kolom pencarian

KTI D3 Kebidanan[1] | KTI D3 Kebidanan[2] | cara pemesanan KTI Kebidanan | Testimoni | Perkakas
PERHATIAN : jika file belum ter-download, Sabar sampai Loading halaman selesai lalu klik DOWNLOAD lagi

09 May 2011

Askep dengan Intususepsi

Askep dengan Intususepsi

A. Pengertian
Intususepsi adalah invaginasi atau masuknya bagian usus ke dalam perbatasan atau bagian yang lebih distal dari usus (umumnya, invaginasi ileum masuk ke dalam kolon desendens). (Nettina, 2002)
Suatu intususepsi terjadi bila sebagian saluran cerna terdorong sedemikian rupa sehingga sebagian darinya akan menutupi sebagian lainnya hingga seluruhnya mengecil atau memendek ke dalam suatu segmen yang terletak di sebelah kaudal. (Nelson, 1999)


B. Etiologi
Penyebab dari kebanyakan intususepsi tidak diketahui. Terdapat hubungan dengan infeksi – infeksi virus adeno dan keadaan tersebut dapat mempersulit gastroenteritis. Bercak – bercak peyeri yang banyak terdapat di dalam ileum mungkin berhubungan dengan keadaan tersebut, bercak jaringan limfoid yang membengkak dapat merangsang timbulnya gerakan peristaltic usus dalam upaya untuk mengeluarkan massa tersebut sehingga menyebabkan intususepsi. Pada puncak insidens penyakit ini, saluran cerna bayi juga mulai diperkenalkan dengan bermacam bahan baru. Pada sekitar 5% penderita dapat ditemukan penyebab – penyebab yang dikenali, seperti divertikulum meckeli terbalik, suatu polip usus, duplikasi atau limfosarkoma. Secara jarang, keadaan ini akan mempersulit purpura Henoch – Schonlein dengan sutau hematom intramural yang bertindak sebagai puncak dari intususepsi. Suatu intususepsi pasca pembedahan jarang dapat didiagnosis, intususepsi – intususepsi ini bersifat iloileal.




C. Patofisiologi dan Pathways
Kebanyakan intususepsi adalah ileokolik dan ileoileokolik, sedikit sekokolik dan jarang hanya ileal. Secara jarang, suatu intususepsi apendiks membentuk puncak dari lesi tersebut. Bagian atas usus, intususeptum, berinvaginasi ke dalam usus di bawahnya, intususipiens sambil menarik mesentrium bersamanya ke dalam ansa usus pembungkusnya. Pada mulanya terdapat suatu konstriksi mesentrium sehingga menghalangi aliran darah balik. Penyumbatan intususeptium terjadi akibat edema dan perdarahan mukosa yang menghasilkan tinja berdarah, kadang – kadang mengandung lendir. Puncak dari intususepsi dapat terbentang hingga kolon tranversum desendens dan sigmoid bahkan ke anus pada kasus – kasus yang terlantar. Setelah suatu intususepsi idiopatis dilepaskan, maka bagian usus yang memebentuk puncaknya tampak edema dan menebal, sering disertai suatu lekukan pada permukaan serosa yang menggambarkan asal dari kerusakan tersebut. Kebanyakan intususepsi tidak menimbulkan strangulasi usus dalam 24 jam pertama, tetapi selanjutnya dapat mengakibatkan gangren usus dan syok.

http://askep-askeb-kita.blogspot.com/
D. Manifestasi Klinik
Umumnya bayi dalam keadaan sehat dan gizi baik. Pada tahap awal muncul gejala strangulasi berupa nyeri perut hebat yang tiba – tiba. Bayi menangis kesakitan saat serangan dan kembali normal di antara serangan. Terdapat muntah berisi makanan/minuman yang masuk dan keluarnya darah bercampur lendir (red currant jelly) per rektum. Pada palpasi abdomen dapat teraba massa yang umumnya berbentuk seperti pisang (silindris).
Dalam keadaan lanjut muncul tanda obstruksi usus, yaitu distensi abdomen dan muntah hijau fekal, sedangkan massa intraabdomen sulit teraba lagi. Bila invaginasi panjang hingga ke daerah rektum, pada pemeriksaan colok dubur mungkin teraba ujung invaginat seperti porsio uterus, disebut pseudoporsio. Pada sarung tangan terdapat lendir dan darah.



E. Pemeriksaan Penunjang

1. Foto polos abdomen memperlihatkan kepadatan seperti suatu massa di tempat intususepsi.
2. Foto setelah pemberian enema barium memperlihatkan gagguan pengisisan atau pembentukan cekungan pada ujung barium ketika bergerak maju dan dihalangi oleh intususepsi tersebut.
3. Plat datar dari abdomen menunjukkan pola yang bertingkat (invaginasi tampak seperti anak tangga).
4. Barium enema di bawah fluoroskopi menunjukkan tampilan coiled spring pada usus.
5. Ultrasonogram dapat dilakukan untuk melokalisir area usus yang masuk.


F. Prinsip pengobatan dan managemen keperawatan
1. Penurunan dari intususepsi dapat dilakukan dengan suntikan salin, udara atau barium ke dalam kolon. Metode ini tidak sering dikerjakan selama terdapat suatu resiko perforasi, walaupun demikian kecil, dan tidak terdapat jaminan dari penurunan yang berhasil.

2. Reduksi bedah :
a. Perawatan prabedah:
 Rutin
 Tuba naso gastrik
 Koreksi dehidrasi (jika ada)

b. Reduksi intususepsi dengan penglihatan langsung, menjaga usus hangat dengan salin hangat. Ini juga membantu penurunan edema.

c. Plasma intravena harus dapat diperoleh pada kasus kolaps.

d. Jika intususepsi tidak dapat direduksi, maka diperlukan reseksi dan anastomosis primer.


3. Penatalaksanaan pasca bedah:
a. Rutin
b. Perawatan inkubator untuk bayi yang kecil
c. Pemberian oksigen
d. Dilanjutkannya cairan intravena
e. Antibiotika
f. Jika dilanjutkannya suatu ileostomi, drainase penyedotan dikenakan pada tuba ileostomi hingga kelanjutan dari lambung dipulihkan.
g. Observasi fungsi vital

http://askep-askeb-kita.blogspot.com/




ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Pengkajian fisik secara umum
b. Riwayat kesehatan
c. Observasi pola feses dan tingkah laku sebelum dan sesudah operasi
d. Observasi tingkah laku anak/bayi
e. Observasi manifestasi terjadi intususepsi:

 Nyeri abdomen paroksismal
 Anak menjerit dan melipat lutut ke arah dada
 Anak kelihatan normal dan nyaman selama interval diantara episode nyeri
 Muntah
 Letargi
 Feses seperti jeli kismis mengandung darah dan mucus, tes hemocculi positif.
 Feses tidak ada meningkat
 Distensi abdomen dan nyeri tekan
 Massa terpalpasi yang seperti sosis di abdomen
 Anus yang terlihat tidak biasa, dapat tampak seperti prolaps rectal.
 Dehidrasi dan demam sampai kenaikan 410C
 Keadaan seperti syok dengan nadi cepat, pucat dan keringat banyak

f. Observasi manifestasi intususepsi yang kronis
 Diare
 Anoreksia
 Kehilangan berat badan
 Kadang – kadang muntah
 Nyeri yang periodic
 Nyeri tanpa gejala lain

g. Kaji dengan prosedur diagnostik dan tes seperti pemeriksaan foto polos abdomen, barium enema dan ultrasonogram


2. Masalah Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan invaginasi usus.
2. Syok hipolemik berhubungan dengan muntah, perdarahan dan akumulasi cairan dan elektrolit dalam lumen.
3. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, lingkungan yang asing.
4. Inefektif termoregulasi berhubungan dengan proses inflamasi, demam.
5. Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.


3. Perencanaan
a. Preoperasi

1. Diagnosa keperawatan: nyeri berhubungan dengan invaginasi usus.
Tujuan: berkurangnya rasa nyeri sesuai dengan toleransi yang dirasakan anak.

Kriteria Hasil: anak menunjukkan tanda – tanda tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan yang minimum.

Intervensi:
 Observasi perilaku bayi sebagai indikator nyeri, dapat peka rangsang dan sangat sensitif untuk perawatan atau letargi atau tidak responsive.
 Perlakuan bayi dengan sangat lembut.
 Jelaskan penyebab nyeri dan yakinkan orangtua tentang tujuan tes diagnostik dan pengobatan.
 Yakinkan anak bahwa analgesik yang diberikan akan mengurangi rasa nyeri yang dirasakan.
 Jelaskan tentang intususepsi dan reduksi hidrostatik usus yang dapat mengurangi intususepsi.
 Jelaskan resiko terjadinya nyeri yang berulang.
 Kolaborasi: berikan analgesik untuk mengurangi rasa nyeri.


2. Diagnosa keperawatan: syok hipovolemik berhubungan dengan muntah, perdarahan dan akumulasi cairan dan elektrolit dalam lumen.

Tujuan: volume sirkulasi (keseimbangan cairan dan elektrolit) dapat dipertahankan.
Kriteria Hasil: tanda – tanda syok hipovolemik tidak terjadi.

Intervensi:
 Pantau tanda vital, catat adanya hipotensi, takikardi, takipnea, demam.
 Pantau masukan dan haluaran.
 Perhatikan adanya mendengkur atau pernafasan cepat dan dangkal jika berada pada keadaan syok.
 Pantau frekuensi nadi dengan cernat dan ketahui rentang nadi yang tepat untuk usia anak.
 Laporkan adanya takikardi yang mengindikasikan syok.
 Kurangi suhu karena demam meningkatkan metabolisme dan membuat oksigenasi selama anestesi menjadi lebih sulit.
 Kolaborasi:
Lakukan pemeriksaan laboratorium: Hb/Ht, elektrolit, protein, albumin, BUN, kreatinin.
Berikan plasma/darah, cairan, elektrolit, diuretic sesuai indikasi untuk memelihara volume darah sirkulasi.


4. Diagnosa keperawatan: ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, lingkungan yang asing.

Tujuan: rasa cemas pada anak dapat berkurang
Kriteria hasil: anak dapat beristirahat dengan tenang dan melakukan prosedur tanpa cemas.


