kolom pencarian

KTI D3 Kebidanan[1] | KTI D3 Kebidanan[2] | cara pemesanan KTI Kebidanan | Testimoni | Perkakas
PERHATIAN : jika file belum ter-download, Sabar sampai Loading halaman selesai lalu klik DOWNLOAD lagi

23 October 2010

Persalinan di Rumah

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Persalinan di Rumah
Melahirkan di rumah sendiri ternyata jauh lebih aman, hemat, dan bermanfaat. Dengan menjalani persalinan di rumah kemungkinan tertukarnya bayi bisa dihindari. Memang, tidak semua rumah sakit bisa memberi jaminan tak mungkin ada kasus bayi tertukar. Ini sangat tergantung dari kondisi dan tingkat akurasi pengindetifikasian bayi di masing-masing rumah sakit. Apalagi selain tidak rapinya pengidentifikasian, kesibukan para tenaga medis yang terbatas terkadang masih memungkinkan adanya bayi tertukar tanpa sepengetahuan ibunya. Belum lagi kalau sistem pengamanan rumah sakit kurang jeli, tak mustahil bisa terjadi penculikan bayi (Echalucu, 2007).

Faktor lain adalah kenyataan tak terbantah bahwa rumah sakit adalah sumber penyakit, sehingga besar kemungkinan sang bayi terjangkiti infeksi nosokomial. Selain itu ada faktor psikologis yang seringkali dirasakan oleh ibu bersalin di rumah sakit. Yakni adanya unsur “diskriminasi” perlakuan rumah sakit meski ini juga konsekuensi pilihannya. Semisal, sejak awal masuk rumah sakit, ibu dan bayi telah dibeda-bedakan menurut kelas-kelas perawatannya kelak. Apalagi sebagai konsekuensi logis dari lembaga jasa pelayanan bagi orang banyak, secara tak langsung perlakuan pihak rumah sakit bisa dikatakan kurang personal atau tidak “ramah”, lantaran kebanyakan ibu dan bayi diperlakukan sekedar sebagai “nomor kamar” saja. (Echalucu, 2007).
Faktor terakhir yang tak kalah pentingnya adalah kecenderungan beberapa dokter di rumah sakit bersalin mempatologiskan suatu tindakan persalinan meskipun sebenarnya bisa dilakukan secara fisiologis (normal). Alasannya? Lantaran terbatasnya waktu sedangkan jumlah pasien yang harus dilayani masih banyak. Ini tercermin dari pemakaian infus oxitocin dan suntikan prostagladin untuk mempercepat pembukaan jalan lahir, atau kerap kali sang calon ibu di-vacum atau di-forcep, bahkan seringkali memilih tindakan cesar untuk mempercepat proses kelahiran (Echalucu, 2007).

Persyaratan Persalinan di Rumah
Yang perlu dilakukan pertama kali adalah mengkonfirmasikan bahwa kehamilan tersebut sifatnya fisiologis atau normal. Artinya tidak terdapat kelainan 3 P, yakni power atau kekuatan dari si calon ibu; passage atau jalan lahir; dan passanger yakni kondisi janin yang akan melaluinya. Kalau ketiga faktor tersebut dalam keadaan baik, bisa disimpulkan bahwa persalinan tersebut adalah fisiologis atau akan berlangsung normal.
Syarat kedua adalah tersedianya tenaga penolong persalinan yang andal. Sebenarnya tidak harus seorang dokter ahli kebidanan dan kandungan, namun cukup seorang dokter umum yang terampil dalam bidang tersebut. Bahkan bidan yang berpengalaman pun akan bisa melakukannya. Memilih tenaga berkualifikasi seperti itu sebenarnya tidak terlalu sulit. Dalam waktu yang tidak terlalu lama kita akan bisa memperoleh informasi tentang dokter atau bidan mana yang andal sebagai penolong persalinan dan bersedia dimintai pertolongan sewaktu-waktu. Meskipun berprofesi sebagai penolong persalinan, mereka harus mengenal dengan baik siapa yang akan ditolong. Oleh karena itu kontrolkanlah kehamilan Anda secara teratur. Dokter yang memiliki banyak pasien atau yang sangat sibuk bukanlah tipe penolong persalinan yang ideal. Sebab seorang penolong persalinan yang baik tidak hanya berpengalaman, berpengetahuan, dan berketerampilan di bidangnya, sebaiknya juga seorang pribadi yang berdedikasi tinggi dalam membimbing persalinan. Sebagai contoh, proses pembukaan jalan lahir hingga sempurna biasanya dipimpin seorang bidan. Selama proses ini sang calon ibu biasanya mengalami rasa sakit mulas yang makin lama makin sering disertai nyeri dalam waktu yang relatif agak lama. Dalam kondisi seperti ini sang penolong persalinan harus bisa menanamkan rasa percaya diri, rasa tenang dan aman, rasa terlindung, serta kepastian akan keselamatan pada sang calon ibu yang ditolong (Echalucu, 2007).
Ketiga adalah mempersiapkan satu kamar atau ruang bersalin di rumah. Tidak perlu harus ruangan khusus. Cukup sebuah kamar tidur keluarga dapat dipersiapkan merangkap sebagai “kamar bersalin”. karena yang akan dilahirkan adalah warga baru keluarga ini juga. Kamar ini hendaknya bersih, tenang dengan penerangan dan ventilasi udara yang baik dan memadai. Tersedia pula perlengkapan lain untuk kebutuhan ibu dan bayi. Misalnya untuk ibu, dua helai kain panjang bersih, satu gunting steril, minimal direbus dulu dalam air mendidih selama lebih dari 15 menit. Jangan lupa, benang kasur steril, satu buah kateter urin logam steril untuk wanita, sebuah neerbeken atau pispot bersih dan sebuah baskom penampung ari-ari. Sedangkan untuk bayinya harap disediakan air hangat secukupnya untuk mandi, sebotol baby-oil, baju, popok, baju hangat, sepotong kain kasa steril, dan sebotol alkohol 70% sebanyak kurang lebih 60 cc (Echalucu, 2007).

Kelebihan dan Kekurangan Persalinan di Rumah
Persalinan di rumah ada kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya, suasana di rumah yang akrab membuat ibu hamil merasa didukung keluarga maupun tetangga. Kamar selalu tersedia dan tak memerlukan pengangkutan ke rumah sakit. Di rumah, ibu hamil terhindar dari infeksi silang yang bias terjadi di rumah sakit. Hal terpenting, biaya bersalin di rumah jauh lebih murah (Echalucu, 2007).
Kekurangannya, penolong persalinan (dukun bayi, bidan atau tenaga lain) umumnya hanya satu. Sanitasi, fasilitas, peralatan dan persediaan air bersih mungkin kurang. Jika memerlukan rujukan, diperlukan pengangkutan dan pertolongan pertama selama perjalanan. Jika perjalanannya jauh atau lama, maka komplikasi yang terjadi misalnya perdarahan atau kejang-kejang dapat lebih parah. Di rumah, perawatan bayi prematur juga sulit. Persalinan di rumah diharapkan berlangsung normal. Untuk amannya persalinan di rumah, penolong perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini:
  1. Tugas penolong persalinan pada waktu ibu menunjukkan tanda-tanda mulainya persalinan ialah mengawasinya dengan sabar, dan tak melakukan tindakan jika tidak indikasi.
  2. Ibu yang sedang dalam persalinan perlu ditenangkan agar kontraksi rahim teratur dan adekuat, sehingga persalinan berjalan lancar. Jika persalinan belum selesai setelah 18 jam, ia perlu dirujuk karena ini berarti persalinannya mengalami kesulitan.
  3. Kala pengeluaran bayi hendaknya jangan terburu-buru, karena dapat menyebabkan robekan pada jalan lahir dan terjadinya perdarahan pascapersalinan sebab rahim tidak bisa berkontraksi dengan baik. Jika persalinan tidak juga selesai 1 jam, maka ibu bersalin perlu dirujuk karena ini berarti persalinannya macet.
  4. Setelah bayi lahir, penolong hendaknya jangan memijat-mijat rahim atau menarik tali pusat dengan maksud melepaskan dan melahirkan uri, tunggulah dengan tenang. Jika setelah setengah jam uri belum juga lepas, dapat diberikan obat untuk memperkuat kontraksi rahim. Kalau perlu, uri dapat dikeluarkan dengan tangan setelah 1 jam bayi lahir.
  5. Jika terjadi perdarahan setelah uri lahir, berilah obat penguat kontraksi rahim, karena biasanya perdarahan itu disebabkan rahim yang berkontraksi lemah. Periksalah apakah ada robekan jalan lahir.
  6. Para penolong persalinan hendaknya memeriksakan kembali ibu bersalin sebelum meninggalkan rumahnya. Periksalah nadi, pernapasan, tekanan darah, kontraksi rahim, ada tidaknya perdarahan dari jalan lahir, dan keadaan bayinya.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, persalinan di rumah dapat dibenarkan bagi wanita dengan kehamilan risiko rendah setelah penapisan melalui Pan. Namun persalinan ini perlu didukung fasilitas yang memadai. Jika diperlukan, rujukan dapat diberikan dengan cepat dan tepat. Di sisi lain, para penolong persalinan di rumah juga perlu ditingkatkan kemampuannya, dan mampu menjalin kerja sama dengan jaringan pelayanan yang lebih tinggi
BACA SELENGKAPNYA - Persalinan di Rumah

PEMERIKSAAN FISIK IBU

1. Tujuan
a. Untuk mengetahui keadaan kesehatan umum ibu
b. Untuk mengetahui adanya kelainan
2. Persiapan alat
a. Tempat tidur
b. Senter
c. Thermometer
d. Stetoskop
e. Tensimeter
f. Jam
g. Hammer
h. Sarungtangan i. Tissue
j. Bengkok
k. Timbangan berat badn
l. Handuk
m. Tempat cuci tanganl
n. Larutan chlorin 0,5%
o. Pengukur tinggi
p. Kapas sublimat
3. Prosedur
a. Jelaskan pada ibu maksud dan tujuan dilakukan pemeriksaan
b. Susunlah alat secara ergonomis untuk memudahkan dalam bekerja
c. Cuci tangan
d. Atur posisi pasien senyaman mungkin (berbaring pada tempat tidur yang rata)
e. Lakukan penilaian secara sistematis keadaan umum pasien, dengan melakukan inspeksi terhadap keadaan umum, status nutrisi, warna kulit, tekstur kulit dan pigmentasi.
f. Lakukan pemeriksaan pada kepala dan wajah, dengan melakukan inspeksi dan palpasi pada kepala dan kulit kepala untuk melihat kesimetrisan, warna rambut, adakah pembengkakan, kelembapan, lesi, edema dan bau.
g. Lakukan inspeksi pada wajah apakah ada cloasma, pembengkakan palpebra
h. Lakukan pemeriksaan pada mata : melihat pergerakan bola mata, posisi dan kesejajaran mata, kelainan pada bola mata, sklera dan conjungtiva (apakah tampak ikterus pada sklera dan apakah tampak anemi pada konjungtiva), inspeksi adakah sekret pada sklera dan konjungtiva.
i. Lakukan inspeksi pada hidung dari arah depan dengan memeriksa septum hidung berada ditegah atau tidak, adakah benda asing, sekret hidung, perdarahan, polip.
j. Lakukan pemeriksaan pada mulut dan kerongkongan, dengan melakukan inspeksi untuk melihat :
1) Rongga mulut : diperiksa adakah stomatitis, kemampuan menggigit, mengunyah dan menelan.
2) Bibir : warna, simetris, lesi, kelembapan, pengelupasan dan bengkak
3) Gusi : warna dan edema
4) Gigi geligi : karang gigi, caries, sisa gigi
5) Lidah : kotor, warna, kesimetrisan, kelembapan, luka, bercak dan pembengkakan
6) Kerongkongan : peradangan, tonsil, lendir/sekret.
k. Lakukan inspeksi pada telinga dengan melihat canalis bersih atau tidak, radang, cairan yang keluar, adakah benda asing.
l. Lakukan pemeriksaan pada leher :
1) Lakukan inspeksi untuk melihat kesimetrisan, pergerakan, adakah massa, kekakuan leher
2) Lakukan pemeriksaan pada kelenjar tyroid yaitu dengan melakukan inspeksi untuk melihat besarnya kelenjar tyroid dan juga bentuknya, lakukan palpasi dengan cara satu tangan dari samping atau dua tangan dari arah belakang. Lalu jari-jari meraba permukaan kelenjar dan pasien diminta untuk menelan, bila yang teraba saat diminta ikut tertelan hal itu menandakan benar adanya bahwa yang teraba adalah kelenjar tiroid yang membesar.
3) Lakukan palpasi pada vena jugularis untuk melihat tekanannya juga untuk melihat apakah vena jugularis tersebut mengembang secara nyata
4) Lakukan inspeksi dan palpasi pada leher adakah pembesaran kelenjar limfe. Bila ada tentukan ukuran, bentuk, mobilitas dan konsistensi.

