau mendesak jaringan prostat yang normal ke kapsula sejati yang menghasilkan kapsula bedah. Kapsula bedah ini menahan perluasannya dan adenoma cenderung tumbuh ke dalam menuju lumennya, yang membatasi pengeluaran urin. Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk mengosongkan kandung kemih. Serat-serat muskulus destrusor berespon hipertropi, yang menghasilkan trabekulasi di dalam kandung kemih.
Pada beberapa kasus jika obsruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung kemih menjadi struktur yang flasid, berdilatasi dan sanggup berkontraksi secara efektif. Karena terdapat sisi urin, maka terdapat peningkatan infeksi dan batu kandung kemih. Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan hidronefrosis.
Retensi progresif bagi air, natrium, dan urea dapat menimbulkan edema hebat. Edema ini berespon cepat dengan drainage kateter. Diuresis paska operasi dapat terjadi pada pasien dengan edema hebat dan hidronefrosis setelah dihilangkan obstruksinya. Pada awalnya air, elekrolit, urin dan beban solutlainya meningkatkan diuresis ini, akhirnya kehilangan cairan yang progresif bisa merusakkan kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan serta menahan air dan natrium akibat kehilangan cairan dan elekrolit yang berlebihan bisa menyebabkan hipovelemia.
Menurut Mansjoer Arif tahun 2000 pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius, terjadi perlahan-lahan. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat.
Sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.


F. MANIFESTASI KLINIS
Walaupun Benigna Prostat Hipertropi selalu terjadi pada orang tua, tetapi tak selalu disertai gejala-gejala klinik, hal ini terjadi karena dua hal yaitu:
1. Penyempitan uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih
2. Retensi urin dalam kandung kemih menyebabkan dilatasi kandung kemih, hipertrofi kandung kemih dan cystitis.
Adapun gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan Benigna Prostat Hipertrofi:
a. Retensi urin
b. Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing
c. Miksi yang tidak puas
d. Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia)
e. Pada malam hari miksi harus mengejan
f. Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria)
g. Massa pada abdomen bagian bawah
h. Hematuria
i. Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk mengeluarkan urin)
j. Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi
k. Kolik renal
l. Berat badan turun
m. Anemia
Kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui, pasien sama sekali tidak dapat berkemih sehingga harus dikeluarkan dengan kateter. Karena urin selalu terisi dalam kandung kemih, maka mudah sekali terjadi cystitis dan selaputnya merusak ginjal.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pada pasien Benigna Prostat Hipertropi umumnya dilakukan pemeriksaan:
1. Laboratorium
Meliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas dan biakan urin
2. Radiologis
Intravena pylografi, BNO, sistogram, retrograd, USG, Ct Scanning, cystoscopy, foto polos abdomen. Indikasi sistogram retrogras dilakukan apabila fungsi ginjal buruk, ultrasonografi dapat dilakukan secara trans abdominal atau trans rectal (TRUS = Trans Rectal Ultra Sonografi), selain untuk mengetahui pembesaran prostat ultra sonografi dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukut sisa urine dan keadaan patologi lain seperti difertikel, tumor dan batu (Syamsuhidayat dan Wim De Jong, 1997).
3. Prostatektomi Retro Pubis
Pembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui insisi pada anterior kapsula prostat.
4. Prostatektomi Parineal
Yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui perineum.


H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat adalah
a. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal.
b. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi
c. Hernia / hemoroid
d. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batu
e. Hematuria
f. Sistitis dan Pielonefritis

I. FOKUS PENGKAJIAN
Dari data yang telah dikumpulkan pada pasien dengan BPH : Post Prostatektomi dapat penulis kelompokkan menjadi:
a) Data subyektif:
- Pasien mengeluh sakit pada luka insisi.
- Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.
- Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan
- Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.
b) Data Obyektif:
- Terdapat luka insisi
- Takikardi
- Gelisah
- Tekanan darah meningkat
- Ekspresi w ajah ketakutan
- Terpasang kateter

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyamam: nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter
2. Perubahan pola eliminasi : retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder
3. Disfungsi seksual berhubungan dengan hilangnya fungsi tubuh
4. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée mikroorganisme melalui kateterisasi
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit, perawatannya.

K. RENCANA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu mempertahankan derajat kenyamanan secara adekuat.
Kriteria hasil:
- Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang
- Pasien dapat beristirahat dengan tenang.
Intervensi:
a. Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus serta penghilang nyeri.
b. Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi)
c. Beri ompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah
d. Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok, abdomen tegang)
e. Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasi
f. Lakukan perawatan aseptik terapeutik
g. Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat

2. Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder.
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan selama 5-7 hari pasien tidak mengalami retensi urin
Kriteria: Pasien dapat buang air kecil teratur bebas dari distensi kandung kemih.
Intervensi:
a. Lakukan irigasi kateter secara berkala atau terus- menerus dengan teknik steril
b. Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam keadaan tertutup
c. Observasi adanya tanda-tanda shock/hemoragi (hematuria, dingin, kulit lembab, takikardi, dispnea)
d. Mempertahankan kesterilan sistem drainage cuci tangan sebelum dan sesudah menggunakan alat dan observasi aliran urin serta adanya bekuan darah atau jaringan
e. Monitor urine setiap jam (hari pertama operasi) dan setiap 2 jam (mulai hari kedua post operasi)
f. Ukur intake output cairan
g. Beri tindakan asupan/pemasukan oral 2000-3000 ml/hari, jika tidak ada kontra indikasi
h. Berikan latihan perineal (kegel training) 15-20x/jam selama 2-3 minggu, anjurkan dan motivasi pasien untuk melakukannya.

3. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan sumbatan saluran ejakulasi, hilangnya fungsi tubuh
Tujuan: Setelah dilakukan perawatn selama 1-3 hari pasien mampu mempertahankan fungsi seksualnya
Kriteria hasil: Pasien menyadari keadaannya dan akan mulai lagi intaraksi seksual dan aktivitas secara optimal.
Intervensi:
a. Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya yang berhubungan dengan perubahannya
b. Jawablah setiap pertanyaan pasien dengan tepat
c. Beri kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan perasaannya tentang efek prostatektomi dalam fungsi seksual
d. Libatkan kelurga/istri dalam perawatan pmecahan masalah fungsi seksual
e. Beri penjelasan penting tentang:
i. Impoten terjadi pada prosedur radikal
j. Adanya kemungkinan fungsi seksual kembali normal
k. Adanya kemunduran ejakulasi
f. Anjurkan pasien untuk menghindari hubungan seksual selama 1 bulan (3-4 minggu) setelah operasi.

Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée ikroorganisme melalui kateterisasi
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan selama 1-3 hari pasien terbebas dari infeksi
Kriteria hasil:
a. Tanda-tanda vital dalam batas normal
b. Tidak ada bengkak, aritema, nyeri
c. Luka insisi semakin sembuh dengan baik
Intervensi:
a. Lakukan irigasi kandung kemih dengan larutan steril.
b. Observasi insisi (adanya indurasi drainage dan kateter), (adanya sumbatan, kebocoran)
c. Lakukan perawatan luka insisi secara aseptik, jaga kulit sekitar kateter dan drainage
d. Monitor balutan luka, gunakan pengikat bentuk T perineal untuk menjamin dressing
e. Monitor tanda-tanda sepsis (nadi lemah, hipotensi, nafas meningkat, dingin)

3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit, perawatannya
Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 1-2 hari
Kriteria : Secara verbal pasien mengerti dan mampu mengungkapkan dan mendemonstrasikan perawatan
Intervensi:
a. Motivasi pasien/ keluarga untuk mengungkapkan pernyataannya tentang penyakit, perawat
b. Berikan pendidikan pada pasien/keluarga tentang:
a. Perawatan luka, pemberian nutrisi, cairan irigasi, kateter
b. Perawatan di rumah
c. Adanya tanda-tanda hemoragi, infeksi

BACA SELENGKAPNYA - Askep BPH

REUMATIK

Asuhan Keperawatan dengan
Reumatik (artritis treumatoid)




Pendahuluan
Perubahan – perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan dengan makin meningkatnya usia. Perubahan tubuh terjadi sejak awal kehidupan hingga usia lanjut pada semua organ dan jaringan tubuh.
Keadaan demikian itu tampak pula pada semua sistem muskuloskeletal dan jaringan lain yang ada kaitannya dengan kemungkinan timbulnya beberapa golongan reumatik. Salah satu golongan penyakit reumatik yang sering menyertai usia lanjut yang menimbulkan gangguan muskuloskeletal terutama adalah osteoartritis. Kejadian penyakit tersebut akan makin meningkat sejalan dengan meningkatnya usia manusia.
Reumatik dapat mengakibatkan perubahan otot, hingga fungsinya dapat menurun bila otot pada bagian yang menderita tidak dilatih guna mengaktifkan fungsi otot. Dengan meningkatnya usia menjadi tua fungsi otot dapat dilatih dengan baik. Namun usia lanjut tidak selalu mengalami atau menderita reumatik. Bagaimana timbulnya kejadian reumatik ini, sampai sekarang belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Reumatik bukan merupakan suatu penyakit, tapi merupakan suatu sindrom dan.golongan penyakit yang menampilkan perwujudan sindroma reumatik cukup banyak, namun semuanya menunjukkan adanya persamaan ciri. Menurut kesepakatan para ahli di bidang rematologi, reumatik dapat terungkap sebagai keluhan dan/atau tanda. Dari kesepakatan, dinyatakan ada tiga keluhan utama pada sistem muskuloskeletal yaitu: nyeri, kekakuan (rasa kaku) dan kelemahan, serta adanya tiga tanda utama yaitu: pembengkakan sendi., kelemahan otot, dan gangguan gerak. (soenarto, 1982)
Reumatik dapat terjadi pada semua umur dari kanak – kanak sampai usia lanjut, atau sebagai kelanjutan sebelum usia lanjut. Dan gangguan reumatik akan meningkat dengan meningkatnya umur. (felson, 1993, soenarto dan wardoyo, 1994)

A. Defenisi.
Istilah rheumatism berasal dari bahasa yunani, rheumatismos yang berarti mucus, suatu cairan yang dianggap jahat mengalir dari otak ke sendi dan struktur klain tubuh sehingga menimbulkan rasa nyeri atau dengan kata lain, setiap kondisi yang disertai kondisi nyeri dan kaku pada sistem muskuloskeletal disebut reumatik termasuk penyakit jaringan ikat.
B. Klasifikasi.
Reumatik dapat dikelompokkan atas beberapa golongan, yaitu :
1. Osteoartritis.
Penyakit ini merupakan penyakit kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang lambat dan berhubungan dengan usia lanjut. Secara klinis ditandai dengan nyeri, deformitas, pembesaran sendi, dan hambatan gerak pada sendi – sendi tangan dan sendi besar yang menanggung beban.
2. Artritis rematoid.
Artritis rematoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dengan manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh. Terlibatnya sendi pada pasien artritis rematoid terjadi setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat progresifitasnya. Pasien dapat juga menunjukkan gejala berupa kelemahan umum cepat lelah.
3. Polimialgia reumatik.
Penyakit ini merupakan suatu sindrom yang terdiri dari rasa nyeri dan kekakuan yang terutama mengenai otot ekstremitas proksimal, leher, bahu dan panggul. Terutama mengenai usia pertengahan atau usia lanjut sekitar 50 tahun ke atas.
4. Artritis gout (pirai).
Artritis gout adalah suatu sindrom klinik yang mempunyai gambaran khusus, yaitu artritis akut. Artritis gout lebih banyak terdapat pada pria dari pada wanita. Pada pria sering mengenai usia pertengahan, sedangkan pada wanita biasanya mendekati masa menopause.



Osteoartritis
A. Defenisi
Osteoartritis adalah penyakit peradangan sendi yang sering muncul pada usia lanjut. Jarang dijumpai pada usia dibawah 40 tahun dan lebih sering dijumpai pada usia diatas 60 tahun.

