kolom pencarian

KTI D3 Kebidanan[1] | KTI D3 Kebidanan[2] | cara pemesanan KTI Kebidanan | Testimoni | Perkakas
PERHATIAN : jika file belum ter-download, Sabar sampai Loading halaman selesai lalu klik DOWNLOAD lagi

17 September 2010

TRANSPLANTASI ORGAN

• TRANSPLANTASI ORGAN: "• TRANSPLANTASI ORGAN

PENDAHULUAN
Dewasa ini ilmu pengetahuan di bidang kedokteran berkembang dengan pesat. Salah satunya adalah transplantasi organ. Transplantasi organ merupakan suatu teknologi medis untuk pergantian organ tubuh pasien yang tiak berfungsi dengan organ individu lain. Sejak kesuksesakn transplantasi yang pertama kali berupa ginjal dari donor pada pasien gagal ginjal pada tahun 1954, perkembangan di bidang transplantasi maju pesat. Dibalik kesuksesan dalam perkembangan transplantasi organ muncul berbagai masalah.
• Lanjutan
Semakin meningkatnya pasien yang membutuhkan transplantasi, penolakan organ, komplikasi pasca transplantasi, dan resiko yang mungkin timbul akibat transplantasi telah memunculkan berbagai pertanyaan tentang etik, legalitas dan kebijakan yang menyangkut penggunaan teknologi itu.
• TINJAUAN KASUS
• DEFENISI
transplantasi merupakan pemindahan sebuah organ atau lebih dari dari seorang manusia pada saat masih hidup atau setelah mati kepada manusia lain dengan tujuan memperoleh penyembuhan dari suatu penyakit
• Syarat transplantasi organ
1.Transplantasi organ ketika pendonor masih hidup
yang dimaksud disini adalah donor anggota tubuh manusia bagi siapa saja yang memutuhkan pada saat si donor masih hidup.
syaratnya yaitu, donor tersebut tidak mengakibatkan kematian si pendonor.
2. Transplantasi organ yang dilakukan pada pendonor yang sudah mati
adapun transplantasi setelah kehidupan ; hukumnya berbeda dengan donor ketika masih hidup.dengan mengkaji anggota tubuh yang akan ditrandplantasikan, maka :
Adakalanya penyelamatan hidup manusia tergantung pada transplantasi (tentu berdasarkan dugaan kuat) seperti jantug, hati maupun kedua ginjal
Adakalanya transplantasi anggota tubuhyang tidak berhubungan dengan penyelamtan hidup. Misalnya transplantasi kornea, atau pupil atau mata secara keseluruhan dari orang yang telah mati.
• PERSOALAN2 ETIS DALAM TRANSPLANTASI ORGAN
Tinjauan agama islam tentang transplantasi organ
literatur Islam mengenai isu ini didominasi oleh pendekatan fikih (hukum/jurisprudensi) dan persoalan utama yang mendominasi fikih biasanya terbatas pada masalah halal-haram, meskipun tidak selalu dmikian. Dalam Islam, pertanyaan penting mengenai apakah pencangkokan organ diperbolehkan oleh agama? Hal ini dijawab dengan merujuk pada sumber tekstual utama (Qur’an dan hadist) maupun kitab2 hukum fikih.
Dari segi metodologi, untuk menjawab masalah kntemporer, ulama mencari kasus 2 yang dibahas dalam kitab2 lama itu, atau kasus- yang analog dengannya. Pengambilan sepeti ini dibimbing oleh seperangkat umum yang disebut usul fikih (prinsip-prinsip fikih). Diantarany ada prinsip pertimbangan manfaat dan mudarat (keburukan) dari suatu keputusan; prisip mendahulukan menghidari keburukan; prinsip bahwa manfaat yang sangat besar dapat mengatasi keburukan intern yang lebih kecil; prisip darurat (sesuatu yang dalam keadaan normal tidak diperbolehkan,tapi dalam keadaan darurat diperbolehkan);prinsip maslahah atau kesejahteraan publik
• lanjutan
Pandangan yang menentang pencangkokan organ diajukan atas dasar setidaknya tiga alasan :
Kesucian hidup/tubuh manusia : setiap bentuk agresi terhadap tubuh manusia dilarang, karena ada beberapa perintah yang jelas mengenai ini dalam Al Qur’an. Dalam kaitan ini ada satu hadist Nabi Muhammad SAW yang terkenal yang sering dikutip untuk menunjkan dilarangnya manipulasi atas tubuh manusia, meskipun sudah menjadi mayat : “mematahkan tulang mayat seseorang adalah sama berdosa dan melanggarnya dengan mematahkan tulang orang itu ketika masih hidup.”
Tubuh manusia adalah amanah : hidup, diri, dan tubuh manusia pada dasarnya adalah bukan miliknya sendiri, tapi pinjaman dari Tuhan dengan syarat untuk dijaga, karena itu manusia tiak memilikihak mendonorkannya pada orang lain.
Tubuh tak boleh diperlakukan sebagai benda mterial semata : pencangkokan dilkukan engan mengerat organ tubuh seseorang untuk dicangkokan pada tubuh orang lain; disini tubuh dianggap sebagai benda material semata yang bagian2nya bisa dipindah2.
• lanjutan
sedangkan pandangan yang mendukung pencangkokan organ memiliki beberapa dasar, sebagai berikut :
Kesejahteraan publik (maslahah) : pada dasarnya manipulasiorgan tak diperkenankan, meski demikian ada beberapa pertimbanga lain yang bisa mengalahkan itu, yaitu potensinya untuk menyelamatkan hidup manusia, yang mendapat bobot tinggi dalam Islam. Dengan alasan inipun, ada beberapa kualifiakasi yang mesti diperhatikan :
Pencangkokan organ boleh dilkukan jika tak ada alternatif lain untuk menyelamatkan nyawa ;derajat keberhasilannya cukup tinggi
Ada persetujuan dari pihak pemilik organ asli (atau ahli warisnya)
3. Penerima organ sudah tahu persis segala implikasi pencangkokan (imform consent)
4. Altruisme : ada kewajiban yang amat kuat sesama muslim untuk membantu sesama manusia lain, khususnya sesama muslim; pendonoran organ scara sukarela merupakan bentuk altruisme yang amat tinggi (tentu ini dengan anggapan bahwa si donor tidak menerima uang untuk tindakannya), dan karenaya dianjurkan. Sekali lagi, untuk ini ada beberapa syarat :
- ada persetujuan dari donor
- nyawa donor tidak terancam dengan pengambilan organ di tubuhnya
- pencangkokan yang akan dilakuakan berpeluang berhasil sangat tinggi
Setelah beberapa alasan yang membolehkan itu, pendukung pencangkokan masih menambah beberapa syarat lain :
Organ tidak diperoleh melalui transaksi jual-beli, karena tidak sah hukumnya menjual organ.
Seorang muslim, kecuali dalam situasi yang mendesak , hanya boleh menerima organ dari muslim lainya.
2. Tinjauan hukum tentang transplantasi organ
- Undang-Undang BAB I tentang upaya kesehatan menyebutkab pada :
pasal 33 ayat 1 dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh, transfusi darah, implan obat dan alat kesehatan, serta bedah plastik dan rekstruksi.
Pasal 33 ayat 2 transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah sebagamana dimaksudkan dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial.
- Undang-Undang Kesehatan X ketentuan pidana
Pasal 80 ayat(3) barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfusi darah sebagaimana dimaksud pasal 33 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak
Rp.300.000.000 (tiga ratus juta rupiah)

http://askep-askeb-kita.blogspot.com/
BACA SELENGKAPNYA - TRANSPLANTASI ORGAN

Peran dan Fungsi Bidan

Peran dan Fungsi Bidan: "
PERAN DAN FUNGSI BIDAN

Peran Bidan
Dalam melaksanakan profesinya bidan memiliki peran sebagai pelaksana, pengelola, pendidik, dan peneliti.
A. Peran Sebagai Pelaksana
Sebagai pelaksana, bidan memiliki tiga kategori tugas, yaitu tugas mandiri, tugas kolaborasi, dan tugas ketergantungan.
1. Tugas mandiri
Tugas-tugas mandiri bidan, yaitu:
1) Menetapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan yang diberikan, mencakup:
a. Mengkaji status kesehatan untuk memenuhi kebutuhan asuhan klien.
b. Menentukan diagnosis.
c. Menyusun rencana tindakan sesuai dengan masalah yang dihadapi.
d. Melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana yang telah disusun.
e. Mengevaluasi tindakan yang telah diberikan.
f. Membuat rencana tindak lanjut kegiatan/tindakan.
g. Membuat pencatatan dan pelaporan kegiatan/tindakan.

2) Memberi pelayanan dasar pranikah pada anak remaja dan dengan melibatkan mereka sebagai klien, mencakup:
a. Mengkaji status kesehatan dan kebutuhan anak remaja dan wanita dalam masa pranikah.
b. Menentukan diagnosis dan kebutuhan pelayanan dasar.
c. Menyusun rencana tindakan/layanan sebagai prioritas mendasar bersama klien.
d. Melaksanakan tindakan/layanan sesuai dengan rencana.
e. Mengevaluasi hasil tindakan/layanan yang telah diberikan bersama klien.
f. Membuat rencana tindak lanjut tindakan/layanan bersama klien.
g. Membuat pencatatan dan pelaporan asuhan kebidanan.

3) Memberi asuhan kebidanan kepada klien selama kehamilan normal, mencakup:
a. Mengkaji status kesehatan klien yang dalam keadaan hamil.
b. Menentukan diagnosis kebidanan dan kebutuhan kesehatan klien.
c. Menyusun rencana asuhan kebidanan bersama klien sesuai dengan prioritas masalah.
d. Melaksanakan asuhan kebidanan sesuai dengan rencana yang telah disusun.
e. Mengevaluasi hasil asuhan yang telah diberikan bersama klien.
f. Membuat rencana tindak lanjut asuhan yang telah diberikan bersama klien.
g. Membuat rencana tindak lanjut asuhan kebidanan bersama klien,
h. Membuat pencatatan dan pelaporan asuhan kebidanan yang telah diberikan.

4) Memberi asuhan kebidanan kepada klien dalam masa persalinar dengan melibatkan klien/keluarga, mencakup:
a. Mengkaji kebutuhan asuhan kebidanan pada klien dalam masa persalinan.
b. Menentukan diagnosis dan kebutuhan asuhan kebidanan dalam masa persalinan.
c. Menyusun rencana asuhan kebidanan bersama klien sesuai dengar prioritas masalah.
d. Melaksanakan asuhan kebidanan sesuai dengan rencana yang telah disusun.
e. Mengevaluasi asuhan yang telah diberikan bersama klien.
f. Membuat rencana tindakan pada ibu selama masa persalinan sesuai dengan prioriras.
g. Membuat asuhan kebidanan.

5) Memberi asuhan kebidanan pada bayi baru lahir, mencakup:
a. Mengkaji status keselhatan bayi baru lahir dengan melibatkan keluarga.
b. Menentukan diagnosis dan kebutuhan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir.
c. Menyusun rencana asuhan kebidanan sesuai prioritas.
d. Melaksanakan asuhan kebidanan sesuai dengan rencana yang telah dibuat.
e. Mengevaluasi asuhan kebidanan yang telah diberikan.
f. Membuat rencana tindak lanjut.
g. Membuat rencana pencatatan dan pelaporan asuhan yang telah diberikan.

6) Memberi asuhan kebidanan pada klien dalam masa nifas dengan melibatkan klien/keluarga, mencakup:
a. Mengkaji kebutuhan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa nifas.
b. Menentukan diagnosis dan kebutuhan asuhan kebidanan pada masa nifas.
c. Menyusun rencana asuhan kebidanan berdasarkan prioritas masalah.
d. Melaksanakan asuhan kebidanan sesuai dengan rencana.
e. Mengevaluasi bersama klien asuhan kebidanan yang telah diberikan.
f. Membuat rencana tindak lanjut asuhan kebidanan bersama klien.
7) Memberi asuhan kebidanan pada wanita usia subur yang membutuhkan pelayanan keluarga berencana, mencakup:
a. Mengkaji kebutuhan pelayanan keluarga berencana pada pus (pasangan usia subur)
b. Menentukan diagnosis dan kebutuhan pelayanan.
c. Menyusun rencana pelayanan KB sesuai prioritas masalah bersama klien.
d. Melaksanakan asuhan sesuai dengan rencana yang telah dibuat.
e. Mengevaluasi asuhan kebidanan yang telah diberikan.
f. Membuat rencana tindak lanjut pelayanan bersama klien.
g. Membuat pencatatan dan laporan.

8) Memberi asuhan kebidanan pada wanita dengan gangguan sistem reproduksi dan wanita dalam masa klimakterium serta menopause, mencakup:
a. Mengkaji status kesehatan dan kebutuhan asuhan klien.
b. Menentukan diagnosis, prognosis, prioritas, dan kebutuhan asuhan.
c. Menyusun rencana asuhan sesuai prioritas masalah bersama klien.
d. Melaksanakan asuhan kebidanan sesuai dengan rencana.
e. Mengevaluasi bersama klien hasil asuhan kebidanan yang telah diberikan.
f. Membuat rencana tindak lanjut bersama klien.
g. Membuat pencatatan dan pelaporan asuhan kebidanan.