m. Lakukan pemeriksaan pada dada dengan cara :
1) Lakukan inspeksi apakah pola pernafasan normal. Adakah tanda-tanda ketidaknyamanan bernafas.
2) Lakukan auskultasi pada dinding thoraks dengan menggunakan stetoskop yaitu pasien diminta untuk bernafas cukup dalam dengan mulut terbuka lalu letakkan stetoskop secara sistematis dari atas ke bawah dengan membandingkan antara kiri dan kanan.
3) Lihat bentuk payudara, kesimetrisan, adanya benjolan atau tidak, bentuk puting susu, areola mamae.
n. Lakukan inspeksi dan palpasi pada daerah ketiak (lihat adakah benjolan atau pembesaran kelenjar getah bening.
1. Lakukan pemeriksaan pada abdomen dengan cara :
1) Lakukan inspeksi untuk mengamati bentuk abdomen membusung atau datar, umbilikus menonjol/tidak, adakah bayangan bendungan vena dikulit abdomen, apakah ada benjolan/massa, strie, warna, ketebalan lemak.
2) Lakukan auskultasi dengan cara meletakkan stetoskop pada daerah epigastrium dan 4 kuadran abdomen, lalu dengarkan periltastik usus (normal 5-35)
3) Lakukan palpasi, sebelumnya menanyakan kepada pasien adakah bagian perut yang sakit, bila ada maka bagian tersebut dipalpasi terakhir. Melakukan palpasi abdomen dimulai dari palpasi umum di seluruh dinding abdomen untuk mencari tanda nyeri umum (peritonitis, pankreatitis). Lalu cari dengan perabaan ada/tidak massa, benjolan (tumor). Melakukan pemeriksaan turgor kulit, lalu melakukan palpasi berikut ini :
a) Lakukan palpasi hepar dengan menggunakan jari tangan kanan dimulai dari kuadran kanan bawah berangsur-angsur naik mengikuti irama nafas dan gembungan perut serta berusaha merasakan sentuhan tepi hepar pada tepi jari telunjuk. Bila normal maka hepar tidak teraba.
b) Lakukan palpasi lien dengan cara bimanual dimana jari-jari tangan kiri mengangkat dengan cara mengait dinding perut kiri atas dari arah belakang, sedangkan tangan kanan berupaya merapa lien (bila normal maka tidak akan teraba).
c) Lakukan perkusi abdomen dengan cara mengetuk, jari tengah tangan kiri ditempelkan di dinding abdomen, massa padat atau cair akan menimbulkan suara pekak.
d) Lakukan perkusi ginjal didinding abdomen belakang pada sudut costo vertebral dengan dialasi telapak tangan kiri, maka kita lakukan perkusi dengan sisi ulnar kepalan tangan kanan.
2. Lakukan pemeriksaan ekstremitas dengan cara :
1) Lakukan inspeksi pada ekstremitas adakah edema, bila ada maka lakukan pemeriksaan dengan penekanan pada daerah yang dianggap ada edema, bila ada cekungan maka hal tersebut menandakan adanya edema.
2) Lakukan inspeksi adakah varises
3) Melakukan perkusi
a) Reflek bisep
Pegang lengan pasien yang disemifleksikan sambil menempatkan ibu jari diatas tendon otot biseps ibu jari kemudian diketok, hal ini dapat mengakibatkan gerakan fleksi lengan bawah, apabila ada kontraksi menandakan bahwa refleksi otot baik.
b) Reflek trisep
Pegang lengan bawah pasien dalam posisi semi fleksi. Setelah itu diketok pada tendon insersim trisep. Yang berada sedikit diatas olekranon. Apabila lengan bawah mengadakan gerakan ekstensi dan ada kontraksi menendakan bahwa reflek otot baik.
c) Ekstremitas bawah
Tungkai difleksikan dan digantung, misalnya pada tempat tidur. Kemudian diketuk pada tendon musculus kuadriceps femoris, dibawah atau diatas patella, biasanya dibawah patella, apabila ada kontraksi berarti reflek otot baik.
3. Periksa punggung pasien, inspeksi adakah kelainan pada spina, bagaimana bentuk bujursangkar michelis
4. Lakukan pemeriksaan genetalia dan kelenjar limfe inguinal dimana:
1) Melakukan palpasi pada kelenjar limfe, apakah teraba membesar atau nyeri
2) Melakukan inspeksi pada vulva secara keseluruhan adakah prolapsus uteri, benjolan pada kelenjar bartolini, pengeluaran pervaginam (sekret), amati warna, bau, nyeri.
5. Lakukan pemeriksaan pada anus bersamaan dengan pemeriksaan genetalia dengan melakukan inspeksi untuk mengetahui adakah hemoroid, fistula dan kebersihan.
6. Rapikan pasien
7. Bereskan alat
8. Lepas sarung tangan
9. Cuci tangan
10. Jelaskan hasil pemeriksaan pada ibu
11. Lakukan dokumentasi tindakan dan hasil pemeriksaan

Referensi :

Bobak, K. Jensen, 2005, Perawatan Maternitas. Jakarta. EGC

Elly, Nurrachmah, 2001, Nutrisi dalam keperawatan, CV Sagung Seto, Jakarta.

Depkes RI. 2000. Keperawatan Dasar Ruangan Jakarta.

Engenderhealt. 2000. Infection Prevention, New York.

JHPIEGO, 2003. Panduan Pengajaran Asuhan Kebidanan, Buku 5 Asuhan Bayi Baru Lahir Jakarta. Pusdiknakes.

JNPK_KR.2004. Panduan Pencegahan Infeksi Untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dengan Sumber Daya Terbatas. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

Johnson, Ruth, Taylor. 2005. Buku Ajar Praktek Kebidanan. Jakarta. EGC.

Kozier, Barbara, 2000, Fundamental of Nursing : Concepts, Prosess and Practice : Sixth edition, Menlo Park, Calofornia.

Potter, 2000, Perry Guide to Basic Skill and Prosedur Dasar, Edisi III, Alih bahasa Ester Monica, Penerbit buku kedokteran EGC.

Samba, Suharyati, 2005. Buku Ajar Praktik Kebidanan. Jakarta. EGC
BACA SELENGKAPNYA - PEMERIKSAAN FISIK IBU

PEMERIKSAAN FISIK

A. DEFINISI
Pemeriksaan fisik adalah salah satu tehnik pengumpul data untuk mengetahui keadaan fisik dan keadaan kesehatan.

B. HAL – HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PEMERIKSAAN FISIK
1. Selalu meminta kesediaan/ ijin pada pasien untuk setiap pemeriksaan
2. Jagalah privasi pasien
3. Pemeriksaan harus seksama dan sistimatis
4. Jelaskan apa yang akan dilakukan sebelum pemeriksaan (tujuan, kegunaan, cara dan bagian yang akan diperiksa)
5. Beri instruksi spesifik yang jelas
6. Berbicaralah yang komunikatif
7. Ajaklah pasien untuk bekerja sama dalam pemeriksaan
8. Perhatikanlah ekpresi/bahasa non verbal dari pasien

C. JENIS PEMERIKSAAN FISIK
1. Pemeriksaan Inspeksi
a. Definisi
Inspeksi adalah suatu tindakan pemeriksa dengan menggunakan indera penglihatannya untuk mendeteksi karakteristik normal atau tanda tertentu dari bagian tubuh atau fungsi tubuh pasien. Inspeksi digunakan untuk mendeteksi bentuk, warna, posisi, ukuran, tumor dan lainnya dari tubuh pasien.
b. Cara pemeriksaan
1) Posisi pasien dapat tidur, duduk atau berdiri
2) Bagian tubuh yang diperiksa harus terbuka (diupayakan pasien membuka sendiri pakaiannya Sebaiknya pakaian tidak dibuka sekaligus, namun dibuka seperlunya untuk pemeriksaan sedangkan bagian lain ditutupi selimut).
3) Bandingkan bagian tubuh yang berlawanan (kesimetrisan) dan abnormalitas.
4) Catat hasilnya
2. Pemeriksaan Palpasi
a. Definisi
Palpasi adalah suatu tindakan pemeriksaan yang dilakukan dengan perabaan dan penekanan bagian tubuh dengan menggunakan jari atau tangan. Palpasi dapat digunakan untuk mendeteksi suhu tubuh, adanya getaran, pergerakan, bentuk, kosistensi dan ukuran. Rasa nyeri tekan dan kelainan dari jaringan/organ tubuh. Dengan kata lain bahwa palpasi merupakan tindakan penegasan dari hasil inspeksi, disamping untuk menemukan yang tidak terlihat.
b. Cara pemeriksaan
1) Posisi pasien bisa tidur, duduk atau berdiri tergantung bagian mana yang diperiksa dan Bagian tubuh yang diperiksa harus terbuka
2) Pastikan pasien dalam keadaan rilek dengan posisi yang nyaman untuk menghindari ketegangan otot yang dapat mengganggu hasil pemeriksaan
3) Kuku jari-jari pemeriksa harus pendek, tangan hangat dan kering
4) Minta pasien untuk menarik napas dalam agar meningkatkan relaksasi otot.
5) Lakukan Palpasi dengan sentuhan perlahan-lahan yaitu dengan tekanan ringan dan sebentar-sebentar.
6) Palpasil daerah yang dicurigai, adanya nyeri tekan menandakan kelainan
7) Lakukan Palpasi secara hati-hati apabila diduga adanya fraktur tulang.
8) Hindari tekanan yang berlebihan pada pembuluh darah.
9) Lakukan Palpasi ringan apabila memeriksa organ/jaringan yang dalamnya kurang dari 1 cm.
10) Lakukan Palpasi agak dalam apabila memeriksa organ/jaringan dengan kedalaman 1 - 2,5 cm.
11) Lakukan Palpasi bimanual apabila melakukan pemeriksaan dengan kedalaman lebih dari 2,5 cm. Yaitu dengan mempergunakan kedua tangan dimana satu tangan direlaksasi dan diletakkan dibagian bawah organ/jaringan tubuh, sedangkan tangan yang lain menekan kearah tangan yang dibawah untuk mendeteksi karakteristik organ/ jaringan.
12) Rasakan dengan seksama kelainan organ/jaringan, adanya nodul, tumor bergerak/tidak dengan konsistensi padat/kenyal, bersifat kasar/lembut, ukurannya dan ada/tidaknya getaran/ trill, serta rasa nyeri raba / tekan .
13) Catatlah hasil pemeriksaan yang didapat
3. Pemeriksaan Perkusi
a. Definisi
Perkusi adalah suatu tindakan pemeriksaan dengan mendengarkan bunyi getaran/ gelombang suara yang dihantarkan kepermukaan tubuh dari bagian tubuh yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan ketokan jari atau tangan pada permukaan tubuh. Perjalanan getaran/ gelombang suara tergantung oleh kepadatan media yang dilalui. Derajat bunyi disebut dengan resonansi. Karakter bunyi yang dihasilkan dapat menentukan lokasi, ukuran, bentuk, dan kepadatan struktur di bawah kulit. Sifat gelombang suara yaitu semakin banyak jaringan, semakin lemah hantarannya dan udara/ gas paling resonan
b. Cara pemeriksaan
1) Posisi pasien dapat tidur, duduk atau berdiri tergantung pada bagian mana yang akan diperiksa dan bagian tubuh yang diperiksa harus terbuka
2) Pastikan pasien dalam keadaan rilek dan posisi yang nyaman untuk menghindari ketegangan otot yang dapat mengganggu hasil perkusi.
3) Minta pasien untuk menarik napas dalam agar meningkatkan relaksasi otot.
4) Kuku jari-jari pemeriksa harus pendek, tangan hangat dan kering.
5) Lakukan perkusi secara seksama dan sistimatis yaitu dengan :
a) Metode langsung yaitu melakukan perkusi atau mengentokan jari tangan langsung dengan menggunakan 1 atau 2 ujung jari.
b) Metode tidak langsung dengan cara sebagai berikut :
(1) Jari tengah tangan kiri (yang tidak dominan) sebagai fleksimeter di letakkan dengan lembut di atas permukaan tubuh, upayakan telapak tangan dan jari-jari lain tidak menempel pada permukaan tubuh.
(2) Ujung jari tengah dari tangan kanan (dominan) sebagai fleksor, untuk memukul/ mengetuk persendian distal dari jari tengah tangan kiri.
(3) Pukulan harus cepat, tajam dengan lengan tetap/ tidak bergerak dan pergelangan tangan rilek.
(4) Berikan tenaga pukulan yang sama pada setiap area tubuh.
(5) Bandingkan bunyi frekuensi dengan akurat.
6) Bandingkan atau perhatikan bunyi yang dihasilkan oleh perkusi.
a) Bunyi timpani mempunyai intensitas keras, nada tinggi, waktu agak lama dan kualitas seperti drum (lambung).
b) Bunyi resonan mempunyai intensitas menengah, nada rendah, waktu lama, kualitas bergema (paru normal).
c) Bunyi hipersonar mempunyai intensitas amat keras, waktu lebih lama, kualitas ledakan (empisema paru).
d) Bunyi pekak mempunyai intensitas lembut sampai menengah, nada tinggi, waktu agak lama kualitas seperti petir (hati).
e) Bunyi kempes mempunyai intensitas lembut, nada tinggi, waktu pendek, kualitas datar (otot).
4. Pemeriksaan Auskultasi
a. Definisi
Aukultasi adalah suatu tindakan pemeriksaan dengan mendengarkan bunyi yang terbentuk di dalam organ tubuh. Hal ini dimaksudkan untuk mendeteksi adanya kelainan dengan cara membandingkan dengan bunyi normal. Auskultasi yang dilakukan di dada untuk mendengar suara napas dan bila dilakukan di abdomen mendengarkan suara bising usus.
b. Penilaian pemeriksaan auskultasi meliputi :
1) Frekuensi yaitu menghitung jumlah getaran permenit.
2) Durasi yaitu lama bunyi yang terdengar.
3) Intensitas bunyi yaitu ukuran kuat/ lemahnya suara
4) Kualitas yaitu warna nada/ variasi suara.
Pemeriksa harus mengenal berbagai tipe bunyi normal yang terdengar pada organ yang berbeda, sehingga bunyi abnormal dapat di deteksi dengan sempurna. Untuk mendeteksi suara diperlukan suatu alat yang disebut stetoskop yang berfungsi menghantarkan, mengumpulkan dan memilih frekuensi suara. Stetoskop terdiri dari beberapa bagian yaitu bagian kepala, selang karet/plastik dan telinga. Selang karet/plastik stetoskop harus lentur dengan panjang 30-40 cm dan bagian telinga stetoskop yang mempunyai sudut binaural dan bagiannya ujungnya mengikuti lekuk dari rongga telinga Kepala stetoskop pada waktu digunakan menempel pada kulit pasien. Ada 2 jenis kepala stetoskop yaitu :
1) Bel stetoskop digunakan untuk bunyi bernada rendah pada tekanan ringan, seperti pada bunyi jantung dan vaskuler. Bila ditekankan lebih kuat maka nada frekuensi tinggi terdengar lebih keras karena kulit menjadi teranggang, maka cara kerjanya seperti diafragma.
2) Diafragma digunakan untuk bunyi bernada tinggi seperti bunyi usus dan paru
c. Cara pemeriksaan
1) Posisi pasien dapat tidur, duduk atau berdiri tergantung bagian mana yang diperiksa dan bagian tubuh yang diperiksa harus terbuka
2) Pastikan pasien dalam keadaan rilek dengan posisi yang nyaman
3) Pastikan stetoskop sudah terpasang baik dan tidak bocor antara bagian kepala, selang dan telinga
4) Pasanglah ujung steoskop bagian telinga ke lubang telinga pemeriksa sesuai arah, ukuran dan lengkungannya. Stetoskop telinga
5) Hangatkan dulu kepala stetoskop dengan cara menempelkan pada telapak tangan pemeriksa atau menggosokan pada pakaian pemeriksa
6) Tempelkan kepala stetoskop pada bagian tubuh pasien yang akan diperiksa dan lakukan pemeriksaan dengan seksama dan sistimatis
7) Pergunakanlah bel stetoskop untuk mendengarkan bunyi bernada rendah pada tekanan ringan yaitu pada bunyi jantung dan vaskuler dan gunakan diafragma untuk bunyi bernada tinggi seperti bunyi usus dan paru
8) Informasikan hasil pemeriksaan dan catat pada status.