Intervensi:
 Beri pendidikan kesehatan sebelum dilakukan operasi untuk mengurangi rasa cemas.
 Orientasikan klien dengan lingkungan yang masih asing.
 Pertahankan ada orang yang selalu menemani klien untuk meningkatkan rasa aman.
 Jelaskan alasan dilakukan tindakan pembedahan.
 Jelaskan semua prosedur pembedahan yang akan dilakukan.


b. Post operasi
5. Diagnosa keperawatan: nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan
.
Tujuan: berkurangnya rasa nyeri sesuai dengan toleransi pada anak.
Kriteria Hasil: anak menunjukkan tanda – tanda tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan yang minimum.

Intervensi:
 Hindarkan palpasi area operasi jika tidak diperlukan.
 Masukkan selang rektal jika diindikasikan, untuk membebaskan udara.
 Dorong untuk buang air untuk mencegah distensi vesika urinaria.
 Berikan perawatan mulut untuk memberikan rasa nyaman.
 Lubrikasi lubang hidung untuk mengurangi iritasi.
 Berikan posisi yang nyaman pada anak jika tidak ada kontraindikasi.
 Kolaborasi:
Berikan analgesi untuk mengatasi rasa nyeri.
Berikan antiemetik sesuai pesanan untuk rasa mual dan muntah.
6. Diagnosa keparawatan: inefektif termoregulasi berhubungan dengan proses inflamasi, demam.

Tujuan: termoregulasi tubuh anak normal.
Kriteria Hasil: tidak ada tanda – tanda kenaikan suhu.

Intervensi:
 Gunakan tindakan pendinginan untuk mengurangi demam, sebaiknya 1 jam setelah pemberian antipiretik.
 Meningkatkan sirkulasi udara.
 Mengurangi temperatur lingkungan.
 Menggunakan pakaian yang ringan / tipis.
 Paparkan kulit terhadap udara.
 Gunakan kompres dingin pada kulit.
 Cegah terjadi kedinginan, bila anak menggigil tambahkan pakaian.
 Monitor temperatur.
 Kolaborasi: berikan antipiretik sesuai dengan berat badan bayi.


7. Evaluasi
a. Nyeri pada abdomen dapat berkurang
b. Syok hipovolemik dapat teratasi dengan segera melakukan koreksi terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit.
c. Obstrusi usus dapat teratasi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal.


A. Kesimpulan
Berbagai gangguan yang terdapat pada saluran pencernaan bayi dan anak salah satunya adalah adanya obstruksi pada usus dan hal ini mencakup mekanik maupun paralitik. Sedangkan intususepsi merupakan salah satu bentuk gangguan obstruksi usus yang sifatnya mekanik.

Intususepsi merupakan gangguan saluran pancernaan yang dimanifestasikan dengan terjadinya invaginasi usus ke dalam bagian usus di bawahnya. Masalah yang utama muncul yaitu terjadinya rasa nyeri abdomen yang paroksismal. Serta terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit hingga terjadi syok hipovolemik.


B. Saran
Dalam memberikan perawatan kepada bayi atau anak dengan gangguan saluran pencernaan obstruksi usus mekanik ini yaitu intususepsi harus diperhatikan ancaman yang dapat muncul selain rasa nyeri yaitu resiko terjadinya syok yang dapat menyebabkan kematian. Sehingga tenaga kesehatan harus benar – benar memperhatikan tanda – tanda yang mengarah ke arah syok.





DAFTAR PUSTAKA

Staf Pengajar Ilmu kesehatan masyarakat. Ilmu kesehatan anak. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI, 1985

Pilliteri, Adele. Child health nursing, care of the child and family, Los Angeles California, Lippincott, 1999

Wong, Donna L, Marilyn Hockenberry- Eaton, Wilson- Winkelstein, Wong’s essentials of pediatric nursing, America, Mosby, 2001

Nettina, Sandra M. Pedoman Praktik Keperawatan. Alih bahasa Setiawan,dkk. Jakarta, 2001

Wong, Donna L. Wong and Whaley’s clinical Manual Of Pediatric Nursing. St. Louis Nissori: Mosby, 1996


http://askep-askeb-kita.blogspot.com/
BACA SELENGKAPNYA - Askep dengan Intususepsi

WASIR / AMBEIEN / HEMOROID

"
WASIR / AMBEIEN / HEMOROID
(selanjutnya dapat dilihat di HealthToday edisi Agustus2008 - talk show SONORA 31/3/09)
Wasir/ambeien nama lainnya adalah hemoroid / piles, yaitu pembengkakan dan peradangan dari pembuluh-pembuluh darah balik / vena pada daerah bawah rektum atau sekeliling anus. Merupakan Penyakit yang paling banyak ditemui diantara penyakit anorektal lainnya.
Jika tidak mendapat penanganan maka hemoroid akan semakin bertambah parah, jarang yang mengalami perbaikan dengan sendirinya karena biasanya kelainan ini melibatkan secara luas pembuluh darah, jaringan lunak dan otot-otot anus .

Hemoroid terbagi atas 4 derajat
Derajat 1 : Disertai dengan perdarahan pada saat BAB (buang air besar)
Derajat 2 : Derajat 1 yang disertai dengan timbulnya benjolan yang keluar pada saat BAB (buang air besar). Benjolan akan masuk sendiri usai BAB.
Derajat 3 : Derajat 1 disertai dengan benjolan yang tambah membengkak dan membesar. Benjolan dapat masuk kedalam anus dengan didorong oleh jari.
Derajat 4 : Benjolan tambah membesar dan tidak dapat masuk kembali ke dalam anus.


Nama lain wasir = ambeien, hemoroid, piles
Hemoroid berasal dari kata Yunani , haemorrhoides yang berarti darah yang mengalir (haem = blood, rhoos = flowing).
Istilah piles berasal dari kata latin, pila yang berarti pil atau bola.
Jadi memang tepat kedua istilah tersebut, karena selain ada perdarahan, penyakit ini ditandai dengan adanya / keluarnya benjolan .
Di Indonesia disebut wasir, sedangkan ambeien berasal dari kata Belanda ‘ambeijen’ ( diambil dari kata buah arbij).

Hemoroid juga sering pada wanita hamil biasanya sifatnya temporer / sementara.
Penyebab wasir selalu dihubungkan dengan dua hal yaitu ketidakcukupan diet tinggi serat dalam menu sehari-hari dan kebiasaan mengejan saat BAB.


Pada saat BAB, terjadi gesekan dan prolaps dari bantalan anus. Seiring dengan keluarnya kotoran, maka bantalan anus yang menempel secara longgar pada lapisan otot anus akan mengalami rotasi dan kembali kepada posisi semula. Pada hemoroid, bantalan anus tidak mengalami rotasi sempurna sehingga sering terperangkap (terjepit dan terbendung) oleh sfingter anus. Jepitan dan bendungan ini yang mengakibatkan timbulnya benjolan. Hal-hal yang menyebabkan rotasi tidak sempurna dari bantalan anus adalah usia, konstipasi serta proses mengejan lama.
Selain itu hemoroid dapat juga terjadi akibat sumbatan pembuluh darah balik /vena pada bantalan anus akibat dorongan masa kotoran yang keras. Proses mengejan yang lama juga dapat mengakibatkan kenaikan tekanan dalam perut dan berakibat penekanan pada vena-vena otot anus.

Diet tinggi serat akan menyebabkan turunnya insiden hemoroid.
Biasakan minum 8 gelas / hari, banyak mengkonsumsi makanan tinggi serat dan selain itu yang tidak kalah penting adalah jangan terlalu lama duduk / jongkok di toilet.
Kebiasaan defekasi / BAB sangat berpengaruh, tidak adanya pengaturan dalam hal waktu dan tempat defekasi serta tidak merasa terobsesi untuk defekasi secara regular misalnya dengan membaca koran/majalah atau rokok, dapat menurunkan insiden hemoroid.

Pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosa hemoroid adalah pemeriksaan colok dubur, selain anamnesa dan pemeriksaan fisik. Melalui pemeriksaan colok dubur teraba pembesaran benjolan di dalam dan disekitar anus. Jika terjadi nyeri hebat dan adanya trombus perianal tidak diperkenankan untuk dilakukan colok dubur.
Selain itu bisa juga dengan anuskopi benjolan dapat terlihat lebih jelas atau proktoskop dapat melihat keseluruhan rektum dengan baik. Pada kasus yang mencurigakan adanya penyakit saluran cerna lainnya, Dokter akan menganjurkan pemeriksaan sigmoidoskopi atau kolonoskopi.

Dari seluruh tindakan pengobatan hemoroid, pencegahan - non operatif/medikamentosa – operatif, maka yang paling terbaik adalah tindakan pencegahan.
Yang dapat dilakukan adalah :
a) BAB usahakan teratur sehari sekali
b) Usahakan kotoran tidak keras sehingga pada saat BAB tidak perlu mengejan.
Hindari penggunaan pencahar.
c) Jangan terlalu lama duduk di kloset
d) Banyak minum minimal 1.5 – 2 liter air putih / sehari.
e). Hindari makanan yang dapat menyebabkan iritasi lokal (makanan pedas, alcohol) atau merangsang pencernaan (kopi, teh)
f. Makanan yang seimbang, kaya serat, sayur dan buah-buahan sehingga dapat menghindari konstipasi / sembelit kronis.
g) Olah raga yang teratur seperti senam, berjalan atau berenang. Hindari olah raga seperti berkuda atau bersepeda.
h). Hindari mengangkat beban yang berat
.

Penanganan hemoroid ditentukan berdasarkan derajat nya.

Medikamentosa / obat-obatan
Dilakukan pada hemoroid derajat 1 dan 2. meliputi :
a) warm tub baths / rendam pantat beberapa kali dalam sehari, sekitar 10 menit dengan cairan PK untuk menghilangkan / mengurangi keluhan gatal, nyeri dan perdarahan
b) pemberian obat-obatan seperti :
- pelunak kotoran / stool softener untuk memperbaiki pola BAB.
- suplemen yang mengandung banyak serat untuk memperbaiki pola BAB
- Obat-obatan yang di oleskan / topikal untuk hemoroid yang mengandung anestesi lokal atau steroid dapat juga dipakai atau sediaan supositoria (obat yang dimasukkan kedalam anus) untuk menghilangkan nyeri.
- obat-obatan untuk menghilangkan perdarahan

Tindakan / Operasi
Dilakukan pada hemoroid derajat tiga dan empat.
Pengobatan secara pembedahan / operatif dapat juga diindikasikan pada kasus hemoroid dimana telah dilakukan pengobatan secara konservatif / non operatif tapi tidak menampakkan keberhasilan bahkan menimbulkan serangkaian gejala a.l rasa terbakar pada anus, gatal, pembengkakan, benjolan bertambah besar, bengkak dan keluar anus serta perdarahan yang semakin berat.