9) Memberi asuhan kebidanan pada bayi dan balita dengan melibatkan keluarga, mencakup:
a. Mengkaji kebutuhan asuhan kebidanan sesuai dengan tumbuh kembang bayi/balita.
b. Menentukan diagnosis dan prioritas masalah.
c. Menyusun rencana asuhan sesuai dengan rencana.
d. Melaksanakan asuhan sesuai dengan prioritas masalah.
e. Mengevaluasi hasil asuhan yang telah diberikan.
f. Membuat rencana tindak lanjut.
g. Membuat pencatatan dan pelaporan asuhan.

2. Tugas Kolaborasi
Tugas-tugas kolaborasi (kerja sama) bidan, yaitu:
1) Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan sesuai fungsi kolaborasi dengan melibatkan klien dan keluarga. mencakup:
a. Mengkaji masalah yang berkaitan dengan komplikasi dan kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
b. Menentukan diagnosis, prognosis, dan prioritas kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
c. Merencanakan tindakan sesuai dengan prioriras kegawatdaruratan dan hasil kolaborasi serta berkerjasama dengan klien.
d. Melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana dan dengan melibatkan klien.
e. Mengevaluasi hasil tindakan yang telah diberikan.
f. Menyusum rencana tindak lanjut bersama klien.
g. Membuat pencatatan dan pelaporan.

2) Memberi asu6an kebidanan pada ibu hamil dengan risiko tinggi dan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi, mencakup:
a. Mengkaji kebutuhan asuhan pada kasus risiko tinggi dan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
b. Menentukam diagnosis, prognosis, dan prioritas sesuai dengan faktor risiko serta keadaan kegawatdaruratan pada kasus risiko tinggi.
c. Menyusun rencana asuhan dan tindakan pertolongan pertama sesuai dengn prioritas
d. Melaksanalkan asuhan kebidanan pada kasus ibu hamil dengan risiko tinggi dan memberi pertolongan pertama sesuai dengan prioritas.
e. Mengevaluasi hasil asuhan kebidanan dan pertolongan pertama.
f. Menyusun rencana tindak lanjut bersama klien.
g. Membuat pencatatan dan pelaporan.
3) Memberi asuhan kebidanan pada ibu dalam masa persalinan dengan resiko tinggi serta keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan pertolongan pertama dengan tindakan kolaborasi dengan melibatkan klien dan keluarga, mencakup:
a. Mengkaji kebutuhan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa persalinan dengan risiko tinggi dan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
b. Menentukan diagnosis, prognosis, dan prioritas sesuai dengan faktor risiko dan keadaan kegawatdaruratan
c. Menyusun rrencana asuhan kebidanan pada i6tl dalam masa persalinan dengan risiko tinggi dan pertolongan pertama sesuai dengan prioritas.
d. Melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa persalinan dengan risiko tinggi dan memberi pertolongan pertama sesuai dengan priositas.
e. Mengevaluasi hasil asuhan kebidanan dan pertolongan pertama pada ibu hamil dengan risiko tinggi.
f. Menyusun rencana tindak lanjut bersama klien.
g. Membuat pencatatan dan pelaporan.

4) Memberi asuhan kebidanan pada ibu dalam masa nifas dengan risiko tinggi serta pertolongan pertama dalam keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi bersama klien dan keluarga, mencakup:
a. Mengkaji kebutuhan asuhan pada ibu dalam masa nifas dengan risiko tinggi dan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
b. Menentukan diagnosis, prognosis, dan prioritas sesuai dengan faktor risiko serta keadaan kegawatdaruratan.
c. Menyusun rencana asuhan kebidanan pada ibu dalam masa nifas dengan risiko tinggi dan pertolongan pertarna sesuai dengan prioritas.
d. Melaksanakan asuhan kebidanan dengan risiko tinggi dan memberi pertolongan pertama sesuai dengan rencana.
e. Mengevaluasi hasil asuhan kebidanan dan pertolongan pertama.
f. Menyusun rencana tindak lanjut bersama klien.
g. Membuat pencatatan dan pelaporan.

5) Memberi asuhan kebidanan pada bay, baru lahir dengan risiko tinggi dan pertolongan pertama dalam keadaan kegawatdaruraran yang memerlukan tindakan kolaborasi bersama klien dan keluarga, mencakup:
a. Mengkaji kebutuhan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir de ngan risiko tinggi dan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
b. Menentukan diagnosis, prognosis, dan prioritas sesuai dengan Faktor risiko serta keadaan kegawatdaruratan.
c. Menyusun rencana asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan risiko tinggi dan memerlukan pertolongan pertama sesuai dengan prioritas.
d. Melaksanakan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan risiko tinggi dan pertolongan pertama sesuai dengan prioritas.
e. Mengevaluasi hasil asuhan kebidanan dan pertolongan pertama.
f. Menyusun rencana tindak lanjut bersama klien.
g. Membuat pencatatan dan pelaporan.

6) Memberi asuhan kebidanan pada balita dengan risiko cinggi serta pertolongan pertama dalam keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi betsamut klien dan keluarga, mencakup:
a. Mengkaji kebutuhan asuhan pada balita dengan risiko tinggi dan keadaan kegawatdaruratan yang nemerlukan tindakan kolaborasi.
b. Menentukan diagnosis, prognosis, dan prioricas sesuai dengan faktor risiko serta keadaan kegawatdaruratan.
c. Menyvsun rencana asuhan kebidanan pada balita dengan risiko tinggi dan memerlukan pertolongan pertama sesuai dengan prioritas.
d. Melaksanakan asuhan kebidanan pada balita dengan risiko tinggi dan pertolongan pertama sesuai dengan prioritas.
e. Mengevaluasi hasil asuhan kebidaman dan pertolongan pertama.
f. Menyusun rencana tindak lanjut bersama klien.
g. Membuat pencatatan dan pelaporaan.

3. Tugas ketergantungan
Tugas-tugas ketergantungan (merujuk) bidan, yaitu:
1) Menerapkan manajamen kebidanan ,pada setiap asuhan kebidanan sesuai dengan fungsi keterlibatan klien dan keluarga, mencakup:
a. Mengkaji kebutuhan asuhan kebndanan yang memerlukan tindakan di luar lingkup kewenangan bidan dan memerlukan rujukan.
b. Menentukan diagnosis, prognosis, dan prioritas serta sumbersumber dan fasilitas untuk kebmuuhan intervensi lebih lanjut bersama klien/keluarga.
c. Merujuk klien uncuk keperluan iintervensi lebih lanjuc kepada petugas/inscitusi pelayanan kesehaatan yang berwenang dengan dokumentasi yang lengkap.
d. Membuat pencatatan dan pelaporan serta mendokumentasikan seluruh kejadian dan incervensi.

2) Membeci asuhan kebidanan melalui konsultasi dan rujukan pada kasus kehamilan dengan risiko tinggi serta kegawatdaruratan, mencakup:
a. Mengkaji kebutuhan asuhan kebidanan melalui konsultasi dan rujukan.
b. Menentukan diagnosis, prognosis, dan prioritas.
c. Memberi pertolongan pertama pada kasus yang memerlukan rujukan.
d. Memberi asuhan kebidanan melalui konsultasi dan rujukan.
e. Mengirim klien untuk keperluan intervensi lebih lanjut pada petugas/institusi pelayanan kesehatan yang berwenang.
f. Membuat pencatatan dan pelaporan serta mendokumentasikan seluruh kejadian dan intervensi.
3) Memberi asuhan kebidanan melalui konsultasi serta rujukan pada masa persalinan dengan penyulit tertentu dengan melibatkan klien dan keluarga, mencakup:
a. Mengkaji adanya penyulit dan kondisi kegawatdaruratan pada ibu dalam persalinan yang memerlukan konsultasi dan rujukan.
b. Menentukan diagnosis, prognosis, dan prioritas.
c. Memberi pertolongan pertama pada kasus yang memerlukan rujukan.
d. Merujuk klien untuk keperluan intervensi lebih lanjut pada petugas/institusi pelayanan kesehatan yang berwenang.
e. Membuat pencatatan dan pelaporan serta mendokumentasikae seluruh kejadian dan intervensi.

4) Memberi asuhan kebidanan melalui konsultasi dan rujukan pada ibu dalam masa nifas yang disertai penyulit tertentu dan kegawatdaruratan dengan melibatkan klien dan keluarga, mencakup:
a. Mengkaji adanya penyulit dan kondisi kegawatdaruratan pada ibu dalam masa nifas yang memerlukan konsultasi serta rujukan.
b. Menentukan diagnosis, prognosis, dan prioritas.
c. Memberi pertolongan pertama pada kasus yang memerlukan rujukan.
d. Mengirim klien untuk keperluan intervensi lebih lanjut pada petugas/institusi pelayanan kesehatan yang berwenang
e. Membuat pencatatan dan pelaporan serta mendokumentasikan seluruh kejadian dan intervensi.

5) Memberi asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan kelainan tertentu dan kegawatdaruratan yang memerlukan konsultasi serta rujukan dengan melibatkan keluarga, mencakup:
a. Mengkaji adanya penyulit dan kondisi kegawatdaruratan pada bayi baru lahir yang memerlukan konsulrasi serta rujukan.
b. Menentatkan diagnosis, prognosis, dan prioritas.
c. Memberi pertolongan pertama pada kasus yang memerlukan rujukan
d. Merujuk klien untuk keperluan intervensi lebih lanjut pada petugas/institusi pelayanan kesehatan yang berwenang.
e. Membuat pencatatan dan pelaporan serta dokumentasi.

6) Memberi asuhan kebidanan kepada anak balita dengan kelainan tertentu dan kegawatdaruratan yang memerlukan konsultasi serta rujukan dengan melibatkan klien/keluarga, mencakup:
a. Mengkaji adanya penyulit dan kegawatdaruratan pada balita yang memerlukan konsultasi serta rujukan.
b. Menenrukan diagnosis, prognosis, dan prioritas.
c. Memberi pertolongan pertama pada kasus yang memerlukan rujukan
d. Merujuk klien untuk keperluan intervensi lebih lanjut pada petugas/institusi pelayanan kesehatan yang berwenang.
e. Membuat pencatatan dan pelaporan serta dokumentasi.

B. Peran Sebagai Pengelola
Sebagai pengelola bidan memiliki 2 tugas, yaitu tugas pengembangan pelayanan dasar kesehatan dan tugas partisipasi dalam tim.
1. Mengembangkan pelayanan dasar kesehatan
Bidan bertugas; mengembangkan pelayanan dasar kesehatan, terutama pelayanan kebnjanan untuk individu, keluarga kelompok khusus, dan masyarakat di wilayah kerja dengan melibatl;can masyarakat/klien, mencakup:
1) Mengkaji kebutuhan terutama yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan anak untuk meningkatkan serta mengembangkan program pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya bersama tim kesehatan dan pemuka masyarakat.
2) Menyusun rencana kerja sesuai dengan hasil pengkajian bersama masyarakat.
3) Mengelola kegiatan-kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana (KB) sesuai dengan rencana.
4) Mengoordinir, mengawasi, dan membimbing kader, dukun, atau petugas kesehatan lain dalam melaksanakan program/kegiatan pelayanan kesehatan ibu dan anak-serta KB.
5) Mengembangkan strategi untuk meningkatkan keseharan masyarakat khususnya kesehatan ibu dan anak serta KB, termasuk pemanfaatan sumber-sumber yang ada pada program dan sektor terkait.
6) Menggerakkan dan mengembanglran kemampuan masyarakat serta memelihara kesehatannya dengan memanfaatkan potensi-potensi yang ada.
7) Mempertahankan, meningkatkan mutu dan keamanan praktik profesional melalui pendidikan, pelatihan, magang sena kegiatankegiatan dalam kelompok profesi.
8) Mendokumentasikan seluruh kegiatan yang telah dilaksanakan.

2. Berpartisipasi dalam tim
Bidan berpartisipasi dalam tim untuk melaksanakan program kesehatan dan sektor lain di wilayah kerjanya melalui peningkatan kemampuan dukun bayi, kader kesehatan, serta tenaga kesehatan lain yang berada di bawah bimbingan dalam wilayah kerjanya, mencakup:
1) Bekerja sama dengan puskesmas, institusi lain sebagai anggota tim dalam memberi asuhan kepada klien dalam bentuk konsultasi rujukan dan tindak lanjut.
2) Membina hubungan baik dengan dukun bayi dan kader kesehatan atau petugas lapangan keluarga berencaca (PLKB) dan masyarakat.
3) Melaksanakan pelatihan serta membimbing dukun bayi, kader dan petugas kesehatan lain.
4) Memberi asuhan kepada klien rujukan dari dukun bayi.
5) Membina kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat, yang berkaitan dengan kesehatan.