B. Etiologi
Penyebab dari osteoartritis hingga saat ini masih belum terungkap, namun beberapa faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis antara lain adalah :
1. Umur.
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya orteoartritis semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Osteoartritis hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada umur dibawah 40 tahun dan sering pada umur diatas 60 tahun.
2. Jenis kelamin.
Wanita lebih sering terkena osteoartritis lutut dan sendi , dan lelaki lebih sering terkena osteoartritis paha, pergelangan tangan dan leher. Secara keeluruhan dibawah 45 tahun frekuensi osteoartritis kurang lebih sama pada laki
Dan wanita tetapi diatas 50 tahun frekuensi oeteoartritis lebih banyak pada wanita dari pada pria hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis osteoartritis.
3. Genetic
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis missal, pada ibu dari seorang wanita dengan osteoartritis pada sendi-sendi inter falang distal terdapat dua kali lebih sering osteoartritis pada sendi-sendi tersebut, dan anak-anaknya perempuan cenderung mempunyai tiga kali lebih sering dari pada ibu dananak perempuan dari wanita tanpa osteoarthritis.
4. Suku.
Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada osteoartritis nampaknya terdapat perbedaan diantara masing-masing suku bangsa, misalnya osteoartritis paha lebih jarang diantara orang-orang kulit hitam dan usia dari pada kaukasia. Osteoartritis lebih sering dijumpai pada orang – orang amerika asli dari pada orang kulit putih.
Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan.
5. Kegemukan
Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk timbulnya osteoartritis baik pada wanita maupun pada pria. Kegemukan ternyata tak hanya berkaitan dengan osteoartritis pada sendi yang menanggung beban, tapi juga dengan osteoartritis sendi lain (tangan atau sternoklavikula).

C. Patofisiologi.
Umur jenis kelamin genetik suku kegemukan perubahan metabolisme tulang, dan menurunkan kadar proteoglikan (berkurangnya kadar proteoglikan akan meningkatkan aktivitas enzim yang merusak makro molekul matriks tulang rawan sendi, menyebabkan kerusakan fokal tulang rawan pembentukan tulang baru pada sendi yang progresif tulang rawan, sendi dan tepi sendi akan terjadi pula ), perubahan sifat sifat kolagen, berkurangnya kadar air tulang rawan sendi, dan permukaan tulang rawan sendi terbelah pecah dengan robekan timbul laserasi

D. Menifestasi klinis
Gejala-gejala utama ialah adanya nyeri pada sendi yang terkena, terutama waktu bergerak. Umumnya timbul secara perlahan-lahan, mula-mula rasa kaku, kemudian timbul rasa nyeri yang berkurang saat istirahat. Terdapat hambatan pada pergerakan sendi, kaku pagi , krepitasi, pembesaran sendi, dan perubahan gaya berjalan.

E. Pemeriksaan penunjang
Rontgen sendi : untuk mengetahui keadaan sendi
Rentang gerak sendi

F. Penatalaksanaan
1. Obat obatan
Sampai sekarang belum ada obat yang spesifik yang khas untuk osteoartritis, oleh karena patogenesisnya yang belum jelas, obat yang diberikan bertujuan untuk mengurangi rasa sakit, meningkatkan mobilitas dan mengurangi ketidak mampuan.
Obat-obat anti inflamasinon steroid bekerja sebagai analgetik dan sekaligus mengurangi sinovitis, meskipun tak dapat memperbaiki atau menghentikan proses patologis osteoartritis.
2. Perlindungan sendi
Osteoartritis mungkin timbul atau diperkuat karena mekanisme tubuh yang kurang baik. Perlu dihindari aktivitas yang berlebihan pada sendi yang sakit. Pemakaian tongkat, alat-alat listrik yang dapat memperingan kerja sendi juga perlu diperhatikan. Beban pada lutut berlebihan karena kakai yang tertekuk (pronatio).
3. Diet
Diet untuk menurunkan berat badan pasien osteoartritis yang gemuk harus menjadi program utama pengobatan osteoartritis. Penurunan berat badan seringkali dapat mengurangi timbulnya keluhan dan peradangan.
4. Dukungan psikososial
Dukungan psikososial diperlukan pasien osteoartritis oleh karena sifatnya yang menahun dan ketidakmampuannya yang ditimbulkannya. Disatu pihak pasien ingin menyembunyikan ketidakmampuannya, dipihak lain dia ingin orang lain turut memikirkan penyakitnya. Pasien osteoartritis sering kali keberatan untuk memakai alat-alat pembantu karena faktor-faktor psikologis.
5. Persoalan seksual
Gangguan seksual dapat dijumpai pada pasien osteoartritis terutama pada tulang belakang, paha dan lutut. Sering kali diskusi karena ini harus dimulai dari dokter karena biasanya pasien enggan mengutarakannya.
6. Fisioterapi
Fisioterapi berperan penting pada penatalaksanaan osteoartritis, yang meliputi pemakaian kompres panas dan dingin dan program latihan ynag tepat. Pemakaian panas yang sedang diberikan sebelum latihan untuk mengurangi rasa nyeri dan kekakuan.
Pada sendi yang masih aktif sebaiknya diberi kompres dingin dan obat-obat gosok jangan dipakai sebelum pamanasan. Berbagai sumber panas dapat dipakai seperti hidrokolator, bantalan elektrik, ultrasonic, inframerah, mandi paraffin dan mandi dari pancuran panas.
Program latihan bertujuan untuk memperbaiki gerak sendi dan memperkuat otot yang biasanya atropik pada sekitar sendi osteoartritis.
latihan isometric lebih baik dari pada isotonic karena mengurangi tegangan pada sendi. Atropi rawan sendi dan tulang yang timbul pada tungkai yang lumpuh timbul karena berkurangnya beban ke sendi oleh karena kontraksi otot. Oleh karena otot-otot periartikular memegang peran penting terhadap perlindungan rawan senadi dari beban, maka penguatan otot-otot tersebut adalah penting.
7. Operasi
Operasi perlu dipertimbangkan pada pasien osteoartritis dengan kerusakan sendi yang nyata dengan nyari yang menetap dan kelemahan fungsi. Tindakan yang dilakukan adalah osteotomy untuk mengoreksi ketidaklurusan atau ketidaksesuaian, debridement sendi untuk menghilangkan fragmen tulang rawan sendi, pebersihan osteofit.

Asuhan keperawatan

1. Aktifitas
Gejala: nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk dengan stress pada sendi : kekakuan pada pagi hari, keletihan,
Tanda: malaise, keterbatasan rentang gerak ; atrofi otot, kulit : kontraktur atau kelainan pada sendi dan otot
2. Kardiovaskuler
Gejala : jantung cepat, tekanan darah menurun
3. Integritas ego
Gejala: faktor-faktor stress akut atau kronis : misalnya finansial, pekerjaan, ketidakmampuan, factor-faktor hubungan, keputusasaan dan ketidak berdayaan, ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi misalnya ketergantungan pada orang lain
4. Makanan dan cairan
Gejala: ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi makanan/ cairan adekuat : mual, anoreksia, kesulitan untuk mengunyah, tanda: penurunan berat badan, kekeringan pada membran mukosa
5. Higiene
Gejala: berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas pribadi, ketergantungan pada orang lain.
6. Neurosensori
Gejala: kebas/kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari tangan tanda: pembengkakan sendi 7. Kenyamanan
Gejala: fase akut dari nyeri, terasa nyeri kronis dan kekakuan
8. Keamanan
Gejala: kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah tangga, kekeringan pada mata dan membran mukosa
9. Interaksi sosial
Gejala: kerusakan interaksi dan keluarga / orang lsin : perubahan peran: isolasi

Diagnosa keperawatan
1. Nyeri b/d penurunan fungsi tulang
Kriteria hasil: nyeri hilang atau tekontrol
Intervensi dan Rasional
Mandiri
- Kaji keluhan nyeri, catat lokasi dan intensitas (skala 0 – 10). Catat faktor-faktor yang mempercepat dan tanda-tanda rasa sakit non verbal
- Berikan matras atau kasur keras, bantal kecil. Tinggikan line tempat tidur sesuai kebutuhan
- Biarkan pasien mengambil posisi yang nyaman pada waktu tidur atau duduk di kursi. tingkatkan istirahat di tempat tidur sesuai indikasi
- Dorong untuk sering mengubah posisi. Bantu pasien untuk bergerak di tempat tidur, sokong sendi yang sakit di atas dan di bawah, hindari gerakan yang menyentak
- Anjurkan pasien untuk mandi air hangat atau mandi pancuran pada waktu bangun. Sediakan waslap hangat untuk mengompres sendi-sendi yang sakit beberapa kali sehari. Pantau suhu air kompres, air mandi
- Berikan masase yang lembut
Kolaborasi
- Analgetika
Rasionalisasi
- Membantu dalam menentukan kebutuhan managemen nyeri dan keefektifan program
- Matras yang lembut/empuk, bantal yang besar akan mencegah pemeliharaan kesejajaran tubuh yang tepat, menempatkan setres pada sendi yang sakit. Peninggian linen tempat tidur menurunkan tekanan pada sendi yang terinflamasi / nyeri
- Pada penyakit berat, tirah baring mungkin diperlukan untuk membatasi nyeri atau cedera sendi.
- Mencegah terjadinya kelelahan umum dan kekakuan sendi. Menstabilkan sendi, mengurangi gerakan/rasa sakit pada sendi
- Panas meningkatkan relaksasi otot dan mobilitas, menurunkan rasa sakit dan melepaskan kekakuan di pagi hari. Sensitifitas pada panas dapat dihilangkan dan luka dermal dapat disembuhkan
- Meningkatkan elaksasi/mengurangi tegangan otot
- Meningkatkan relaksasi, mengurangi
- Beri obat sebelum aktivitas atau latihan yang direncanakan sesuai petunjuk seperti asetil salisilat (aspirin)
- Tegangan otot, memudahkan untuk ikut serta dalam terapi

2. Intoleran aktivitas b/d perubahan otot.
Kriteria hasil : klien mampu berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan.
Intervensi dan Rasional
- Perahankan istirahat tirah baring/duduk jika diperlukan.
- Bantu bergerak dengan bantuan seminimal mungkin.
- Dorong klien mempertahankan postur tegak, duduk tinggi, berdiri dan berjalan.
- Berikan lingkungan yang aman dan menganjurkan untuk menggunakan alat bantu.
- Berikan obat-obatan sesuai indikasi seperti steroidm sistemik akut.
Rasionalisasi
- Untuk mencegah kelelahan dan mempertahankan kekuatan.
- Meningkatkan fungsi sendi, kekuatan otot dan stamina umum.
- Memaksimalkan fungsi sendi dan mempertahankan mobilitas.
- Menghindari cedera akibat kecelakaan seperti jatuh.
- Untuk mene kan inflamasi

3. Resiko tinggi cedera b/d penurunan fungsi tulang.
Kriteria hasil : Mempertahankan keselamatan klien
Intervensi dan Rasional
- Kendalikan lingkungan dengan : menyingkirkan bahaya yang tampak jelas, mengurangi potensial cedera akibat jatuh ketika tidur misalnya menggunakan penyanggah tempat tidur, usahakan posisi tempat tidur rendah, gunakan pencahayaan malam
- Siapkan lampu panggil untuk memudahkan komunikasi
- Hindarkan klien dari kekhawatiran yang konstan. Yang akan meningkatkan ansietas.
- Memantau regimen medikasi izinkan kemandirian dan kebebasan maksimum dengan memberikan kebebasan dalam lingkungan yang aman, hindari penggunaan restrain, ketika pasien melamun alihkan perhatiannya
Rasionalisasi
- Lingkungan yang bebas bahaya akan mengurangi resiko cedera dan membebaskan keluaraga
- Hal ini akan memberikan pasien merasa otonomi, restrain dapat meningkatkan agitasi, mengegetkan pasien

BACA SELENGKAPNYA - REUMATIK

AKUT RESPIRATORI DISTRES SINDROM

AKUT RESPIRATORY DISTRES SINDROM



LATAR BELAKANG
ARDS adalah kondisi disfungsi parenkim paru yang dikarateristikan oleh (1) kejadian antesenden mayor,(2) eksklusikardiogenik menyebabkan edema paru,(3) adanya takipnea dan hipoksia,dan(4) infiltrate pucat pada foto dada.
ARDS ( juga disebutb syok paru) akibat cedera paru dimana sebelumnya paru sehat ,sindrom ini mempengaruhi kurang lebih 150.000 sampai 200.000 pasien tiap tahun ,dengan laju mortalitas 65% untuk semua pasien yang mengalami ARDS. Faktor resiko menonjol adalah sepsis . kondisi pencetus lain termasuk trauma mayor, KID, tranfusi darah, aspirasi tenggelam, inhalasi asap atau kimia, gangguan metabolik toksik, pankreatitis, eklamsia, dan kelebihan dosis obat. Perawatan akut secara khusus menangani perawatan kritis dengan intubasi dan ventilasi mekanik (Doenges 1999 hal 217).
TUJUAN UMUM
Setelah mempelajari dan mengikuti seminar ini peserta didik atau mahasiswa mempunyai pengetahuan baik dari sisi medis dan perawatan tentang Adult Respiratory Distres Sindrom (ARDS).
TUJUAN KHUSUS
Setelah mempelajari, dan mengikut seminar ini pesrta mempunyai pengetahuan yang cukup untuk :
1. Mendefinisikan tentang ARDS
2. Menggambarkan dan mendiskusikan tentang ARDS.
3. Menggambarkan peran surfaktan pada terjadinya ARDS
4. Mendiskusikan abnormalitas ventilasi- perfusi pada ARDS.
5. Mengidentifikasi tanda dan gejala pada ARDS
6. Menggambarkansecara rinci patofisiologi dan penatalksnaan medis pada ARDS.
7. Melakukan pengkajian,mendiagnosa, dan mengidentifikasi intervensi keperawtan yang berhubungan dengan ARDS.
8. Mendiskusikan potensial komplikasi ARDS dan intervensi yang berhubungan. .