D. POSISI PEMERIKSAAN
Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang optimal, maka posisi pemeriksaan sangat menentukan. Beberapa posisi yang umum dilakukan yaitu :
1. Posisi duduk dapat dilakukan di kursi atau tempat tidur. Digunakan untuk pemeriksaan pada kepala, leher, dada, jantung, paru, mamae, ektremitas atas.
2. Posisi supine (terlentang) yaitu posisi berbaring terlentang dengan kepala disangga bantal. Posisi ini untuk pemeriksaan pada kepala, leher, dada depan, paru, mamae, jantung, abdomen, ektremitas dan nadi perifer
3. Posisi dorsal recumbent yaitu posisi berbaring dengan lutut ditekuk dan kaki menyentuh tempat tidur
4. Posisi sims (tidur miring) , untuk pemeriksaan rectal dan vagina
5. Posisi Prone (telungkup), untuk evaluasi sendi pinggul dan punggung
6. Posisi lithotomi yaitu posisi tidur terlentang dengan lutut dalam keadaan fleksi. Untuk pemeriksaan rectal dan vagina
7. Posisi knee chest (menungging), untuk pemeriksaan rectal
8. Posisi berdiri yaitu untuk evaluasi abnormalitas postural, langkah dan keseimbangan.

Referensi :

Bobak, K. Jensen, 2005, Perawatan Maternitas. Jakarta. EGC

Elly, Nurrachmah, 2001, Nutrisi dalam keperawatan, CV Sagung Seto, Jakarta.

Depkes RI. 2000. Keperawatan Dasar Ruangan Jakarta.

Engenderhealt. 2000. Infection Prevention, New York.

JHPIEGO, 2003. Panduan Pengajaran Asuhan Kebidanan, Buku 5 Asuhan Bayi Baru Lahir Jakarta. Pusdiknakes.

JNPK_KR.2004. Panduan Pencegahan Infeksi Untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dengan Sumber Daya Terbatas. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

Johnson, Ruth, Taylor. 2005. Buku Ajar Praktek Kebidanan. Jakarta. EGC.

Kozier, Barbara, 2000, Fundamental of Nursing : Concepts, Prosess and Practice : Sixth edition, Menlo Park, Calofornia.

Potter, 2000, Perry Guide to Basic Skill and Prosedur Dasar, Edisi III, Alih bahasa Ester Monica, Penerbit buku kedokteran EGC.

Samba, Suharyati, 2005. Buku Ajar Praktik Kebidanan. Jakarta. EGC
BACA SELENGKAPNYA - PEMERIKSAAN FISIK

22 October 2010

Karakteristik ibu dengan perdarahan post partum di ruang kebidanan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Mortalitas dan Morbiditas pada wanita hamil dan bersalin masih menjadi masalah besar dinegara berkembang (Saifuddin, 2002). Oleh sebab itu, maka pemerintah mencanangkan gerakan Nasional Kehamilan Yang Aman (Making Pregnancy Safer) sebagai strategi pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat tahun 2010 sebagai bagian dari program Safe Motherhood (DepKes RI dan WHO, 2001). Visi Making Pregnancy Safer (MPS) yaitu kehamilan dan persalinan di Indonesia berlangsung aman serta bayi yang dilahirkan hidup dan sehat, sedangkan visi MPS adalah menurunkan kesakitan dan kematian maternal melalui pemantapan sistem kesehatan berdasarkan bukti ilmiah yang berkualitas, memberdayakan wanita keluarga dan mayarakat melalui kegiatan yang mempromosikan kesehatan ibu dan bayi baru lahir serta menjamin agar kesehatan maternal dipromosikan dan di lestarikan sebagai prioritas program pembangunan nasional. Salah satu sasaran program MPS yaitu menurunkan angka kematian maternal menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup (Saifuddin, 2002).
Sehubungan dengan pelaksanaan strategi penurunan angka kematian ibu, maka diperlukan identifikasi faktor resiko yang dapat menempatkan maternal pada resiko tinggi post partum hemorogi (PPH) yang salah satunya adalah melalui riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik yang seksama. Faktor tersebut penting karena dapat menunjukkan maternal mana yang beresiko tinggi mengalami PPH sehingga tindakan dapat diambil untuk memastikan bahwa maternal tersebut melahirkan di fasilitas yang mampu menangani hemorogi, jika dan saat perdarahan terjadi (WHO, 2001).
Perdarahan post partum akan menyebabkan tubuh kehilangan darah lebih dari 500 cc, akibatnya akan terjadi syock karena perdarahan yang terus menerus. Akibat yang lebih serius yaitu kematian ibu. Selain itu, perdarahan post partum juga memperbesar kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang, perdarahan yang banyak juga dapat mengakibatkan sindroma sheehan (Winkjosastro, 2002).
Berdasarkan Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003 AKI di Indonesia sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Provinsi Lampung, 2005). Sedangkan jumlah kematian ibu di provinsi Lampung pada tahun 2003 yaitu 98 per 186.248 kelahiran hidup (53 per 100.000 kelahiran hidup) dan meningkat pada tahun 2005 menjadi 145 per 165.347 kelahiran hidup (88 per 100.000 kelahiran hidup). Berdasarkan Laporan Evaluasi Program Seksi Kesga DinKes Kota metro jumlah angka kematian ibu tahun 2005 adalah 2 per 2.762 kelahiran hidup (72 per 100.000 kelahiran hidup) dan pada tahun 2007 angka kematian ibu mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu 8 per 2.662 kelahiran hidup (300 per 100.000 kelahiran hidup).
Penyebab kematian ibu adalah perdarahan, infeksi, gestosis dan aborsi (Winkjosastro, 2002). Penyebab kematian terbesar ibu di Indonesia yaitu perdarahan (45.2 %), pre eklampsia dan eklampsia (12,9 %), anemia (1,6 %) dan penyebab tidak langsung 14,1% (Suara Pembaharuan online, 2007). Di provinsi Lampung yang menjadi penyebab terbesar kematian ibu yaitu perdarahan sebesar 50,69 % dan biasanya terjadi pada ibu hamil dengan resiko tinggi dan ibu bersalin yang tidak ditolong oleh tenaga kesehatan (Profil DinKes Propinsi Lampung, 2005). Sedangkan di kota Metro penyebab kematian ibu pada tahun 2006 yaitu perdarahan (37,5 %), infeksi, anafilaktik syok, histerektomi, KET dan pre eklampsi berat masing-masing sebanyak 12,5 % (Laporan Evaluasi Program Seksi Kesga Dinkes Kota Metro).
Perdarahan pada ibu hamil dan bersalin dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu perdarahan sebelum usia kehamilan 28 minggu, perdarahan sesudah usia kehamilan 28 minggu (Perdarahan antepartum), dan perdarahan setelah fetus lahir (perdarahan yang terjadi dalam waktu 24 jam setelah persalinan berlangsung) yaitu perdarahan post partum. (sinarharapan online, 2007). Perdarahan post partum biasanya disebabkan oleh atonia uteri, robekan jalan lahir, retensio plasenta dan sisa plasenta dan kelainan darah (Mochtar,1998). Adapun faktor predisposisi perdarahan post partum secara umum yaitu keadaan umum pasien yang mempunyai gizi rendah, kelemahan dan kelelahan otot rahim, pertolongan persalinan dengan tindakan yang disertai narkose, dan overdistensi pada kehamilan (Manuaba.1999).
Sebagai rumah sakit rujukan pemerintah di kota Metro, RSUD Ahmad Yani merupakan rumah sakit yang difasilitasi untuk menangani kasus-kasus yang terjadi di masyarakat, termasuk PPH di wilayah kota metro dan daerah-daerah perbatasan di sekitarnya.
Berdasarkan hasil prasurvei yang dilakukan pada bulan maret 2007 di RSU Ahmad Yani Metro terdapat 51 ibu yang mengalami perdarahan post partum selama tahun 2006 dan belum teridentifikasi presentase faktor-faktor predispodisi maternal yang dapat meningkatkan resiko terjadi PPH.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “ Karakteristik Ibu Dengan Perdarahan Post Partum di Ruang Kebidanan RSU Ahmad Yani Metro”

B. Rumusan Masalah
Dari uraian yang terdapat pada latar belakang masalah yang ada, maka diperoleh rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu : “Bagaimana karakteristik ibu dengan perdarahan post partum di ruang kebidanan RSU A.Yani Metro ?”

C. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini penulis akan membatasi ruang lingkup penelitian sebagai berikut :
1. Sifat Penelitian : Deskriptif
2. Subyek Penelitian : Ibu yang mengalami perdarahan post partum di ruang kebidanan RSU A. Yani selama tahun 2006
3. Obyek penelitian : Karakteristik ibu dengan perdarahan post partum di ruang kebidanan RSU. A. Yani Metro
4. Tempat Penelitian : Ruang Kebidanan RSU A Yani Metro
5. Waktu Penelitian : 5 Mei 2007 s/d 7 Juni 2007

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahuinya karakteristik ibu yang mengalami perdarahan post partum di ruang kebidanan RSUD Ahmad Yani Metro.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya karakteristik usia ibu dengan perdarahan post partum di ruang kebidanan RSUD Ahmad Yani Metro.
b. Diketahuinya karakteristik paritas ibu dengan perdarahan post partum di ruang kebidanan RSUD Ahmad Yani Metro.
c. Diketahuinya karakteristik riwayat kehamilan ibu dengan perdarahan post partum di ruang kebidanan RSUD Ahmad Yani Metro.
d. Diketahuinya karakteristik riwayat persalinan ibu dengan perdarahan post partum di ruang kebidanan RSUD Ahmad Yani Metro.
e. Diketahuinya karakteristik riwayat penyakit ibu dengan perdarahan post partum di ruang kebidanan RSUD Ahmad Yani Metro.