C. Peran Sebagai Pendidik
Sebagai pendidik bidan memiliki 2 tugas yaitu sebagai pendidik dan penyuluh kesehatan bagi klien serta pelatih dan pembimbing kader.
1. Memberi pendidikan dan penyuluhan kesehatan pada klien
Bidan memberi pendidikan dan penyuluhan kesehatan kepada klien (individu, keluarga, kelompok, serta maryarakat) tentang penanggulangan masalah kesehatan, khususnya yang berhubungarn dengan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana, mencakup:
1) Mengkaji kebutuhan pendidikan dan penyuluhan kesehatan, khususnya dalam bidang kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana bersama klien.
2) Menyusun rencana penyuluhan kesehatan sesuai dengan kebutuhan yang telah dikaji, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang bersama klien.
3) Menyiapkan alat serta materi pendidikan dan penyuluhan sesuai dengan rencana yang telah disusun.
4) Melaksanakan program/rencana pendidikan dan penyuluhan kesehatan sesuai dengan rencana jangka pendek serta jangka panjang dengan melibatkan unsur-unsur terkait, termasuk klien.
5) Mengevaluasi hasil pendidikan/penyuluhan kesehatan bersama klien dan menggunakannya untuk memperbaiki serta meninglcatkan program dl masa yang akan datang.
6) Mendokumentasikan semua kegiatan dan hasil pendidikan/ penyuluhan kesehatan secara lengkap serta sistematis.

2. Melatih dan membimbing kader
Bidan melatih dan membimbing kader, peserta didik kebidanan dan keperawatan, serta membina dukun dl wilayah atau tempat kerjanya, mencakup:
1) Mengkaji kebutuhan pelatihan dan bimbingan bagi kader, dukun bayi, serta peserta didik
2) Menyusun rencana pelatihan dan bimbingan sesuai dengan hasil pengkajian.
3) Menyiapkan alat bantu mengajar (audio visual aids, AVA) dan bahan untuk keperluan pelatihan dan bimbingan sesuai dengan rencana yang telah disusun.
4) Melaksanakan pelatihan untuk dukun bayi dan kader sesuai dengan rencana yang telah disusun dengan melibatkan unsur-unsur terkait.
5) Membimbing peserta didik kebidanan dan keperawatan dalam lingkup kerjanya.
6) Menilai hasil pelatihan dan bimbingan yang telah diberikan.
7) Menggunakan hasil evaluasi untuk meningkatkan program bimbingan.
8) Mendokumentasikan semua kegiatan termasuk hasil evaluasi pelatihan serta bimbingan secara sistematis dan lengkap.
D. Peran Sebagai Peneliti/Investigator
Bidan melakukan investigasi atau penelitian terapan dalam bidang kesehatan baik secara mandiri maupun berkelompok, mencakup:
1. Mengidentifikasi kebutuhan investigasi yang akan dilakukan.
2. Menyusun rencana kerja pelatihan.
3. Melaksanakan investigasi sesuai dengan rencana.
4. Mengolah dan menginterpretasikan data hasil investigasi.
5. Menyusun laporan hasil investigasi dan tindak lanjut.
6. Memanfaatkan hasil investigasi untuk meningkatkan dan mengembangkan program kerja atau pelayanan kesehatan.

FUNGSI BIDAN
Berdasarkan peran bidan seperti yang dikemukakan di atas, maka fungsi bidan adalah sebagai berikut.
A. Fungsi Pelaksana
Fungsi bidan sebagai pelaksana mencakup:
1. Melakukan bimbingan dan penyuluhan kepada individu, keluarga, serta masyarakat (khususnya kaum remaja) pada masa praperkawinan.
2. Melakukan asuhan kebidanan untuk proses kehamilan normal, kehamilan dengan kasus patologis tertentu, dan kehamilan dengan risiko tinggi.
3. Menolong persalinan normal dan kasus persalinan patologis tertentu.
4. Merawat bayi segera setelah lahir normal dan bayi dengan risiko tinggi.
5. Melakukan asuhan kebidanan pada ibu nifas.
6. Memelihara kesehatan ibu dalam masa menyusui.
7. Melakukan pelayanan kesehatan pada anak balita dan pcasekolah
8. Memberi pelayanan keluarga berencanasesuai dengan wewenangnya.
9. Memberi bimbingan dan pelayanan kesehatan untuk kasus gangguan sistem reproduksi, termasuk wanita pada masa klimakterium internal dan menopause sesuai dengan wewenangnya.

B. Fungsi Pengelola
Fungsi bidan sebagai pengelola mencakup:
1. Mengembangkan konsep kegiatan pelayanan kebidanan bagi individu, keluarga, kelompok masyarakat, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat yang didukung oleh partisipasi masyarakat.
2. Menyusun rencana pelaksanaan pelayanan kebidanan di lingkungan unit kerjanya.
3. Memimpin koordinasi kegiatan pelayanan kebidanan.
4. Melakukan kerja sama serta komunikasi inter dan antarsektor yang terkait dengan pelayanan kebidanan
5. Memimpin evaluasi hasil kegiatan tim atau unit pelayanan kebidanan.

C. Fungsi Pendidik
Fungsi bidan sebagai pendidik mencakup:
1. Memberi penyuluhan kepada individu, keluarga, dan kelompok masyarakat terkait dengan pelayanan kebidanan dalam lingkup kesehatan serta keluarga berencana.
2. Membimbing dan melatih dukun bayi serta kader kesetan sesuai dengan bidang tanggung jawab bidan.
3. Memberi bimbingan kepada para peserta didik bidan dalam kegiatan praktik di klinik dan di masyarakat.
4. Mendidik peserta didik bidan atau tenaga kesehatan lainnya sesuai dengan bidang keahliannya.



D. Fungsi Peneliti
Fungsi bidan sebagai peneliti mencakup:
1. Melakukan evaluasi, pengkajian, survei, dan penelitian yang dilakukan sendiri atau berkelompok dalam lingkup pelayanan kebidanan.
2. Melakukan penelitian kesehatan keluarga dan keluarga berencana.


BIDAN SEBAGAI PROFESI

Bidan Suatu Profesi
Sejarah menunjukkan bahwa bidan merupakan salah satu profesi tertua di dunia sejak adanya peradaban umat manusia. Bidan muncul sebagai wanita terpercaya dalam mendampingi dan menolong ibu melahirkan. Peran dan posisi bidan di masyarakat sangat dihargai dan dihormati karena tugasnya yang sangat mulia, memberi semangat, membesarkan hati, dan mendampingi, serta menolong ibu melahirkan sampai ibu dapat merawat bayinya dengan baik.

Dalam naskah kuno, pada zaman prasejarah, tercatat bahwa bidan dari Mesir (Siphrah dan Poah) berani mengambil risiko menyelamatkan bayi laki-laki bangsa Yahudi (orang-orang yang dijajah bangsa Mesir) yang diperintahkan oleh Firaun untuk dibunuh. Mereka sudah menunjukkan sikap etika moral yang tinggi dan takwa kepada Tuhan dalam membela orang-orang yang berada pada posisi lemah, yang pada zaman modern ini kita sebut perara advokasi. Dalam menjalankan tugas dan praktiknya, bidan bekerja berdasarkan pandangan filosofis yang dianut, keilmuan, metode kerja, standar praktik pelayanan, serta kode etik profesi yang dimilikinya.

Ciri profesi bidan:
1. Bidan disiapkan melalui pendidikan formal agar lulusannya dapat melaksanakan pdcerjaan yang menjadi tanggung jawabnya secara profesional.
2. Bidan memiliki alat yang dijadikan panduan dalam menjalankan profesinya yaitu Standar Pelayanan Kebidanan, Kode Etik, dan Etika Kebidanan.
3. Bidan memiliki kelompok pengetahuan yang jelas dalam menjalankan profesinya.
4. Bidan memiliki kewenangan dalam menjalankan tugasnya.
5. Bidan memberi pelayanan yang aman dan memuaskan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
6. Bidan memiliki organisasi profesi.
7. Bidan memiliki karakteristik yang khusus dan dikenal serta dibutuhkan masyarakat.
8. Profesi bidan dijadikan sebagai suatu pekerjaan dan sumber utama penghidupan.

Arti dan Ciri Jabatan Profesional
Secara populer, seseorang yang bekerja di bidang apa pun sering diberi predikat profesional Seorang pekerja profesional menurut bahasa keseharian adalah seorang pekerja yang terampil atau cakap dalam kerjanya meskipun keterampilan atau kecakapan tersebut merupakan hasil minat dan belajar dari kebiasaan.

Pengertian jabatan profesional perlu dibedakan dengan predikat profesional yang diperoleh dari jenis pekerjaan hasil pembiasaan melakukan keterampilan tertentu (melalui magang/keterlibatan langsung dalam situasi kerja tertenru dan mendapatkan keterampilan kerja sebagai warisan orang tuanya atau pendahulunya).

Seorang pekerja profesional perlu dibedakan dart seorang teknisi. Baik pekerja profesional maupun teknisi dapat saja terampil dalam unjuk kerja (mis., menguasai teknik kerja yang sama, dapat memecahkan masalah teknis dalam bidang kerjanya). Akan tetapi, seorang pekerja profesional dituntut menguasai visi yang mendasari keterampilannya yang menyangkut wawasan filosofis, pertimbangan rasional, dan memiliki sikap yang positif dalam melaksanakan serta mengembangkan mucu karyanya.
C.V. Good menjelaskan bahwa-jenis pekerjaan profesional memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu: memerlukan persiapan atau pendidikan khusus bagi pelakunya (membutuhkan pendidikan prajabatan yang relevan), kecakapannya memenuhi persyaratan yang telah dibakukan oleh pihak yang berwenang (mis., organisasi profesional, konsorsium dan pemerintah), serta jabatan tersebut mendapat pengakuan dari masyarakat dan/atau negara.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bidan adalah jabatan profesional karena memenuhi ketiga persyaratan di atas. Secara lebih rind, ciri-ciri jabatan profesional adalah sebagai berikut:
1. Pelakunya secara nyata (de facto) dituntut memiliki kecakapan kerja (keahlian) sesuai dengan tugas-tugas khusus serta tuntutan dari jenis jabatannya (spesialisasi).
2. Kecakapan atau keahlian seorang pekerja profesional bukan sekadar hasil pembiasaan atau latihan rutin yang terkondisi, tetapi harus didasari oleh wawasan keilmuwan yang mantap. Jabatan profesional juga menuntut pendidikan formal. Jabatan yang terprogram secara relevan dan berbobot akan terselenggara secara efektif, efisien, serta memiliki tolak ukur evaluasi yang terstandardisasi.
3. Pekerja profesional dituntut berwawasan sosial yang luas sehingga pilihan jabatan serta kerjanya didasarkan pada kerangka nilai tertentu, bersikap positif terhadap jabatan dan perannya, serta memiliki motivasi dan upaya urituk berkarya sebaik-baiknya. Hal ini mendorong pekerja profesional yang bersangkutan untuk selalu meningkatkan (menyempurnakan) diri serra karyanya. Orang tersebut secara nyata mencintai profesinya dan memiliki etos kerja yang tinggi.
4. Jabatan profesional perlu mendapat pengesahan dari maryarakat dan/ atau negara. Jabatan profesional memiliki syarat-syarat serra kode etik yang harus dipenuhi oleh pelakunya. Hal ini menjamin kepantasan berkarya dan merupakan tanggung jawab sosial profesional tersebut.
Sehubungan dengan profesionalisme jabatan bidan, perlu dibahas bahwa bidan tergolong jabatan profesional. Jabatan dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu jabatan struktural dan jabatan fungsional. Jabatan struktural adalah jabatan yang secara tegas ada dan diatur berjenjang dalam suatu organisasi, sedangkan jabatan fungsional adalah jabatan yang ditinjau serta dihargai dari aspek fungsinya yang vital dalam kehidupan masyarakat dan negara.

Selain fungsi dan perannya yang vital dalam kehidupan masyarakat, jabatan fungsional juga berorientasi kualitatif. Dalam konteks inilah jabatan bidan adalah jabatan fungsional profesional, dan wajarlah apabila bidan tersebut mendapat tunjangan fungsional.

Bidan Suatu Jabatan Profesional
Sesuai dengan uraian di atas, sudah jelas bahwa bidan adalah jabatan profesional. Persyaratan dari bidan sebagai jabatan profesional telah dimiliki oleh bidan tersebut. Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Memberi pelayanan kepada masyarakat yang bersifac khusus atau spesialis.
2. Melalui jenjang pendidikan yang menyiapkan bidan sebagai tenaga profesional.
3. Keberadaannya diakui dan diperlukan oleh masyarakat.
4. Memiliki kewenangan yang disahkan atau diberikan oleh pemerintah.
5. Memiliki peran dan fungsi yang jelas.
6. Memiliki kompetensi yang jelas dan terukur.
7. Memiliki organisasi profesi sebagai wadah.
8. Memiliki kode etik bidan.
9. Memiliki etika kebidanan.
10. Memiliki standar pelayanan.
11. Memiliki standar praktik.
12. Memiliki standar pendidikan yang mendasari dan mengembangkan profesi sesuai dengan kebutuhan pelayanan.
13. Memiliki standar pendidikan berkelanjutan sebagai wahana pengembangan kompetensi.
"
BACA SELENGKAPNYA - Peran dan Fungsi Bidan

Undang-Undang Keperawatan

Undang-Undang Keperawatan
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 1996
TENTANG
TENAGA KESEHATAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tenaga Kesehatan.