Tindakan pembedahan juga dilakukan pada kasus hemoroid eksterna yang mengalami kegagalan dengan pengobatan non operatif, kegagalan artinya gejala klinis menetap bahkan bertambah parah.

Bagaimana dengan penggunaan obat-obatan tradisional ?
Prinsipnya pada pengobatan hemoroid diperlukan obat-obatan yang dapat melunakkan kotoran , memberikan efek relaksasi pada otot dubur sehingga tidak menimbulkan rasa sakit pada saat BAB, memberikan efek pengempesan pembuluh darah balik / vena pada anus sehingga mengurangi spasme selain juga dapat mengurangi nyeri.
Jika kandungan obat tradisional sudah memenuhi kriteria diatas dan tentu saja telah melewati pelbagai uji klinik (bukan hanya sekedar testimonial saja) maka tentu saja obat tersebut dapat aman untuk dikonsumsi.
Blog ini khusus buat mereka-mereka yang dalam waktu dekat ini berurusan dengan dokter bedah, akan menjalani pembedahan, mempunyai kerabat/saudara yang mau menjalani pembedahan atau buat mereka yang pengen tauk soal bedah .... juga buat pemerhati Ilmu Bedah ... mangkanya ditunggu dong komentarnya ....
"
BACA SELENGKAPNYA - WASIR / AMBEIEN / HEMOROID

LAPAROSKOPIK APPENDEKTOMI

"LAPAROSKOPIK APPENDEKTOMI
(dikumpulkan dari 'talk show radio SONORA 29/7/08)
Laparoskopik apendektomi adalah operasi pengangkatan usus buntu (apendektomi) yang dilakukan dengan tehnik bedah laparoskopi.

Laparoskopi adalah bagian dari tehnik endoskopi, berasal dari kata lapar yang berarti abdomen dan oskopi yang artinya melihat melalui skope. Laparoskopi memang khusus untuk melihat rongga perut atau rongga di luar usus melalui pencitraan pada monitor video menggunakan teleskop dan sistem endokamera. Bedah laparoskopi berbeda dengan bedah konvensional karena laparoskopi hanya membutuhkan akses minimal ke tubuh pasien. Pada bedah konvensional, sayatan di perut bisa sepanjang belasan sentimeter. Sementara, pada bedah laparoskopi, akses yang dibutuhkan hanya 2 milimeter sampai 10 milimeter
Dengan bedah laparoskopi apendektomi, hanya dibutuhkan tiga lubang kecil untuk memasukkan alat. Lantaran akses yang dibutuhkan kecil, tindakan penjahitan tak dibutuhkan lagi. Lubang kecil yang dihasilkan cukup ditutup dengan plester pembalut (band aid) khusus. Setelah luka tersebut kering pun, tak akan ada bekas luka parut memanjang yang kadang menakutkan.
Tehnik operasi ini tanpa melihat dan menyentuh langsung organ yang di operasi. Bedah laparoskopi menggunakan minimal tiga lubang sebagai akses. Lubang pertama dibuat di bawah pusar. Fungsinya untuk memasukkan kamera super mini, yang terhubung ke monitor, ke dalam tubuh. Lewat lubang itu pula, sumber cahaya dimasukkan. Sementara, dua lubang lain diposisikan sebagai jalan masuk peralatan bedah seperti penjepit atau gunting.
Melalui kamera yang dimasukkan ke dalam rongga perut, memungkinkan dokter bedah untuk melihat keadaan dalam perut dengan melalui sayatan yang sekecil-kecilnya.
Pada operasi perut seringkali dokter bedah, memerlukan sayatan yang cukup lebar untuk mendiagnosa penyakit, maka dengan bedah laparoskopik hal tersebut dapat diatasi – dengan sayatan kecil kita dapat melihat seluruh rongga perut.
Sebelum operasi dimulai, perut akan dipompa dengan gas CO2 agar menggembung dan peralatan bedah dapat leluasa bekerja di dalam tubuh. Setelah itu, trocart, pipa berdiameter 2 milimeter sampai 10 milimeter, dimasukkan. Trocart mempunyai katup yang berfungsi menutup rapat perut agar CO2 tak keluar kembali dan perut tetap menggelembung. Melalui lubang trocart itulah, peralatan bedah masuk ke tubuh.

BANYAK keuntungan yang bisa diperoleh pasien bila menjalani operasi laparoskopi. Salah satunya adalah luka sayatannya kecil. Ini membuat orang tak perlu lagi merasa ketakutan menjalani operasi karena gambaran sayatan yang panjang. Luka sayatan yang kecil juga meminimkan kerusakan jaringan sehingga waktu penyembuhannya relatif lebih cepat dibandingkan tehnik bedah konvensional. Keuntungan lain, rasa sakit paskaoperasi juga lebih ringan. Jangka waktu yang diperlukan untuk mengkonsumsi obat analgetik dan obat antibiotik intra vena lebih singkat. Gangguan pergerakan atau kelumpuhan usus sementara yang biasa menyertai bedah konvensional juga lenyap. Pada bedah laparoskopi, hal tersebut tak berlaku karena tangan dokter tak menyentuh usus. Selain itu teknik laparoskopi juga nyaris tidak meninggalkan bekas operasi. Ini tentu sangat bermanfaat bagi kaum wanita mengingat keindahan tubuh acap menjadi pertimbangan yang utama.

Karena banyak menawarkan kenyamanan untuk pasien juga untuk dokter bedahnya maka tindakan laparoskopik ini sering disebut sebagai tindakan operasi yang amat ”bersahabat” .
Dokter bedah yang melakukan tehnik ini beserta seluruh tim yang tergabung dalam kamar operasi tentunya harus kompeten. Perlu adaptasi spesifik antara mata dan gerakan tangan, perlu kepekaan karena ”tactile control” hilang.

Karena memerlukan alat-alat yang khusus dan seringkali hanya satu kali pakai, maka biaya untuk pelaksanaan laparoskopik sedikit lebih besar dibandingkan tehnik yang biasa.
Meskipun demikian, biaya yang besar ini sebenarnya akan tertutup oleh berbagai kenyamanan yang ditawarkan oleh tehnik bedah laparoskopik, misalnya lama rawat inap yang singkat, nyeri setelah operasi yang minimal, luka sayatan operasi yang minimal sehingga komplikasi juga jauh lebih minim – selain itu tidak banyak manipulasi usus yang dilakukan, seperti halnya pada tehnik konvensional.

Pada kasus apendisitis / radang usus buntu pada pasien wanita yang juga mengalami keluhan pada organ reproduksi, tindakan laparoskopik amat sangat membantu dalam menegakkan diagnosa.
Pasien gemuk dengan dinding perut yang tebal, operasi akan menjadi lebih mudah jika dilakukan dengan laparoskopik.

Pada keadaan yang menyulitkan, maka tindakan bedah laparoskopik dapat di konversi ke tindakan konvensional.
Konversi adalah tindakan mengubah prosedur bedah laparoskopik ke bedah konvensional untuk mencapai hasil operasi lebih baik.


Tidak semua kasus pembedahan dapat dilakukan dengan bedah laparoskopi. Misalnya saja pada kasus appendisitis, bedah laparoskopi tidak dapat dilakukan pada kasus peritonitis, atau apendisitis perforata, dimana usus buntu sudah pecah dengan nanah / abses yang sudah tersebar ke seluruh rongga perut.
Pada kasus dimana usus buntu melekat masif pada usus-usus sekitarnya juga agak sulit jika dilakukan bedah laparoskopik.

Secara umum, pada pasien yang sebelumnya telah dilakukan operasi pada perut, tidak diperkenankan untuk dilakukan bedah laparoskopik karena dikhawatirkan telah terjadi perlekatan sehingga akan menimbulkan kesulitan saat alat laparoskopik masuk kedalam rongga perut.
Pada kasus apendisitis / radang usus buntu, pasien wanita yang juga mengalami keluhan pada organ reproduksi, tindakan laparoskopik amat sangat membantu dalam menegakkan diagnosa.
Pasien gemuk dengan dinding perut yang tebal, operasi akan menjadi lebih mudah jika dilakukan dengan laparoskopik.

Saat ini tehnik bedah laparoskopi banyak menawarkan kenyamanan pada para pasien dan akan menjadi tehnik pembedahan baru yang menandakan semakin meningkatnya ilmu kedokteran.
Blog ini khusus buat mereka-mereka yang dalam waktu dekat ini berurusan dengan dokter bedah, akan menjalani pembedahan, mempunyai kerabat/saudara yang mau menjalani pembedahan atau buat mereka yang pengen tauk soal bedah .... juga buat pemerhati Ilmu Bedah ... mangkanya ditunggu dong komentarnya ....
"
BACA SELENGKAPNYA - LAPAROSKOPIK APPENDEKTOMI

HEMOROID / WASIR

HEMOROID / WASIR
(talk show sonora 31/3/09)
Hemoroid / piles / wasir adalah pembengkakan dan peradangan dari pembuluh-pembuluh darah balik / vena pada daerah bawah rektum atau sekeliling anus.
Penyakit yang paling banyak ditemui diantara penyakit anorektal lainnya. Melalui pemeriksaan fisik rutin, dilaporkan 2/3 dari orang yang hidup sehat menderita hemoroid. . Hemoroid tidak berbahaya dan tidak mengancam jiwa. Pada banyak kasus gejala hemoroid selalu berulang dan jarang yang mengalami perbaikan bahkan selalu berakhir dengan keadaan yang terus memburuk. Karena biasanya kelainan ini melibatkan secara luas pembuluh darah, jaringan lunak dan otot-otot anus .
Hemoroid dapat terjadi pada laki-laki dan wanita. Setengah dari populasi memiliki hemoroid diatas usia 50 tahun. Hemoroid juga sering pada wanita hamil. Penekanan oleh bayi dalam perut dan perubahan hormonal selama kehamilan akan menyebabkan pembuluh darah hemoroid menjadi membesar. Pembuluh darah yang membesar itu akan mengalami penekanan yang besar pada saat bayi lahir sehingga problem hemoroid biasanya sifatnya temporer / sementara pada wanita hamil.

Hemoroid Internal terdapat di sebelah dalam anus kadang-kadang dapat keluar anus jika BAB. Perdarahan sering terjadi..