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :
1. Peneliti
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan peneliti, khususnya tentang perdarahan post partum.
2. Ruang kebidanan RSUD Ahmad Yani Metro
Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan sehingga dapat digunakan sebagai bahan kajian untuk peningkatan pelayanan di rumah sakit khususnya di ruang kebidanan.
3. Pengembangan Program Dinas Kesehatan Kota Metro
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi data yang bermanfaat bagi Dinas Kesehatan Kota Metro.

BACA SELENGKAPNYA - Karakteristik ibu dengan perdarahan post partum di ruang kebidanan

Karakteristik akseptor kontrasepsi MOW di desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Di dunia Internasional menghadapi masalah penduduk pada akhir dekade 60-an, selain mempengaruhi strategi dan praktek pembangunan ekonomi kiranya ikut mempengaruhi kebijakan terhadap masalah kependudukan. Problem pertumbuhan penduduk telah menjadi fokus persoalan, bahkan mengurangi angka pertumbuhan kependudukan dilihat sebagai salah satu kunci dalam menyelesaikan persoalan yang lebih luas yaitu kemiskinan dan keterbelakangan (Juliantoro : 2000). Salah satu sebab dari keterbelakangan ialah karena meledaknya penduduk seluruh dunia telah bertambah lebih dua kali lipat dalam masa satu abad (Adams : 1984).
Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu isi gagasan Primary Health Care untuk mencapai Health For All The Yeart 2000. Melihat kenyataan ini sehingga sebagai usaha dilakkukan untuk menyatukan pendapat dan menerapkan strategi dengan tujuan utama menekan laju pertumbuhan penduduk di negara masing-masing (Manuaba : 1999). Indonesia menghadapi masalah dengan jumlah dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dengan kelahiran 5.000.000 per tahun.
Keluarga berencana adalah satu usaha untuk mencapai kesejahteraan keluarga dengan jalan memberikan nasihat perkawinan, pengobatan kemandulan dan penjarangan kelahiran (Dep.Kes RI : 1991).
Peran lembaga BKKBN mampu menurunkan angka Total Fertility Rate (TFR) sehingga telah memberikan kontribusi terhadap keberhasilan program KB nasional. Keberhasilan itu antara lain semakin menurunnya angka TFR. Keberhasilan itu antara lain semakin menurunnya antara Total Fertility Rate (TFR) dari 5,6 tahun 1970 menjadi 2,6 tahun 2002. Dengan demikian juga laju pertambahan penduduk turun dari 3,6 % tahun 1970 menjadi 11,49 % tahun 2000 (http://www.bkkbn.go.id : 2006).
Tujuan keluarga berencana adalah meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan ibu dan anak serta keluarga dan bangsa pada umumnya. Selain itu untuk meningkatkan martabat kehidupan rakyat dengan cara menurunkan angka kelahiran sehingga pertumbuhan penduduk tidak melebihi kemampuan untuk meningkatkan reproduksi (BKKBN : 1980).
Program KB Nasional dilakukan salah satu diantaranya yakni mengakhiri kehamilan dengan metode yang paling efektif yaitu Medis Operatif Wanita (MOW), khususnya untuk Pasangan Usia Subur (PUS) wanita usia minimal 35 tahun dan telah memiliki 2 orang anak atau lebih. Oleh karena itu pengikutsertaan pasangan usia subur wanita dalam kependudukan dan KB merupakan usaha yang sangat tepat sebab MOW sangat efektif dan aman bagi hampir semua pasangan usia subur wanita yang tidak ingin mempunyai anak lagi terutama bagi pasangan yang masih relatif muda karena tidak mengurangi gairah seks (BKKBN : 1980).
Pengembangan metode kontap MOW masih jauh tertinggal, hal ini disebabkan beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan MOW diantaranya pendidikan, pekerjaan, ekonomi dan paritas selain karena adanya hambatan yang ditemukan pada pemakaian alat kontrasepsi maupun pelaksanaan program di lapangan yaitu kebutuhan untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan perkembangan pemakaian alat kontraspsi maupun hambatan medis adalah penting untuk kelangsungan program KB selanjutnya, adanya rumor yang terjadi di lapangan, misalnya : kekhawatiran menurunnya gairah seks (Dep.Kes RI : 1991).
Mengingat metode kontap MOW paling efektif tetapi dari data yang dira
ngkum oleh sistem pencatatan pelaporan di dalam program KB nasional ternyata hanya 37,32% peserta KB aktif menggunakan MOW (Laporan Bulanan BKKBN Kota Metro : 2005), pencapaian peserta KB aktif MOW di Kota Metro berjumlah 37,51% selanjutnya khusus untuk Kecamatan Metro Barat data pencapaian KB aktif MOW berjumlah 35,81% dari 2.597 orang dari keseluruhan pasangan usia subur untuk wilayah Kecamatan Metro Barat Tahun 2005 (Laporan Bulanan BKKBN Kota Metro : 2005).
Tabel 1. Pencapaian Peserta KB Aktif Kota Metro bulan Agustus 2005
No Kecamatan PUS MOW Total PA (%)
1 Metro Pusat 7.720 216 5.582 38,69
2 Metro Utara 4.652 127 3.507 36,21
3 Metro Barat 3.735 93 2.597 35,81
4 Metro Timur 5.508 188 3.984 47,18
5 Metro Selatan 2.488 34 1.869 18,19
Kota Metro 24.103 658 17.539 37,15
Sumber : Laporan Bulanan BKKBN Kota Metro : 2005.
Berdasarkan data-data di atas dapat disimpulkan bahwa pencapaian MOW masih sangat rendah hal ini kemungkinan disebabkan faktor pendidikan, pekerjaan, ekonomi dan paritas. Untuk itu penulis ingin karakteristik akseptor kontrasepsi MOW di Desa Mulyojati Kecamatan Metro Barat tahun 2006.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut “Bagaimana karakteristik akseptor kontrasepsi MOW di Desa Mulyojati Kecamatan Metro Barat tahun 2006?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum untuk penelitian ini mengetahui karakteristik akseptor kontap MOW di Desa Mulyojati Kecamatan Metro Barat tahun 2006.
2. Tujuan Khusus
Dengan memperhatikan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan khusus penelitian ini adalah :
a. Diperolehnya karakteristik akseptor kontap MOW berdasarkan tingkat pendidikan.
b. Diperolehnya karakteristik akseptor kontap MOW berdasarkan pekerjaan.
c. Diperolehnya karakteristik akseptor kontap MOW berdasarkan tingkat ekonomi.
d. Diperolehnya karakteristik akseptor kontap MOW berdasarkan paritas.

D. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang Lingkup penelitian sebagai berikut :
1. Sifat penelitian : Deskriptif.
2. Subjek penelitian : Akseptor kontap MOW.
3. Objek penelitian : Karakteristik akseptor kontap MOW.
4. Lokasi pelitian : Desa Mulyojati Kecamatan Metro Barat.
5. Waktu penelitian : April – Mei 2006.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Bagi Puskesmas Mulyojati
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemberi pelayanan KB dalam memberikan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) guna meningkatkan minat masyarakat dalam menggunakan metode kontap MOW dan meningkatkan mutu pelayanan kontrasepsi.
2. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat, khususnya memperluas pengetahuan dibidang pendidikan, KB dan kesehatan serta referensi bagi penelitian selanjutnya.

BACA SELENGKAPNYA - Karakteristik akseptor kontrasepsi MOW di desa

Hubungan tingkat pengetahuan dan tingkat ekonomi keluarga kader dengan peran serta kader posyandu di kampung

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peran serta masyarakat merupakan hal yang mutlak perlu dalam pembangunan kesehatan, karena kesehatan merupakan kebutuhan dan hak setiap insan agar dapat menjalani hidup yang produktif dan berbahagia. Hal ini hanya dapat dicapai bila masyarakat, baik secara individual kelompok, berperan serta untuk meningkatkan kemampuan hidup sehatnya (Depkes RI, 1990/1991: Q-1). Hasil pengamatan, pengalaman lapangan sampai peningkatan cakupan program yang dikaji secara statistik, semuanya membuktikan bahwa peran serta masyarakat amat menentukan terhadap keberhasilan, kemandirian dan kesinambungan pembangunan kesehatan (Depkes RI, 2005 : 1).
Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar utamanya untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi (Depkes RI, 2005 : 02).
Sejak dicanangkannya Posyandu pada tahun 1986, berbagai hasil telah banyak dicapai. Angka kematian ibu dan kematian bayi telah berhasil diturunkan dan umur harapan hidup rata-rata bangsa Indonesia telah meningkat secara bermakna. Jika tahun 1995 Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) masing-masing adalah 373/100.000 kelahiran hidup (SKRT 1995) serta 60/100 kelahiran hidup (Susenas 1995), maka pada tahun 2003 AKI turun mejadi 307/100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2003), sedangkan AKB turun menjadi 37/1000 kelahiran hidup (SDKI, 2003). Sementara itu umur harapan hidup rata-rata meningkat dari 63,20 tahun pada tahun 1995 menjadi 66,2 tahun pada tahun 2003 (SDKI, 2003). (Depkes RI, 2005 : 03).
Pada saat posyandu dicanangkan tahun 1986, jumlah posyandu tercatat sebanyak 25 Posyandu, sedangkan pada tahun 2004, meningkat menjadi 238.699 Posyandu. Namun bila ditinjau dari aspek kualitas masih ditemukan banyak masalah, antara lain kelengkapan sarana dan keterampilan kader yang belum memadai (Depkes RI, 2005 : 03).
Kader adalah orang-orang yang berasal dari masyarakat yang dengan sukarela bersedia ikut serta dalam pelaksanaan kegiatan menuju kepeningkatan kesehatan masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak Posyandu yang kinerjanya menurun, yang disebabkan antara lain karena faktor kader yang kurang berfungsi (Depkes RI, 2005: VII). Banyak faktor yang mempengaruhi peran serta kader dalam kegiatan Posyandu, diantaranya faktor tingkat pengetahuan kader dan tingkat ekonomi keluarga kader. Rendahnya pengetahuan kader sehingga berpengaruh terhadap penurunan kinerja Posyandu yang berhubungan dengan peran sertanya di Posyandu (http://www.iinaza.wordpress.com). Sedangkan rendahnya tingkat ekonomi keluarga sehingga waktu dan kosentrasi kader lebih terpusat terhadap masalah ekonomi keluarganya (http://www.groups.yahoo.com)
Berdasarkan pengalaman saat PKL PKMD pada bulan Desember 2007 dan studi pendahuluan yang dilakukan di Kampung Putra Buyut Lampung Tengah pada bulan Maret 2008, di peroleh data jumlah kader di empat Posyandu sebanyak 20 orang. Namun pada kenyataannya dari 2 Posyandu yang diamati, masing-masing hanya 1 dan 2 orang kader yang aktif berperan dalam kegiatan Posyandu tersebut.
berdasarkan uraian masalah di atas penulis termotivasi untuk meneliti hubungan pengetahuan dan tingkat ekonomi keluarga kader dengan peran serta kader posyandu di Kampung Putra Buyut Kecamatan Gunung Sugih Lampung Tengah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka penulis merumuskan masalah penelitiannya:
1. Bagaimanakah gambaran pengetahuan, tingkat ekonomi keluarga, dan peran serta kader Posyandu di Kampung Putra Buyut Kecamatan Gunung Sugih Lampung Tengah?
2. Adakah hubungan tingkat pengetahuan dengan peran serta kader Posyandu di Kampung Putra Buyut Kecamatan Gunung Sugih Lampung Tengah?
3. Adakah hubungan tingkat ekonomi keluarga kader dengan peran serta kader Posyandu di Kampung Putra Buyut Kecamatan Gunung Sugih Lampung Tengah?