Mengingat : Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495).

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TENAGA KESEHATAN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan;
Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan;
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat;
Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.

BAB II
JENIS TENAGA KESEHATAN
Pasal 2

Tenaga kesehatan terdiri dari:
tenaga medis;
tenaga keperawatan;
tenaga kefarmasian;
tenaga kesehatan masyarakat;
tenaga gizi;
tenaga keterapian fisik;
tenaga keteknisian medis.
Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.
Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.
Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien.
Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara.
Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis.

BAB III
PERSYARATAN
Pasal 3

Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan.

Pasal 4
Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga kesehatan yang bersangkutan memiliki ijin dari Menteri.
Dikecualikan dari pemilikan ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi tenaga kesehatan masyarakat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.

Pasal 5
Selain ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), tenaga medis dan tenaga kefarmasian lulusan dari lembaga pendidikan di luar negeri hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah yang bersangkutan melakukan adaptasi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.

BAB IV
PERENCANAAN, PENGADAAN DAN PENEMPATAN

Bagian Kesatu
Perencanaan

Pasal 6

Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang merata bagi seluruh masyarakat.
Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan nasional tenaga kesehatan.
Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan faktor:
jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat;
sarana kesehatan;
jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan.
Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Kedua
Pengadaan
Pasal 7

Pengadaan tenaga kesehatan dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan di bidang kesehatan.

Pasal 8
Pendidikan di bidang kesehatan dilaksanakan di lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau masyarakat.
Penyelenggaraan pendidikan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ijin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 9
Pelatihan di bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan keterampilan atau penguasaan pengetahuan di bidang teknis kesehatan.
Pelatihan di bidang kesehatan dapat dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jenis tenaga kesehatan yang bersangkutan.


Pasal 10
Setiap tenaga kesehatan memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan di bidang kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya.
Penyelenggara dan/atau pimpinan sarana kesehatan bertanggung jawab atas pemberian kesempatan kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan dan/atau bekerja pada sarana kesehatan yang bersangkutan untuk meningkatkan keterampilan atau pengetahuan melalui pelatihan di bidang kesehatan.

Pasal 11
Pelatihan di bidang kesehatan dilaksanakan di balai pelatihan tenaga kesehatan atau tempat pelatihan lainnya.
Pelatihan di bidang kesehatan dapat diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.

Pasal 12
Pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat dilaksanakan atas dasar ijin Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur oleh Menteri.

Pasal 13
Pelatihan di bidang kesehatan wajib memenuhi persyaratan tersedianya:
calon peserta pelatihan;
tenaga kepelatihan;
kurikulum;
sumber dana yang tetap untuk menjamin kelangsungan penyelenggaraan pelatihan;
sarana dan prasarana.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pelatihan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.

Pasal 14
Menteri dapat menghentikan pelatihan apabila pelaksanaan pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat ternyata:
tidak sesuai dengan arah pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
Penghentian pelatihan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mengakibatkan dicabutnya ijin pelatihan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian pelatihan dan pencabutan ijin pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.

Bagian Ketiga
Penempatan

Pasal 15
Dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat, Pemerintah dapat mewajibkan tenaga kesehatan untuk ditempatkan pada sarana kesehatan tertentu untuk jangka waktu tertentu.
Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara masa bakti.
Pelaksanaan penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 16
Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab Menteri.

Pasal 17
Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan dengan
memperhatikan:
kondisi wilayah dimana tenaga kesehatan yang bersangkutan ditempatkan;
lamanya penempatan;
jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat;
prioritas sarana kesehatan.

Pasal 18
Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan pada:
sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah;
sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang ditunjuk oleh Pemerintah;
lingkungan perguruan tinggi sebagai staf pengajar;
lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Pelaksanaan ketentuan huruf c dan huruf d sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan dari pimpinan instansi terkait.

Pasal 19
Tenaga kesehatan yang telah melaksanakan masa bakti diberikan surat keterangan dari Menteri.
Surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan persyaratan bagi tenaga kesehatan untuk memperoleh ijin menyelenggarakan upaya kesehatan pada sarana kesehatan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.

Pasal 20
Status tenaga kesehatan dalam penempatan tenaga kesehatan dapat berupa:
pegawai negeri; atau
pegawai tidak tetap.

BAB V
STANDAR PROFESI DAN PERLINDUNGAN HUKUM

Bagian Kesatu
Standar Profesi
Pasal 21

Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan.
Standar profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 22
Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk:
menghormati hak pasien;
menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien;
memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan;
meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan;
membuat dan memelihara rekam medis.
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 23
Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian.
Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kedua
Perlindungan Hukum

Pasal 24
Perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan.
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

BAB VI
PENGHARGAAN

Pasal 25
Kepada tenaga kesehatan yang bertugas pada sarana kesehatan atas dasar prestasi kerja, pengabdian, kesetiaan, berjasa pada negara atau meninggal dunia dalam melaksanakan tugas diberikan penghargaan.
Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
Bentuk penghargaan dapat berupa kenaikan pangkat, tanda jasa, uang atau bentuk lain.

BAB VII
IKATAN PROFESI
Pasal 26
Tenaga kesehatan dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat dan kesejahteraan tenaga kesehatan.
Pembentukan ikatan profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VIII
TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING

Pasal 27
Tenaga kesehatan warga negara asing hanya dapat melakukan upaya kesehatan atas dasar ijin dari Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang tenaga kerja asing.

BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 28
Pembinaan tenaga kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu pengabdian profesi tenaga kesehatan.
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui pembinaan karier, disiplin dan teknis profesi tenaga kesehatan.

Pasal 29
Pembinaan karier tenaga kesehatan meliputi kenaikan pangkat, jabatan dan pemberian penghargaan.
Pembinaan karier tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 30
Pembinaan disiplin tenaga kesehatan menjadi tanggung jawab penyelenggara dan/atau pimpinan sarana kesehatan yang bersangkutan.
Pembinaan disiplin tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 31
Menteri melakukan pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan.
Pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:
bimbingan;
pelatihan di bidang kesehatan;
penetapan standar profesi tenaga kesehatan.

Bagian Kedua
Pengawasan

Pasal 32

Menteri melakukan pengawasan terhadap tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya.


Pasal 33
Dalam rangka pengawasan, Menteri dapat mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Tindakan disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
teguran;
pencabutan ijin untuk melakukan upaya kesehatan.
Pengambilan tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 34
Barangsiapa dengan sengaja menyelenggarakan pelatihan di bidang kesehatan tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana sesuai dengan ketentuan Pasal 84 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Pasal 35
Berdasarkan ketentuan Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, barangsiapa dengan sengaja:
melakukan upaya kesehatan tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
melakukan upaya kesehatan tanpa melakukan adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);
melakukan upaya kesehatan tidak sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);
tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1); dipidana denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 36
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tenaga kesehatan yang telah ada masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 37
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
"
BACA SELENGKAPNYA - Undang-Undang Keperawatan

PROFESINALISLE PETUGAS KESEHATAN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN

PROFESINALISLE PETUGAS KESEHATAN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN

PROFESIONALISME

Profesinalisme adalah sifat-sifat (kemampuan, kemahiran, cara pelaksanaan sesuatu dan lain-lain) sebagaimana yang sewajarnya yang terdapat pada atau dilakukan sesorang profesional.
Profesionalisme juga merupakan suatu bentuk komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuannya secara terus menerus.
Sedangkan yang dimaksud dengan profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian atau keterampilan dari pelakunya.
Profesional adalah orang yang menyandang suatu jabatan atau pekerjaan yang dilakukan dengan keahlian dan kemampuan juga keterampilan yang tinggi dan dapat mempengaruhi pada penampilan dalam melakukan pekerjaan di profesinya.
Mengapa orang perlu profesionalisme dalam menjalankan pekerjaan? Yaaa..Karena tuntutan masyarakat inign mendapatkan pelayanan yang semakin meningkat mutunya untuk hasil yang lebih baik. Setiap profesi harus bisa menyesuaikan dengan permintaan masyarakat agar tidak “ditinggalkan”.
Profesionalisme berasal daripada profesion yang bermakna berhubungan dengan profesion dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (KBBI, 1994). Jadi, profesionalisme adalah tingkah laku, kepakaran atau kualiti dari seseorang yang profesional (Longman, 1987).
Ciri-ciri profesionalisme
Seseorang yang memiliki jiwa profesionalisme senantiasa mendorong dirinya untuk mewujudkan kerja-kerja yang profesional. Kualiti profesionalisme didokong oleh ciri-ciri sebagai berikut :
1. Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati piawai ideal.
Seseorang yang memiliki profesionalisme tinggi akan selalu berusaha mewujudkan dirinya sesuai dengan piawai yang telah ditetapkan. Ia akan mengidentifikasi dirinya kepada sesorang yang dipandang memiliki piawaian tersebut. Yang dimaksud dengan “piawai ideal” ialah suatu perangkat perilaku yang dipandang paling sempurna dan dijadikan sebagai rujukan.
2. Meningkatkan dan memelihara imej profesion
Profesionalisme yang tinggi ditunjukkan oleh besarnya keinginan untuk selalu meningkatkan dan memelihara imej profesion melalui perwujudan perilaku profesional. Perwujudannya dilakukan melalui berbagai-bagai cara misalnya penampilan, cara percakapan, penggunaan bahasa, sikap tubuh badan, sikap hidup harian, hubungan dengan individu lainnya.
3. Keinginan untuk sentiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan meperbaiki kualiti pengetahuan dan keterampiannya.
4. Mengejar kualiti dan cita-cita dalam profesion
Profesionalisme ditandai dengan kualiti darjat rasa bangga akan profesion yang dipegangnya. Dalam hal ini diharapkan agar seseorang itu memiliki rasa bangga dan percaya diri akan profesionnya.


II. PETUGAS KESEHATAN

Petugas/Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (UU RI No : 23 tahun 1992 tentang kesehatan bab 1, pasal l ayat 3)

Sebagai tenaga profesional, petugas kesehatan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
• Mengembangkan pelayanan yang unik kepada masyarakat
• anggota-anggotanya dipersiapkan melalui suatu program pendidikan
• memiliki serangkaian pengetahuan ilmiah
• anggota-anggotanya menjalankan tugas profesinya sesuai dengan kode etik yang berlaku
• bebas -mengambil keputusan dalam menjalankan profesinya
• wajar menerima imbalan jasa atas pelayanan yang diberikan
• memiliki suatu organisasi profesi yang senantiasa meningkatkan kualitas palayanan yang diberikan kepada masyarakat oleh anggotanya
• pekerjaan/sumber utama seumur hidup
• panggilan dan komitmen mantap
• berorientasi pada pelayanan dan kebutuhan obyektif
• otonomi dalam melakukan tindakan
• melakukan ikatan profesi
• lisensi, jalur karier, mempunyai kekuatan dan status dalam pengetahuan spesifik serta altruisme.


III. KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN

Kualitas atau mutu adalah tingkat baik buruknya atau taraf atau derajat sesuatu . Istilah ini banyak digunakan dalam dalam bisnis, rekayasa, dan manufaktur dalam kaitannya dengan teknik dan konsep untuk memperbaiki kualitas produk atau jasa yang dihasilkan, seperti Six Sigma, TQM, Kaizen, dll.
Mutu atau kualitas merupakan suatu kondisi yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi harapan atau melebihi harapan

PELAYANAN KESEHATAN : Upaya yg diselenggarakan sendiri atau scr bersama-sama dlm suatu organisasi untuk memelihara & meningkatkan kesehatan, mencegah & menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, klg, klp, & ataupun masy. (Lovey & Loomba)

Dimensi mutu/kualitas :
• Bagi pemakai jasa pelayanan yaitu yang berkaitan dengan ketanggapan petugas memenuhi kebutuhan pasien, kelancaran komunikasi antara petugas dengan pasien, keramahan petugas dsb.
• Bagi penyelenggara pelayanan kes. Yaitu berkaitan dengan kesesuaian pelayanan yang diselenggarakan dengan perkembangan ilmu dan teknologi ked.mutakhir, dan/atau adanya otonomi profesi pada waktu menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien.
• Bagi penyandang dana yaitu berkaitan dengan efesiensi pemakaian sumber dana, kewajaran pembiayaan kes. Dan atau kemampuan mengurangi kerugian.
Dimensi yang dipakai untuk pelayanan kesehatan adalah dimensi no. 1 dan 2

Pelayanan kesehatan yang bermutu/berkualitas :
• Yankes yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa yankes sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta yang penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan.
• Kepuasan didefinisikan sebagai tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (hasil) yang dirasakan dengan harapannya. Oleh karena itu, maka tingkat kepuasan adalah perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Dengan demikian apabila dikaitkan dengan pelanggan, maka pelanggan dapat merasakan hal-hal sebagai beriku :
1) Kalau kinerjanya dibawah harapan, pelanggan akan merasa kecewa.
2) Kalau kinerjanya sesuai haapan, pelanggan akan merasa puas.
3) Kalau kinerjanya melebihi harapan, pelanggan akan sangat puas.