Hemoroid Eksternal . Benjolan tampak dari luar. Benjolan dilapisi oleh kulit yang tampak menggelembung dan berwarna kebiruan. Biasanya tanpa disertai gejala. Jika terjadi peradangan benjolan tsb akan kemerahan dan terasa nyeri bila ditekan.

Kadang-kadang hemoroid interna keluar melalui anus saat BAB dan tidak dapat masuk kembali keadaan ini disebut prolapsed internal hemorrhoid. Sangat nyeri.

Hemoroid eksterna yang disertai dengan bekuan darah didalamnya akan menyebabkan rasa nyeri yang hebat. Keadaan ini disebut thrombosed external hemorrhoid . Teraba keras, nyeri pada daerah anus.

Anal fissure. Robekan pada jaringan anus dan menyebabkan gatal, nyeri dan perdarahan pada saat BAB.

Penyebab wasir selalu dihubungkan dengan dua hal yaitu ketidakcukupan diet tinggi serat dalam menu sehari-hari dan kebiasaan mengejan saat BAB. Pada saat BAB, terjadi gesekan dan prolaps dari bantalan anus. Seiring dengan keluarnya kotoran, maka bantalan anus yang menempel secara longgar pada lapisan otot anus akan mengalami rotasi dan kembali kepada posisi semula.
Pada hemoroid, bantalan anus tidak mengalami rotasi sempurna sehingga sering terperangkap (terjepit dan terbendung) oleh sfingter anus. Jepitan dan bendungan ini yang mengakibatkan timbulnya benjolan.
Hal-hal yang menyebabkan rotasi tidak sempurna dari bantalan anus adalah usia, konstipasi serta proses mengejan lama. Selain itu hemoroid dapat juga terjadi akibat sumbatan pembuluh darah balik /vena pada bantalan anus akibat dorongan masa kotoran yang keras. Proses mengejan yang lama juga dapat mengakibatkan kenaikan tekanan dalam perut dan berakibat penekanan pada vena-vena otot anus.
Biasakan minum 8 gelas / hari, banyak mengkonsumsi makanan tinggi serat dan selain itu yang tidak kalah penting adalah jangan terlalu lama duduk / jongkok di toilet. Kebiasaan defekasi / BAB sangat berpengaruh, tidak adanya pengaturan dalam hal waktu dan tempat defekasi serta tidak merasa terobsesi untuk defekasi secara regular misalnya dengan membaca koran/majalah atau rokok, dapat menurunkan insiden hemoroid
Hemoroid terbagi atas 4 derajat tergantung dari tingkat keparahan dan untuk menentukan tindakan operasi yang dilakukan.
Derajat I = perdarahan (+), benjolan tdk keluar anus
Derajat II = benjolan keluar dan akan masuk sendiri setelah BAB
Derajat III = benjolan keluar dan harus didorong oleh tangan untuk masuk kedalam anus
Derajat IV = benjolan tidak dapat dimasukkan kembali / strangulated atau thrombosed.
GEJALA HEMOROID :
Problem anorektal seperti fisura, abses, iritasi (gatal pada anus) jika tidak ditangani dengan baik dapat mengakibatkan hemoroid. Gejala yang umum adalah perdarahan merah terang pada kotoran, pada kertas pembersih toilet, atau menempel pada kloset duduk. Gatal, nyeri dan pembengkakan dari benjolan yang keluar dan bisa / tidak dapat masuk kembali.
Perdarahan dapat terjadi pada penyakit saluran cerna lainnya seperti kanker kolorektal.
Pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosa hemoroid adalah pemeriksaan colok dubur, selain anamnesa dan pemeriksaan fisik. Melalui pemeriksaan colok dubur teraba pembesaran benjolan di dalam dan disekitar anus. Jika terjadi nyeri hebat dan adanya trombus perianal tidak diperkenankan untuk dilakukan colok dubur. Selain itu bisa juga dengan anuskopi benjolan dapat terlihat lebih jelas atau proktoskop dapat melihat keseluruhan rektum dengan baik. Pada kasus yang mencurigakan adanya penyakit saluran cerna lainnya, Dokter akan menganjurkan pemeriksaan sigmoidoskopi atau kolonoskopi.
PENGOBATAN
1. Non Operatif
a) warm tub baths / rendam pantat beberapa kali dalam sehari, sekitar 10 menit dengan cairan PK untuk menghilangkan / mengurangi keluhan gatal, nyeri dan perdarahan b) pemberian obat-obatan seperti : - pelunak kotoran / stool softener untuk memperbaiki pola BAB. (pemakaian lama-lama dikurangi dan fungsinya digantikan oleh diet tinggi serat, banyak sayur buah dan minum) - suplemen yang mengandung banyak serat untuk memperbaiki pola BAB - Obat-obatan yang di oleskan / topikal untuk hemoroid yang mengandung anestesi lokal atau steroid dapat juga dipakai atau sediaan supositoria (obat yang dimasukkan kedalam anus) untuk menghilangkan nyeri. - obat-obatan untuk menghilangkan perdarahan
Memperbaiki kebiasaan BAB a) BAB usahakan teratur sehari sekali b) Kotoran tidak keras sehingga pada saat BAB tidak perlu mengejan c) Jangan terlalu lama duduk / jongkok di kloset d) banyak minum minimal 8 gelas / hari (di luar minum the, kopi, jus atau diluar makan-makanan yang berkuah) , diet tinggi serat - banyak sayur dan buah d) banyak olah raga termasuk jalan.
2. OPERATIF
Tindakan / Operasi Dilakukan pada hemoroid derajat tiga dan empat. Pengobatan secara pembedahan / operatif dapat juga diindikasikan pada kasus hemoroid dimana telah dilakukan pengobatan secara konservatif / non operatif tapi tidak menampakkan keberhasilan / kegagalan. Kegagalan artinya gejala klinis menetap bahkan bertambah parah.
Dari seluruh tindakan pengobatan hemoroid, pencegahan - non operatif/medikamentosa – operatif, maka yang paling terbaik adalah tindakan pencegahan.
PENCEGAHAN yang dapat dilakukan adalah : a) BAB usahakan teratur sehari sekali b) Usahakan kotoran tidak keras sehingga pada saat BAB tidak perlu mengejan. Hindari penggunaan pencahar. c) Jangan terlalu lama duduk di kloset d) Banyak minum minimal 1.5 – 2 liter air putih / sehari. e). Hindari makanan yang dapat menyebabkan iritasi lokal (makanan pedas, alkohol) atau merangsang pencernaan (kopi, teh) f. Makanan yang seimbang, kaya serat, sayur dan buah-buahan sehingga dapat menghindari konstipasi / sembelit kronis. g) Olah raga yang teratur seperti senam, berjalan atau berenang. Hindari olah raga seperti berkuda atau bersepeda. h). Hindari mengangkat beban yang berat.
Blog ini khusus buat mereka-mereka yang dalam waktu dekat ini berurusan dengan dokter bedah, akan menjalani pembedahan, mempunyai kerabat/saudara yang mau menjalani pembedahan atau buat mereka yang pengen tauk soal bedah .... juga buat pemerhati Ilmu Bedah ... mangkanya ditunggu dong komentarnya ....
"
BACA SELENGKAPNYA - HEMOROID / WASIR

08 May 2011

PERDARAHAN GASTROINTESTINAL: Hematemisis dan Melena Karena Pecahnya Varises Esopagus

Hematemisis adalah muntah darah. Sedangkan melena adalah pengeluaran feses yang berwarna hitam seperti ter yang disebabkan oleh adanya perdarahan saluran cerna bagian atas (Tondobala, 1987 dalam Suparman, 1993).

Warna darah, tergantung:

  • Lamanya hubungan antara atau kontak antara darah dengan asam lambung
  • Besar kecilnya perdarahan,

Sehingga dapat berwarna seperti kopi, kemerah-merahan dan bergumpal-gumpal.

Hematemisis

Melena

§ Terjadi bila perdarahan dibagian proksimal jejunum (Tondobala, 1987) atau di atas ligamen Treitz /pada jungsi denojejunal (Hudak & Gallo, 1996)

§ Dapat terjadi tersendiri atau bersama-sama dengan hematemisis.

§ Paling sedikit terjadi perdarahan sebanyak 50-100 mL, baru dijumpai keadaan melena.

PENYEBAB PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS

  • Kelainan esophagus: varises, esophagitis, keganasan
  • Kelainan lambung dan duodenum: tukak lambung & duodenum, keganasan, dll
  • Penyakit darah: leukemia, DIC, purpura trombositopenia, dll.
  • Penyakit sistemik lainnya: uremia, dll
  • Pemakaian obat yang ulserogenik: golongan salisilat, kortikosteroid, alkohol, dll

Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas terbanyak di Indonesia adalah karena pecahnya varises esophagus, dengan rata-rata 45-50% seluruh perdarahan saluran cerna bagian atas (Hilmy, 1971: 58%; Soemomarto, 1981: 60%; Abdurrahman: 50%; Hernomo, 1981: 44,8%; dan Ali: 57,43% seperti dikutip Tondobala, 1987 dalam Suparman, 1993)

PATOFISIOLOGI

Pada gagal hepar sirosis kronis, kematian sel dalam hepar mengakibatkan peningkatan tekanan vena porta. Sebagai akibatnya terbentuk saluran kolateral dalam submukosa esopagus dan rektum serta pada dinding abdomen anterior untuk mengalihkan darah dari sirkulasi splenik menjauhi hepar. Dengan meningkatnya teklanan dalam vena ini, maka vena tsb menjadi mengembang dan membesar (dilatasi) oleh darah (disebut varises). Varises dapat pecah, mengakibatkan perdarahan gastrointestinal masif. Selanjutnya dapat mengakibatkan kehilangan darah tiba-tiba, penurunan arus balik vena ke jantung, dan penurunan curah jantung. Jika perdarahan menjadi berlebihan, maka akan mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Dalam berespon terhadap penurunan curah jantung, tubuh melakukan mekanisme kompensasi untuk mencoba mempertahankan perfusi. Mekanisme ini merangsang tanda-tanda dan gejala-gejala utama yang terlihat pada saat pengkajian awal. Jika volume darah tidak digantikan , penurunan perfusi jaringan mengakibatkan disfungsi seluler. Sel-sel akan berubah menjadi metabolsime anaerobi, dan terbentuk asam laktat. Penurunan aliran darah akan memberikan efek pada seluruh sistem tubuh, dan tanpa suplai oksigen yang mencukupi sistem tersebut akan mengalami kegagalan.