BAB II
KONSEP DASAR

ADULT RESPIRATTORY DISTERSS SYNDROM
A. MEDIS
1. PENGERTIAN
Sindrom Gawat Nafas Dewasa atau ARDS juga dikenal dengan edema paru non kardiogenik adalah sindrom klinis yang di tandai dengan penurunan progesif kandungan oksigen arteri yang terjadi setelah enyakit atau cedera serius (Brunner& Suddart hal :615) menurut TJ. Pettty 1967 Adult respiratory distress sindrom adalah istilah yang diterapkan untuk sindrom gagal nafas , hioksemia akut tanpa hiperkapnea . Sedangkan menurut (Doenges 1999) sindrom distress pernafasan dewasa adalah kondisi disfungsi parenkim paru yang dikarakteristikan oleh kejadian antesenden mayor, ekslusi kardiogenik menyebabkan edema paru , adanya takipnea , hipoksia, dan infiltrate pucat pada foto dada.
2. ETIOLOGI
a. Syok sepsis , hemoragis, kardiogenik ,dan analfilatik.
b.Trauma ; kontusio pulmonal , non pulmonal dan multisistem.
c. Infeksi : pneumonia, tuberculosis dan miliaris.
d.Koagulasi intravaskuler diseminata.( KID ).
e. Emboli lemak.
f. Aspirasi kandungan lambung yang sangat asam
g. Menghirup agen beracun ,asap, fosgen dan nitrogen oksida dan atau bahan korosif.
h. Pankreatitis
i. Toksisitas oksigen
j. Penyalahgunaan obat-obatan dan narkotika (Yasmin Asih …Hal 126).
3. PATOFISIOLOGI
ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran alveolar kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel alveolar dan perubahan dalam jaring- jaring kapiler , terdapat ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang jelas akibat akibat kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstansif darah dalam paru- paru.ARDS menyebabkan penurunan dalam pembentuka surfaktan , yang mengarah pada kolaps alveolar . Komplians paru menjadi sangat menurun atau paru- paru menjadi kaku akibatnya adalah penuruna karakteristik dalam kapasitas residual fungsional, hipoksia berat dan hipokapnia ( Brunner & Suddart 616).
. Peubahan patofisiologi berikut ini mengakibatkan sindrom klinis yang dikenal sebagai ARDS ( Philip etal,1995) :
a. Sebagai konsekuensi dari serangan pencetus , complement cascade menjadi aktif yang selanjutnya meningkatkan permeabilitas dinding kapiler.
b. Cairan , lekosit, granular, eritrosit, makrofag , sel debris, dan protein bocor kedalam ruang interstisiel antar kapiler dan alveoli dan pada akhirnya kedalam ruang alveolar.
c. Karena terdapat cairan dan debris dalam interstisium dan alveoli maka area permukaan untuk pertukaran oksigen dan CO2 menurun sehingga mengakibatkan rendahnyan rasio ventilasi - perfusi dan hipoksemia .
d. Terjadi hierventilasi kompensasi dari alveoli fungsional, sehingga mengakibatkan hipokapnea dan alkalosis resiratorik.
e. Sel- sel yang normalnya melaisi alveoli menjadi rusak dan diganti oleh sel-sel yang tidak menghasilkan surfaktan ,dengan demikian meningkatkan tekanan pembukaan alveolar.
ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah mengalami trauma fisik, meskipun dapat juga terjadi pada individu yang terlihat sangat sehat segera sebelum awitan ,misalnya awitan mendadak seperti infeksi akut.Biasanya terdapat periode laten sekitar 18- 24 jam dari waktu cedera paru sampai berkembang menjadi gejala .durasi sindrom dapat dapat beragam dari beberapa hari sampai beberapa minggu .asien yang tampak akan pulih dari ARDS data secara mendadak relaps kedalam penyakit pulmonary akut akibat serangan sekunder seperti pneumotorak atau infeksi berat (Yasmin Asih…Hal 125).
Sebenarnya sistim vaskuler paru sanggup menampung penambahan volume darah sampai 3 kali normalnya ,namun pada tekanan tertentu , catran bocor keluar masuk ke jaringan interstisieldan terjadi edema paru.( Jan Tambayog 2000 , hal 109).


4. MANIFESTASI KLINIS
a. Distres pernafasan akut ; takipnea, dispnea , pernafsan menggunakan otot aksesoris pernafasan dan sianosis sentral.
b. Batuk kering dan demam yang terjadi lebih dari beberapa jam sampai sehari- an.
c. Krkels halus di seluruh bidang paru.
d. Perubahan sensorium yang berkisar dari kelam pikir dan agitasi sampai koma ( YasminAsih …Hal 128 ).


5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Sinar X dada ,terdapat infiltrsi jaringan parut lokasi terpusat pada region perihilir paru .Pada tahap lanjut , interstisial bilatareral difus dan alveolar infiltrate menjadi bukti dan dapat melibatkan semua lobus paru .Ukuran jantung normal,berbeda dari edema paru kardogenik .
Gas darah arteri seri membedakan gambaran kemajuan hipoksemia,hipokabniadapat terjadi pada tahap awal sehubungan dengan hierventilasi .Alkalosis respiratorik dapat terjadipada tahap dini dan pada tahap lanjut terjadi asidosis metabolik.
Tes fungsi paru ,Pengukuran pirau, dan kadar asam laktat meningkat (Doenges1999 Hal 218 – 219 ).

6. PENATALAKSANAAN
a. Mengidentifikasi dan mengatasi penyebab
b. Memastikan ventilasi yang adekuat.
c. Memberikan dukungan sirkulasi
d. Memastikan volume cairan yang adekuat
e. Memberikan dukungan nutrisi adekuat ( Brunner & Suddart Hal 616)
7. PROGNOSIS
ARDS telah menunjukan hubungan dengan angka kematian 50% samai 60%.Angka bertahan hidup sedikit meningkat ketika penyebabnya dapat ditentukan, serta diobati secara dini dan agresif, terutama penggunaan tekanan akhir ekspirasi positif. ( Brunner & Suddart Hal 616).


B. KEPERAWATAN
1. FOKUS PENGKAJIAN
a. Aktifitas / Istirahat
Gejala Kekurangan energi/ kelelehan. dan Insomnia.
b. Sirkulasi
Gejala Riwayat adanya bedah jantung / bypass jantung paru, fenomena emboli.
Tanda Tekanan darah dapat normal atau meningkat pada awal berlanjut menjadi hipoksia . Hipotensi terjadi pada tahap lebih (syok) atau dapat faktor pencetus seperti pada eklamsia.
Frekuensi jantung takikardia
Bunyi jantung normal pada tahap dini ,S2 dapat terjadi, disritmia,EKG sering normal.
Kulit dan membrane mukosa lembab.

c. Integritas Ego
Gejala Ketakutan ,ancaman perasaan takut.
Tanda Gelisah, agitsi, gemetar, mudah terangasang, Perubahan mental.
d. Makanan / cairan
Gejala Anoreksia dan mual.
Tanda Edema/ perubahan berat badan.
e. Neurosensori
Gejala / Tanda Adanya trauma kepala,mental lamban ,disfungsi
motor.
f. Pernafasan
Gejala Adanya apirasi / tenggelam ,inhalasi asap /gas,
Infeksi difus paru,kesulitan nafas,lapar udara.
Tanda Pernafasan cepat dan dangkal ,peningkatan kerja
nafas,penggnaan otot- otot aksesoris pernafasan
Bunyi nafas pada awl normal , krekels, ronki, bronchial, perkusi dada bunyi pekak diatas area konsolidasi, Espansi dad menurun /tak sama,peningkatan fremitus, sputum sedikit dan berbusa.Pucat dan sianosis. Penurunan memtal dan bingung.
g. Keamanan
Gejala Riwayat trauma ortopedi/fraktur,sepsis,tranfusi darah,episode analfilatik.
h. Seksualitas
Gejala/ Tanda Kehamilan dengan adanya komplikasi eklamsia
i. Penyuluhan / pembelajaran
Gejala Makanan / kelebihan dosis obat.
( Dongoes 1999,hal 217-218).



FOKUS INTERVENSI
DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN RASIONAL
Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan peningkatan / kekentalan sekret paru ,meningkatnya tahananjalan nafas, dan kehilangan fungsi silia jalan nafas.ditandai dengan:
Laporan dispnea,perubahan kedalman dan fekuensi pernafasan ,penggunaan otot aksesori pernafasan batuk dengan atau tanpa seputum,dan gelisah.
Hasil yang diharapkan :
o Menyatakan / menunjukan hilangnya dispnea.
o Mempertahan kan jalan nafas yang paten .
o Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan.
o Menunjukan perilaku mempertahankan bersihan jalan nafas.
Intervensi
a. Catat perubahan upaya dan pola bernafas.
b. Observasi penurunan ekspansi diding dada dan adnya peningkatan fremitus
c. Catat karakteristik bunyi nafas.
d. Catat karakteristik batuk.
e. Pertahankan posisi kepala tepat dan gunakan alat jalan nafas sesuai kebutuhan
f. Bantu dengan batuk/ nafas dalam ubah posisi penghisapan sesuai indikasi.
g. Berikan oksigen lembab, cairan IV , berikan kelembaban ruangan yang tepat.
h. Berikan terapi aerosol/ nebulaizer.
i. Lakukan fisiotherapi dada.
j. Berikan bronkodilator
Rasional
a. Penggunaan otot aksesoris pernafasan dan pelebaran hidung menunjukan peningkatan upaya bernafas.
b. Ekspansi dada tak sama /terbatas sehubungan akumulasi cairan, edema, dan secret.konsolidasi paru dapat meningkatkan fremitus.
c. Bunyi nafas menujukan aliran udara melalui trakheobronkial dipengaruhi adanya mi\ukus atau adanya obstrusi aliran udara lain.
d. Karakteristik batuk dapat berubah tergantung etiologi gagal nafas.
e. Memudahkan memelihara jalan nafas paten.
f. Penggumpulan sekresi mengganggu ventilasi.
g. Kelembaban menghilangkan dan memobilisasi secret , meningkatka transport oksigen.
h. Pengobatan ditujukan untuk mengirimkan oksigen/ bronkodilatasi.
i. Meningkatkan drainase sekret paru ke sentral bronchus.
j. Menghilangkan sepasme dan meurunkan viskositas sekret.