C. Ruang lingkup Penelitian
Adapun yang menjadi ruang lingkup dari penelitian tentang hubungan tingkat pengetahuan dan tingkat ekonomi keluarga kader dengan peran serta kader posyandu adalah:
1. Sifat penelitian deskriptif korelatif dengan rancangan cross sectional.
2. Subjek penelitian ini adalah kader Posyandu
3. Objek penelitian adalah tingkat pengetahuan dan tingkat ekonomi keluarga kader dengan peran serta kader Posyandu di Kampung Putra Buyut.
4. Lokasi penelitian di Kampung Putra Buyut Kecamatan Gunung Sugih Lampung Tengah
5. Waktu penelitian dimulai pada tanggal 26 Mei sampai dengan 27 Mei 2008

D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan, tingkat ekonomi keluarga, dan peranserta kader Posyandu di Kampung Putra Buyut Kecamatan Gunung Sugih Lampung Tengah.
2. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan peran serta kader Posyandu di Kampung Putra Buyut Kecamatan Gunung Sugih Lampung Tengah.
3. Untuk mengetahui hubungan tingkat ekonomi keluarga kader dengan peran serta kader Posyandu di Kampung Putra Buyut Kecamatan Gunung Sugih Lampung Tengah.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Untuk menerapkan ilmu pengetahuan tentang metodologi penelitian dalam penelitian tentang hubungan tingkat pengetahuan dan tingkat ekonomi keluarga kader dengan peran serta kader Posyandu.
2. Bagi Kampung Putra Buyut dan Puskesmas Gunung Sugih
Sebagai bahan evaluasi mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi peran serta kader Posyandu khususnya tingkat pengetahuan dan tingkat ekonomi keluarga kader.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan variabel-variabel yang belum di teliti dan dengan memperbesar sampel.

BACA SELENGKAPNYA - Hubungan tingkat pengetahuan dan tingkat ekonomi keluarga kader dengan peran serta kader posyandu di kampung

Seputar Tali Pusat

Seputar Tali Pusat
Pengertian
Tali pusat atau Umbilical cord adalah saluran kehidupan bagi janin selama dalam kandungan, dikatakan saluran kehidupan karena saluran inilah yang selama 9 bulan 10 hari menyuplai zat – zat gizi dan oksigen janin.

Tetapi begitu bayi lahir, saluran ini sudah tak diperlukan lagi sehingga harus dipotong dan diikat atau dijepit.
  • Letak : Funiculus umbilicalis terbentang dari permukaan fetal plasenta sampai daerah umbilicalis fetus dan berlanjut sebagai kulit fetus pada perbatasan tersebut. Funiculus umbilicalis secara normal berinersi dibagian tengah plasenta.
  • Bentuk : Funiculus umbilicalis berbentuk seperti tali yang memanjang dari tengah plasenta sampai ke umbilicalis fetus dan mempunyai sekitar 40 puntiran spiral.
  • Ukuran : Pada saat aterm funiculus umbilicalis panjangnya 40 – 50 cm dan diameternya 1 – 2 cm, hal ini cukup untuk kelahiran bayi tanpa menarik plasenta keluar dari rahim ibu. Tali pusat menjadi lebih panjang jika jumlah air ketuban pada kehamilan trimester pertama dan kedua relative banyak. Jika oligohidromnion dan janin kurang gerak ( pada kelainan motorik janin ), maka umumnya tali pusat lebih pendek. Kerugian tali pusat terlalu panjang adalah dapat terjadi lilitan disekitar leher atau tubuh janin atau menjadi ikatan yang dapat menyebabkan oklusi pembuluh darah khususnya pada saat persalinan.
Struktur tali pusat
  • Amnion : Menutupi funiculus umbilicalis dan merupakan lanjutan amnion yang menutupi permukaan fetal plasenta. Pada ujung fetal amnion melanjutkan diri dengan kulit yang menutupi abdomen. Baik kulit maupun membran amnion berasal dari ectoderm.
  • Tiga pembuluh darah : Setelah struktur lengkung usus, yolk sack dan duktus vitellinus menghilang, tali pusat akhirnya hanya mengandung pembuluh darah umbilikal yang menghubungkan sirkulasi janin dengan plasenta. Ketiga pembuluh darah itu saling berpilin di dalam funiculus umbilicalis dan melanjutkan sebagai pembuluh darah kecil pada vili korion plasenta. Kekuatan aliran darah (kurang lebih 400 ml/ menit) dalam tali pusat membantu mempertahankan tali pusat dalam posisi relatif lurus dan mencegah terbelitnya tali pusat tersebut ketika janin bergerak-gerak.
Ketiga pembuluh darah tersebut yaitu :
  • Satu vena umbilicalis membawa oksigen dan memberi nutrien ke sistem peredaran darah fetus dari darah maternal yang terletak di dalam spatium choriodeciduale.
  • Dua arteri umbilicalis mengembalikan produk sisa (limbah) dari fetus ke plasenta dimana produk sisa tersebut diasimilasi ke dalam peredaran darah maternal untuk di ekskresikan.
  • Jeli Wharton : Merupakan zat yang berkonsistensi lengket yang mengelilingi pembuluh darah pada funiculus umbilicalis. Jeli Warthon merupakan subtansi seperti jeli, juga berasal dari mesoderm seperti halnya pembuluh darah. Jeli ini melindungi pembuluh darah tersebut terhadap kompresi, sehingga pemberian makanan yang kontinyu untuk janin dapat di jamin. Selain itu juga dapat membantu mencegah penekukan tali pusat. Jeli warthon ini akan mengembang jika terkena udara. Jeli Warthon ini kadang-kadang terkumpul sebagai gempalan kecil dan membentuk simpul palsu di dalam funiculus umbilicalis. Jumlah jeli inilah yang menyebabkan funiculus umbilicalis menjadi tebal atau tipis.
Fungsi Tali pusat :
  • Sebagai saluran yang menghubungkan antara plasenta dan bagian tubuh janin sehingga janin mendapat asupan oksigen, makanan dan antibodi dari ibu yang sebelumnya diterima terlebih dahulu oleh plasenta melalui vena umbilicalis.
  • Saluran pertukaran bahan-bahan kumuh seperti urea dan gas karbon dioksida yang akan meresap keluar melalui arteri umbilicalis.
Sirkulasi Tali pusat
  • Fetus yang sedang membesar di dalam uterus ibu mempunyai dua keperluan yang sangat penting dan harus dipenuhi, yaitu bekalan oksigen dan nutrien serta penyingkiran bahan kumuh yang dihasilkan oleh sel-selnya. Jika keperluan ini tidak dapat dipenuhi, fetus akan menghadapi masalah dan mungkin maut. Struktur yang bertanggung jawab untuk memenuhi keperluan fetus ialah plasenta. Plasenta yang terdiri daripada tisu fetus dan tisu ibu terbentuk dengan lengkapnya pada ujung minggu yang ke-16 kehamilan.
Pada plasenta banyak terdapat unjuran seperti “Jari” atau vilus tumbuh dari membran yang menyelimuti fetus dan menembusi dinding uterus, yaitu endometrium. Endometrium pada uterus adalah kaya dengan aliran darah ibu. Di dalarn vilus terdapat jaringan kapilari darah fetus. Darah yang kaya dengan oksigen dan nutrien ini dibawa melalui vena umbilicalis yang terdapat di dalam tali pusat ke fetus. Sebaliknya, darah yang sampai ke vilus dari fetus melalui arteri umbilicalis dalam tali pusat mengandungi bahan kumuh seperti karbon dioksida dan urea. Bahan kumuh ini akan meresap merentas membran dan memasuki darah ibu yang terdapat di sekeliling vilus. Pertukaran oksigen, nutrien, dan bahan kumuh lazimnya berlaku melalui proses resapan. Dengan cara ini, keperluan bayi dapat dipenuhi.

Walaupun darah ibu dan darah fetus dalam vilus adalah begitu rapat, tetapi kedua-dua darah tidak bercampur kerana dipisahkan oleh suatu membran. Oksigen, air, glukosa, asid amino, lipid, garam mineral, vitamin, hormon, dan antibodi dari darah ibu perlu menembus membran ini dan memasuki kapilari darah fetus yang terdapat dalam vilus. Selain oksigen dan nutrien, antibodi dari darah ibu juga meresap ke dalarn darah fetus melalui plasenta. Antibodi ini melindungi fetus dan bayi yang dilahirkan daripada jangkitan penyakit.

Kelainan Letak Tali Pusat
Tali pusat secara normal berinersi di bagian sentral kedalam permukaan fetal plasenta. Namun, ada beberapa yang memiliki kelainan letak seperti:
  • Insersi tali pusat Battledore @ pada kasus ini tali pusat terhubung kepaling pinggir plasenta seperti bet tenis meja. Kondisi ini tidak bermasalah kecuali sambungannya rapuh.
  • Insersi tali pusat Velamentous @ tali pusat berinsersi kedalam membran agak jauh dari pinggir plasenta. Pembuluh darah umbilikus melewati membran mulai dari tali pusat ke plasenta. Bila letak plasenta normal, tidak berbahaya untuk janin, tetapi tali pusat dapat terputus bila dilakukan tarikan pada penanganan aktif di kala tiga persalinan.
Lama waktu Terlepasnya Tali Pusat
Tali pusat orok berwarna kebiru-biruan dan panjang sekitar 2,5 – 5 cm segera setelah dipotong. Penjepit tali pusat digunakan untuk menghentikan perdarahan. Penjepit tali pusat ini dibuang ketika tali pusat sudah kering, biasanya sebelum ke luar dari rumah sakit atau dalam waktu dua puluh empat jam hingga empat puluh delapan jam setelah lahir. Sisa tali pusat yang masih menempel di perut bayi (umbilical stump), akan mengering dan biasanya akan terlepas sendiri dalam waktu 1-3 minggu, meskipun ada juga yang baru lepas setelah 4 minggu.

Tali pusat sebaiknya dibiarkan lepas dengan sendirinya. Jangan memegang-megang atau bahkan menariknya. Bila tali pusat belum juga puput setelah 4 minggu, atau adanya tanda-tanda infeksi, seperti; pangkal tali pusat dan daerah sekitarnya berwarna merah, keluar cairan yang berbau, ada darah yang keluar terus- menerus, bayi demam tanpa sebab yang jelas maka kondisi tersebut menandakan munculnya penyulit pada neonatus yang disebabkan oleh tali pusat.

Lilitan Tali pusat pada janin
Adanya lilitan tali pusat di leher dalam kehamilan menurutnya, pada umumnya tidak menimbulkan masalah. Namun dalam proses persalinan dimana mulai timbul kontraksi rahim dan kepala janin mulai turun dan memasuki rongga panggul, maka lilitan tali pusat menjadi semakin erat dan menyebabkan penekanan atau kompresi pada pembuluh-pembuluh darah tali pusat. Akibatnya, suplai darah yang mengandung oksigen dan zat makanan ke janin akan berkurang, yang mengakibatkan janin menjadi sesak atau hipoksia.

Kemungkinan sebab lilitan tali pusat pada janin :
  • Usia kehamilan ® Kematian bayi pada trimester pertama atau kedua sering disebabkan karena puntiran tali pusat secara berulang-ulang ke satu arah. Ini mengakibatkan arus darah dari ibu ke janin melalui tali pusat tersumbat total. Karena dalam usia kehamilan tersebut umumnya bayi masih bergerak dengan bebas. Hal tersebut menyebabkan kompresi tali pusat sehingga janin mengalami kekurangan oksigen.
  • Polihidramnion kemungkinan bayi terlilit tali pusat semakin meningkat.
  • Panjangnya tali pusat ® dapat menyebabkan bayi terlilit. Panjang tali pusat bayi rata-rata 50 sampai 60 cm. Namun, tiap bayi mempunyai panjang tali pusat berbeda-beda. Panjang pendeknya tali pusat tidak berpengaruh terhadap kesehatan bayi, selama sirkulasi darah dari ibu ke janin melalui tali pusat tidak terhambat.
Tanda-Tanda Bayi Terlilit Tali Pusat :
Beberapa hal yang menandai bayi terlilit tali pusat, yaitu:
  • Pada bayi dengan usia kehamilan lebih dari 34 minggu, namun bagian terendah janin (kepala atau bokong) belum memasuki pintu atas panggul perlu dicurigai adanya lilitan tali pusat.
  • Pada janin letak sungsang atau lintang yang menetap meskipun telah dilakukan usaha untuk memutar janin (Versi luar/knee chest position) perlu dicurigai pula adanya lilitan tali pusat.
  • Dalam kehamilan dengan pemeriksaan USG khususnya color doppler dan USG 3 dimensi dapat dipastikan adanya lilitan tali pusat.
  • Dalam proses persalinan pada bayi dengan lilitan tali pusat yang erat, umumnya dapat dijumpai dengan tanda penurunan detak jantung janin di bawah normal, terutama pada saat kontraksi rahim.
Infeksi Tali Pusat ( Tetanus Neonatorum )
Adalah penyakit yang diderita oleh bayi baru lahir (neonatus). Tetanus neonatorum penyebab kejang yang sering dijumpai pada BBL yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi akibat pemotongan tali pusat atau perawatan tidak aseptic (Ilmu Kesehatan Anak, 1985)
Penyebabnya adalah hasil klostrodium tetani (Kapitaselekta, 2000) bersifat anaerob, berbentuk spora selama diluar tubuh manusia dan dapat mengeluarkan toksin yang dapat mengahancurkan sel darah merah, merusak lekosit dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang bersifat neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. (Ilmu KesehatanAnak,1985)
Penyebab tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang merupakan kuman gram positif, anaerob, bentuk batang dan ramping. Kuman tersebut terdapat ditanah, saluran pencernaan manusia dan hewan. Kuman clostridium tetani membuat spora yang tahan lama dan menghasilkan 2 toksin utama yaitu tetanospasmin dan tetanolysin.