PENATALAKSANAAN

  1. Penatalaksanaan kolaboratif

Intervensi awal mencakup 4 langkah: (a) kaji keparahan perdarahan, (b) gantikan cairan dan produk darah untuk mnengatasi shock, (c) tegakan diagnosa penyebab perdarahan dan (d) rencanakan danlaksanakan perawatan definitif.

a. Resusitasi Cairan dan Produk Darah:

§ Pasang akses intravena dengan kanul berdiameter besar

§ Lakukan penggantian cairan intravena: RL atau Normal saline

§ Kaji terus tanda-tanda vital saat cairan diganti

§ Jika kehilangan cairan > 1500 ml membutuhkan penggantian darah selain cairan. Untuk itu periksa gol darah dan cross-match

§ Kadang digunakan obat vasoaktif sampai cairan seimbang untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi orghan vital, seperti: dopamin, epineprin dan norefineprin untuk menstabilkan pasien sampai dilakukan perawatan definitif.

b. Mendiagnosa Penyebab Perdarahan

§ Dilakukan dengan endoskopi pleksibel

§ Pemasangan selang nasogastrik utuk mengkaji tingkat perdarahan (tetapi kontroversial)

§ Pemeriksaan barium (double contrast untuk lambung dan duodenum.

§ Pemeriksaan tsb dilakukan pada berbagai posisi terutama pada 1/3 distal esopagus, kardia dan fundus lambung untuk mencari ada tidaknya varises, sedini mungkin setelah hematemisis berhenti.

§ Angiografi (jika tidak terkaji dengan endoskofi)

c. Perawatan Definitif

(1) Terapi Endoskofi

§ Skleroterapi, menggunakan pensklerosis: natrium morrhuate atau natrium tetradesil sulfat. Agen ini melukai endotel menyebabkan nekrosis dan akhirnya mengakibatkan sklerosis pembuluh yang berdarah.

§ Endoskopi tamponade termal mencakup probe pemanas, fotokoagulasi laser dan elektrokoagulasi.

(2) Bilas Lambung

§ Dilakukan selama periode perdarahan akut (kontroversial, karena mengganggu mekanisme pembekuan normal. Sebagian lain meyakini lambung dapat membantu membersihkan darah dalam lambung, membantu mendiagnosis penyebab perdarahan selama endoskofi)

§ Jika dinstruksikan bilas lambung maka 1000-2000 ml air atau normal salin steril dalam suhu kamar dimasukan dengan menggunakan NGT. Kemudian dikeluarkan kembali dengan spuit atau dipasang suction sampai sekresi lambung jernih.

§ Bilas lambung pakai es tidak dianjurkan à mengakibatkan perdarahan

§ Irigasi lambung dengan cairan normal saline levarterenol agar menimbulkan vasokontriksi. Setelah diabsorbsi lambung obat dikirim melalui sistem vena porta ke hepar dimana metabolisme terjadi, sehingga reaksi sistemik dapat dicegah. Pengenceran biasanya menggunakan 2 ampul dalam 1000 ml larutan.

§ Pasien berresiko mengalami apsirasi lambung karena pemasangan NGT dan peningkatan tekanan intragastrik karena darah atau cairan yang digunakan untuk membilas. Pemantauan distensi lambung dan membaringkan pasien dengan kepala ditinggikan penting untuk mencegah refluk isi lambung. Bila posisi tsb kontraindikasi, maka diganti posisi dekubitus lateral kanan—memudahkan mengalirnya isi lambung melewati pilorus.

(3) Pemberian Pitresin

§ Dilakukan bila dengan bilas lambung atau skleroterapi tidak menolong, maka diberikan vasopresin (Pitresin) intravena.

§ Obat ini menurunkan tekanan vena porta dan oleh karenanya menurunkan aliran darah pada tempat perdarahan

§ Dosis 0,2-0,6 unit permenit. Karena vasokontsriktor maka harus diinfuskan melalui aliran pusat.

§ Hati-hati karena dapat terjadi hipersensitif

§ Mempengaruhi output urine karena sifat antidiuretiknya.

(4) Mengurangi Asam Lambung

§ Turunkan keasaman sekresi lambung, dengan obat histamin (H2) antagonistik, contoh: simetidin (tagamet), ranitidin hidrokloride (zantac) dan famotidin (pepcid)

§ Dosis tunggal dapat menurunkan sekresi asam selama hampir 5 jam.

§ Ranitidin iv: 50 mg dicairkan 50 ml D5W setiap 6 jam. Simetidin iv: 300 mg dicairkan dalam dosis intermiten 300 mg dicairkan dalam 50 mg D5W setiap 6 jam atau sebagai infus intravena kontinu 50 mg/jam. Hasil terbaik dicapai jika pH lambung 4 dapat dipertahankan.

§ Antasid juga biasanya diberikan

(5) Memperbaiki Status Hipokoagulasi

§ Pemberian vitamin K dalam bentuk fitonadion (aquaMephyton) 10 mg im atau iv dengan lambat untuk mengembalikan masa protrombin menjadi normal.

§ Dapat pula diberikan plasma segar beku.

(6) Balon Tamponade

Terdapat bermacam balon tamponade antara lain Tube Sangstaken-Blakemore, Minnesota, atau Linton-Nachlas. Alat ini untuk mengontrol perdaraghan GI bagian atas karena varises esophagus.

Tube Sangstaken-Blakemore mengandung 3 lumen: (1) balon gastrik yang dapat diinflasikan dengan 100-200 mL udara, (2) balon esopagus yang dapat diinflasikan dengan 40 mm Hg (menggunakan spigmomanometer) dan lumen yang ke (3) untuk mengaspirasi isi lambung.

Tube Minnesota, mempunyai lumen tambahan dan mempunyai lubang untuk menghisap sekresi paring. Sedangkan tube Linton-Nachlas terdiri hanya satu balon gaster yang dapat diinflasikan dengan 500-600 mL udara. Terdapat beberapa lubang/bagian yang terbuka baik pada bagian esophagus maupun lambung untuk mengaspirasi sekresi dan darah.

§ Tube/slenag Sangstaken-Blakemore setelah dipasang didalam lambung dikembangkan dengan udara tidak lebih dari 50 ml

§ Kemudian selang ditarik perlahan sampai balon lambung pas terkait pada kardia lambung.

§ Setelah dipastikan letaknya tepat (menggunakan pemeriksaan radiografi), balon lambung dpat dikembangkan dengan 100-200 mL udara.

§ Kemudian selang dibagian luar ditraksi dan difiksasi.

§ Jika perdarahan berlanjut balon esopagus dapat dikembangkan dengan tekanan 250 40 mm Hg (menggunakan spigmomanometer) dan dipertahankan dalam 24-48 jam. Jika lebih lama depat menyebabkan edema, esopagitis, ulserasi atau perforasi esopagus.

§ Hal yang penting dilakukan saat menggunakan balon ini adalah observasi konstan dan perawatan cermat, dengan mengidentifikasi ketiga ostium selang, diberi label dengan tepat dan diperiksa kepatenannya sebelum dipasang.

(7) Asuhan Keperawatan

§ Pasien dipertahankan istirahat sempurna, karena gerakan seperti batuk, mengejanà meningkatkan tekanan intra abdomen (tib) shg dapat terjadi perdarahan lenjut.

§ Bagian kepala tempat tidur tetap ditinggikan untuk mengurangi aliran darah ke sistem porta dan mencegah refluk ke dalam esopagus.

§ Karena pasien tdk dapat menelan saliva harus sering di suction dari esopagus bagian atas

§ Nasoparing harus sering sisuction karena peningkatan sekresi akiat iritasi oleh selang

§ NGT harus diirigasi setiap 2 jam untuk memastikan kepatenannya dan menjaga agar lambung tetap kosong.

§ Lubang hidung harus sering diperiksa, dibersihkan dan diberi pelumas untuk mencegah area penekanan yang disebabkan selang.

§ Jangan membiarkan darah berada dalam lambung karena akan masuk ke intestin dan bereaksi dengan bakteri menghasilkan amonia, yang akan diserap ke dalam aliran darah. Sementara kemapuan hepar untuk merubah amonia menjadi urea rusak, dan dapat terjadi intoksikasi amonia.

(8) Terapi Pembedahan

§ Reseksi lambung (antrektomi)

§ Gastrektomi

§ Gastroentrostomi

§ Vagotomi

Billroth I : prosedur yang mencakup vagotomi dan antrektomi dengan

anastomosis lambung pada duodenum.

Billroth II : meliputi vagotomi, reseksi antrum dan anastomosis lambung pada jejunum

§ Operasi dekompresi hiertensi porta

  1. Penatalaksanaan keperawatan

2.1. Pengkajian

a. Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium

Anamnesis: perlu ditanyakan tentang:

§ Riwayat penyakit dahulku: hepatitis, penyakit hati menahun, alkohlisme, penyakit lambung, pemakaian obat-obat ulserogenikdan penyakit darah seperti leuikemia, dll.

§ Pada perdarahan karena pecahnya varises esophgaus, tidak ditemukan keluhan nyeri atau pedih di daerah epigastrium

§ Tanda-gejala hemel timbul mendadak

§ Tanyakan prakiraan jumlah darah: misalnya satu gelas, dua gelas atau lainnya.

Pemeriksaan Fisik:

§ Keadaan umum

§ Kesadaran

§ Nadi, tekanan darah

§ Tanda-tanda anemia

§ Gejala hipovolemia

§ Tanda-tanda hipertensi portal dan sirosis hati: spider nevi, ginekomasti, eritema palmaris, capit medusae, adanya kolateral, asites, hepatosplenomegali dan edema tungkai.

Laboratorium:

§ Hitung darah lengkap: penurunan Hb, Ht, peningkatan leukosit

§ Elektrolit: penurunan kalium serum; peningkatan natrium, glukosa serum dan laktat.

§ Profil hematologi: perpanjangan masa protrombin, tromboplastin

§ Gas darah arteri: alkalosis respiratori, hipoksemia.

b. Pemeriksaan Radiologis

§ Dilakukan dengan pemeriksaan esopagogram untuk daerah esopagus dan double contrast untuk lambung dan duodenum.

§ Pemeriksaan tsb dilakukan pada berbagai posisi terutama pada 1/3 distal esopagus, kardia dan fundus lambung untuk mencari ada tidaknya varises, sedini mungkin setelah hematemisis berhenti.

c. Pemeriksaan Endoskopi

§ Untuk menentukan asal dan sumber perdarahan

§ Keuntungan lain: dapat diambil foto, aspirasi cairan dan biopsi untuk pemeriksaan sitopatologik

§ Dilakukan sedini mungkin setelah hematemisis berhenti.