Kerusakan pertukaran gas berhubungan akumulasi cairan dan protein dalam area alveolar,hipoventilasi alveolar dan kehilangan surfaktan menyebabkan kolap alveolar yang ditandai dengan :
Takipnea,penggunaan otot aksesoris pernafasan, sianosis, perubahan GDA,ketidakcocokan ventilasi /perfusi.
Hasil yang diharapkan :
o Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigenasi adekuat dengan GDA dalam rentang normal.
o Berpartisipasi dalam program pengobatan sesuai kemampuan.
Intervensi
a. Kaji status pernafasan pasien
b. Catat ada tidaknya bunyi nafas tambahan.
c. Kaji adanya sianosis
d. Observsi kecenderungan tidur, apatis, tidak perhatian gelisah, bingung, somnolen.
e. Auskultasi frekuensi dan irama jantung.
f. Berikan peiode istirahat dan lingkungan yang tenang.
g. Dorong penggunaan nafas bibir bila di indikasikan
h. Berikan oksigen lembab dengan masker sesuai indikasi.
i. Kaji seri foto dada.
j. Awasi gambaran seri GDA/ oksimetri nadi.
k. Berikan obat – obat sesuai indikasi.
Rasional
a. Takipnea mekanisme kompensasi untuk hipoksemia.
b. Bunyi nafas dapat menurun ,krekels adalah bukti adanya cairan dalam area jaringan akibat peningkatan permeabilitas membrane alveolar kapiler. Mengi diakibatkan adanya penyempitan jalan nafas .
c. Penurunan O2 bermakna terjdi sebelum sianosis,sianosis sentaral terlihat pada bibir, lidah dan daun telinga. Sedangkan perifer kuku dan ekstrimitas sehubungan dengan vasokontriksi.
d. Dapat menunjukan berlanjutnya hipoksemia dan / asidosis.
e. Hipoksemia dapat menyebabkan mudah terangsang pda myocardium , menghasilkan berbagai disritmia.
f. Menghemat energi pasien dan menurunkan kebutuhan O2.
g. Dapat membantu pasien yang sembuh dari penyakit kronis, yang mengakibatkan destruksi parenkim paru.
h. Memaksimalkan sediaan O2 untuk pertukaran dengan tekanan jalan nafas positif kontinu.
i. Menunjukan kemajuan dan kemunduran kongesti paru.
j. Menunjukan ventilasi / oksigenasi dan status asam basa.

Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan penggunaan deuretik ,perpindahan cairan kearea lain.

Hasil yang di harapkan yaitu menunjukan volume cairan normal ysng dibuktikan dengan TD normal,kecepatan berat badan dan haluaran urin dalam batas normal.
Intervensi
a. Awasi tanda – tanda vital.
b. Catat peubahan mental, turgor kulit,Hidrasi membrane mukosa dan karakter sputum.
c. Monitor masukan dan pengeluaran cairan ,keseimbangan cairan dan catat kehilamngan tak tampak.
d. Timbang berat badan setiap hari.
e. Berikan cairan dalam observasi ketat sesuai indikasi.
f. Awasi / ganti elektrolit sesuai indikasi.
Rasional
a. Kekurangan / perpindahan cairan meningkatkfrekuensi jantung ,nenurunkan tekanan darah dan mengurangi volume nadi.
b. Penuruna curah jntung mempengaruhi perfusi jaringan.
c. Memberikan informasi tentang status cairan pasien.
d. Perubahan cepat menujukan gangguan dalam cairan tubuh total.
e. Memperbaiki/ mempertahan kan volume sirkulasi.
f. Elektrolit dapat menurun akibat terapi deuretik.
Ansients /Ketakutan berhubungan dengan krisis situasi,ancaman untuk perubahan status kesehatan ,takut mati dan factor psikolgis( efek hipoksemia).ditandai dengan:
· Menyatakan masalah sehubungan dengan perubahan kejadian hidup.
· Peningatan tegangan dan tak berdaya.
· Ketakutan dan gelisah.
Hasil yang di harapkan :
· Menyatakan kesadaran terhadap ansientas dan cara sehat untuk mengatsinya
· Mengakui dan mendiskusikan takut.
· Tampak rileks dan melaporkan ansientas menurun.
Intervensi
a. Observasi peningakatan kegagalan pernafasan,agitasi ,gelisah dan emosi labil.
b. Bantu dengan teknik relaksasi, bimbingan imaginasi.
c. Indentifikasi persepsi pasien terhadap ancaman yang ada oleh situasi.
d. Dorong pasien untuk menyatakan persaanya.
e. Akui kenyataan stress tanpa menyangkal atau meyakinkan bahwa segalanya akn baik
f. Identifikasi tehnik yang digunakan pasien sebelunya untukmengatasi ansientas
g. Bantu orang terdekat untuk berrespon positif pada pasien / situasi .
h. Berikan sedative sesuai indikai.
Rasional
a. Memburuknya hipoksemia dapat menyebabkan / meningkatkan ansientas.
b. Menurunkan ansietas dengan meningkatkanrelaksasi.
c. Memberikan kesempatan kepada pasien menangani/ mengontrol ansetasnya sendiri.
d. Membantu mengenal ansetas dan membantu mengidntifiksi tindakan yng dapat membantu individu.
e. Langkah awal dalam mengatasi perasaan adalah identifikasi tehadap identifikasi dan ekspresi . Mendorong penerimaan situasi dan kemampuan diri untuk mengatasi.
f. Membantu pasien menerima apa yang terjadi dan dapat menurunkan tingkat ansietas.
g. Fokus pehatian pada ketrampilan pasien yang telah dilalui dan meningkatkan rasa kontrol diri.
h. Meningkatkan penurunan ansietas melihat orang lain tetap tenang.karena ansietas dapat menular keorang lain
i. Mungkn diperlukanuntuk membantu menangani ansietas .( Doenges 1999 hal 218 - 223 )
BACA SELENGKAPNYA - AKUT RESPIRATORI DISTRES SINDROM

Mortalitas

Mortalitas

Mortalitas atau kematian dapat menimpa siapa saja, tua, muda, kapan dan dimana saja. Kasus kematian terutama dalam jumlah banyak berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, adat istiadat maupun masalah kesehatan lingkungan. Indikator kematian berguna untuk memonitor kinerja pemerintah pusat maupun lokal dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Penyebab Kematian

Kematian dewasa umumnya disebabkan karena penyakit menular, penyakit degeneratif, kecelakaan atau gaya hidup yang beresiko terhadap kematian. Kematian bayi dan balita umumnya disebabkan oleh penyakit sistim pernapasan bagian atas (ISPA) dan diare, yang merupakan penyakit karena infeksi kuman. Faktor gizi buruk juga menyebabkan anak-anak rentan terhadap penyakit menular, sehingga mudah terinfeksi dan menyebabkan tingginya kematian bayi dan balita di sesuatu daerah.

Kematian dan Faktor Sosial Ekonomi

Faktor sosial ekonomi seperti pengetahuan tentang kesehatan, gisi dan kesehatan lingkungan, kepercayaan, nilai-nilai, dan kemiskinan merupakan faktor individu dan keluarga, mempengaruhi mortalitas dalam masyarakat (Budi Oetomo, 1985). Tingginya kematian ibu merupakan cerminan dari ketidak tahuan masyarakat mengenai pentingnya perawatan ibu hamil dan pencegahan terjadinya komplikasi kehamilan.

Komitmen untuk mencapai tujuan Millenium Development Goal (MDG)

Dalam hal kematian, Indonesia mempunyai komitmen untuk mencapai sasaran Millenium Development Goals (MDG) untuk menurunkan Angka Kematian Anak sebesar dua per tiga dari angka di tahun 1990 atau menjadi 20 per 1000 kelahiran bayi pada tahun 2015 dan menurunkan kematian ibu sebesar tiga perempatnya menjadi 124 per 100.000 kelahiran.

Untuk mencapai tujuan ini diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dari berbagai instansi terkait, mulai dari pemerintah baik pusat maupun daerah, LSM dan masyarakat pada umumnya. Program-program apa yang perlu dikembangkan untuk tujuan ini, serta indikator-indikator apa yang perlu diperhatikan untuk menurunkan Angka Kematian Balita dan Angka Kematian Ibu?

efinisi Mortalitas

Mortalitas atau kematian merupakan salah satu dari tiga komponen demografi selain fertilitas dan migrasi, yang dapat mempengaruhi jumlah dan komposisi umur penduduk.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kematian sebagai suatu peristiwa menghilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara permanen, yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup.

ndikator Mortalitas

Bermacam-macam indikator mortalitas atau angka kematian yang umum dipakai adalah:

1. Angka Kematian Kasar (AKK) atau Crude Death Rate (CDR).

2. Angka Kematian Bayi (AKB)

3. Angka Kematian Balita (AKBa 0-5 tahun)

4. Angka Kematian Anak (AKA 1-5 tahun)

5. Angka Kematian IBU (AKI)

6. Angka Harapan Hidup (UHH) atau Life Expectancy.

BACA SELENGKAPNYA - Mortalitas

Dispepsia

Dispepsia

Dispepsia adalah kondisi yang umum dan bentuk yang paling sering dijumpai adalah Dispepsia Non Ulkus (DNU). Setelah menyingkirkan kelainan organik, dokter dan pasien harus menentukan bersama apakah dilakukan endoskopi awal untuk menegakkan diagnosis pasti terlebih dahulu atau dicoba sebelumnya dengan terapi empirik. Antasid, Antagonis Reseptor H2 dan obat promotilitas efektif untuk beberapa pasien dan peranan HP dalam DNU masih sedang dipelajari. Untuk membantu dokter dalam menghadapi pasien dispepsia dibentuk algoritma pengobatan, walaupun masih banyak versi. Penanganan stres dan dibentuknya hubungan yang baik antara dokter dan pasien juga memegang peranan penting terutama untuk pasien dengan gejala yang kronis.

PENDAHULUAN

Dispepsia merupakan keluhan yang sangat umum, terjadi pada lebih dari seperempat populasi, tetapi hanya kurang lebih seperempatnya berkonsultasi ke dokter. Dalam suatu penelitian mengenai dispepsia kronis yang belum diketahui penyebabnya dengan bantuan endoskopi, ternyata sebagian besar adalah termasuk Dispepsia Non Ulkus (DNU). (7,9 )

Sejak dulu DNU sering dihubungkan dengan psikosomatis terutama apabila gejala tersebut berhubungan dengan kecemasan, kelelahan, depresi atau stres emosional sehingga disebut dengan Dispepsia Fungsional. (3)

Pengetahuan baru mengenai peranan Helicobacter Pylori (HP) dalam patogenesis penyakit ulkus peptikum telah mendorong evaluasi kembali pendekatan klinik yang optimal terhadap DNU.(9)


DEFINISI DAN KLASIFIKASI

Dispepsia adalah istilah non spesifik yang dipakai pasien untuk menjelaskan keluhan perut bagian atas. Gejala tersebut bisa berupa nyeri atau tidak nyaman, kembung, banyak flatus, rasa penuh, bersendawa, cepat kenyang dan borborygmi ( suara keroncongan dari perut ). Gejala ini bisa akut, intermiten atau kronis.(3,4,7,9)

Istilah gastritis yang biasanya dipakai untuk menggambarkan gejala tersebut di atas sebaiknya dihindari karena kurang tepat.(7,9)

Dispepsia Non Ulkus (DNU) atau Dispepsia Idiopatik adalah dispepsia kronis atau berulang berlangsung lebih dari 1 bulan dan sedikitnya selama 25% dalam kurun waktu tersebut gejala dispepsia muncul, tidak ditemukan penyakit organik yang bisa menerangkan gejala tersebut secara klinis, biokimia, endoskopi (tidak ada ulkus, tidak ada oesophagitis dan tidak ada keganasan) atau radiografi.(6,14)

Dispepsia tanpa kelainan endoskopi yang bukan diklasifikasikan sebagai DNU dapat pula ditemukan pada Sindrom Kolon Iritatif, refluks gastroesofageal, penyakit saluran empedu, penggunaan obat, intoleransi makanan dan penyakit sistemik lainnya. (6,9) (lihat Tabel 1.). Penggunaan obat seperti OAINS dan kortikosteroid dapat pula menyebabkan kelainan struktural mulai dari gastritis(erosif dan hemorhagik) sampai dengan ulkus gaster / duodenum. (1)


Tabel 1. Klasifikasi Dispepsia Berdasarkan Etiologi


A. Idiopatik atau DNU

B. Organik

I. Obat-obatan

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), Antibiotik (makrolides, metronidazole), Besi, KCl, Digitalis, Estrogen, Etanol (alkohol), Kortikosteroid, Levodopa, Niacin, Gemfibrozil, Narkotik, Quinidine, Theophiline

II. Idiosinkrasi makanan (intoleransi makanan)

a. Alergi

susu sapi, putih telur, kacang, makanan laut, beberapa jenis produk kedelai dan beberapa jenis buah-buahan

b. Non-alergi

• produk alam : laktosa, sucrosa, galactosa, gluten, kafein, dll.