Menurut Azwar (1996) kualitas pelayanan kesehatan adalah yang menunjukkan tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien. Makin sempurna kepuasan pasien, makin baik pula kualitas pelayanan kesehatan.
Salah satu definisi kulaitas pelayanan kesehatan biasanya mengacu pada kemampuan rumah sakit/puskesmas memberi pelayanan yang sesuai dengan standar profesi kesehatan dan dapat diterima pasiennya.
Aspek-aspek mutu atau kualitas pelayanan menurut Parasuraman (dalam Tjiptono, 1997) adalah :
a. Keandalan (reliability)
b. Ketanggapan (responsiveness)
c. Jaminan (assureance)
d. Empati atau kepedulian (emphaty)
e. Bukti langsung atau berujud (tangibles)



IV. PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN MELALUI PROFSIONALISME PETUGAS KESEHATAN

Untuk mewujudkan profesi kesehatan sebagai profesi yang utuh. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Setiap petugas kesehatan harus mempunyai ”body of knowledge” yang spesifik, memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui praktik keprofesian yang didasari motivasi altruistik, mempunyai standar kompetensi dan kode etik profesi. Para praktisi dipersiapkan melalui pendidikan khusus pada jenjang pendidikan tinggi.
Budi Sampurna, Pakar Hukum Kesehatan dari Universitas di Indonesia, mengemukakan bahwa setiap profesi pada dasarnya memiliki tiga syarat utama, yaitu kompetensi yang diperoleh melalui pelatihan yang ekstensif, komponen intelektual yang bermakna dalam melakukan tugasnya, dan memberikan pelayanan yang penting kepada masyarakat.
Sikap yang terlihat pada profesionalisme adalah profesional yang bertanggung jawab dalam arti sikap dan pelaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi maupun masyarakat luas.
Beberapa ciri profesionalisme tersebut merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu sesuai dengan tempat dan waktu, sikap yang etis sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya dan khusus untuk profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela berkorban).
Kemampuan atau kompetensi, menurut Budi, diperoleh seorang profesional dari pendidikan atau pelatihannya, sedangkan kewenangan diperoleh dari penguasa atau pemegang otoritas di bidang tersebut melalui pemberian izin.
Kewenangan itu, ungkap Budi, memang hanya diberikan kepada mereka yang memiliki kemampuan. Namun, memiliki kemampuan tidak berarti memiliki kewenangan. Seperti juga kemampuan yang didapat secara berjenjang, kewenangan yang diberikan juga berjenjang.
Dalam profesi kesehatan hanya kewenangan yang bersifat umum saja yang diatur oleh Departemen Kesehatan sebagai penguasa segala keprofesian di bidang kesehatan dan kedokteran. Sementara itu, kewenangan yang bersifat khusus dalam arti tindakan kedokteran atau kesehatan tertentu diserahkan kepada profesi masing-masing.
Dijelaskan Budi, kompetensi dalam keperawatan berarti kemampuan khusus perawat dalam bidang tertentu yang memiliki tingkat minimal yang harus dilampaui.
Kewenangan berkaitan dengan izin melaksanakan praktik profesi. Kewenangan memiliki dua aspek, yakni kewenangan material dan kewenangan formal. Kewenangan material diperoleh sejak seseorang memiliki kompetensi dan kemudian teregistrasi, sebagai contoh registered nurse yang disebut Surat Ijin Perawat atau SIP.
Sedangkan kewenangan formal adalah izin yang memberikan kewenangan kepada penerimanya untuk melakukan praktik profesi perawat yaitu Surat Ijin Kerja (SIK) bila bekerja di dalam suatu institusi dan Surat Ijin Praktik Perawat (SIPP) bila bekerja secara perorangan atau berkelompok.
Hal yang tidak kalah penting, kata Murni, adalah penyelenggaraan pendidikan yang bertanggung jawab. Dalam pengabdiannya, petugas kesehatan dituntut bekerja secara profesional, memiliki sifat ”caring”, bertanggung jawab dan bertanggung gugat. Setiap petugas kesehatan harus berusaha selalu meningkatkan kemampuannya baik dari segi keterampilan di mana era globalisasi diharapkan kemampuan profesionalisme petugas kesehatan dengan basis kompetensi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. (tom)


Sumber:
http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2004/0116/kes2.html
Sutopo, Drs,MPA, Suryanto, Adi, Drs,M.Si, 2003, Pelayanan Prima Bahan Ajar Diklat Prajabatan Golongan III (Edisi Revisi I), Jakrata : Lembaga Administrasi Negara RI
www.keperawatankomunitas.blogspot.com/jaminan-mutu
www.keperawatankomunitas.blogspot.com/sistem-pelayanan-kesehatan
www.keperawatankomunitas.blogspot.com/Jaminan-mutu-dalam-keperawatan-komunitas
http://ms.wikipedia.org/wiki/Profesionalisme
http://id.wikipedia.org/wiki/kualistas
http://klinis.wordpress.com/2007/12/28/kualitas-pelayanan-keperawatan

http://askep-askeb.cz.cc/
BACA SELENGKAPNYA - PROFESINALISLE PETUGAS KESEHATAN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN

Kasus Malpraktik Bisa Dikenakan pada Perawat

"PROLONGED arm, 'Extended role' doctrine. Istilah-istilah ini begitu dikenal selama beberapa dekade lalu di negara-negara Anglo Saxon. Sementara itu, di Benua Eropa muncul pula Verlengde arm theorie. Apakah maksudnya? Tak lain dari julukan bagi seorang perawat yang diterjemahkan menjadi 'perpanjangan tangan dokter'.Perawat yang berada di rumah sakit selama 24 jam diharuskan menggantikan dokter dalam merawat pasiennya, selama dokter itu tidak bertugas. Meski begitu, perawat hanya diberi wewenang yang sangat kecil untuk itu. Sebagai perawat, ia tidak boleh secara langsung memberikan pengobatan, kecuali sebelumnya sudah mendapat instruksi tertulis pada rekam medik.

Sebagai contoh, dalam ketentuan yang dikeluarkan Kansas Supreme Court Amerika Serikat pada tahun 1964 disebutkan, fungsi utama seorang perawat adalah mengobservasi dan mencatat gejala dan reaksi pasien. Perawat tidak diperkenankan memberikan kesimpulan hasil diagnosa atau perawatan penyakit pada pasien.
Pandangan tersebut kemudian mengalami perubahan dua dekade kemudian, yaitu ketika pengadilan banding di New York pada tahun 1985 mengakui pandangan modern bahwa perawat bukan lagi menjadi petugas kesehatan yang pasif, tetapi penyedia jasa perawatan kesehatan yang desisif dan asertif.
Dalam lingkup modern dan pandangan baru itu, selain adanya perubahan status yuridis dari 'perpanjangan tangan' menjadi 'kemitraan' atau 'kemandirian', seorang perawat juga telah dianggap bertanggung jawab hukum untuk malpraktik keperawatan yang dilakukannya, berdasarkan standar profesi yang berlaku. Dalam hal ini dibedakan tanggung jawab untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian, yaitu malpraktik medik atau keperawatan.


Sebelumnya, ada perbedaan yang jelas antara peran kedua tenaga medis itu. Dokter menangani pengobatan, sedangkan perawat mengurus perawatannya. Dengan wewenang lebih banyak dipegang dokter maka tanggung jawab selama ini juga diemban oleh dokter.
Kini para perawat diperkenankan melakukan tugas-tugas dokter. Karena itu, mereka pun dapat terkena gugatan hukum bila terjadi akibat negatif dari pelayanannya kepada pasien. Selama ini dalam tindakan sehari-hari di rumah sakit, seorang perawat bisa saja melakukan berbagai kesalahan, misalnya keliru memberikan obat atau salah dosis, salah membaca label, salah menangani pasien, dan yang lebih berat lagi adalah salah memberikan tranfusi darah sehingga mengakibatkan hal yang fatal.
Sejalan dengan adanya perubahan tanggung jawab, kesalahan itu harus ditanggung oleh perawat. Hal ini telah dijalani perawat di beberapa negara. Sebagai contoh, di Memphis County Hospital pada tahun 1986 seorang perawat digugat karena memberikan suntikan Lidocaine over dosis kepada pasiennya sehingga mengakibatkan pasien bersangkutan meninggal. Sementara itu, perawat di Ohashi Hospital pada Agustus tahun 2000 lalu menemui nasib yang sama. Ia disalahkan karena menyebabkan kematian bayi baru lahir karena kesalahan melakukan tindakan medis.


Dengan berlakunya ketentuan baru, kesalahan dalam operasi atau pembedahan juga menjadi tanggung jawab perawat yang mendampingi dokter di kamar operasi. Teori bahwa dokter bedah harus mengontrol semua aktivitas yang dilakukan di kamar bedah sudah tidak realistis lagi pada waktu sekarang.
Sebelumnya memang dianut doktrin 'captain of the ship', yaitu dokter bedah harus bertanggung jawab bila selama operasi terjadi sesuatu hal di kamar bedah, termasuk terhadap kelalaian atau kesalahan perawat bedah. Pada ketentuan lama, perawat memang dianggap sebagai tenaga yang dipinjamkan (borrowed servant) oleh rumah sakit kepada dokter bedah.


Kasus-kasus yang terjadi berkaitan dengan malpraktik memang bisa menimbulkan berbagai konsekuensi hukum yang harus ditanggung perawat dengan adanya perubahan status mereka. Dari aspek pidana ini bisa-bisa mereka terkena hukuman badan atau kurungan. Dan, dari sisi perdata, pasien bisa menuntut ganti rugi; dari segi profesi, mungkin terkena sanksi dari Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan atau Keperawatan menyangkut etik dan disiplin. Dan, dari rumah sakit, perawat bisa di-PHK-kan kalau sampai terjadi sesuatu yang merugikan majikannya.

BAGAIMANA peran perawat di Indonesia? Menurut salah seorang panelis, secara nyata belum tampak adanya perubahan yang jelas. Di banyak rumah sakit, perawat tampaknya masih diperlakukan dan mendapat tugas dan wewenang seperti sebelumnya.
Padahal, ketentuan tentang perubahan dan lembaga pendidikan untuk meningkatkan kemampuan perawat telah terbentuk. Dalam hal ini telah diselenggarakan jenjang pendidikan keperawatan yang lebih tinggi, mulai dari akademi perawat, fakultas untuk program S1, bahkan sampai program pascasarjana.
Selain itu, juga telah dikeluarkan Kepmenkes Nomor 647 Tahun 2000 tentang registrasi dan praktik perawat. Menurut peraturan tersebut, perawat dapat melaksanakan praktik tidak saja pada sarana pelayanan kesehatan, tetapi dapat pula melakukan praktik perseorangan atau berkelompok. Meski begitu, dalam praktik memang belum ada perubahan peran atau tugas perawat di Indonesia.
Dalam diskusi, beberapa peserta berpendapat, perubahan status perawat memang sudah waktunya diberlakukan. Namun, baik panelis maupun peserta masih melihat beberapa ketentuan belum mendukung ke arah itu.
Dari sisi profesi harus ditetapkan dulu tingkatan tanggung jawab untuk tiap jenjang keperawatan. Organisasi keperawatan atau Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) harus menjelaskan perbedaan antara tugas dan tanggung jawab perawat profesional yang berpendidikan sarjana dan diploma.
Berkaitan dengan perannya yang semakin besar, semestinya profesi perawat juga harus mengetahui tanggung jawabnya dilihat dari aspek hukum. Namun, hal ini ternyata belum diajarkan kepada mereka, seperti diungkapkan seorang panelis. 'Di program D3 perawat belum ada kurikulum atau pelajaran tentang hukum. Yang diberikan hanya soal etika. Pelajaran hukum baru diberikan pada program S1,' ujarnya.
Para perawat hendaknya perlu tahu sedikit banyak tentang hukum kedokteran atau hukum kesehatan, misalkan tentang bioetik standar profesi kedokteran, rekam medik, dan etika kedokteran.