2.1. Diagnosa Keperawatan

1) Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah akut, penggantian cepat volume dengan cairan kristaloid.

2) Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan kapasitas angkut oksigen dan faktor-faktor resiko aspirasi.

3) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan aliran intravena

4) Ansietas berhubungan dengan sakit kritis, ketakutan akan kematian ataupun

kerusakan bentuk tubuh, perubahan peran dalam lingkup sosial atau

ketidakmampuan yang permanen.

2.2. Intervensi Keperawatan

Diagnosa keperawatan

Tujuan

Intervensi keperawtan

Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah akut, penggantian cepat volume dengan cairan kristaloid.

Pasien akan tetap stabil secara hemodinamik

§ Pantau vs setiap jam

§ Pantau nilai-nilai hemodinamik

§ Ukur output urine tiap jam

§ Ukur I dan O dan kaji keseimbangan

§ Berikan cairan pengganti dan produk darah sesuai instruksi. Pantau adanya reaksi yang merugikan terhadap komponen terapi.

§ Tirang baring total, baringkan pasien terlentang dg kaki ditinggikan untuk meningkatkan preload jika pasien mengalami hipotensi. Jika terjadi normotensi tempatkan tinggi bagian kepala tempat tidur pada 45 derajat untuk mencegah aspirasi isi lambung.

§ Pantau Hb dan Ht

§ Pantau elektrolit

§ Periksa feses terhadap darah untuk 72 jam setelah masa akut.

Lanjutan

Diagnosa keperawatan

Tujuan

Intervensi keperawtan

Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan kapasitas angkut oksigen dan faktor-faktor resiko aspirasi.

Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan aliran intravena

Pasien akan mempertahankan oksigenasi dan pertukran gas yang adekuat

Pasien tidak akan mengalami infeksi nosokomial

§ Pantau SaO2 dengan menggunakan oksimetri atau ABGs

§ Pantau bunyi nafas dan gejala-gejala pulmoner

§ Gunakan suplemen O2 sesuai instruksi

§ Pantau suhu tubuh

§ Pantau adanya distensi abdomen

§ Baringkan pasien pada bagian kepala tempat tidur yang ditinggikan jika segalanya memungkinkan

§ Pertahankan fungsi dan patensi NGT dengan tepat

§ Atasi segera mual

§ Pertahankan kestabilan selang intravena.

§ Ukur suhu tubuh setiap jam

§ Pantau sistem intravena terhadap patensi, infiltrasi, dan tanda-tanda infeksi

§ Ganti letak intravena setiap 48-72 jam dan jika perlu

§ Ganti larutan intravena sedikitnya tiap 24 jam

§ Letak insersi setiap shift

§ Gunakan tehnik aseptik saat mengganti balutan dan selang. Pertahankan balutan bersih dan steril

§ Ukur sel darah putih

DAFTAR PUSTAKA

Hudak dan Galo. (1996). Keperawatan kritis: Pendekatan holistik. (Vol. II, edisi 6). Jakarta: EGC.

Lanros, N.E., dan Barber, J.M. (2000). Emergency nursing. (4th ed.). Stamford: Appleton & Lange.

Suparman. (1987). Ilmu penyakit dalam. (Jilid I, edisi kedua). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

http://askep-askeb.cz.cc/

BACA SELENGKAPNYA - PERDARAHAN GASTROINTESTINAL: Hematemisis dan Melena Karena Pecahnya Varises Esopagus

Diarrheal management in infant and children


MANAGEMEN DIARE PADA BAYI DAN ANAK


( Diarrheal management in infant and children )


Subijanto MS, Reza Ranuh, Liek Djupri, Pitono Soeparto

Divisi Gastroenterologi

Lab / SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair / RSU Dr. Seotomo Surabaya


Abstrak

Diare pada anak masih merupakan problem kesehatan dengan angka kematian yang

masih tinggi terutama pada anak umur 1-4 tahun, yang memerlukan penatalaksanaan yang

tepat dan memadai. Secara umum penatalaksanaan diare akut ditujukan untuk mencegah dan

mengobati, dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit, malabsorpsi akibat kerusakan

mukosa usus, penyebab diare yang spesifik, gangguan gizi serta mengobati penyakit penyerta.

Untuk memperoleh hasil yang baik pengobatan harus rational.

Abstract

Infantile diarrhea is still a health problem indicated by high mortality especially in

children between 1-4 years of age, that appropriate management is necessary. In general acute

diarrheal management is directed to prevent and treat dehydration, electrolyte imbalance,

malabsorption caused by mucosal injury, specific etiology of diarrhea, nutritional disturbances

and treatment of accompanying diseases. Rational management is necessary to have a good

outcome.

Pendahuluan

Sejak tahun 1992, secara umum, penyakit menular merupakan sebab dari 37,2%

kematian, diantaranya 9,8% tuberkulosa, 9,2% infeksi saluran nafas dan 7,5% diare. Namun

untuk kelompok usia 1 – 4 tahun, diare merupakan penyebab kematian terbanyak ( 23,2% )

sedangkan urutan ke dua (18,2%) penyebab kematian karena infeksi saluran nafas1. Dari data

data diatas menunjukan bahwa diare pada anak masih merupakan masalah yang memerlukan

2

penanganan yang komprehensif dan rasional. Terapi yang rasional diharapkan akan

memberikan hasil yang maksimal, oleh karena efektif, efisien dan biaya yang memadai. Yang

dimaksud terapi rasional adalah terapi yang: 1) tepat indikasi, 2) tepat obat, 3) tepat dosis, 4)

tepat penderita, dan 5) waspada terhadap efek samping obat.

Sebagian besar dari diare akut disebabkan oleh karena infeksi. Banyak dampak yang

dapat terjadi karena infeksi saluran cerna antara lain: pengeluaran toksin yang dapat

menimbulkan gangguan sekresi dan reabsorpsi cairan dan elektrolit dengan akibat dehidrasi,

gangguan keseimbangan elektrolit dan gangguan keseimbangan asam basa. Invasi dan

destruksi pada sel epitel, penetrasi ke lamina propria serta kerusakan mikrovili yang dapat

menimbulkan keadaan maldigesti dan malabsorpsi2. Dan bila tidak mendapatkan penanganan

yang adekuat pada akhirnya dapat mengalami invasi sistemik. Beberapa cara penanganan

dengan menggunakan antibiotika yang spesifik dan antiparasit, pencegahan dengan vaksinasi

serta pemakaian probiotik telah banyak diungkap di beberapa penelitian3.

Namun secara umum penanganan diare akut ditujukan untuk mencegah /

menanggulangi dehidrasi serta gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa, kemungkinan

terjadinya intoleransi, mengobati kausa dari diare yang spesifik, mencegah dan menanggulangi

gangguan gizi serta mengobati penyakit penyerta. Untuk melaksanakan terapi diare secara

secara komprehensif, efisien dan efektif harus dilakukan secara rasional. Secara umum terapi

rasional adalah terapi yang : 1) tepat indikasi, 2) tepat dosis, 3) tepat penderita, 4) tepat obat, 5)

waspada terhadap efek samping. Jadi penatalaksanaan terapi diare yang menyangkut berbagai

aspek didasarkan pada terapi yang rasional yang mencakup kelima hal tersebut.

A. Mencegah dan menanggulangi Dehidrasi.

Adapun tujuan dari pada pemberian cairan adalah :

1. Memperbaiki dinamika sirkulasi ( bila ada syok ).

2. Mengganti defisit yang terjadi.

3. Rumatan ( maintenance ) untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit yang sedang

berlangsung ( ongoing losses ).

Pelaksanaan pemberian terapi cairan dapat dilakukan secara oral atau parenteral.

Pemberian secara oral dapat dilakukan untuk dehidrasi ringan sampai sedang dapat

menggunakan pipa nasogastrik, walaupun pada dehidrasi ringan dan sedang, bila diare profus

3

dengan pengeluaran air tinja yang hebat ( > 100 ml/kg/hari ) atau mutah hebat ( severe

vomiting ) dimana penderita tak dapat minum samasekali, atau kembung yang sangat hebat (

violent meteorism ) sehingga rehidrasi oral tetap akan terjadi defisit maka dapat dilakukan

rehidrasi panenteral walaupun sebenarnya rehidrasi parenteral dilakukan hanya untuk

dehidrasi berat dengan gangguan sirkulasi.

a. Dehidrasi Ringan – Sedang

Tahap rehidrasi

Mengganti defisit. Rehidrasi pada dehidrasi ringan dan sedang dapat dilakukan dengan

pemberian oralit sesuai dengan defisit yang terjadi4:

Dehidrasi ringan ( 5% ) : 50 ml/kg ( 4 – 6 jam pada bayi )

( 3% ) : 30 ml/kg ( 4 – 6 jam pada anak besar )

Dehidrasi sedang ( 5 – 10% ) : 50 –100 ml /kg ( 4 – 6 jam pad bayi )

( 6% ) : 60 ml/kg ( 4 – 6 jam pada anak besar )

Tahap rumatan

Dalam tahap rumatan ini meliputi untuk memenuhi kebutuhan cairan rumatan dan

kebutuhan perubahan cairan rumatan yang disebabkan oleh kehilangan cairan yang sedang

berjalan ( ongoing losses )

Kebutuhan Rumatan.

Terdapat beberapa model untuk menghitung kebutuhan cairan rumatan : berdasarkan

berat badan, luas permukaan, atau pengeluaran kalori yang seperti kita ketahui bahwa 1 ml air

diperlukan setiap 24 jam bagi setiap kalori yang dikeluarkan dan bahwa kebutuhan metabolik

menentukan penggunaannya dari cadangan tubuh. Kalori yang dikonsumsi setiap kesatuan

berat badan, atau tingkat metabolik menurun dengan bertambah besarnya dan usia anak ( Tabel

1,2 ).

4

Tabel 1. Kebutuhan Rumatan Kalori dan air per kesatuan berat badan5,6.

Rumatan

Berat badan K cal / kg / 24jam ml air/kg/24jam

10 kg pertama

10 kg ke-dua

Setiap kg penambahan BB

100

50

20

100

50

20

Untuk mengganti kehilangan cairan yang sedang berjalan ( ongoing losses ) karena

diare : 10 ml/kg bb (untuk diare infantile) dan 25 ml/kg bb (untuk kholera) untuk setiap diare

cair yang terjadi disamping pemberian makanan dan minuman sebagaimana biasanya sebelum

diare.