• bahan kimia : monosodium glutamate (vetsin), asam benzoat, nitrit, nitrat, dll.

Perlu diingat beberapa intoleransi makanan diakibatkan oleh penyakit dasarnya, misalnya pada penyakit pankreas dan empedu tidak bisa mentoleransi makanan berlemak, jeruk dengan PH yang relatif rendah sering memprovokasi gejala pada pasien ulkus peptikum atau esophagitis.


III.Kelainan struktural

A. Penyakit oesophagus

• Refluks gastroesofageal dengan atau tanpa hernia

• Akhalasia

• Obstruksi esophagus

B. Penyakit gaster dan duodenum

• Gastritis erosif dan hemorhagik; sering disebabkan oleh OAINS dan sakit keras (stres fisik) seperti luka bakar, sepsis, pembedahan, trauma, shock

• Ulkus gaster dan duodenum

• Karsinoma gaster

C. Penyakit saluran empedu

• Kholelitiaasis dan Kholedokolitiasis

• Kholesistitis

D. Penyakit pankreas

• Pankreatitis

• Karsinoma pankreas

E. Penyakit usus

• Malabsorbsi

• Obstruksi intestinal intermiten

• Sindrom kolon iritatif

• Angina abdominal

• Karsinoma kolon

IV.Penyakit metabolik / sistemik

a. Tuberculosis

b. Gagal ginjal

c. Hepatitis, sirosis hepatis, tumor hepar

d. Diabetes melitius

e. Hipertiroid, hipotiroid, hiperparatiroid

f. Ketidakseimbangan elektrolit

g. Penyakit jantung kongestif

V. Lain-lain

a. Penyakit jantung iskemik

b. Penyakit kolagen

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi DNU masih sedikit diketahui, beberapa faktor berikut mungkin berperan penting (multifaktorial): (5,9,14)


• Abnormalitas Motorik Gaster

Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50% pasien DNU mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam gaster. Demikian pula pada studi monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial, tetapi hubungan antara kelainan tersebut dengan gejala-gejala dispepsia tidak jelas.

Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus gaster yang “kaku” bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus gaster menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada beberapa pasien DNU, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat.

• Perubahan sensifitas gaster

Lebih 50% pasien DNU menunjukkan sensifitas terhadap distensi gaster atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat: makanan yang sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi gaster intestinum atau distensi dini bagian Antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini.

• Stres dan faktor psikososial

Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik dan morbiditas psikiatri lebih tinggi secara bermakna pada pasien DNU dari pada subyek kontrol yang sehat.

Banyak pasien mengatakan bahwa stres mencetuskan keluhan dispepsia. Beberapa studi mengatakan stres yang lama menyebabkan perubahan aktifitas vagal, berakibat gangguan akomodasi dan motilitas gaster.

Kepribadian DNU menyerupai pasien Sindrom Kolon Iritatif dan dispepsia organik, tetapi disertai dengan tanda neurotik, ansietas dan depresi yang lebih nyata dan sering disertai dengan keluhan non-gastrointestinal ( GI ) seperti nyeri muskuloskletal, sakit kepala dan mudah letih. Mereka cenderung tiba-tiba menghentikan kegiatan sehari-harinya akibat nyeri dan mempunyai fungsi sosial lebih buruk dibanding pasien dispepsia organik. Demikian pula bila dibandingkan orang normal. Gambaran psikologik DNU ditemukan lebih banyak ansietas, depresi dan neurotik.

• Gastritis HP

Gambaran gastritis HP secara histologik biasanya gastritis non-rosif non-spesifik. Di sini ditambahkan non-spesifik karena gambaran histologik yang ada tidak dapat meramalkan penyebabnya dan keadaan klinik yang bersangkutan. Diagnosa endoskopik gastrtitis akibat infeksi HP sangat sulit karena sering kali gambarannya tidak khas. Tidak jarang suatu gastritis secara histologik tampak berat tetapi gambaran endoskopik yang tampak tidak jelas dan bahkan normal. Beberapa gambaran endoskopik yang sering dihubungkan dengan adanya infeksi HP adalah (Malfertheimen, 1994):

a. Erosi kronik di daerah antrum.

b. Nodularitas pada mukosa antrum.

c. Bercak-bercak eritema di antrum.

d. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema di daerah korpus.

Peranan infeksi HP pada gastritis dan ulkus peptikum sudah diakui, tetapi apakah HP dapat menyebabkan DNU masih kontroversi. Pravelensi HP pasien DNU tidak berbeda dengan kontrol. Di negara maju, hanya 50% pasien DNU menderita infeksi HP, sehingga penyebab dispepsia pada DNU dengan HP negatif dapat juga menjadi penyebab dari beberapa DNU dengan HP positif. Bukti terbaik peranan HP pada DNU adalah gejala perbaikan yang nyata setelah eradikasi kuman HP tersebut, tetapi ini masih dalam taraf pembuktian studi ilmiah. Banyak pasien mengalami perbaikan gejala dengan cepat walaupun dengan pengobatan plasebo. Studi “follow up” jangka panjang sedang dikerjakan, hanya beberapa saja yang tidak kambuh.

• Kelainan GI fungsional

DNU cenderung dimasukkan sebagai bagian kelainan fungsional GI, termasuk di sini Sindrom Kolon Iritatif, nyeri dada non-kardiak dan nyeri ulu hati fungsional. Lebih dari 80% dengan Sindrom Kolon Iritatif menderita dispepsia dan lebih dari sepertiga pasien dengan dispepsia kronis juga mempunyai gejala Sindrom Kolon Iritatif. Pasien dengan kelainan seperti ini sering ada gejala extra GI seperti migrain, myalgia dan disfungsi kencing dan ginekologi.

Pada anamnesis dispepsia jangan lupa menanyakan gejala Sindrom Kolon Iritatif seperti nyeri abdomen mereda setelah defikasi, perubahan frekuensi buang air besar atau bentuknya mengalami perubahan, perut tegang, tidak dapat menahan buang air besar dan perut kembung. Beberapa pasien juga mengalami aerophagia, lingkaran setan dari perut kembung diikuti oleh masuknya udara untuk menginduksi sendawa, diikuti oleh kembung yang lebih parah. Ini memerlukan perbaikan tingkah laku.

Abnormalitas di atas belum semua diidentifikasi oleh semua peneliti dan tidak selalu muncul pada semua penderita. Hasil yang kurang konsisten dari bermacam terapi yang digunakan untuk terapi DNU mendukung keanekaragaman kelompok ini.

DIAGNOSIS

Sebelum diagnosis DNU dibuat, kita harus menyingkirkan kemungkinan dispepsia organik yang mempunyai banyak penyebab seperti tampak pada Tabel 1. Diagnosis yang dihubungkan dengan penyebab ini didapat secara sistematis, yaitu dengan anamnesis yang teliti dan terarah, pemeriksaan fisik, laboratorium yang disesuaikan dengan hasil anamnesis dan pemeriksaan penunjang (endoskopi dan radiografi).

Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya dari satu sisi akan memberikan hasil yang baik, akan tetapi pemeriksaan lengkap akan mengakibatkan biaya yang harus dikeluarkan pasien akan tinggi, sehingga dalam menentukan penyebab sindrom dispepsia ini para dokter harus dapat memilih pemeriksaan yang tepat dan terarah tanpa harus melakukan semua pemeriksaan (7). Beberapa faktor yang menentukan perlu tidaknya pemeriksaan penunjang adalah tingkat kroniksitas gejala, kemungkinan penyakit organik yang serius, respon pasien terhadap terapi empirik dan tingkat kecemasan pasien. (9)


ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK

Riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung alkohol (Tabel-1.) dan jamu yang dijual bebas di masyarakat perlu ditanyakan dan kalau mungkin harus dihentikan. Hubungan dengan jenis makanan tertentu (Tabel 1.) perlu diperhatikan. Tanda dan gejala “alarm”(peringatan) seperti disfagia, berat badan turun, nyeri menetap dan hebat, nyeri yang menjalar ke punggung, muntah yang sangat sering, hematemesis, melena atau jaudice kemungkinan besar adalah merupakan penyakit serius yang memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi dan / atau “USG” atau “CT Scan” untuk mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma gaster atau esophagus, penyakit ulkus, pankreatitis kronis atau keganasan pankreas empedu.(9)

Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor psikososial misalnya: masalah anak (meninggal, nakal, sakit, tidak punya), hubungan antar manusia (orang tua, mertua, tetangga, adik ipar, kakak), hubungan suami-istri (istri sibuk, istri muda, dimadu, bertengkar, cerai), pekerjaan dan pendidikan (kegiatan rutin, penggusuran, PHK, pindah jabatan, tidak naik pangkat). Hal ini berakibat eksaserbasi gejala pada beberapa orang.(7)

Harus diingat gambaran khas dari beberapa penyebab dispepsia. Pasien ulkus peptikum biasanya berumur lebih dari 45 tahun, merokok dan nyeri berkurang dengan mencerna makanan tertentu atau antasid. Nyeri sering membangunkan pasien pada malam hari banyak ditemukan pada ulkus duodenum (4,9) Gejala esofagitis sering timbul pada saat berbaring dan membungkuk setelah makan kenyang yaitu perasan terbakar pada dada, nyeri dada yang tidak spesifik (bedakan dengan pasien jantung koroner), regurgitasi dengan gejala perasaan asam pada mulut.(4,8). Bila gejala dispepsia timbul segera setelah makan biasanya didapatkan pada penyakit esofagus, gastritis erosif dan karsinoma. Sebaliknya bila muncul setelah beberapa jam setelah makan sering terjadi pada ulkus duodenum (4). Pasien DNU lebih sering mengeluhkan gejala di luar GI, ada tanda kecemasan atau depresi, atau mempunyai riwayat pemakaian psikotropik (9). Pemeriksaan fisik untuk menemukan organomegali, tumor abdomen, ascites, jaudice tetap penting dikerjakan untuk menyingkirkan penyakit organik.

Oleh karena dispepsia ini merupakan kumpulan gejala-gejala di mana pada suatu keadaan satu gejala lebih dominan dari yang lain, sehingga para ahli membagi gejala-gejala ini dalam beberapa sub-group: (7,9)

1. Dispepsia tipe refluks yaitu adanya rasa terbakar pada epigastrium, dada atau regurgitasi dengan gejala perasaan asam di mulut.

2. Dispepsia tipe dismotilitas yaitu nyeri epigastrium yang bertambah sakit setelah makan, disertai kembung, cepat kenyang , rasa penuh setelah makan, mual atau muntah, bersendawa dan banyak flatus.

3. Dispepsia tipe ulkus yaitu nyeri epigastrium yang mereda bila makan atau minum antasid dan nyeri biasanya terjadi sebelum makan dan tengah malam.

4. Dispepsia non-spesifik yaitu dispepsia yang tidak bisa digolongkan dalam satu kategori di atas.

Sayangnya, dengan pengecualian dispepsia tipe refluks, sub-group di atas tidak membedakan antara DNU dan dispepsia organik.

• Dispepsia tipe refluks biasanya terbukti secara endoskopi atau monitor PH ambulatoar sehingga sebaiknya tipe ini langsung kita obati sebagai penyakit refluks gastroesophageal.