Hal itu antara lain karena belum adanya asuransi untuk malpraktik keperawatan, dan belum ada hal yang mengatur tentang solusi bila terjadi perselisihan dengan profesi dokter atau masalah malpraktik, dan kesalahan dalam pemberian advokasi atau konsultasi oleh seorang perawat kepada pasiennya.
Dari sisi peraturan, panelis juga mengungkapkan ada satu celah yang belum terisi yang menyangkut perlindungan konsumen kesehatan. Saat ini memang ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dari undang-undang itu kemudian keluar peraturan pemerintah. Namun, belum ada peraturan pelaksanaan (PP) tentang standar profesi keperawatan, hak pasien, dan ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan, termasuk perawat.
Sementara itu, pihak perawat, seperti yang terungkap dalam diskusi, belum melihat adanya pengaturan atau konsep tentang cara dan pemberian imbalan yang seimbang dengan penambahan tanggung jawab hukum yang diembannya. 'Dengan imbalan yang kecil, kami tentu keberatan bila harus menanggung risiko dan tanggung jawab yang besar,' ungkap salah seorang perawat dari sebuah rumah sakit umum di Jakarta.
Menurut panelis, dalam hal ini harus ada upaya untuk menetapkan imbalan untuk setiap pelayanan yang diberikan oleh perawat. Perawat hendaknya tidak hanya mendapat gaji, tetapi juga imbalan lain sesuai dengan jasa yang diberikan.

Sementara itu, panelis lain berpendapat, dengan adanya ketentuan baru maka hal lain yang mendesak dilakukan adalah penyiapan rekomendasi dari organisasi keperawatan, dalam hal ini PPNI. Karena menurut Kepmenkes tersebut, Surat Izin Kerja Perawat (SIKP)-Pasal 9-dan Surat Izin Praktik Perawat (SIPP)-Pasal 12-mensyaratkan adanya rekomendasi dari organisasi profesi perawatan untuk pengeluaran izin tersebut.

Registrasi pada Konsil Keperawatan diperlukan sebagai tindakan untuk memperoleh kewenangan formal melakukan pekerjaan keperawatan yang dapat membahayakan pasien atau klien. Dalam hal ini, harus ditetapkan persyaratan apa saja yang diperlukan bagi anggota PPNI untuk dapat diregistrasi pada konsil tersebut. Konsil Keperawatan tersebut sudah ada naskah akademik dan rancangan UU-nya, namun belum sampai masuk ke DPR.
Registrasi keperawatan ini harus diatur dalam UU karena praktik keperawatan menyangkut masalah hak asasi manusia, atau dapat mengakibatkan konsekuensi hilangnya nyawa pasien. Registrasi yang dilakukan di konsil (council) itu juga merupakan satu usaha atau proses yang diperlukan untuk membantu perawat memperoleh kewenangan formalnya, yang dengan itu ia juga dapat meningkatkan kemampuan dan kesejahteraannya. Sebagai seorang karyawan yang mendapat kewenangan, ia juga mendapatkan hak pendapatan yang dijamin oleh UU itu.
Dengan meningkatkan perubahan status, tanggung jawab, dan wewenang, seorang perawat memang harus menghadapi peluang dan tantangan. Selain dapat meningkatkan kemampuan profesi dan kesejahteraannya, di balik itu ia juga harus berani menanggung risiko bila terjadi hal-hal negatif dalam menjalankan tugasnya
sumber.http://www.kompas.com




http://askep-askeb-kita.blogspot.com/
BACA SELENGKAPNYA - Kasus Malpraktik Bisa Dikenakan pada Perawat

Gambaran efek samping KB suntik depo progestin di puskesmas pembantu

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga Berencana (KB) adalah suatu tindakan untuk menghindari atau mendapatkan kelahiran, mengatur interval kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam keluarga. KB merupakan suatu cara yang efektif untuk mencegah mortalitas ibu dan anak karena dapat menolong pasangan suami istri menghindari kehamilan resiko tinggi, dapat menyelamatkan jiwa dan mengurangi angka kesakitan. Dengan KB ibu juga dapat terhindar dari “4” terlalu, too Young (terlalu muda), too old (terlalu tua), too many (terlalu banyak) dan too cloose (terlalu dekat jaraknya) (Hartanto, 2003). Program KB nasional mempunyai arti penting dalam pelaksanaan pembangunan di bidang kependudukan dan keluarga kecil berkualitas yang dilaksanakan secara berkesinambungan (BKKBN, 2005).
Menurut (Prawirohardjo, 2001) secara umum tujuan KB adalah mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Dengan tidak mengikuti gerakan KB akan menimbulkan masalah pada bidang pendidikan, masalah gizi dan pangan, keamanan, lapangan kerja serta masalah perumahan dan tempat tinggal. Efek samping yang dialami akseptor KB suntik biasanya dikarenakan kurangnya KIE tentang efek samping yang mungkin terjadi.
Salah satu jenis kontrasepsi efektif yang menjadi pilihan adalah KB hormonal suntikan (injectables), dan merupakan salah satu alat kontrasepsi yang berdaya kerja panjang (lama), yang tidak membutuhkan pemakaian setiap hari. Kontrasepsi yang baik adalah aman, dapat diandalkan, sederhana, murah, dapat diterima orang banyak, dan pemakaian jangka lama. Namun sampai saat ini belum tersedia 100% metode kontrasepsi yang sempurna dan ideal. Begitu juga dengan akseptor KB suntik yang dapat mengalami efek samping seperti gangguan pola haid, kenaikan berat badan, sakit kepala dan kenaikan tekanan darah (Hartanto, 2003). Nyeri perut bagian bawah, pertumbuhan rambut bahkan sampai penurunan gairan seksual.
Dalam menentukan kapan dan metode kontrasepsi apa yang akan digunakan wanita harus mempertimbangkan pengaruh metode kontrsepsi terhadap fungsi reproduksi, salah satu alasan yang paling banyak disebutkan dalam penghentian kontrasepsi adalah efek samping yang dirasakan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh WHO pada 5332 wanita yang telah mempunyai anak di 14 negara berkembang menunjukkan bahwa banyak wanita berhenti menggunakan kontrasepsi IUD, oral dan suntik dikarenakan mereka tidak dapat menerima perubahan pola menstruasi (Klobinsky, 1997).
Perasaan dan kepercayaan wanita mengenai tubuh dan seksualitasnya tidak dapat dikesampingkan dalam pengambilan keputusan dalam menggunakan kontrasepsi. Banyak wanita takut siklus normalnya berubah karena mereka takut perdarahan yang lama dapat mengubah pola hubungan seksual dan juga dapat membatasi aktivitas keagamaan maupun budaya. Dinamika seksual dan kekuasaan antara pria dan wanita dapat menyebabkan penggunaan kontrasepsi terasa canggung bagi wanita. Pendapat suami mengenai KB cukup kuat pengaruhnya untuk menentukan penggunaan metode kaluarga berencana oleh istri. Berbagai budaya mendukung kepercayaan bahwa pria mempunyai hak akan fertilitas istri mereka. Di Papua Nugini dan Nigeria, wanita tidak dapat membeli kontrasepsi tanpa persetujuan suami (Klobinsky, 1997).
Berdasarkan data pra survey di Pustu Tegal Ombo Kecamatan Way Bungur Kabupaten Lampung Timur tahun 2006 sebanyak 45 akseptor KB yang menggunakan suntikan depo progestin lebih dari satu tahun.
Berdasarkan uraian pada latar belakang penulis memilih judul penelitian tentang “Gambaran Efek samping KB suntik Depo Progestin di Pustu Tegal Ombo Kecamatan Way Bungur Kabupaten Lampung Timur tahun 2007”.

BACA SELENGKAPNYA - Gambaran efek samping KB suntik depo progestin di puskesmas pembantu

Determinan pemanfaatan tenaga bidan desa dalam pertolongan persalinan di wilayah kerja puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Angka kematian bayi (AKB), angka kematian ibu (AKI), dan angka harapan hidup merupakan indikator yang menggambarkan derajat kesehatan masyarakat. Diantara negara – negara ASEAN dan Jepang pada tahun 1999, Kamboja merupakan negara dengan AKB tertinggi yaitu 104 per 1000 kelahiran hidup (KH), sedangkan Indonesia merupakan peringkat ke 4 yaitu 46 per 1000 KH (Depkes RI, 2000). Menurut laporan UNICEF pada periode 1990 – 1998 Indonesia, Bangladesh dan India merupakan negara – negara dengan AKI yang cukup tinggi, yaitu masing – masing 450, 450 dan 410 per 100.000 KH (Depkes RI, 2000). Menurut Saifuddin (2002) sampai dengan saat ini angka kematian Maternal dan Neonatal di Indonesia adalah 334 per 100.000 KH dan 21,8 per 1.000 KH, sedangkan AKB tahun 2000 menurut Depkes RI (2002) sebesar 44 per 1.000 KH.
Tidak semua kehamilan berakhir dengan persalinan yang berlangsung normal, 30,7 % persalinan disertai dengan komplikasi, dimana bila tidak ditangani dengan cepat dan baik dapat meningkatkan kematian ibu (Depkes RI, 2000). Yang menjadi penyebab kematian ibu di negara berkembang yang berhubungan dengan kehamilan adalah : 1) perdarahan 40 – 60 %, 2), Toksemia Gravidarum 20 – 30 % dan 3) Infeksi 20 – 30 % (Hartanto, 2002).
Menurut Hartanto (2002) problem – problem di negara berkembang adalah :
1. Sebagian besar ibu – ibu melahirkan dirumah.
2. Kurang dari 50 % kelahiran ditolong oleh petugas kesehatan yang terlatih.
3. Sejumlah substansial kematian ibu terjadi pada tingkat masyarakat.
4. Fasilitas kesehatan di daerah pedesaan terisolasi karena kurangnya infrastruktur dan komunikasi.
5. Keterbatasan jumlah dokter dan penyebaran yang tidak merata dari sumber – sumber kesehatan terutama di daerah pedesaan.
Kejadian tingginya angka kematian dan orientasi masyarakat menuju pertolongan dukun disebabkan 2 hal penting yaitu kemiskinan dan kurangnya pengetahuan khususnya dalam bidang reproduksi wanita (Manuaba, 1998). Dominannya pertolongan pada dukun beranak terutama didaerah pedesaan sekitar 65 – 75 % (Manuaba, 1998). Hal inilah yang menyebabkan tingginya AKI dan AKB di negara – negara yang sedang berkembang.
Pada tahun 1990 WHO meluncurkan strategi Making Pregnancy Safer (MPS) oleh badan – badan Internasional seperti UNFPA, UNICEF, dan World Bank. Pada dasarnya MPS meminta perhatian pemerintah dan masyarakat disetiap negara untuk :
a. Menempatkan Safe Motherhood sebagai prioritas utama dalam rencana pembangunan Nasional dan Internasional.
b. Menyusun acuan nasional dan standar pelayanan kesehatan maternal dan neonatal.
c. Mengembangkan sistem yang menjamin pelaksanaan standar yang telah disusun.
d. Memperbaiki akses pelayanan kesehatan maternal dan neonatal, keluarga berencana, aborsi legal, baik publik maupun swasta.
e. Meingkatkan upaya kesehatan promotif dalam kesehatan maternal dan neonatal serta pengembalian fertilitas pada tingkat keluarga dan lingkungannya.
f. Memperbaiki sistem monitoring pelayanan kesehatan maternal dan neonatal (Saifuddin, 2001)
Didalam rencana strategi nasional MPS di Indonesia 2001 – 2010 disebutkan bahwa dalam konteks Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010, visi MPS adalah “kehamilan dan persalinan di Indoneisa berlangsung aman, serta bayi yang dilahirkan hidup dan sehat” (Saifuddin, 2002). Salah satu sasaran yang ditetapkan untuk tahun 2010 adalah menurunkan AKI menjadi 125 per 100.000 KH dan angka kematian neonatal menjadi 16 per 1000 KH (Saifuddin, 2002). Salah satu faktor penting dalam upaya penurunan angka kematian tersebut yaitu penyediaan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas dekat dengan masyarakat (Saifuddin, 2002).
Sembilan puluh persen kematian ibu terjadi di saat sekitar persalinan dan kira – kira 95 % penyebab kematian ibu adalah komplikasi obstetri yang sering tidak dapat diperkirakan sebelumnya, maka kebijakan Departemen Kesehatan RI untuk mempercepat penurunan AKI adalah mengupayakan agar : 1) setiap persalinan ditolong atau minimal didampingi oleh bidan dan 2) pelayanan obstetri sedekat mungkin kepada semua ibu hamil. Salah satu upaya terobosan yang cukup mencolok untuk mencapai keadaan tersebut adalah pendidikan sejumlah 54.120 bidan yang ditempatkan di desa selama 1989/1990 sampai 1996/1997 (Saifuddin, 2001).