Proses Pembentukan Tali Pusat Pada Janin
Mesoderm connecting stalk yang juga memiliki kemampuan angiogenik, kemudian akan berkembang menjadi pembuluh darah dan connecting stalk tersebut akan menjadi tali pusat. Pada tahap awal perkembangan, rongga perut masih terlalu kecil untuk usus yang berkembang, sehingga sebagian usus terdesak ke dalam rongga selom ekstraembrional pada tali pusat. Pada sekitar akhir bulan ketiga, penonjolan lengkung usus (intestional loop) ini masuk kembali ke dalam rongga abdomen janin yang telah membesar.Kandung kuning telur (yolk-sac) dan tangkai kandung kuning telur (ductus vitellinus) yang terletak dalam rongga korion, yang juga tercakup dalam connecting stalk, juga tertutup bersamaan dengan proses semakin bersatunya amnion dengan korion.

Pemotongan Tali pusat
  • Persiapan Alat yang Diperlukan
  • Teknik Memotong Tali Pusat
1. Arteri klem 2 buah
2. Gunting Steril 1 buah
3. Sarung Tangan Steril 1 pasang
4. Benang steril pengikat pusat 1 helai
5. Selimut Kering dan bersih 1 buah
6. Perlak pengalas 1 buah

Dengan menggunakan klem DTT, lakukan penjepitan tali pusat dengan klem pada sekitar 3 cm dari dinding perut (pangkal pusat) bayi. Dari titik jepitan, tekan tali pusat dengan dua jari kemudian dorong isi tali pusat ke arah ibu (agar darah tidak terpancar pada saat dilakukan pemotongan tali pusat). Lakukan penjepitan kedua dengan jarak 2 cm dari tempat jepitan pertama pada sisi atau mengarah ke ibu. Pegang tali pusat di antara kedua klem tersebut, satu tangan menjadi landasan tali pusat sambil melindungi bayi, tangan yang lain memotong tali pusat di antara kedua klem tersebut dengan menggunakan gunting disinfeksi tingkat tinggi atau steril (Gambar 3). Setelah selesai digunting segera ikat tali pusat bayi dengan benang pusat, ikatan harus kecang dengan simpul mati.Setelah memotong tali pusat, ganti handuk basah dan selimuti bayi dengan selimut atau kain yang bersih dan kering. Pastikan bahwa kepala bayi terselimuti dengan baik. (Sumber: Martin, 1996)

Perawatan Tali Pusat
Perawatan adalah proses perbuatan, cara merawat, pemeliharaan, penyelenggaraan (Kamisa, 1997). Perawatan tali pusat tersebut sebenarnya juga sederhana. Hal yang paling terpenting dalam membersihkan tali pusat adalah :
  1. Pastikan tali pusat dan area sekelilingnya selalu bersih dan kering.
  2. Selalu cuci tangan dengan menggunakan air bersih dan sabun sebelum membersihkan tali pusat.
  3. Selama belum tali pusatnya puput, sebaiknya bayi tidak dimandikan dengan cara dicelupkan ke dalam air. Cukup dilap saja dengan air hangat. Alasannya, untuk menjaga tali pusat tetap kering. Bagian yang harus selalu dibersihkan adalah pangkal tali pusat, bukan atasnya. Untuk membersihkan pangkal ini, Anda harus sedikit mengangkat (bukan menarik) tali pusat. Tali pusat harus dibersihkan sedikitnya dua kali dalam sehari.
  4. Tali pusat juga tidak boleh ditutup rapat dengan apapun, karena akan membuatnya menjadi lembab. Selain memperlambat puputnya tali pusat, juga menimbulkan resiko infeksi. Kalaupun terpaksa ditutup tutup atau ikat dengan longgar pada bagian atas tali pusat dengan kain kasa steril. Pastikan bagian pangkal tali pusat dapat terkena udara dengan leluasa.
Pencegahan
Pencegahan agar tali pusat tidak infeksi yaitu dengan cara pemberian toxoid tetanus kepada ibu hamil 3 x berturut – turut pada trimester ke – 3 dikatakan sangat bermanfaat untuk mencegah tetanus neonatorum. Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril dan perawatan tali pusat selanjutnya.

sumber: http://bascommetro.blogspot.com/
BACA SELENGKAPNYA - Seputar Tali Pusat

21 October 2010

Kamar Ibu Bersalin dan Rawat Gabung

Keberhasilan kehamilan, persalinan, menyusui dan nifas dipengaruhi oleh berbagai faktor :
- fisik (gizi, aktifitas, dsb)
- penyakit tertentu (infeksi, penyakit endokrin / metabolik, dsb)
- lingkungan sosial (sikap dan tingkah laku masyarakat, dsb)
- ekonomi (promosi susu formula yang berlebihan, dsb)
- politik (kebijakan pemerintah, dsb)
- emosional (sikap ibu terhadap kehamilan, persalinan dan menyusui).
Rumah sakit merupakan sebuah lembaga di mana orang sakit (termasuk ibu hamil) membutuhkan perawatan baik fisik maupun emosional untuk kembali sehat seperti semula. Pemeriksaan antenatal selama kehamilan tentu dapat dilakukan di klinik / ruang periksa. Namun kamar bersalin dan kamar perawatan ibu dan anak memerlukan perhatian / pemahaman khusus para penyelenggara pelayanan kesehatan, supaya dapat memberikan pelayanan yang baik dan optimal sesuai kebutuhan ibu dan bayinya.

KAMAR BERSALIN

Sesuai program pemerintah, peningkatan kualitas manusia Indonesia seutuhnya dapat dicapai antara lain dengan peningkatan penggunaan ASI, maka posisi rumah sakit dengan kamar bersalinnya menjadi sangat vital, karena di sinilah pertama kali ibu mengadakan kontak dengan bayinya sesaat setelah dilahirkan. Kalau selama dalam kandungan semua kebutuhan nutrisi janin didapatkan melalui tali pusat, maka di kamar bersalin bayi membutuhkan kontak kembali dengan ibunya, baik untuk kepentingan nutrisi maupun untuk kepentingan lainnya.
Dalam protokol kebidanan, ibu masih harus dirawat di kamar bersalin dua jam setelah melahirkan untuk deteksi dini terjadinya perdarahan post partum yang sangat mengancam jiwa. Pertanyaan yang timbul, ke mana bayi harus diletakkan selama ibu dalam pengawasan intensif untuk menghindari bahaya perdarahan ? Kalau dahulu bayi segera dirawat di kamar bayi, maka sekarang jawabnya adalah bayi diletakkan di samping ibu atau dalam sebuah boks dekat dengan ibu. Dari sinilah sebenarnya rawat gabung mulai dikerjakan.

Struktur dan fungsi kamar bersalin

Kamar bersalin ideal terdiri atas kamar persiapan, kamar bersalin yang sebenarnya dan kamar observasi pasca persalinan (kamar pulih). Di samping itu dapat pula dipisahkan antara kamar untuk kasus septik dan aseptik, kamar tindakan dan non tindakan dan kamar isolasi. Dalam hubungan dengan pengelolaan laktasi, maka adanya tiga ruang yakni kamar persiapan, kamar persalinan dan kamar observasi menduduki peran yang penting.

1. Kamar persiapan
Apabila sebuah rumah sakit telah berfungsi penuh sebagai RS Sayang Bayi, maka hampir semua ibu yang masuk kamar bersalin sudah mendapat penyuluhan manajemen laktasi sejak mereka berada di poliklinik asuhan antenatal. Mereka sudah memperoleh nasihat tentang keunggulan ASI, kerugian susu formula, gizi ibu hamil yang menjamin lancarnya produksi ASI, beberapa cara perawatan payudara dan bagaimana caranya menyusui yang benar. Ibu bersalin yang seperti ini tidak menjadi masalah lagi.
Ada kalanya, kadang cukup banyak, ibu datang langsung ke kamar bersalin tanpa pernah melakukan asuhan antenatal di rumah sakit tersebut. Kalaupun mereka melakukan asuhan antenatal di tempat lain, mungkin petugas di sana juga belum memahami benar pentingnya manajemen laktasi. Ibu yang akan bersalin ini perlu mendapat penyuluhan tentang manajemen laktasi.
Untuk kepentingan ini perlu disiapkan sebuah ruang, di mana ibu hamil yang datang untuk bersalin dapat memperoleh informasi yang jelas tentang penatalaksanaan ASI. Di dalam ruang persiapan ini perlu dipasang beberapa gambar, poster, brosur dan sebagainya, untuk membantu memberi konseling tentang ASI. Di dalam kamar bersalin tidak boleh sama sekali terlihat botol susu, dot atau kempengan, apalagi reklame susu formula yang semuanya akan mengakibatkan gagalnya ibu menyusui. Dalam melakukan rangkaian tugas ini petugas tidak boleh overacting misalnya jangan melakukan konseling pada ibu yang sedang kesakitan. Berilah konseling hanya kepada ibu yang masih kooperatif, yaitu ibu yang belum dalam persalinan atau masih dalam fase laten.

2. Kamar persalinan
Kamar persalinan yang sebenarnya adalah kamar untuk ibu yang sudah dalam kala 1 fase aktif atau kala 2 persalinan. Pada saat ini seorang ibu hamil berada dalam kondisi yang paling tidak menyenangkan, karena berada dalam puncak rasa sakitnya. Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh petugas dalam hal konseling manajemen laktasi, karena sulit bagi ibu untuk diajak berkomunikasi, kecuali tentang hal-hal yang menyangkut proses persalinan. Meskipun demikian, gambar atau poster tentang cara menyusui yang baik dan benar, serta menyusui segera sesudah lahir, dapat dipasang di ruangan ini.
Dalam waktu 30 menit setelah lahir, bayi harus segera disusukan. Beberapa pendapat mengatakan bahwa rangsangan putting susu akan mempercepat lahirnya plasenta melalui pelepasan oksitosin, yang dapat mengurangi risiko perdarahan postpartum. Rangsangan putting susu memacu refleks prolaktin dan oksitosin, dua refleks penting yang dibutuhkan dalam proses menyusui. Meskipun ASI belum keluar, kontak fisik bayi dengan ibu tetap harus dikerjakan karena memberikan rasa kepuasan psikologis yang dibutuhkan ibu agar proses menyusui berjalan lancar.
Penyusuan dini dikerjakan pada bayi normal, yaitu bayi lahir dengan nilai Apgar 5 menit di atas 7 dan refleks mengisap baik. Bayi lahir dengan asfiksia dan bayi dengan cacat bawaan sebaiknya tidak segera disusukan kepada ibunya.
Bila ibu mendapat pembiusan umum, misalnya untuk persalinan dengan sectio cesarea, penyusuan dilakukan segera setelah ibu sadar penuh, misalnya 4-6 jam setelah operasi. Pada keadaan ini efek pembiusan pada ibu dan bayi telah berkurang, sehingga refleks mengisap bayi telah timbul kembali. Penyusuan pasca operasi memerlukan pertolongan petugas untuk membantu ibu memegang bayi, membetulkan posisi ibu, dan sebagainya. Bayi yang lahir dengan tindakan vakum atau forcep, sering disertai dengan trauma kepala, sehingga tidak jarang juga mengalami asfiksia. Meskipun demikian penyusuan dapat segera dimulai dengan bantuan petugas.

3. Kamar pulih
Selama dua jam ibu dalam observasi kala 4, ibu ditempatkan dalam suatu kamar pulih. Bayi diletakkan di samping ibu atau dalam sebuah boks yang dapat dilihat ibu. Sebaiknya diusahakan agar di kamar pulih ibu tidak terganggu oleh kegaduhan yang biasanya terjadi di kamar persalinan. Rasa tenteram ibu merupakan modal keberhasilan menyusui selanjutnya.

RAWAT GABUNG

Banyak rumahsakit, puskesmas, klinik dan rumah bersalin yang belum merawat bayi baru lahir berdekatan dengan ibunya. Berbagai alasan diajukan antara lain karena rasa kasihan karena ibu masih capai setelah melahirkan, ibu memerlukan istirahat, atau ibu belum mampu merawat bayinya sendiri. Ada pula kekuatiran bahwa pada jam kunjungan, bayi mudah tertular penyakit yang mungkin dibawa oleh para pengunjung. Alasan lain adalah rumahsakit / klinik ingin memberikan pelayanan sebaik-baiknya sehingga ibu bisa beristirahat selama berada di rumah sakit. Namun setelah menyadari akan keuntungannya, sistem rawat gabung sekarang menjadi kebijakan pemerintah.