Oralit merupakan cairan elektrolit–glukosa yang sangat esensial dalam pencegahan dan

rehidrasi penderita dengan dehidrasi ringan–sedang3,7,8,9,10,11.

Tabel 2. Perubahan dari Kebutuhan Rumatan ( ongoing abnormal losses )5.

Faktor Perubahan dari kebutuhan

Panas

Hiperventilasi

Keringat

Diare

12 % per 0 celcius

10 – 60 ml/100 Kcal

10 – 25 ml/100 K cal

10 ml-25 ml/100 K cal

Lustig JV,1993 dengan modifikasi12.

Secara sederhana, rehidrasi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Upaya rehidrasi oral ( URO )13.

Usia Dehidrasi ringan

3 jam pertama

( defisit 50 ml/kg )

Tanpa dehidrasi – jam

Berikutnya ongoing losses

10-25 ml/kg setiap diare

bayi s/d 1th

1 th – 5 th

> 5 th

1,5 gelas

3 gelas

6 gelas

0,5 gelas

1 gelas

2 gelas

5

2. Terapi cairan standar ( Iso-hiponatremi )13.

Derajat Dehidrasi Kebutuhan cairan Jenis cairan Cara / lama

pemberian

Berat ( 10 % )

Gangguan sirkulasi

+ 30 ml/kg/jam NaCl 0,9%

RL

IV/1 jam

Sedang ( 6-9% ) + 70 ml/kg/jam NaCl 0,9%

RL

½ Darrow

IV/3 jam

IG/3 jam

( oralit )

Ringan ( 5% ) + 50 ml/kg/3jam ½ Darrow

Oralit

IV/3 jam

IG / Oral

Tanpa dehidrasi 10-20 ml/kg

Setiap diare

Oralit /

Cairan rumah tangga

oral

IV : intra vena, IG : intragastrik

Untuk neonatus ( < 3 bulan )

30 ml/kg/2jam ( D10% NaCL 0,18% )

70ml/kg/6jam ( D10% NaCL 0,18% )

Untuk diare dengan penyakit penyerta

30 ml/kg/2jam ( ½ Darrow )

70ml/kg/6jam ( ½ Darrow )

Untuk dehidrasi hipernatremi ( Kadar Na > 150 mEq/l )

Defisit (70ml ) + rumatan ( 100ml ) + 2 hari ongoing losses :

+ 320 ml/kg dalam waktu 48 jam

b. Dehidrasi Berat

Penderita dengan dehidrasi berat, yaitu dehidrasi lebih dari 10% untuk bayi dan anak

dan menunjukkan gangguan tanda-tanda vital tubuh ( somnolen-koma, pernafasan Kussmaul,

gangguan dinamik sirkulasi ) memerlukan pemberian cairan elektrolit parenteral.

6

Terapi rehidrasi parenteral memerlukan 3 tahap :

1. Terapi awal.

Bertujuan untuk memperbaiki dinamik sirkulasi dan fungsi ginjal dengan cara

re-ekspansi dengan cepat volume cairan ekstraseluler. Idealnya adalah bahwa seluruh

cairan yang diberikan hendaknya tetap berada didalam ruang vaskuler. Untuk itu

larutan elektrolit dengan kadar Na yang sama dengan darah lebih dianjurkan. Perlu

penambahan glukosa dalam cairan, karena penderita yang sakit peka untuk terjadinya

hipoglikemi dan penambahan basa untuk koreksi asidosis.

2. Terapi lanjutan.

Segera setelah sirkulasi dapat dipulihkan kembali, terapi cairan berikutnya

untuk mengkoreksi secara menyeluruh sisa defisit air dan Na serta mengganti

kehilangan abnormal dari cairan yang sedang berjalan ( ongoing losses ) serta

kehilangan obligatorik (kebutuhan rumatan). Walaupun pemberian K sudah dapat

dimulai , namun hal ini tidak esensial, dan biasanya tidak diberikan sebelum 24 jam.

Perkecualian dalam hal ini adalah bila didapatkan hipokalemia yang berat dan nyata.

Pada saat tercapainya tahap ini, kadang perlu diketahui nilai elektrolit serum sehingga

terapi cairan dapat dimodifikasi sesuai dengan kadar Na yang ada (isonatremi,

hiponatremi atau hipernatremi).

Dehidrasi Isonatremi ( Na 130 – 149 mEq/l )

Pada gangguan elektrolit ini tidak saja terdapat kehilangan eksternal Na dari

cairan ekstraseluler tetapi juga Na dari cairan ekstraseluler yang masuk kedalam cairan

intraseluler sebagai kompensasi dari kehilangan K intraseluler. Dengan demikian

pemberian Na dalam jumlah yang sama dengan kehilangannya Na dari cairan

ekstraseluler akan berlebihan dan akan menghasilkan kenaikan dari Na tubuh total dari

penderita; Na intraseluler yang berlebihan kelak akan kembali ke dalam cairan

ekstraseluler apabila diberikan K, dengan akibat terjadinya ekspansi ke ruang

ekstraseluler. Untuk menghindari hal ini, hanya 2/3 dari perkiraan hilangnya Na dan air

dari cairan ekstraseluler yang perlu diganti pada 24 jam pertama pemberian cairan.

7

Pada tahap ini disamping mengganti defisit, keseluruhan cairan dan elektrolit

yang diberikan perlu mencakup pula penggantian kehilangan cairan yang normal

(ongoing normal losses) maupun yang abnormal (ongoing abnormal losses) yang

terjadi melalui diare ataupun muntah.

Sesudah tahap penggantian defisit (sesudah 3-24 jam) tahap berikutnya adalah

tahap rumatan yang bertujuan untuk mengganti sisa kehilangan cairan dan elektrolit

secara menyeluruh dan dimulainya pemberian K.

Kebutuhan Na dan air pada tahap ini dapat diperkirakan dengan menambah 25%

pada kebutuhan rumatan normal yang diperkirakan dan dengan menambah kebutuhan

bagi kehilangan abnormal yang sedang berjalan (ongoing abnormal losses). Kehilangan

K mungkin sama dengan kehilangan Na namun hampir keseluruhan K yang hilang

adalah berasal dari cairan ekstraseluler dan harus diganti dengan memberikannya ke

dalam ruang ekstraseluler. Apabila K diberikan dengan kecepatan sebanding dengan

pemberian Na, maka dapat dipastikan bahwa akan terjadi hiperkalemi. Dengan

demikian biasanya penggantian K dilakukan dalam waktu 3 – 4 hari. K juga jangan

diberikan apabila terdapat kenaikan K serum atau sampai ginjal berfungsi dengan baik,

dalam keadaan asidosis berat pemberian K harus berhati-hati. Kecuali pada keadaan

yang hipokalemia berat, kadar K yang diberikan hendaknya tidak melebihi 40 m Eq/L

dan kecepatan pemberiannya tidak melebihi 3 m Eq/kg/24 jam14.

Dehidrasi Hiponatremi ( Na < 130mEq/l )

Keadaan ini timbul karena hilangnya Na yang relatif lebih besar dari pada air.

Kehilangan (defisit) Na ekstraseluler dapat dihitung dengan formula berikut :

Karena pasien mengalami dehidrasi, keseluruhan cairan tubuh yang

diperkirakan adalah 50 – 55% dari berat badan waktu masuk dan bukan 60% seperti

nilai biasanya. Walaupun Na pada prinsipnya merupakan kation ekstraseluler, cairan

tubuh keseluruhan (total) adalah yang dipakai untuk menghitung defisit Na. Hal ini

memungkinkan bagi penggantian Na yang hilang dari cairan ekstraseluler, untuk

Defisit Na (mEq) = (nilai Na normal – nilai Na yang diperiksa) X total cairan tubuh (dalam L).

8

ekspansi cairan ekstraseluler yang terjadi pada saat penggantian dan untuk mengganti

hilangnya Na dari tempat penimbunan pertukaran Na seperti pada tulang.

Terapi dehidrasi hiponatremi adalah sama seperti pada dehidrasi isonatremi,

kecuali pada kehilangan natrium yang berlebihan pemberian Na perlu diperhitungkan

adanya kehilangan ekstra dari ion tsb. Pemberian jumlah ekstra dari Na yang diperlukan

untuk mengganti kehilangan ekstra dapat dibagi rata dalam beberapa hari sehingga

koreksi bertahap dari hiponatremi dapat tercapai pada saat volume telah bertambah.

Kadar Na seyogyanya tidak dinaikkan secara mendadak dengan pemberian larutan

garam hipertonis kecuali bila terlihat gejala keracunan air seperti kejang. Gejala jarang

timbul kecuali bila serum Na berkurang dibawah 120 m Eq/L dan hal ini biasanya cepat

dikontrol dengan pemberian larutan Nacl 3% pada kecepatan 1 ml/menit sampai

maksimum 12 ml/kg berat badan. Larutan hipotonis perlu dihindarkan terutama pada

tahap awal pemberian cairan karena adanya resiko terjadinya hiponatremi

simptomatik14.

Dehidrasi hipertonis ( Na > 150 mEq/l )

Hiperosmolalitas yang berat dapat mengakibatkan kerusakan otak, dengan

perdarahan yang tersebar luas dan trombosis atau efusi subdural. Kerusakan serebral ini

dapat mengakibatkan kerusakan syaraf yang menetap. Bahkan tanpa kerusakan tersebut

yang nyata, sering pula timbul kejang pada pasien dengan hipernatremi. Diagnosis dari

kerusakan serebral sekunder karena hipernatremi di topang dengan ditemukan kenaikan

kadar protein dalam cairan serebrospinal.

Kejang sering pula timbul pada saat pemberian cairan karena kembalinya Na

serum menjadi normal. Hal ini dapat terjadi oleh kenaikan jumlah Na dalam sel otak

pada saat terjadinya dehidrasi, yang dalam gilirannya akan menimbulkan perpindahan

yang berlebihan dari air ke dalam sel otak pada saat rehidrasi sebelum kelebihan Na

sempat dikeluarkan, kejadian ini dapat dihindari dengan melakukan koreksi

hipernatremi secara pelan dalam waktu beberapa hari. Itulah sebabnya terapi cairan

perlu disesuaikan agar Na serum kembali normal tidak melebihi 10 m Eq/24 jam.