BACA SELENGKAPNYA - Determinan pemanfaatan tenaga bidan desa dalam pertolongan persalinan di wilayah kerja puskesmas

Determinan ibu hamil tidak melakukan imunisasi tetanus toksoid (TT) lengkap di wilayah kerja puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Angka kematian bayi (AKB) merupakan semua kejadian yang terjadi selama tahun pertama setelah melahirkan hidup per 1000 kelahiran hidup (WHO, 2003). Angka kematian bayi di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara lain, berdasarkan survei demografi dan kesehatan indonesia (SDKI) 2002/2003 angka kematian bayi (AKB) berada pada kisaran 20 per 1000 kelahiran hidup. Sekitar 9,8 persen dari 184 ribu bayi lahir, meninggal akibat tetanus. Pertengahan tahun 1980, tetanus menjadi penyebab utama kematian bayi dibawah usia satu bulan (www.google.com). Berbagai upaya pencegahan telah dilakukan, antara lain : (1) Pemberian kekebalan pada bayi baru lahir terhadap tetanus melalui imunisasi tetanus toksoid (TT) pada ibu hamil, calon pengantin wanita dan wanita usia subur (2) Upaya pertolongan persalinan yang bersih dan aman melalui pelatihan/pembinaan dukun bayi dan pemanfaatan tenaga bidan di desa (3) Memasyarakatkan perilaku kehidupan keluarga sehat melalui dasawisma, posyandu dan kelompok peminat KIA, dan (4) Pelacakan tetanus neonatorum menurut indeks kasus yang diperoleh dari rumah sakit (DepKes RI, 1996).
Sejak tahun 1989, WHO memang mentargetkan eliminasi tetanus neonatorum. Sebanyak 104 dari 161 negara berkembang telah mencapai keberhasilan tersebut. Tetapi, karena tetanus neonatorum masih merupakan persoalan signifikan di 57 negara berkembang lain, maka UNICEF, WHO dan UNFPA pada Desember 1999 setuju mengulur eliminasi hingga tahun 2005. Target eliminasi tetanus neonatorum adalah satu kasus per 1000 kelahiran di masing-masing wilayah dari setiap negara. Target yang diharapkan dapat dicapai oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2010 adalah menurunkan angka kematian bayi (AKB) menjadi 15 per 1000 kelahiran hidup (www.google.com). Beberapa upaya telah dilakukan oleh pemerintah antara lain dengan imunisasi TT yang diberikan sejak bayi, difteri pertusis tetanus (DPT) 3 x murid sekolah dasar, meningkatkan cakupan imunisasi TT pada calon pengantin, ibu hamil dan wanita usia subur (WUS), surveilans tetanus neonatorum dan persalinan bersih. (www.google.com).
Cakupan imunisasi TT1 dan TT2 pada ibu hamil di Propinsi Lampung pada tahun 2002-2004 berfluktuatif naik turun. Sasaran imunisasi TT1 dan TT2 dari tahun 2002 yaitu 182.983 ibu hamil, cakupan TT1 ibu hamil di propinsi Lampung tahun 2002 adalah 84,10% (153.834 ibu hamil) dan cakupan TT2 80,70% (147.665 ibu hamil) kemudian pada tahun 2003 mengalami penurunan. Sasaran ibu hamil 186.228, cakupan TT1 75,26% (140.146 ibu hamil) dan TT2 70,69%(131.650 ibu hamil) dan TT2 pada tahun 2003 belum mencapai target yaitu 73,29%. Kemudian pada tahun 2004 meningkat kembali, cakupan TT1 90,41% dan TT2 87,21% (Profil Kesehatan Propinsi Lampung, 2004). Sasaran imunisasi TT di Kota Metro pada tahun 2005 adalah 3045 ibu hamil, cakupan TT1 76,61% (2016 ibu hamil) dan cakupan TT2 adalah 86,62% (2730 ibu hamil). Pada tahun 2005 sasaran ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Yosomulyo berjumlah 620 ibu hamil, cakupan TT1 91,13% (514 ibu hamil) dan cakupan TT2 31,29% (194 ibu hamil) (DinKes Kota Metro, 2005). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh penulis pada bulan April 2006 jumlah ibu hamil yang memasuki trimester III berjumlah 57 orang dan yang tidak melakukan imunisasi TT lengkap berjumlah 22 ibu hamil (38,59%) (Puskesmas Yosomulyo, 2006).
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka penulis memilih judul penelitian determinan ibu hamil tidak melakukan imunisasi tetanus toksoid lengkap di Wilayah Kerja Puskesmas Yosomulyo.


BACA SELENGKAPNYA - Determinan ibu hamil tidak melakukan imunisasi tetanus toksoid (TT) lengkap di wilayah kerja puskesmas

Alasan ibu melakukan penyapihan anak kurang dari 2 tahun di posyandu

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Masalah kesehatan dan pertumbuhan anak di Indonesia sangat dipengaruhi oleh keadan gizi yang tidak baik dan merajalelanya penyakit infeksi. Ditemukan di Indonesia bahwa angka kejadian dan kematian karena diare pada tahun 1995 sebanyak 55 ribu balita pertahun. Hal tersebut sering terjadi akibat tidak diberikannya ASI, terbukti anak yang diberi ASI jarang terserang diare (Media Komunikasi Bidan dan Keluarga Indonesia, 2004).
Makanan berperan penting terhadap pertumbuhan, kesehatan dan daya tahan tubuh balita, khususnya sebagai materi yang mengandung zat-zat khusus untuk menangkal berbagai jenis penyakit. Umumnya anak yang tidak memperoleh makanan yang bergizi dalam jumlah yang memadai sangat rentan terhadap penyakit, terutama diare dan Kekurangan Energi Protein (KEP). Diare dan kekurangan energi protein merupakan masalah kesehatan dan gizi yang umumnya dijumpai pada sebagian besar balita di Indonesia (Krisnatuti & Yenrina, 2000).
Kekurangan energi protein dan infeksi mempunyai pengaruh timbal balik, merupakan masalah utama di Indonesia yang bila tidak ditanggulangi dengan baik akan mengganggu pembangunan sosial ekonomi dalam jangka pendek dan jangka panjang. Kedua masalah ini pada anak di bawah umur 2 tahun sangat erat hubungannya dengan menyusukan (Suharyono dkk, 1992).
Beradasarkan Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 450/Menkes/SK/IV/2004 bahwa ASI adalah makanan terbaik bagi bayi karena mengandung zat gizi yang paling sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. ASI perlu diberikan secara eksklusif sampai umur 6 bulan dan dapat dilanjutkan samapai anak berumur 2 tahun.
ASI sebagai makanan alamiah adalah makanan terbaik yang dapat diberikan oleh seorang ibu kepada anak yang baru dilahirkannya. Selain komposisi yang sesuai untuk pertumbuhan bayi yang bisa berubah sesuai dengan kebutuhan pada setiap saat, ASI juga mengandung zat pelindung yang dapat menghindari bayi dari berbagai penyakit infeksi (Suharyono dkk, 1992).
Berbagai kepustakaan menginformasikan bahwa pada waktu dilahirkan, jumlah sel otak bayi telah mencapai 66% dan beratnya 25% dari ukuran otak orang dewasa, priode pertumbuhan otak yang paling kritis dimulai sejak janin sampai anak berusia 2 tahun, jadi apabila pada masa tersebut seorang anak menderita gizi dapat berpengaruh negatif terhadap jumlah dan ukuran sel otaknya, dalam hal ini pemberian ASI hingga 2 tahun sangat dianjurkan (Krisnatuti & Yenrina, 2000).
Melihat unggulnya ASI maka sangat disayangkan bahwa pada kenyataannya penggunaan ASI belum seperti yang kita harapkan. Pemberian ASI yang dianjurkan adalah sejak bayi lahir sampai umur 1-6 bulan bayi hanya diberi ASI, kemudian pemberian ASI diteruskan sampai umur 2 tahun bersama makanan tambahan yang kuat. Untuk mencapai hal ini, World Health Organization (WHO) membuat deklarasi yang dikenal dengan deklarasi Innocenti (Innocenti Declaration), deklarasi yang dilahirkan di Innocenti, Italia tahun 1990 ini bertujuan untuk melindungi, mempromosikan dan memberi dukungan pada pemberian ASI deklarasi yang juga ditanda tangani di Indonesia, salah satunya memuat hal-hal berikut, yaitu : “Sebagai tujuan global untuk membantu kesehatan dan mutu makanan bayi secara optimal maka semua ibu dapat memberikan ASI eksklusif pada semua bayi sejak lahir sampai usia 1-6 bulan, setelah berumur 1-6 bulan, bayi diberi makanan pendamping atau padat yang benar dan tepat, sedangkan ASI tetap diberikan sampai 2 tahun atau lebih (Roesli, 2000).
Pemberian ASI merupakan upaya manusia agar dapat perlindungan namun akhir-akhir ini terutama di kota, banyak para ibu yang melupakan senjata terampuh untuk melindungi anak dari ancaman maut, keadaan ini mungkin disebabkan karena banyak para ibu yang terpaksa bekerja selama sehari penuh untuk menutupi keperluan hidupnya sehari-hari, kemajuan teknologi pembuatan susu buatan dan pengaruh iklan-iklan susu buatan (Suharyono dkk, 1992).
Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Lampung pada tahun 2002 jumlah bayi 0–4 bulan yang diberi ASI eksklusif yaitu 68.527 orang atau 42,83% dari 159 – 987 orang. Sedangkan tahun 2003 jumlah bayi 0–6 bulan yang diberi ASI eksklusif sebesar 29,54% target tahun 2003 adalah 19,7%, pada tahun 2004 sebesar 34,53% dari 165.656 bayi, (Dinkes Provinsi Lampung, 2004). Sedangkan untuk wilayah Tanjung Karang Pusat jumlah bayi yang diberi ASI eksklusif sebanyak 69,4% dari 2404 bayi (Dinkes Kota Bandar Lampung, 2004 ).
Kelurahan Kaliawi merupakan bagian dari 11 kelurahan yang berada di Kecamatan Tanjung Karang Pusat, di Kelurahan Kaliawi terdapat 8 Posyandu yang tersebar di 5 lingkungan, jumlah bidan yang ada 2 orang dan jumlah kader 24 orang, berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan dilokasi diperoleh data bahwa terdapat 27 ibu yang tidak memberikan ASI nya sampai 2 tahun.


BACA SELENGKAPNYA - Alasan ibu melakukan penyapihan anak kurang dari 2 tahun di posyandu

16 September 2010

Kepemimpinan dalam Keperawatan

Kepemimpinan dalam Keperawatan
Definisi kepemimpinan
Kepemimpinan didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi, menggerakkan dan mengarahkan suatu tindakan pada diri seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu pada situasi tertentu (Sujak, 1990). Menurut Robbin (1996), kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan. Koonzt (1984), bahwa kepemimpinan sebagai pengaruh, seni atau proses mempengaruhi orang-orang sehingga mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan kemampuan dan antusias. Dari beberapa pengertian kepemimpinan tersebut, Manduh (1997) memberikan pengertian singakat tentang kepemimpinan yaitu proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas tugas dari orang-orang dalam kelompok.
Dalam kepemimpinan terdapat beberapa kegiatan kepemimpinan. Menurut Gillies (1997) untuk mencapai kepemimpinan yang efektif harus dilaksanakan kegiatan penugasan dan memberikan pengarahan, memberikan bimbingan, mendorong kerja sama dan partisipasi, mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan, observasi dan supervisi serta evaluasi dari hasil penampilan kerja. Pemimpin yang efektif adalah seorang katalisator dalam memudahkan interaksi yang efektif diantara tenagakerja, bahan dan waktu. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut, maka seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan yang luas dan kompleks tentang sistem manusia, mempunyai kemampuan hubungan antar manusia terutama dalam mempengaruhi orang lain dan memiliki sekelompok nilai-nilai dalam mengenal orang lain dengan baik. Di samping itu, pemimpin harus mempertimbangkan kewaspadaan diri, karakteristik kelompok, karakteristik individu serta motivasi yang ada dalam menggerakkan orang lain dalam mencapai tujuan organisasi.
2.1.2 Pendekatan/Teori Kepemimpinan
Dalam mengembangkan model kepemimpinan terdapat beberapa teori yang mendasari terbentuknya gaya kepemimpinan. Menurut Whitaker (1996), ada empat macam pendekatan kepemimpinan yaitu:
1) Teori Bakat
Teori bakat terdiri dari bakat intelegensi dan kepribadian. Kemampuan ini merupakan bawaan sejak lahir yang mempunyai pengaruh besar dalam kepemimpinan. Beberapa hal yang menonjol pada teori bakat adalah kepandaian berbicara, kemampuan/keberanian dalam memutuskan sesuatu, penyesuaian diri, percaya diri, kreatif, kemampuan interpersonal dan prestasi yang dapat menjadi bekal dalam membentuk kepemimpinan sehingga seseorang pemimpin dapat mempengaruhi bawahannya.
2) Teori Perilaku
Teori perilaku kepemimpinan memfokuskan pada perilaku yang dipunyai oleh pemimpin dan yang membedakan dirinya dari non pemimpin. Menurut teori ini seorang pemimpin dapat mempelajari perilaku pemimpin supaya dapat menjadi pemimpin yang efektif. Dengan demikian teori perilaku kepemimpinan lebih sesuai dengan pandangan bahwa pemimpin dapat dipelajari, bukan bawaan sejak lahir.
3) Teori Situasi (Contingency)
Teori situasi mengasumsikan bahwa tidak ada satu gaya kepemimpinan yang paling baik, tetapi kepemimpinan tergantung pada situasi, bentuk organisasi, kekuasaan atau otoriter dari pemimpin, pekerjaan yang kompleks dan tingkat kematangan bawahan.
4) Teori Transformasi
Teori transformasi mengasumsikan bahwa pemimpin mampu melakukan kepemimpinannya dalam situasi yang sangat cepat berubah atau situasi yang penuh krisis. Menurut Bass (Dikutip Gibson, 1997) seorang pemimpin transformasional adalah seorang yang dapat menampilkan kepemimpinan yang kharismatik, penuh inspirasi, stimulasi intelektual dan perasaan bahwa setiap pengikut diperhitungkan.
2.1.3 Gaya Kepemimpinan
Gaya diartikan sebagai cara penampilan karakteristik atau tersendiri. Menurut Follet (1940), gaya didefiniskan sebagai hak istimewa tersendiri dari si ahli dengan hasil akhir dicapai tanpa menimbulkan isu sampingan. Gillies (1997), menyatakan bahwa gaya kepemimpinan dapat diidentifikasikan berdasarkan perilaku pemimpin. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh pengalaman bertahun-tahun dalam kehidupannya, oleh karena itu kepribadian seseorang akan mempengaruhi gaya kepemimpinan yang digunakan. Gaya kepemimpinan seseorang cenderung sangat bervariasi dan berbeda-beda. Menurut para ahli ada beberapa gaya kepemimpinan yang dapat diterapkan dalam suatu organisasi antara lain:
1) Gaya Kepemimpinan menurut Tannenbau dan Warren H. Schmidt.
Menurut kedua ahli tersebut, gaya kepemimpinan dapat dijelaskan melalui dua titik ekstrim yaitu kepemimpinan berfokus pada atasan dan kepemimpinan berfokus pada bawahan. Gaya tersebut dipengaruhi oleh faktor manajer, faktor karyawan dan faktor situasi. Jika pemimpin memandang bahwa kepentingan organisasi harus didahulukan dibandingkan kepentingan individu, maka pemimpin akan lebih otoriter. Jika bawahan mempunyai pengalaman yang lebih baik, menginginkan partisipasi, maka pemimpin dapat menerapkan gaya partisipasi.
Gaya Kepemimpinan menurut Likert
Likert mengelompokan gaya kepemimpinan dalam empat sistem yaitu:
Sistem Otoriter-Eksploitatif
Pemimpin tipe ini sangat otoriter, mempunyai kepercayaan yang rendah terhadap bawahannya, memotivasi bawahan melalui ancaman atau hukuman. Komunikasi yang dilakukan satu arah ke bawah (top-down).