Pengertian dan tujuan

Rawat gabung adalah satu cara perawatan di mana ibu dan bayi yang baru dilahirkan tidak dipisahkan, melainkan ditempatkan dalam sebuah ruangan, kamar atau tempat bersama-sama selama 24 jam penuh dalam seharinya.
Istilah rawat gabung parsial yang dulu banyak dianut, yaitu rawat gabung hanya dalam beberapa jam seharinya, misalnya hanya siang hari saja sementara pada malam hari bayi dirawat di kamar bayi, sekarang tidak dibenarkan dan tidak dipakai lagi.

Tujuan rawat gabung adalah :
1. Agar ibu dapat menyusui bayinya sedini mungkin, kapan saja dibutuhkan.
2. Agar ibu dapat melihat dan memahami cara perawatan bayi yang benar seperti yang dilakukan oleh petugas.
3. Agar ibu mempunyai pengalaman dalam merawat bayinya sendiri selagi ibu masih di rumah sakit dan yang lebih penting lagi, ibu memperoleh bekal ketrampilan merawat bayi serta menjalankannya setelah pulang dari rumah sakit.
4. Dalam perawatan gabung, suami dan keluarga dapat dilibatkan secara aktif untuk mendukung dan membantu ibu dalam menyusui dan merawat bayinya secara baik dan benar.
5. Ibu mendapatkan kehangatan emosional karena ibu dapat selalu kontak dengan buah hati yang sangat dicintainya, demikian pula sebaliknya bayi dengan ibunya.

Sasaran dan syarat

Pada prinsipnya kegiatan Peningkatan Penggunaan ASI (PP-ASI) dimulai sejak ibu hamil pertama kali memeriksakan diri di poliklinik asuhan antenatal. Idealnya di poliklinik ini tersedia sebuah klinik laktasi, yang terdiri atas dua ruangan yaitu klinik laktasi asuhan antenatal dan postnatal.
Kegiatan rawat gabung dimulai sejak ibu bersalin di kamar bersalin dan di bangsal perawatan pasca persalinan. Meskipun demikian penyuluhan tentang manfaat dan pentingnya rawat gabung sudah dimulai sejak ibu pertama kali memeriksakan kehamilannya di poliklinik asuhan antenatal.
Tidak semua bayi atau ibu dapat segera dirawat gabung. Bayi dan ibu yang dapat dirawat gabung harus memenuhi syarat / kriteria sebagai berikut :
1. Lahir spontan, baik presentasi kepala maupun bokong.
2. Bila lahir dengan tindakan, maka rawat gabung dilakukan setelah bayi cukup sehat, refleks mengisap baik, tidak ada tanda infeksi dsb.
3. Bayi yang lahir dengan sectio cesarea dengan anestesia umum, rawat gabung dilakukan segera setelah ibu dan bayi sadar penuh (bayi tidak ngantuk), misalnya 4-6 jam setelah operasi selesai. Bayi tetap disusukan meskipun mungkin ibu masih mendapat infus.
4. Bayi tidak asfiksia setelah lima menit pertama (nilai Apgar minimal 7).
5. Umur kehamilan 37 minggu atau lebih.
6. Berat lahir 2000-2500 gram atau lebih.
7. Tidak terdapat tanda-tanda infeksi intrapartum.
8. Bayi dan ibu sehat.
Jika tidak memenuhi kriteria di atas, maka rawat gabung ibu dan bayi TIDAK perlu, atau bahkan tidak boleh dikerjakan, misalnya pada :
1. Bayi yang sangat prematur.
2. Bayi berat lahir kurang dari 2000-2500 gram.
3. Bayi dengan sepsis.
4. Bayi dengan gangguan napas.
5. Bayi dengan cacat bawaan berat, misalnya : hidrosefalus, meningokel, anensefali, atresia ani, labio/palato/gnatoschizis, omfalokel, dsb.);
6. Ibu dengan infeksi berat, misalnya KP terbuka, sepsis, dsb.
Kriteria-kriteria masih ditentukan juga oleh beberapa aspek pertimbangan klinis, misalnya bayi dengan berat badan 2000-2500 gram meskipun keadaan lain-lainnya dalam batas normal, perawatan gabungnya harus dengan pengawasan yang sangat ketat.
Sebaiknya keputusan apakah bayi akan dirawat gabung atau dirawat pisah ditentukan oleh dokter anak bersama dengan dokter kebidanan.

Manfaat rawat gabung

Manfaat dan keuntungan rawat gabung ditinjau dari berbagai aspek sesuai dengan tujuannya, adalah sebagai berikut :
1. Aspek fisik.
Bila ibu dekat dengan bayinya, maka ibu dapat dengan mudah menjangkau bayinya untuk melakukan perawatan sendiri dan menyusui setiap saat, kapan saja bayinya menginginkan (nir-jadwal). Dengan perawatan sendiri dan menyusui sedini mungkin, akan mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi silang dari pasien lain atau petugas kesehatan. Dengan menyusui dini maka ASI jolong atau kolostrum dapat memberikan kekebalan / antibodi yang sangat berharga bagi bayi. Karena ibu setiap saat dapat melihat bayinya, maka ibu dengan mudah dapat mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada bayinya yang mungkin berhubungan dengan kesehatannya.
2. Aspek fisiologis.
Bila ibu dekat dengan bayinya, maka bayi akan segera disusui dan frekuensinya lebih sering. Proses ini merupakan proses fisiologis yang alami, di mana bayi mendapat nutrisi alami yang paling sesuai dan baik. Untuk ibu, dengan menyusui maka akan timbul refleks oksitosin yang akan membantu proses fisiologis involusi rahim. Di samping itu akan timbul refleks prolaktin yang akan memacu proses produksi ASI. Efek menyusui dalam usaha menjarangkan kelahiran telah banyak dipelajari di banyak negara berkembang. Secara umum seorang ibu akan terlindung dari kesuburan sepanjang ia masih menyusui dan belum haid, khususnya bila frekuensi menyusui lebih sering dan sama sekali tidak menggunakan pengganti ASI (menyusui secara eksklusif). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa daya proteksi menyusui eksklusif terhadap usaha KB tidak kalah dengan alat KB yang lain.
3. Aspek psikologis
Dengan rawat gabung maka antara ibu dan bayi akan segera terjalin proses lekat (early infant-mother bonding) akibat sentuhan badan antara ibu dan bayinya. Hal ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan psikologis bayi selanjutnya, karena kehangatan tubuh ibu merupakan stimulasi mental yang mutlak dibutuhkan oleh bayi. Dengan pemberian ASI kapan saja bayi membutuhkan, akan memberikan kepuasan pada ibu bahwa ia dapat berfungsi sebagaimana seorang ibu memenuhi kebutuhan nutrisi bagi bayinya, di samping merasa dirinya sangat dibutuhkan oleh bayinya dan tidak dapat digantikan oleh orang lain. Keadaan ini akan memperlancar produksi ASI karena seperti telah diketahui, refleks let-down bersifat psikosomatis. Sebaliknya bayi akan mendapatkan rasa aman dan terlindung, merupakan dasar bagi terbentuknya rasa percaya pada diri anak. Ibu akan merasa bangga karena dapat menyusui dan merawat bayinya sendiri dan bila suaminya berkunjung, akan terasa adanya suatu ikatan kesatuan keluarga.
4. Aspek edukatif.
Dengan rawat gabung, ibu (terutama yang baru mempunyai anak pertama) akan mempunyai pengalam yang berguna, sehingga mampu menyusui serta merawat bayinya bila pulang dari rumah sakit. Selama di rumah sakit ibu akan melihat, belajar dan mendapat bimbingan bagaimana cara menyusui secara benar, bagaimana cara merawat payudara, merawat tali pusat, memandikan bayi dsb. Keterampilan ini diharapkan dapat menjadi modal bagi ibu untuk merawat bayi dan dirinya sendiri setelah pulang dari rumah sakit. Di samping pendidikan bagi ibu, dapat juga dipakai sebagai sarana pendidikan bagi keluarga, terutama suami, dengan cara mengajarkan suami dalam membantu istri untuk proses di atas. Suami akan termotivasi untuk memberi dorongan moral bagi istrinya agar mau menyusui bayinya. Jangan sampai terjadi seorang suami melarang istrinya menyusui bayinya karena suami takut payudara istrinya akan menjadi jelek. Bentuk payudara akan berubah karena usia adalah hal alami, meskipun dengan menggunakan kutang penyangga yang baik, ditambah dengan nutrisi yang baik, dan latihan otot-otot dada serta menerapkan posisi yang benar, ketakutan mengendornya payudara dapat dikurangi.
5. Aspek ekonomi
Dengan rawat gabung maka pemberian ASI dapat dilakukan sedini mungkin. Bagi rumah bersalin terutama rumah sakit pemerintah, hal tersebut merupakan suatu penghematan anggaran pengeluaran untuk pembelian susu formula, botol susu, dot serta peralatan lain yang dibutuhkan. Beban perawat menjadi lebih ringan karena ibu berperan besar dalam merawat bayinya sendiri, sehingga waktu terluang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lain. Lama perawatan ibu menjadi lebih pendek karena involusi rahim terjadi lebih cepat dan memungkinkan tempat tidur digunakan untuk penderita lain. Demikian pula infeksi nosokomial dapat dicegah atau dikurangi, berarti penghematan biaya bagi rumahsakit maupun keluarga ibu. Bagi ibu juga penghematan oleh karena lama perawatan menjadi singkat.
6. Aspek medis
Dengan pelaksanaan rawat gabung maka akan menurunkan terjadinya infeksi nosokomial pada bayi serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas ibu maupun bayi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan rawat gabung

Keberhasilan rawat gabung yang mendukung peningkatan penggunaan ASI dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain sosial-budaya, ekonomi, tatalaksana rumahsakit, sikap petugas, pengetahuan ibu, lingkungan keluarga, adanya kelompok pendukung peningkatan penggunaan ASI (KP-ASI) dan peraturan tentang peningkatan ASI atau pemasaran susu formula.

1. Peranan sosial budaya
Kemajuan teknologi, perkembangan industri, urbanisasi dan pengaruh kebudayaan Barat menyebabkan pergeseran nilai sosial budaya masyarakat. Memberi susu formula dianggap modern karena memberi ibu kedudukan yang sama dengan dengan ibu-ibu golongan atas. Ketakutan akan mengendornya payudara menyebabkan ibu enggan menyusui bayinya.
Bagi ibu yang sibuk dengan urusan di luar rumah, sebagai wanita karir atau isteri seorang pejabat yang selalu dituntun mendampingi kegiatan suami, hal ini dapat menghambat usaha peningkatan penggunaan ASI. Sebagian ibu tersebut pada umumnya berasal dari golongan menengah-atas cenderung untuk memilih susu formula daripada menyusui bayinya. Jika tidak mungkin membagi waktu, seyogyanya hanya ibu yang sudah tidak menyusui saja yang boleh dibebani tugas sampingan di luar rumah. Dalam hal ini peranan suami atau instansi di mana suami bekerja sebaiknya memahami betul peranan ASI bagi perkembangan bayi.
Iklan menarik melalui media massa serta pemasaran susu formula dapat mempengaruhi ibu untuk enggan memberikan ASI nya. Apalagi iklan yang menyesatkan seolah-olah dengan teknologi yang supercanggih dapat membuat susu formula sebaik dan semutu susu ibu, atau bahkan lebih baik daripada susu ibu. Adanya kandungan suatu nutrien yang lebih tinggi dalam susu formula dibanding dalam ASI bukan jaminan bahwa susu tersebut sebaik susu ibu apalagi lebih baik. Komposisi nutrien yang seimbang dan adanya zat antibodi spesifik dalam ASI menjamin ASI tetap lebih unggul dibanding susu formula.

2. Faktor ekonomi.
Seperti disebutkan di atas, beberapa wanita memilih bekerja di luar rumah. Bagi wanita karir, hal ini dilakukan bukan karena tuntutan ekonomi, melainkan karena status, prestise, atau memang dirinya dibutuhkan. Pada sebagian kasus lain, ibu bekerja di luar rumah semata karena tekanan ekonomi, di mana penghasilan suami dirasa belum dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Gaji pegawai negeri yang relatif rendah dapat dipakai sebagai alasan utama istri ikut membantu mencari nafkah dengan bekerja di luar rumah. Memang tidak ada yang perlu disalahkan dalam masalah ini.
Dengan bekerja di luar rumah, ibu tidak dapat berhubungan penuh dengan bayinya. Akhirnya ibu cenderung memberikan susu formula dengan botol. Bila bayi telah mengenal dot/botol maka ia akan cenderung memilih botol. Dengan demikian frekuensi penyusuan akan berkurang dan menyebabkan produksi menurun. Keadaan ini selanjutnya mendorong ibu untuk menghentikan pemberian ASI, tidak jarang terjadi sewaktu masa cutinya belum habis. Ibu perlu didukung untuk memberi ASI penuh pada bayinya dan tetap berusaha untuk menyusui ketika ibu telah kembali bekerja.
Motivasi untuk tetap memberikan ASI meskipun ibu harus berpisah dengan bayinya adalah faktor utama dalam keberhasilan ibu untuk mempertahankan penyusuannya. Pendirian tempat penitipan bayi dekat / di tempat ibu bekerja merupakan hal yang sangat penting.