• Beberapa pasien dengan dispepsia tipe dismotilitas ternyata menderita ulkus peptikum sebaliknya penderita dengan dispepsia tipe ulkus menderita DNU.(9)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan yang mungkin dikerjakan antara lain: darah lengkap, elektrolit, calcium dan amylase, fungsi hati, fungsi tyroid dan ECG. Terutama untuk pasien berumur lebih dari 45 tahun dan umur muda dengan gejala yang sering kambuh. Kita harus selektif dalam pemeriksaan ini dengan mengingat indikasi klinik dan pertimbangan biaya-efektifitas.(9)

PEMERIKSAAN PENUNJANG (8,9)

• Endoskopi segera dikerjakan jika memang ada gejala “peringatan” dan pasien yang sangat kuatir tentang adanya penyakit serius yang mendasarinya. Untuk pasien lainnya, para klinisi harus memutuskan antara segera mengetahui diagnosa definitif dengan endoskopi dan mengetahui dulu hasil terapi percobaan medis empiris (therapi exjuvantivus).

• Foto seri sinar-X dengan Barium pada GI atas kurang akurat dibanding endoskopi untuk diagnosis ulkus peptikum dan refluks gastroesofageal.

• Test non-invasif untuk mendeteksi infeksi HP dengan IgG serologik atau Urea Breath Test (lihat Algoritma I.) Keduanya mempunyai sensitivitas dan spesifiksitas > 90%

• “USG dan CT Scan” hanya dilakukan bila secara klinis atau laboratoris ada kecurigaan ke arah penyakit pankreas atau empedu.

• Pengukuran PH Intraesophagus (monitor 24 jam) dilakukan terhadap pasien dengan Dispepsia Non Spesifik dan hasil endoskopi yang normal untuk mendiagnosa kemungkinan refluks gastroesofageal. Tapi bagaimanapun hal ini tidak praktis, untuk kasus yang dicurigai penyakit refluks gastroesofageal langsung kita terapi imperik anti refluks.

PENATALAKSANAAN DNU

• Perbaikan kebiasaan sehari-hari, pasien harus mengerti bahwa gejala dispepsia bisa kambuh kembali tetapi dapat dicegah melalui perubahan gaya hidup dan pemilihan jenis makanan. Keluhan yang timbul setelah makan sebaiknya mencoba dengan makanan porsi kecil dan rendah lemak. Kopi dan alkohol harus dihindari, demikian juga makanan tertentu yang nampaknya mencetuskan gejala. Coba hentikan obat-obat tertentu terutama OAINS.(9)

• Bila secara anamnesis ditemukan adanya stresor psikososial, ada baiknya diatasi dulu faktor psikologiknya, kalau perlu dengan konseling ke psikiater. Bila dengan cara ini keluhan berkurang atau hilang sama sekali, gastrokopi tidak diperlukan lagi.(7)

INTERVENSI OBAT

Sebenarnya banyak pasien DNU tidak memerlukan pengobatan (bahkan “FDA” Amerika sudah menyetujui), tetapi pada beberapa kasus pemakaian obat yang bijaksana dapat membantu. Lebih dari 60% pasien menunjukkan perbaikan dengan terapi placebo. Oleh karena itu, perbaikan gejala bisa merupakan akibat dan efek placebo atau manfaat hubungan pasien-dokter.(9)

• Antasid dan obat anti sekresi

Efektifitas antasid untuk terapi DNU tidak nampak dalam percobaan klinik terkontrol tetapi karena sangat aman dan tidak mahal, bisa diteruskan untuk pasien yang berespon baik. Demikian pula efektifitas penggunaan Antagonis Reseptor H2 ( ARH2 ) seperti : cimetidine, ranitidine dan famotidine belum terbukti. Beberapa studi mengenai obat anti sekresi ini menyimpulkan bahwa penggunaannya paling efektif untuk dispepsia tipe refluks (penyakit refluks gastroesofageal) dan tipe ulkus. Obat ini jarang menimbulkan efek samping. Pasien yang berespon sebaiknya diterapi selama 2-4 minggu. Terapi jangka panjang dengan ARH2 sebaiknya dihindari kalau penghentian obat gejala muncul kembali.(9,16)

Obat penyekat pompa proton (PPP) seperti Omeprazole dan Lansoprazole tidak memberikan perbaikan gejala yang lebih besar pada pasien DNU dibanding ARH2, sehingga tidak direkomendasikan karena harganya lebih mahal.(9). Obat ini sangat efektif untuk terapi refluks gastroesofageal melebihi ARH2.( 8)

• Obat promotilitas

Obat seperti Metoclopramide, Cisapride dan Domperidone sangat baik mengobati pasien dispepsia yang disertai atau disebabkan gangguan motilitas (Dispepsia tipe dismotilitas).(7,9). Metoclopramide dan domperidone keduanya bekerja pada antagonis reseptor D2-dopomine yang meningkatkan motilitas gaster dan mengurangi mual. Metoclopramide melewati sawar darah otak sehingga efek samping: anxietas, mengantuk, agitasi, disfungsi motor extrapyramidal dan dyskinesia tarda terjadi pada kurang lebih 20%-30% pasien. Untuk penggunaan lama hati-hati pada pasien tua. Domperidone tidak melewati sawar darah otak sehingga efek samping seperti di atas tidak timbul. Cisapride adalah agonis 5-HT4 serotonin bekerja meningkatkan motilitas esophagus dan gaster. Efek samping jarang dilaporkan.(9,12)

Penelitian lebih lanjut obat promotilitas untuk DNU masih diperlukan. Data saat ini menunjukan bahwa terapi cisapride setiap hari selama 2-4 minggu lebih mahal dibanding pengobatan yang diperlukan selama eksaserbasi gejala saja.(9)

ERADIKASI HP

Hasil percobaan klinik yang ada sekarang masih belum bisa membuktikan apakah eradikasi HP berakibat perbaikkan gejala secara bermakna pada pasien DNU. Nampaknya hanya sebagian kecil saja pasien DNU mengambil manfaat dari eradikasi kuman HP, sebagian besar masih belum(9). Bahkan ada beberapa ahli berpendapat bahwa HP saja tidak cukup menyebabkan gejala karena dispepsia dapat terjadi pada pasien tanpa infeksi HP, dan infeksi HP dapat terjadi tanpa gejala dan mereka juga mempertanyakan dan memperdebatkan bukti penelitian yang mendukung hipotesis bahwa HP merupakan etiologi dari DNU (15). Berdasarkan “konsensus Maastricht” (12-13 September 1996) pada pertemuan “Eropean Helicobacter Pylori Study Group” disepakati bahwa eradikasi HP pada pasien DNU hanya disarankan (bukan sangat dianjurkan seperti misalnya pada tukak lambung/duodenum) oleh karena tidak berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang nyata.(7)

Sampai saat ini masih terdapat perbedaan strategi dalam hal kapan sebaiknya test serologi HP dikerjakan pada pasien dengan kecurigaan DNU, apakah sebelum terapi empiris diberikan (lampiran: Algoritma I & II) atau setelah terapi empiris dinyatakan gagal (lampiran: Algoritma III & IV). Kelompok studi HP Indonesia (KSHPI) merekomendasikan test serologi sebelum terapi empiris diberikan dan terapi eradikasi HP dikerjakan hanya pada penderita dispepsia dengan HP positif pada test serologi dan pada pemeriksaan Rapid Urea Test (CLO), Patologi Anatomi atau Kultur (HP) yang diperoleh secara endoskopi sedikitnya salah satu positif. KSHPI juga berpendapat bahwa eradikasi HP pada DNU hanya dianjurkan (bukan sangat dianjurkan) dan terutama untuk tipe ulkus. Pemeriksaan secara endoskopi wajib dikerjakan sebelum dilakukan terapi eradikasi HP.(11). Strategi lain untuk pertimbangan biaya efektivitas diusulkan oleh Fredrick, Silverstein dan Ofman. Mereka berpendapat terapi eradikasi HP pada pasien dengan kecurigaan DNU bisa langsung dimulai begitu test serologi HP positif tanpa menunggu pemeriksaan endoskopi (lampiran: Algoritma II). Pemeriksaan endoskopi baru dikerjakan kalau eradikasi HP gagal menghilangkan dispepsia atau dispepsia kambuh kembali.(9)

Marshall berpendapat bahwa untuk melakukan eradikasi HP pada penderita DNU diperlukan syarat-syarat sebagai berikut: (14)

• keluhan berlangsung cukup lama dan mengganggu penderita

• faktor penyebab lain dapat disingkirkan (misalnya OAINS)

• terapi konvensional (antasid, ARH2) tidak menolong

Sejalan dengan pemikiran Marshall tersebut, timbul strategi eradikasi HP setelah terapi empiris dianggap gagal (lampiran: Algoritma III & IV). Algoritma III diusulkan oleh: John R. Lambert (Australia) tahun 1993 sedangkan Algoritma IV adalah konsensus ahli gastroenterologi dari Australia, Malaysia, Singapura dan Hongkong pada pertemuan mereka di Kuala Lumpur Juni 1996 dalam “Ist Asian Pacific Working Party on Functional Dyspepsia” dan kemudian diperbaiki pada pertemuan mereka di Sydney-Australia Nopember 1997. Strategi ini dibuat berdasarkan pertimbangan bahwa eradikasi HP untuk pasien DNU masih kontroversial.(6,16)

Tabel 2. menunjukkan obat yang terbukti efektif dalam eradikasi kuman HP. Terapi antibiotika yang dipilih berhubungan dengan kecilnya resiko efek samping dan dengan pembentukan resistensi obat bila eradikasi itu gagal. Dokter harus membicarakan resiko dan keuntungan pengobatan tersebut dengan pasiennya.

Pilihan utama di negara maju adalah kombinasi: Penyekat Pompa Proton + Clarithromycin + Metronidazole atau Amoxicillin. Jika gagal dipertimbangkan dengan pemberian empat macam obat yaitu menambahkan Bismuth. Untuk di Indonesia banyak para peneliti melaporkan angka kekebalan yang tinggi terhadap Metronidazole dan Amoxicillin. Di samping itu kendala lain adalah efek samping Metronidazole. Menurut pengalaman penderita-penderita Indonesia yang mendapat terapi Metronidazole untuk penyakit lain kurang dapat mentolerir Metronidazole. Apalagi untuk penderita dispepsia yang sering kali memang sudah mengeluh mual, sehingga banyak penderita tidak dapat menyelesaikannya karena angka efek samping yang tinggi.(2,11,14)

Tabel 2. Rekomendasi Pengobatan Anti Hp

OBAT DOSIS DURASI ERADIKASI

Kelompok 1 (3 jenis obat):

pBismuth

p Tetracycline

p Metronidazole 4 x II tablet

4 x 500 mg

4 x 250 mg 14 hari 88% - 90%

Kelompok 2, 3 dan 4 (3 jenis obat):

p Penyekat pompa proton

p Clarithromycin atau

Amoxicillin

p Metronidazole atau

Amoxicillin 2 x I kapsul

2 x 500 mg

2 x 1000 mg

2 x 500 mg

2 x 1000 mg 10-14 hari 86% - 91%

Catatan:

Bismuth: Colloidal Bismuth Subcitrate 60 mg atau Bismuth Subsalicylate 60 mg

Penyekat Pompa Proton:Omeprazole 20 mg, Lanzoprazole 30mg atau Pantoprazole 40mg

Metaanalisis pada percobaan klinik yang sudah diseleksi menunjukkan bahwa 20% pasien DNU akan mengambil keuntungan terhadap eradikasi Hp.(16)


PENANGANAN PENDERITA DENGAN GEJALA REFRAKTER

Sebagian kecil pasien tidak berespon terhadap pengobatan yang diberikan sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien ini dianjurkan “check up” teratur untuk mengungkapkan keluhannya dan status kesehatannya. Jika tidak ada perubahan secara klinik sebaiknya dihindari pemeriksaan diagnostik lebih jauh karena mahal dan akan merusak kepercayaan pasien terhadap diagnosis yang telah dibuat. Perhatian pasien perlu diarahkan dari menemukan “penyebab” ke pembentukan strategi positif untuk melawan gejala-gejala kronik tersebut. Konsultasi ke psikologi atau psikiater penting untuk pasien dengan gejala refrater. Antidepressant trisiklik tidak direkomendasikan karena dapat memperlambat pengosongan gaster (terutama untuk pasien gastroparesis). Sebaliknya Serotonin Reuptake Inhibitor dapat menyebabkan mual pada beberapa pasien.(9)


DAFTAR PUSTAKA

1. Adi P, Wasiati N, Soeroso Y, Oesman N. Terapi Penderita Dispepsia Pemakai Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS). Pertemuan Ilmiah Nasional IX PPHI, Kongres Nasional VIII PGI, PEGI. Surabaya, 15 September 1997.