(2) Sistem Benevolent-Authoritative
Pemimpin mempercayai bawahan sampai tingkat tertentu, memotivasi bawahan dengan ancaman atau hukuman tetapi tidak selalu dan membolehkan komunikasi ke atas. Pemimpin memperhatikan ide bawahan dan mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan meskipun masih melakukan pengawasan yang ketat.
(3) Sistem Konsultatif
Pemimpin mempunyai kepercayaan terhadap bawahan cukup besar. Pemimpin menggunakan balasan (insentif) untuk memotivasi bawahan dengan kadang-kadang menggunakan ancaman atau hukuman. Komunikasi dua arah dan membolehkan keputusan spesifik dibuat oleh bawahan.
(4) Sistem Partisipatif
Pemimpin mempunyai kepercayaan sepenuhnya terhadap bawahan, selalu memamfaatkan ide bawahan, menggunakan insentif ekonomi untuk memotivasi bawahan. Komunikasi dua arah dan menjadikan bawahan sebagai kelompok kerja.

Gaya Kepemipinan menurut Teori X dan Teori Y
Teori ini di kemukakan oleh Douglas Mc Gregor dalam bukunya "The Human Side of Enterprise" (1960), menyebutkan bahwa perilaku seseorang dalam suatu organisasi dapat dikelompokan dalam dua kutub utama yaitu sebagai Teori X dan Teori Y. Teori X diasumsikan bahwa pemimpin itu tidak menyukai pekerjaan, kurang ambisi, tidak mempunyai tanggung jawab, cendrung menolak perubahan dan lebih suka dipimpin daripada memimpin. Sebaliknya Teori Y diasumsikan bahwa pemimpin itu senang bekerja, bisa menerima tanggung jawab, mampu mandiri, mampu mengawasi diri, mampu berimajinasi dan kreatif. Dari teori ini, gaya kepemimpinan dibedakan menjadi empat macam yaitu:
Gaya kepemimpinan ditaktor
Gaya kepemimpinan yang dilakukan dengan menimbulkan ketakutan serta menggunakan ancaman dan hukuman merupakan bentuk dari pelaksanaan teori X
(2) Gaya kepemimpinan autokratis
Pada dasarnya hampir sama dengan gaya kepemimpinan ditaktor namun bobotnya agak kurang. Segala keputusan berada ditangan pemimpin, pendapat dari bawahan tidak pernah dibenarkan, Gaya ini juga merupakan pelaksanaan dari teori X.
(3)Gaya kepemimpinan demokratis
Ditemukan adaya peran serta bawahan dalam pengambilan keputusan yang dilakukan secara musyawarah. Gaya kepemimpinan ini pada dasarnya sesuai dengan teori Y.
(4) Gaya kepemimpinan santai
Peranan pemimpin hampir tidak terlihat karena segala keputusan diserahkan pada bawahan. Gaya kepemimpinan ini sesuai dengan teori Y (Azwar, 1996).

3) Gaya kepemimpinan menurut Robert House
Berdasarkan teori motivasi pengharapan, Robert House mengemukakan empat gaya kepemimpinan yaitu:
(1) Directive
Pemimpin menyatakan kepada bawahan tentang bagaimana melaksanakan suatu tugas. Gaya ini mengandung arti bahwa pemimpin berorientasi pada hasil.
(2) Supportive
Pemimpin berusaha mendekatkan diri dengan bawahan dan bersikap ramah terhadap bawahan.
(3) Participative
Pemimpin berkonsultasi dengan bawahan untuk mendapatkan masukan dan saran dalam rangka pengambilan keputusan.
Achievement oriented
Pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan berusaha untuk mencapai tujuan tersebut seoptimal mungkin (Sujak, 1990).
4) Gaya kepemimpinan menurut Hersey dan Blanchard
Ciri-ciri gaya kepemimpinan menurut Hersey dan Blanchard meliputi:
Instruksi
- Tinggi tugas dan rendah hubungan
- Komunikasi searah
- Pengambilan keputusan berada pada pimpinan,peran bawahan sangat minimal.
- Pemimpin banyak memberikan pengarahan atau instruksi yang spesifik serta mengawasi dengan ketat.
(2) Konsultasi
- Tinggi tugas dan tinggi hubungan
- Komunikasi dua arah
- Peran pemimpin dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan cukup besar, bawahan diberi kesempatan untuk memberi masukan dan menampung keluhan.
(3) Partisipasi
- Tinggi hubungan rendah tugas
- Pemimpin dan bawahan bersama-sama memberi gagasan dalam pengambilan keputusan.
(4) Delegasi
- Rendah hubungan dan rendah tugas
- Komunikasi dua arah terjadi diskusi antara pemimpin dan bawahan dalam pemecahan masalah serta bawahan diberi delegasi untuk mengambil keputusan .

5) Gaya kepemimpinan menurut Ronald Lippits dan Rapiph K. White
Menurut Ronald Lippith dan Rapiph K. White, ada tiga gaya kepemimpinan yaitu: otoriter, demokrasi dan liberal yang mulai dikembangkan di Universitas Iowa.
Otoriter
Gaya kepemimpinan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Wewenang mutlak berada pada pimpinan
Keputusan selalu dibuat oleh pimpinan
Kebijaksanaan selalu dibuat oleh pimpinan
Komunikasi berlangsung satu arah dari pimpinan kepada bawahan
Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan atau kegiatan para bawahan dilakukan secara ketat
Prakarsa harus selalu berasal dari pimpinan
Tiada kesempatan bagi bawahan untuk memberikan saran, pertimbangan atau pendapat
Tugas-tugas bawahan diberikan secara instruktif
Lebih banyak kritik daripada pujian
Pimpinan menuntut prestasi sempurna dari bawahan tanpa syarat
Pimpinan menuntut kesetiaan tanpa syarat
Cenderung adanya paksaan, ancaman dan hukuman
Kasar dalam bertindak
Kaku dalam bersikap
Tanggung jawab keberhasilan organisasi hanya dipikul oleh pimpinan
Demokratis
Kepemimpinan gaya demokratis adalah kemampuan kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan ditentukan bersama antara pimpinan dan bawahan.
Gaya kepemimpinan ini memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
Wewenang pimpinan tidak mutlak
Pimpinan bersedia melimpahkan sebagian wewenang kepada bawahan
Keputusan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan
Kebijaksanaan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan
Komunikasi berlangsung timbal-balik
Pengawasan dilakukan secara wajar
Prakarsa dapat datang dari bawahan
Banyak kesempatan dari bawahan untuk menyampaikan saran dan pertimbangan
Tugas-tugas kepada bawahan diberikan dengan lebih bersifat permintaan daripada instruktif
Pujian dan kritik seimbang
Pimpinan mendorong prestasi sempurna para bawahan dalam batas masing-masing
Pimpinan meminta kesetiaan bawahan secara wajar
Pimpinan memperhatikan perasaan dalam bersikap dan bertindak
Terdapat suasana saling percaya, saling hormat menghormati dan saling menghargai
Tanggung jawab keberhasilan organisasi ditanggung secara bersama-sama
(3) Liberal atau Laissez Faire
Kepemimpinan gaya liberal atau Laissez Faire adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan dengan cara berbagai kegiatan yang dilakukan lebih banyak diserahkan kepada bawahan.
Gaya kepemimpinan ini bercirikan sebagai berikut:
Pemimpin melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada bawahan
Keputusan lebih banyak dibuat oleh bawahan
Kebijaksanaan lebih banyak dibuat oleh bawahan
Pimpinan hanya berkomunikasi apabila diperlukan oleh bawahan
Hampir tiada pengawasan terhadap tingkah laku bawahan
Prakarsa selalu berasal dari bawahan
Hampir tiada pengarahan dari pimpinan
Peranan pimpinan sangat sedikit dalam kegiatan kelompok
Kepentingan pribadi lebih penting dari kepentingan kelompok
Tanggung jawab keberhasilan organisasi dipikul oleh perorangan

6) Gaya kepemimpinan berdasarkan kekuasaan dan wewenang
Menurut Gillies (1996), gaya kepemimpinan berdasarkan wewenang dan kekuasaan dibedakan menjadi 4 yaitu:
(1) Otoriter
Merupakan kepemimpinan yang berorientasi pada tugas/pekerjaan. Menggunakan kekuasaan posisi dan power dalam memimpin. Pemimpin menentukan semua tujuan yang akan dicapai dalam pengambilan keputusan. Informasi diberikan hanya pada kepentingan tugas. Motivasi dengan reward dan punishment.
(2) Demokratis
Merupakan kepemimpinan yang menghargai sifat dan kemampuan setiap staf. Menggunakan kekuasaan posisi dan pribadinya untuk mendorong ide dari staf , memotivasi kelompok untuk menentukan tujuan sendiri. Membuat rencana dan pengontrolan dalam penerapannya. Informasi diberikan seluas-luasnya dan terbuka.

(3) Partisipatif
Merupakan gabungan antara otokratik dan demokrasi, yaitu pemimpin yang menyampaikan hasil analisa masalah dan mengusulkan tindakannya. Staf diminta saran dan kritiknya serta mempertimbangkan respon staf terhadap usulnya. Keputusan akhir oleh kelompok.
(4) Bebas Tindak
Merupakan pimpinan offisial, karyawan menentukan sendiri kegiatan tanpa pengarahan, supervisi dan koordinasi. Staf/bawahan mengevaluasi pekerjaan sesuai dengan caranya sendiri. Pimpinan hanya sebagai sumber informasi dan pengendalian minimal.
Lester R. Bitel menyebutkan bahwa semua gaya kepemimpinan ini memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Pemimpin yang sukses adalah yang mampu menyesuaikan diri dengan situasi.
Dalam penelitian ini, peneliti memilih gaya kepemimpinan berdasarkan wewenang dan kekuasaan yang merupakan gabungan dari teori Hersey dan Blanchard dengan teori Ronald lippits dan Ralph K. White. Kedua teori ini dapat digunakan untuk menilai kecendrungan gaya kepemimpinan kepala ruangan dengan memodifikasi pertanyaan sesuai dengan situasi perawatan.

BACA SELENGKAPNYA - Kepemimpinan dalam Keperawatan
INGIN BOCORAN ARTIKEL TERBARU GRATIS, KETIK EMAIL ANDA DISINI:
setelah mendaftar segera buka emailnya untuk verifikasi pendaftaran. Petunjuknya DILIHAT DISINI