3. Peranan tatalaksana rumahsakit / rumah bersalin.
Peranan tatalaksana atau kebijakan rumah sakit / rumah bersalin sangat penting mengingat kini banyak ibu yang lebih menginginkan melahirkan di pelayanan kesehatan yang lebih baik. Tatalaksana rumah sakit yang tidak menunjang keberhasilan menyusui harus dihindari, seperti :
- bayi dipuasakan beberapa hari, padahal refleks isap bayi paling kuat adalah pada jam-jam pertama sesudah lahir. Rangsangan payudara dini akan mempercepat timbulnya refleks prolaktin dan mempercepat produksi ASI.
- memberikan makanan pre-lakteal, yang membuat hilangnya rasa haus sehingga bayi enggan menetek.
- memisahkan bayi dari ibunya. Tidak adanya sarana rawat gabung menyebabkan ibu tidak dapat menyusui bayinya nir-jadwal.
- menimbang bayi sebelum dan sesudah menyusui, dan jika pertambahan berat badan tidak sesuai dengan harapan maka bayi diberi susu formula. Hal ini dapat menimbulkan rasa kuatir pada ibu yang memperngaruhi produksi ASI.
- penggunaan obat-obatan selama proses persalinan, seperti obat penenang, atau preparat ergot, yang dapat menghambat permulaan laktasi. Rasa sakit akibat episiotomi atau robekan jalan lahir dapat mengganggu pemberian ASI.
- Pemberian sampel susu formula harus dihilangkan karena akan membuat ibu salah sangka dan menganggap bahwa susu formula sama baik bahkan lebih baik daripada ASI.
Dalam hal ini perlu kiranya dibentuk klinik laktasi yang berfungsi sebagai tempat ibu berkonsultasi bila mengalami kesulitan dalam menyusui. Tidak kalah pentingnya ialah sikap dan pengetahuan petugas kesehatan, karena walaupun tatalaksana rumah sakit sudah baik bila sikap dan pengetahuan petugas masih belum optimal maka hasilnya tidak akan memuaskan.

4. Faktor-faktor dalam diri ibu sendiri
Beberapa keadaan ibu yang mempengaruhi laktasi adalah :
- keadaan gizi ibu
Kebutuhan tambahan kalori dan nutrien diperlukan sejak hamil. Sebagian kalori ditimbun untuk persiapan produksi ASI. Seorang ibu hamil dan menyusui perlu mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang cukup dan seimbang agar kuantitas dan kualitas ASI terpenuhi. Dengan demikian diharapkan bayi dapat tumbuh kembang secara optimal selama 4 bulan pertama hanya dengan ASI (menyusui secara eksklusif).
- pengalaman / sikap ibu terhadap menyusui
Ibu yang berhasil menyusui anak sebelumnya, dengan pengetahuan dan pengalaman cara pemberian ASI secara baik dan benar akan menunjang laktasi berikutnya. Sebaliknya, kegagalan menyusui di masa lalu akan mempengaruhi pula sikap seorang ibu terhadap penyusuan sekarang. Dalam hal ini perlu ditumbuhkan motivasi dalam dirinya secara sukarela dan penuh rasa percaya diri mampu menyusui bayinya. Pengalaman masa kanak-kanak, pengetahuan tentang ASI, nasihat, penyuluhan, bacaan, pandangan dan nilai yang berlaku di masyarakat akan membentuk sikap ibu yang positif terhadap masalah menyusui.
- keadaan emosi
Gangguan emosional, kecemasan, stress fisik dan psikis akan mempengaruhi produksii ASI. Seorang ibu yang masih harus menyelesaikan kuliah, ujian, dsb., tidak jarang mengalami ASI nya tidak dapat keluar. Sebaliknya, suasana rumah dan keluarga yang tenang, bahagia, penuh dukungan dari anggota keluarga yang lain (terutama suami), akan membantu menunjang keberhasilan menyusui. Demikian pula lingkungan kerja akan berpengaruh ke arah positif, atau sebaliknya.
- keadaan payudara
Besar kecil dan bentuk payudara TIDAK mempengaruhi produksi ASI. Tidak ada jaminan bahwa payudara besar akan menghasilkan lebih banyak ASI atau payudara kecil menghasilkan lebih sedikit. Produksi ASI lebih banyak ditentukan oleh faktor nutrisi, frekuensi pengisapan putting dan faktor emosi. Sehubungan dengan payudara, yang penting mendapat perhatian adalah keadaan putting. Putting harus disiapkan agar lentur dan menjulur, sehingga mudah ditangkap oleh mulut bayi. Dengan putting yang baik, putting tidak mudah lecet, refleks mengisap menjadi lebih baik, dan produksi ASI menjadi lebih baik juga.
- peran masyarakat dan pemerintah
Keberhasilan laktasi merupakan proses belajar-mengajar. Diperlukan kelompok dalam masyarakat di luar petugas kesehatann yang secara sukarela memberikan bimbingan untuk peningkatan penggunaan ASI. Kelompok ini dapat diberi nama Kelompok Pendukung ASI (KP-ASI), yang dapat memanfaatkan kegiatan posyandu dengan membuat semacam pojok ASI.

5. Kebijakan-kebijakan pemerintah RI sehubungan penggunaan ASI
1. Inpres no.14 / 1975
Menko Kesra selaku koordinator pelaksana menetapkan bahwa salah satu program dalam usaha perbaikan gizi adalah peningkatan penggunaan ASI.
2. Permenkes no.240 / 1985
Melarang produsen susu formula untuk mencantumkan kalimat-kalimat promosi produknya yang memberikan kesan bahwa produk tersebut setara atau lebih baik mutunya daripada ASI.
3. Permenkes no.76 / 1975
Mengharuskan produsen susu kental manis (SKM) untuk mencantumkan pada label produknya bahwa SKM tidak cocok untuk bayi, dengan warna tulisan merah dan cukup mencolok.
4. Melarang promosi susu formula yang dimaksudkan sebagai ASI di semua sarana pelayanan kesehatan.
5. Menganjurkan menyusui secara eksklusif sampai bayi berumur 4-6 bulan dan menganjurkan pemberian ASI sampai anak berusia 2 tahun.
6. Melaksanakan rawat gabung di tempat persalinan milik pemerintah maupun swasta.
7. Meningkatkan kemampuan petugas kesehatan dalam hal PP-ASI sehingga petugas tersebut terampil dalam melaksanakan penyuluhan pada masyarakat luas.
8. Pencanangan Peningkatan Penggunaan ASI oleh Bapak Presiden secara nasional pada peringatan Hari Ibu ke-62 (22 Desember 1990).
9. Upaya penerapan 10 langkah untuk berhasilnya menyusui di semua rumah sakit, rumah bersalin dan puskesmas dengan tempat tidur.

Pelaksanaan rawat gabung dan kegiatan penunjangnya

Dalam rawat gabung bayi ditempatkan bersama ibunya dalam suatu ruangan sedemikian rupa sehingga ibu dapat melihat dan menjangkaunya kapan saja bayi atau ibu membutuhkannya. Bayi dapat diletakkan di tempat tidur bersama ibunya, atau dalam boks di samping tempat tidur ibu. Modifikasi lain dengan membuat sebuah boks yang ditempatkan di atas tempat tidur di sebelah ujung kaki ibu. Yang penting ibu harus bisa melihat dan mengawasi bayinya, apakah ia menangis karena lapar, kencing, digigit nyamuk dsb. Tangis bayi merupakan rangsangan sendiri bagi ibu untuk membantu produksi ASI.
Perawat harus memperhatikan keadaan umum bayi dan dapat mengenali keadaan-keadaan abnormal, kemudian melaporkannya kepada dokter. Bayi kuning sering merupakan masalah bagi ibu meskipun sebenarnya keadaan ini seringkali masih dalam batas fisiologis.
Dokter (terutama dokter anak dan kebidanan) mengadakan kunjungan sekurang-kurangnya sekali dalam sehari. Dokter harus memperhatikan keadaan ibu maupun bayi, terutama yang berhubungan dengan masalah menyusui. Perlu diperhatikan apakah ASI sudah keluar, adakah pembengkakan payudara, bagaimana putingnya, adakah rasa sakit yang mengganggu saat menyusui, dsb. Demikian pula dengan bayinya, apakah sudah dapat mengisap, kuat atau tidak, rewel atau tidak, apakah muntah, mencret dsb.
Ibu menyusui sewaktu-waktu sesuai dengan keinginan bayi. Tidak dikenal lagi penjadwalan dalam memberikan ASI kepada bayi.
Perawat harus membantu ibu untuk merawat payudara, menyusui, menyendawakan dan merawat bayi secara benar. Bila bayi sakit / perlu diobservasi lebih lanjut, bayi dipindah ke ruang rawat bayi baru lahir (neonatologi). Bayi akan memperoleh perawatan lebih intensif, meskipun bukan berarti ASI tidak diberikan. ASI tetap diberikan dengan cara ibu berkunjung, atau ASI diperas dan diberikan dengan sendok.
Bila ibu dan bayi sudah diperbolehkan pulang, diberikan penyuluhan lagi tentang cara merawat bayi, payudara dan cara meneteki yang benar sehingga ibu di rumah terampil melakukan rawat gabung serta cara mempertahankan meneteki sekalipun ibu harus berpisah dengan bayinya. Harus ditekankan bahwa bayi tidak boleh diberi dot / kempengan. Selanjutnya perawat mengumpulkan data ibu dan bayi dalam sebuah lembar catatan medik yang sudah disiapkan.

Praktek rawat gabung

A. Cara memandikan bayi

- siapkan alat-alat
- cuci tangan sebelum dan sesudah memandikan bayi.
- bayi diletakkan telentang di atas tempat tidur / meja dengan alas perlak dan handuk.
- muka dan telinga dibersihkan dengan kain (waslap) basah kemudian dikeringkan dengan handuk.
- seluruh tubuh bayi disabun dengan menggunakan waslap yang telah diolesi sabun (leher, dada, perut, lipatan ketiak, kedua tangan / lengan, kedua kaki / tungkai, bagian belakang bayi).
- bayi dibersihkan dengan menggunakan kain lap (waslap) basah dalam ember mandi bayi.
- bayi diangkat dan dikeringkan dengan handuk.
- tali pusat ditutup dengan kain kasa yang telah direndam dalam alkohol 70%.
- dada, perut dan punggung diolesi minyak telon, tempat lipatan seperti pangkal paha, ketiak dan leher diberi bedak supaya tidak mudah lecet, dan diberi pakaian.

B. Cara menyusui

- cuci tangan sebelum dan sesudah menyusui.
- ibu duduk atau berbaring santai.
- payudara dipijat / massage supaya lemas.
- tekan areola antara ibu jari dan telunjuk sehingga keluar beberapa tetes ASI. Oleskan ASI tersebut pada putting susu dan areola sekitarnya sebelum menyusui.
- bayi diletakkan di pangkuan bila ibu duduk, dan di sebelah ibu bila ibu tiduran.
- ibu harus memegang payudara dengan posisi ibu jari di atas dan keempat jari lainnya di bagian bawah payudara.
- sebagian besar areola payudara harus berada di dalam mulut bayi.
- setiap payudara harus disusui sampai kosong, kurang lebih 10-15 menit.
- bayi menyusu pada dua payudara bergantian, setelah payudara pertama terasa kosong.
- bila akan melepaskan mulut bayi dari putting susu, masukkan jari kelingking antara mulut bayi dan payudara.
- sesudah selesai menyusui, oleskan ASI pada putting susu dan areola sekitarnya serta biarkan kering oleh udara.
- bayi digendong di bahu ibu atau dipangku tengkurap agar dapat bersendawa.
- periksa keadaan payudara, mungkin ada perlukaan / pecah-pecah atau terbendung.
- bayi menyusu setiap kali membutuhkan, sebagian dengan posisi berubah-ubah.
- pakailah bahan penyerap ASI di balik kutang, di luar waktu menyusui.

C. Cara merawat tali pusat

- siapkan alat-alat.
- cuci tangan sebelum dan sesudah merawat tali pusat.
- tali pusat dibersihkan dengan kain kasa yang dibasahi alkohol 70%.
- setelah bersih, tali pusat dikompres alkohol / povidon iodine 10% (betadine) lalu dibungkus dengan kain kasa steril kering.
- setelah tali pusat terlepas / puput, pusar tetap dikompres dengan alkohol / povidon iodine 10% sampai kering.
BACA SELENGKAPNYA - Kamar Ibu Bersalin dan Rawat Gabung
INGIN BOCORAN ARTIKEL TERBARU GRATIS, KETIK EMAIL ANDA DISINI:
setelah mendaftar segera buka emailnya untuk verifikasi pendaftaran. Petunjuknya DILIHAT DISINI