2. Djayapranata I. Segi Praktis Penanganan Penderita Dengan Infeksi Helicobacter Pylori. Pertemuan Ilmiah Nasional IX PPHI, Kongres Nasional VIII PGI, PEGI. Surabaya, 15 September 1997.

3. Friedman HH, Mehta SJ, Indigestion, Gaseousness and Flatulence. Dalam: Problem-Oriented Medical Diagnosis. Boston/Toronto: Little, Brown and Company, 1988: 186-88

4. Freidman LS, Isselbacher KJ, Indigestion. Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine. Hamburg: Mc. Graw - Hill Book Company, 1987: 171-73.

5. Jain AK, Gupta JP, Gupta S, Rao KP, Bahte PB, Neuroticism and Stressful Live Events In-Patients with Non Ulcer Dyspepsia. Dalam: Journal Association Physician India. Pebruari 1995, 43 (2): 90-1

6. Lambert JR. The Role of Helicobacter Pylori in Nonulcer Dyspepsia A Debate for. Dalam: Dooley CP. ed. Gastroenterology Clinics of North America. Philadelphia: W.B. Saunders, 1993: 141-51.

7. Manan C. Sindrom Dispepsia. Dalam: Mansyur M. ed. Dispepsia. Jakarta: Yayasan Penerbit IDI, 1994: 1-7.

8. Manan C. Penyakit-penyakit yang Berhubungan Dengan Asam Lambung. Simposium New Perspective in the Management of Acid Related Disease, Surabaya, 15 September 1997.

9. Mc. Callum RW. Evolving Approach to Dyspepsia and Nonulcer Dyspepsia. Pertemuan Ilmiah Nasional IX PPHI, Kongres Nasional VIII PGI, PEGI. Surabaya, 15 September 1997.

10. Mc. Laren D.S. Food Idiosyncrasies. Medicine Digest 1994; 12: 5-9

11. Rani A.A, Sumodiharjo S, et al. Konsensus Nasional Penanggulangan Infeksi Helicobacter Pylori. Jakarta, 21 Desember 1996.

12. Sjahli A. Obat-Obat Prokinetik Masa Kini. Dalam: Medika 1991; No.2 Tahun 17: 157-60

13. Soemanto R. Gangguan Gastro Intestinal Yang Berhubungan Dengan Emosi. Simposium Penatalaksanaan Gangguan Psikosomatik, Surabaya, 19 Januari 1995.

14. Soemoharjo S. Mengenal Lebih Dekat Helicobacter Pylori Dan Penyakit Gastroduodenal. Mataram, 1997.

15. Talley N.J. The Role of Helicobacter Pylori in Nonulcer Dyspepsia A Debate-Against. Dalam: Dooley CP. ed. Gastroenterology Clinics of North America. Philadelphia: W.B. Saunders, 1993: 153-67.

16. Talley NJ, Lam SK, Goh KL, Fock KM, Management Guides Line for Uninvestigated and Functional Dyspepsia in the Asia-Pacific Region. 1st Asian Pacific Working Party on Functional Dyspepsia. Kuala Lumpur, Juni 1996 dan pertemuan di Sydney-Australia Nopember 1997.

BACA SELENGKAPNYA - Dispepsia

07 January 2011

Asites

Asites

ASITES

PENDAHULUAN

Asites adalah peningkatan jumlah cairan intra peritoneal. Penyebab asites terbanyak adalah gangguan hati kronis tetapi dapat pula disebabkan penyakit lain.

PATOGENESIS

Asites dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, diantaranya :

• Peningkatan tekanan hidrostatik : Sirosis, oklusi vena hepatika (sindrom Budd-Chiari),obstruksi vena cava inferior, perikarditis konstriktif, penyakit jantung kongestif.

• Penurunan tekanan osmotik koloid : Penyakit hati stadium lanjut dengan gangguan sintesis protein, sindrom nefrotik, malnutrisi, protein lossing enteropathy

• Peningkatan permeabilitas kapiler peritoneal : Peritonitis TB, peritonitis bakteri, penyakit keganasan pada peritonium.

• Kebocoran cairan di cavum peritoneal:Bile ascites, pancreatic ascites (secondary to a leaking pseudocyst), chylous ascites, urine ascites.

• Micellanous : Myxedema, ovarian disease (Meigs’ syndrome), chronic hemodialysis

GEJALA KLINIS

Derajat Asites dapat ditentukan secara semikuantitatif sebagai berikut :

• Tingkatan 1 : bila terdeteksi dengan pemeriksaan fisik yang sangat teliti.

• Tingkatan 2 : mudah diketahui dengan pemeriksaan fisik biasa tetapi dalam jumlah cairan yang minimal.

• Tingkatan 3 : dapat dilihat tanpa pemeriksaan fisik khusus akan tetapi permukaan abdomen tidak tegang.

• Tingkatan 4 : asites permagna.

DIAGNOSIS

Pemeriksaan fisik :

• Distensi abdomen

• Bulging flanks

• Timpani pada puncak asites

• Fluid wave

• Shifting dulness

• Puddle sign

Foto thorax dan foto polos abdomen (BOF)

• Elevasi diaphragma, pada 80% pasien dengan asites, tepi lateral hepar terdorong ke sisi medial dinding abdomen (Hellmer sign). Terdapat akumulasi cairan dalam rongga rectovesical dan menyebar pada fossa paravesikal, menghasilkan densitas yang sama pada kedua sisi kandung kemih. Gambaran ini disebut ”dog’s ear” atau “Mickey Mouse” appearance. Caecum dan colon ascenden tampak terletak lebih ke medial dan properitoneal fat line terdorong lebih ke lateral merupakan gambaran yang tampak pada lebih dari 90% pasien dengan asites.

Ultrasonografi

• Volume cairan asites kurang dari 5-10 mL dapat terdeteksi.

• Dapat membedakan penyebab asites oleh karena infeksi, inflamasi atau keganasan.

CT scan

• Asites minimal dapat diketahui dengan jelas pada pemeriksaan CT scan. Cairan asites dalam jumlah sedikit akan terkumpul di ruang perihepatik sebelah kanan. Ruang subhepatic bagian posterior (kantung Morison), dan kantung Douglas.

Parasentesis abdomen

Analisis cairan asites dilakukan pada onset awal asites, tindakan tersebut memerlukan rawat inap untuk observasi.

Analisis cairan asites :

1. Perbedaan kadar albumin serum-asites (SAAG)

2. Kadar amilase, meningkat pada asites gangguan pankreas.

3. Kadar trigliserida meningkat pada chylous asites.

4. Lekosit lebih dari 350/mikroliter merupakan tanda infeksi. Dominasi polimorfonuklear, kemungkinan infeksi bakteri. Dominasi mononuklear, kemungkinan infeksi tuberkulosis atau jamur.

5. Eritrosit lebih dari 50.000/mikroliter menimbulkan dugaan malignancy, tuberkulosis atau trauma.

6. Pengecatan gram dan pembiakan untuk konfirmasi infeksi bakterial.

7. Apabila pH or = 1.1 g/dl) Rendah ( < 1.1 g/dl)

Sirosis Hepatitis alkohol Gagal jantung

Gagal hati fulminan

Trombosis vena porta Tumor peritonium Asites pankreas Asites bilier

TBC peritonium

Sindrom nefrotik

Obstruksi usus

TERAPI

Penanganan asites tergantung dari penyebabnya, diuretik dan diet rendah garam sangat efektif pada asites karena hipertensi portal. Pada asites karena inflamasi atau keganasan tidak memberi hasil. Restriksi cairan diperlukan bila kadar natrium turun hingga < 120 mmol perliter.

Obat

Kombinasi spironolakton dan furosemid sangat efektif untuk mengatasi asites dalam waktu singkat. Dosis awal untuk spironolakton adalah 1-3 mg/kg/24 jam dibagi 2-4 dosis dan furosemid sebesar 1-2 mg/kgBB/dosis 4 kali/hari, dapat ditingkatkan sampai 6 mg/kgBB/dosis. Pada asites yang tidak memberi respon dengan pengobatan diatas dapat dilakukan cara berikut :

1. Parasentesis

2. Peritoneovenous shunt LeVeen atau Denver

3. Ultrafiltrasi ekstrakorporal dari cairan asites dengan reinfus

Paracentesis

Pengambilan cairan untuk mengurangi asites masif yang aman untuk anak adalah sebesar 50 cc/kg berat badan. Disarankan pemberian 10 g albumin intravena untuk tiap 1 liter cairan yang diaspirasi untuk mencegah penurunan volume plasma dan gangguan keseimbangan elektrolit.

Monitoring

Rawat inap diperlukan untuk memantau peningkatan berat badan serta pemasukan dan pengeluaran cairan. Pemantauan keseimbangan natrium dapat diperkirakan dengan monitoring pemasukan (diet, kadar natrium dalam obat dan cairan infus) dan produksi urin. Keseimbangan Na negatif adalah prediktor dari penurunan berat badan. Keberhasilan manajemen pasien dengan asites tanpa edema perifer adalah keseimbangan Na negatif dengan penurunan berat badan sebesar 0,5 kg per hari.

Diet

Restriksi asupan natrium (garam) 500 mg/hari (22 mmol/hari) mudah diterapkan pada

pasien-pasien yang dirawat akan tetapi sulit dilakukan pada pasien rawat jalan. Untuk itu pembatasan dapat ditolerir sampai batas 2000 mg/hari (88 mmol/hari). Retriksi cairan tidak diperlukan kecuali pada kasus asites dengan serum sodium level turun di bawah 120 mmol/

Asites adalah satu kondisi dimana terdapat akumulasi cairan berlebih yang mengisi rongga peritoneal. Diperkirakan sekitar 85 % pasien asitesadalah pasien sirosis hati atau karena penyakit hati lainnya yang parah. “Hampir 60 % pasien sirosis hati akan menjadi asitesdalam masa 10 tahun,” jelas Prof. Dr. H.M. Sjaifoellah Noer SpPD-KGEH dari divisi Hepatologi, Departemen Penyakit Dalam FKUI, Jakarta dalam Liver Up Date 2006 di Hotel Borobudur Jakarta, 28-30 Juli lalu. Namun, sekitar 15 % pasien asitestidak disebabkan oleh gangguan fungsi hati retensi cairan. Asitesyang terjadi dapat berupa asitestransudatif atau eksudatif.


Asites pada sirosis merupakan prognosis yang buruk karena menyebabkan kematian sebesar 50 % dalam waktu tiga tahun jika tanpa transplantasi liver. Dari prevalensi ascites, 10 % nya adalah asites refraktori yang umumnya diterapi dengan pemberian diuretika. “Asitesdikategorikan refraktori bila tidak bisa dimobilisasi atau dicegah dengan terapi medis. Gejala umum pada asites refraktori adalah asites mengalami kekambuhan sesudah tindakan paracentesis, meningkatnya risiko sindroma hepatorenal, dan prognosis yang buruk,” tambahnya lagi.


Dalam melakukan terapi pada asites refraktori perlu diperhatikan mengenai durasi pengobatan, respon yang lambat, kekambuhan asitesyang cepat, serta komplikasi yang dipicu oleh pemberian diuretika. Pilihan terapi untuk asites refraktoriadalah, terapi paracentesis, TIPS (transjugular intrahepatic portosystemic shunting), peritoneovenus shunts, dan transplantasi hati.


Terapi paracentesis merupakan pengobatan lini pertama untuk asites refraktori karena penerimaannya yang luas di kalangan medis. Prosedur ini merupakan pengulangan pemberian large volume paracentesis (LVP) ditambah albumin. Pemberian LVP 5 L/hari dengan infus albumin (6-8 g/l ascites yang dibuang) lebih efetif mengeliminasi asites dan menghasilkan komplikasi yang minimal jika dibandingkan dengan terapi diuretika.


Kombinasi paracentesis dengan infus albumin ini juga menyingkat masa perawatan di rumah sakit. Tindakan paracentesis dapat dilakukan tiap 2 hingga 4 pekan tanpa keharusan opname. Namun tindakan ini tidak berarti menghilangkan kebutuhan akan diuretic (spironolakton atau furosemida), karena kekambuhan asites bisa ditunda pada pasien yang menerima diuretik pascaparacentesis. Hipovolemia pascaparacentesis efektif bisa dicegah dengan pemberian albumin dibandingkan pemberian plasma sintetik ekspander.


Sesudah paracentesis, pasien harus melakukan diet sodium rendah (70-90 mmol/hari). Pasien yang menerima diuretika dosis tinggi harus mengecek kadar sodium pada urine, jika kurang dari 30 mEq/hari maka pemberian diuretika harus dihentikan. Komplikasi pada asites refraktori yang tidak diintervensi dengan pengobatan akan berkembang menjadi infeksi SBP (spontaneous bacterial peritonitis), sindrom hepatorenal, hepatic encephalopathy, dan kerusakan fungsi sirkulasi.


“Kondisi hipoalbuminemia kerap dijumpai pada sirosis hati. Hal ini disebabkan oleh penurunan mekanisme sintesa karena disfungsi liver atau diet protein rendah, peningkatan katabolisme albumin, serta adanya asites. Albumin sendiri disintesa secara lengkap pada organ hati,”lanjut Prof. H.M Sjaifoellah.


Indikasi terapi albumin pada sirosis hati adalah adanya asites, sindrom hepatorenal, adanya SBP, dan kadar albumin di bawah 2,5 g%. Penggunaan albumin dimaksudkan untuk memelihara colloid oncotic pressure (COP), mengikat dan menyalurkan obat, dan sebagai penangkap radikal bebas. Albumin juga memiliki efek antikoagulan, efek prokoagulatori, efek permeabilitas vaskular, serta ekspansi volume plasma.

(Ani)

BACA SELENGKAPNYA - Asites

LEUKIMIA

LEUKIMIA

LEUKEMIA


Definisi dan Epidemiologi


Leukemia adalah suatu jenis kanker yang dimulai dari sel darah putih. Dalam keadaan normal, sel darah putih, berfungsi sebagai pertahanan tubuh, akan terus membelah dalam suatu kontrol yang teratur.



Pada pasien leukemia, terjadi pembentukkan sel darah putih abnormal (sel leukemia) yang berbeda dan tidak berfungsi seperti sel darah putih normal. Pada pasien leukemia, sumsum tulang memproduksi sel darah putih yang tidak normal yang disebut sel leukemia. Sel leukemia yang terdapat dalam sumsum tulang akan terus membelah dan semakin mendesak sel normal, sehingga produksi sel darah normal akan mengalami penurunan.


Leukemia digolongkan menurut cepatnya penyakit ini berkembang dan memburuk, yaitu :



  • Leukemia akut : Sel darah sangat tidak normal, tidak dapat berfungsi seperti sel normal, dan jumlahnya meningkat secara cepat. Kondisi pasien dengan leukemia jenis ini memburuk dengan cepat.

  • Leukemia kronik : Pada awalnya sel darah yang abnormal masih dapat berfungsi, dan orang dengan leukemia jenis ini mungkin tidak menunjukkan gejala. Perlahan-lahan, leukemia kronik memburuk dan mulai menunjukkan gejala ketika sel leukemia bertambah banyak dan produksi sel normal berkurang.


Leukemia juga digolongkan menurut tipe sel darah putih yang terkena. Maksudnya, leukemia dapat muncul dari sel limfoid (disebut leukemia limfositik) atau mieloid (disebut leukemia mieloid).


Secara keseluruhan, leukemia dibagi menjadi :



  • Leukemia limfositik kronik : terutama mengenai orang berusia >55 tahun, dan jarang sekali mengenai anak-anak.

  • Leukemia mieloid kronik : terutama mengenai orang dewasa.

  • Leukemia limfositik akut : terutama mengenai anak-anak, namun dapat juga mengenai dewasa. Leukemia jenis ini merupakan jenis leukemia terbanyak pada anak (sekitar 75 – 80 % leukemia pada anak)

  • Leukemia mieloid akut : Dapat mengenai anak maupun orang dewasa. Merupakan 20 % leukemia pada anak.

  • Leukemia jenis lainnya : hairy cell leukemia, merupakan suatu jenis leukemia kronik yang jarang ditemukan.


Penyebab dan Faktor Risiko Leukemia


Penyebab leukemia masih belum diketahui secara pasti hingga kini. Namun, menurut hasil penelitian, orang dengan faktor risiko tertentu lebih meningkatkan risiko timbulnya penyakit leukemia. Faktor risiko tersebut adalah :


v Radiasi dosis tinggi : Radiasi dengan dosis sangat tinggi, seperti waktu bom atom di Jepang pada masa perang dunia ke-2 menyebabkan peningkatan insiden penyakit ini. Terapi medis yang menggunakan radiasi juga merupakan sumber radiasi dosis tinggi. Sedangkan radiasi untuk diagnostik (misalnya rontgen), dosisnya jauh lebih rendah dan tidak berhubungan dengan peningkatan kejadian leukemia.


v Pajanan terhadap zat kimia tertentu : benzene, formaldehida


v Kemoterapi : Pasien kanker jenis lain yang mendapat kemoterapi tertentu dapat menderita leukemia di kemudian hari. Misalnya kemoterapi jenis alkylating agents. Namun pemberian kemoterapi jenis tersebut tetap boleh diberikan dengan pertimbangan rasio manfaat-risikonya.


v Sindrom Down : Sindrom Down dan berbagai kelainan genetik lainnya yang disebabkan oleh kelainan kromosom dapat meningkatkan risiko kanker.


v Human T-Cell Leukemia Virus-1(HTLV-1). Virus tersebut menyebabkan leukemia T-cell yang jarang ditemukan. Jenis virus lainnya yang dapat menimbulkan leukemia adalah retrovirus dan virus leukemia feline.


v Sindroma mielodisplastik : sindroma mielodisplastik adalah suatu kelainan pembentukkan sel darah yang ditandai berkurangnya kepadatan sel (hiposelularitas) pada sumsum tulang. Penyakit ini sering didefinisikan sebagai pre-leukemia. Orang dengan kelainan ini berisiko tinggi untuk berkembang menjadi leukemia.


v Merokok



Gejala dan Tanda


Gejala pasien leukemia bevariasi tergantung dari jumlah sel abnormal dan tempat berkumpulnya sel abnormal tersebut. Gejala umum pasien leukemia yaitu :



  • Demam atau keringat malam

  • Sering mengalami infeksi

  • Merasa lemah atau capai

  • Pucat

  • Sakit kepala

  • Mudah berdarah atau memar.Misalnya gusi mudah berdarah saat sikat gigi, muda memar saat terbentur ringan)

  • Nyeri pada tulang dan/atau sendi

  • Pembengkakan atau rasa tidak nyaman di perut, akibat pembesaran limpa

  • Pembesaran kelenjar getah bening, terutama di leher dan ketiak

  • Penurunan berat badan


Pada stadium dini leukemia kronik, sel leukemia dapat berfungsi hampir seperti sel normal. Mungkin tidak ada gejala yang dirasakan selama beberapa waktu. Diagnosis pada tahap ini mungkin ditentukan saat pemeriksaan check up rutin. Jika muncul gejala, umumnya ringan dan perlahan-lahan semakin memberat.


Pada leukemia akut gejala akan timbul dan memberat secara cepat. Gejala leukemia akut lainnya yaitu muntah, penurunan konsentrasi, kehilangan kendali otot, dan kejang. Sel leukemia juga dapat berkumpul di buah zakar dan menyebabkan pembengkakan.



Diagnosis


Leukemia didiagnosis dari pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh dokter, pemeriksaan darah dan apusan darah, kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan biopsi pada sumsum tulang.



Dari pemeriksaan darah, ditemukan kadar sel darah putih yang meningkat atau berkurang dan adanya sel leukemia. Saat ini terdapat 2 jenis pengambilan sampel dari sumsum tulang, yaitu aspirasi sumsum tulang dan biopsi sumsum tulang.



Terapi


Leukemia diterapi berdasarkan pertimbangan beberapa faktor, seperti jenis leukemia, usia pasien, apakah terdapat sel leukemia di cairan serebrospinal (cairan otak), dapakah leukemianya pernah diterapi sebelumnya. Keputusan terapi seyogyanya berdasarkan pertimbangan dokter yang telah disetujui oleh pasien.


Pilihan terapi untuk leukemia adalah : kemoterapi, terapi biologi, terapi radiasi, atau transplantasi sel stem. Jika terdapat pembesaran limpa, mungkin dibutuhkan pembedahan untuk mengatasi limpa yang membesar tersebut. Tujuan utama terpai leukemia adalah untuk mencapa remisi sempurna.



  • Kemoterapi : Kebanyakan pasien leukemia akan diberikan kemoterapi. Tujuannya adalah untuk memusnahkan sel leukemia. Regimen kemoterapi yang digunakan tergantung dari jenis leukemianya.

  • Terapi biologi : Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan ketahanan tubuh terhadap kanker. Terapi biologi diberikan melalui injeksi. Untuk beberapa pasien dengan leukemia limfositik kronik, jenis terapi biologi yang digunakan adalah antibodi monoklonal yang akan berikatan dengan sel leukemia sehingga memungkinkan sel kekebalan tubuh membunuh sel leukemia tersebut. Untuk beberapa pasien dengan leukemia mieloid kronik, terapi biologi yang dapat digunakan adalah interferon.

  • Terapi radiasi : Terapi radiasi / radioterapi menggunakan sinar x dosis tinggi untuk membunuh sel leukemia. Umumnya mesin radioterapi diarahkan ke limpa, otak, atau bagian tubuh lainnya di mana sel leukemia berkumpul. Pada beberapa pasien mungkin dilakukan radiasi seluruh tubuh (umumnya sebelum dilakukan transplantasi sumsum tulang)

  • Transplantasi sel stem : transplantasi sel stem memungkinkan untuk dilakukan terapi dengan dosis obat, radiasi, atau keduanya yang tinggi. Terdapat beberapa macam transplantasi sel stem, yaitu transplantasi sumsum tulang, transplantasi sel stem perifer, dan transplantasi darah umbilikal.


Terapi awal bertujuan untuk menghilangkan gejala dan tanda / remisi. Kemudian, setelah gejala dan tandan menghilang, diberikan terapi lanjutan untuk mencegah kekambuhan / relaps (disebut terapi maintenance)


Kebanyakan pasien dengan leukemia akut dapat disembuhkan. Sedangkan leukemia kronik lebih sulit disembuhkan. Saat ini, satu-satunya terapi yang dapat menyembuhkan leukemia mieloid kronik adalan transplantasi sel induk alogenik.


Selain terapi untuk mengatasi leukemianya, mungkin juga dibutuhkan terapi untuk mengurangi nyeri dan gejala lainnya, yang disebut terapi paliatif.



Perkembangan Terapi


Saat ini terus dilakukan uji klinis di berbagai negara di dunia untuk mencari metoda dan terapi terbaru yang lebih efektif. Penelitian-penelitian dilakukan untuk mencari terapi biologi dan kemoterapi terbaru, dosis, dan regimen terapi baru. Selain itu juga diteliti berbagai kombinasi obat, terapi biologi, terapi radiasi, dan transplantasi sel stem.





Referensi :

1. National Cancer Institute.Leukemia.2003.www.cancer.gov


2. National Institute of Health.What You Need To Know About Leukemia.2002


3. Leukemia.The Causes of Leukemia and potential Risk Factors.2007. leukemia. morefocus.com


4. Wikipedia.Leukemia.2007.www.en.wikipedia.org


5. UCSF Children’s Hospital.Leukemia.2007.www.ucsfhealth.org


Penulis HSD

BACA SELENGKAPNYA - LEUKIMIA
INGIN BOCORAN ARTIKEL TERBARU GRATIS, KETIK EMAIL ANDA DISINI:
setelah mendaftar segera buka emailnya untuk verifikasi pendaftaran. Petunjuknya DILIHAT DISINI