Defisit Na pada dehidrasi hipernatremi adalah relatif kecil dan volume cairan

ekstraseluler relatif masih tetap tak berubah sehingga jumlah air dan Na yang diberikan

9

pada tahap ini perlu dikurangi bila dibandingkan pada dehidrasi hipo-isonatremi.

Jumlah yang sesuai adalah pemberian 60 – 75 ml/kg/24 jam dari larutan 5% dektrosa

yang mengandung kombinasi bikarbonat dan khlorida.

Jumlah dari cairan dan Na rumatan perlu dikurangi dengan sekitar 25% pada

tahap ini karena penderita dengan hipernatremi mempunyai ADH (antidiuretic

hormone) yang tinggi yang menimbulkan berkurangnya volume urin.

Penggantian dan kehilangan abnormal yang sedang berjalan (ongoing abnormal

losses) tidak memerlukan modifikasi. Apabila timbul kejang, dapat diberikan Nacl 3%

3 – 5 ml/kg intravena atau manitol hipertonik.

Pada pengobatan dehidrasi hipertonis dengan memberikan sejumlah besar air,

dengan atau tanpa garam, sering menimbulkan ekspansi volume cairan ekstraseluler

sebelum terjadi ekskresi Cl yang nyata atau koreksi dari asidosis. Sebagai akibatnya

dapat terjadi sembab dan gagal jantung yang memerlukan digitalisasi.

Hipokalsemia kadang terlihat pula selama pengobatan dehidrasi hipernatremi,

hal ini dapat dicegah dengan memberikan jumlah yang cukup kalium. Tetapi sekali

timbul diperlukan pemberian kalsium (0,5 ml/kg kalsium glukonat 10%) intravena.

Komplikasi lain adalah terjadinya kerusakan tubulus ginjal dengan gejala azotemia dan

berkurangnya kemampuan konsentrasi ginjal, sehingga memerlukan modifikasi cara

pemberian terapi cairan. Walaupun dehidrasi hipernatremi dapat secara berhasil

ditangani, pengelolaannya tetap sulit dan sering terjadi kejang, meskipun cara

pemberian terapi yang terencana dengan baik14.

3. Terapi akhir (pencegahan dan terapi defisiensi nutrisi)

Walaupun pada diare terapi cairan parenteral tidak cukup bagi kebutuhan

penderita akan kalori , namun hal ini tidaklah menjadi masalah besar karena hanya

menyangkut waktu yang pendek. Apabila penderita telah kembali diberikan diet

sebagaimana biasanya, segala kekurangan tubuh akan lemak, protein akan segera dapat

dipenuhi. Itulah sebabnya mengapa pada pemberian terapi cairan diusahakan agar

penderita bila memungkinkan cepat mendapatkan makanan/minuman sebagai mana

biasanya bahkan pada dehidrasi ringan sedang yang tidak memerlukan terapi cairan

parenteral makan dan minum tetap dapat dilanjutkan (continued feeding).

10

B. Mengobati Kausa Diare

Sebagian besar kasus diare tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotika oleh

karena pada umumnya sembuh sendiri (self limiting). Antibiotika hanya diperlukan pada

sebagian kecil penderita diare misalnya kholera, shigella, karena penyebab terbesar dari

diare pada anak adalah virus (Rotavirus)6. Kecuali pada bayi berusia di bawah 2 bulan

karena potensi terjadinya sepsis oleh karena bakteri mudah mengadakan translokasi kedalam

sirkulasi, atau pada anak/bayi yang menunjukkan secara klinis gejala yang berat serta

berulang atau yang menunjukkan gejala diare dengan darah dan lendir yang jelas atau gejala

sepsis15.

Beberapa antimikroba yang sering dipakai antara lain13,16:

Kolera : Tetrasiklin 50mg/kg/hari dibagi 4 dosis ( 2 hari )

Furasolidon 5mg/kg/hari dibagi 4 dosis ( 3 hari )

Shigella : Trimetoprim 5-10mg/kg/hari

Sulfametoksasol 25-50mg/kg/hari

Dibagi 2 dosis ( 5 hari )

Asam Nalidiksat : 55mg/kg/hari dibagi 4 ( 5 hari )

Amebiasis : Metronidasol 30mg/kg/hari dibagi 4 dosis ( 5-10 hari)

Untuk kasus berat :

Dehidro emetin hidrokhlorida 1-1,5 mg/kg ( maks 90mg )

( im ) s/d 5 hari tergantung reaksi ( untuk semua umur )

Giardiasis : Metronidasol 15mg/kg/hari dibagi 4 dosis ( 5 hari )

Antisekretorik – Antidiare.

Salazar-Lindo E dkk dari Department of Pediatrics, Hospital Nacional Cayetano

Heredia, Lima, Peru, melaporkan bahwa pemakaian Racecadotril (acetorphan) yang

merupakan enkephalinase inhibitor dengan efek anti sekretorik serta anti diare ternyata

cukup efektif dan aman bila diberikan pada anak dengan diare akut oleh karena tidak

11

mengganggu motilitas usus sehingga penderita tidak kembung. Bila diberikan bersamaan

dengan cairan rehidrasi akan memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan

hanya memberikan cairan rehidrasi saja17. Pemberian obat loperamide sebagai antisekresiantidiare

walaupun cukup efektif tetapi sering kali disertai komplikasi kembung dengan

segala akibatnya.

Probiotik.

Probiotik (Lactic acid bacteria) merupakan bakteri hidup yang mempunyai efek yang

menguntungkan pada host dengan cara meningkatkan kolonisasi bakteri probiotik di dalam

lumen saluran cerna sehingga seluruh epitel mukosa usus telah diduduki oleh bakteri

probiotik melalui reseptor dalam sel epitel usus, sehingga tidak terdapat tempat lagi untuk

bakteri patogen untuk melekatkan diri pada sel epitel usus sehingga kolonisasi bakteri

patogen tidak terjadi. Dengan mencermati fenomena tersebut bakteri probiotik dapat dipakai

sebagai cara untuk pencegahan dan pengobatan diare baik yang disebabkan oleh Rotavirus

maupun mikroorganisme lain, pseudomembran colitis maupun diare yang disebabkan oleh

karena pemakaian antibiotika yang tidak rasional rasional (antibiotic associated diarrhea).

Mikroekologi mikrobiota yang rusak oleh karena pemakaian antibotika dapat

dinormalisir kembali dengan pemberian bakteri probiotik. Mekanisme kerja bakteri

probiotik dalam meregulasi kekacauan atau gangguan keseimbangan mikrobiota komensal

melalui 2 model kerja rekolonisasi bakteri probiotik dan peningkatan respon imun dari

sistem imun mukosa untuk menjamin terutama sistem imun humoral lokal mukosa yang

adekuat yang dapat menetralisasi bakteri patogen yang berada dalam lumen usus yang

fungsi ini dilakukan oleh secretory IgA (SIgA)18,19,20,21,22,23.

C. Mencegah / Menanggulangi Gangguan Gizi

Amatlah penting untuk tetap memberikan nutrisi yang cukup selama diare, terutama

pada anak dengan gizi yang kurang. Minuman dan makanan jangan dihentikan lebih dari 24

jam, karena pulihnya mukosa usus tergantung dari nutrisi yang cukup. Bila tidak maka hal

ini akan merupakan faktor yang memudahkan terjadinya diare kronik1. Pemberian kembali

makanan atau minuman ( refeeding ) secara cepat sangatlah penting bagi anak dengan gizi

kurang yang mengalami diare akut dan hal ini akan mencegah berkurangnya berat badan

12

lebih lanjut dan mempercepat kesembuhan. Air susu ibu dan susu formula serta makanan

pada umumnya harus dilanjutkan pemberiannya selama diare5,24,25.

Penelitian yang dilakukan oleh Lama More RA dkk menunjukkan bahwa suplemen

nukleotida pada susu formula secara signifikan mengurangi lama dan beratnya diare pada

anak oleh karena nucleotide adalah bahan yang sangat diperlukan untuk replikasi sel

teramsuk sel epitel usus dan sel imunokompeten26.

Pemberian susu rendah laktosa, formula medium laktosa atau bebas laktosa diberikan

pada penderita yang menunjukkan gejala klinik dan laboratorium intoleransi laktosa.

Intoleransi laktosa berspektrum dari yang ringan sampai yang berat dan kebanyakan adalah

tipe yang ringan sehingga cukup memberikan formula susu yang biasanya diminum dengan

pengenceran oleh karena intoleransi laktosa ringan bersifat sementara dan dalam waktu 2-3

hari akan sembuh terutama pada anak dengan gizi yang baik. Namun bila terdapat

intoleransi laktosa yang berat dan berkepanjangan tetap diperlukan susu formula bebas

laktosa untuk waktu yang lebih lama. Untuk intoleansi laktosa ringan dan sedang sebaiknya

diberikan formula susu rendah laktosa27. Penulis lain memberikan formula bebas laktosa

atau formula soya untuk penderita intoleransi laktosa sekunder oleh karena gastroenteritis,

malnutrisi protein-kalori dan lain penyebab dari kerusakan mukosa usus. Pada keadaan ini

ASI tetap diberikan4,28; namun menurut Sullivan PB, tidak perlu memberikan susu rendah

laktosa / pengenceran susu pada anak dengan diare, khususnya untuk usia di atas 1 tahun

atau yang sudah makan makanan padat29.

Sebagaimana halnya intoleransi laktosa, maka intoleransi lemak pada diare akut

sifatnya sementara dan biasanya tidak terlalu berat sehingga tidak memerlukan formula

khusus. Pada situasi yang memerlukan banyak enersi seperti pada fase penyembuhan diare,

diet rendah lemak justru dapat memperburuk keadaan malnutrisi dan dapat menimbulkan

diare kronik30.

D. Menanggulangi Penyakit Penyerta.

Anak yang menderita diare mungkin juga disertai dengan penyakit lain. Sehingga

dalam menangani diarenya juga perlu diperhatikan penyekit penyerta yang ada. Beberapa

penyakit penyerta yang sering terjadi bersamaan dengan diare antara lain : infeksi saluran

13

nafas, infeksi susunan saraf pusat, infeksi saluran kemih, infeksi sistemik lain ( sepsis,

campak ) , kurang gizi, penyakit jantung dan penyakit ginjal31.

Daftar Pustaka

1. Baker SS; Davis AM. Hypocaloric oral therapy during an episode of diarrhea and vomiting

can lead to severe malnutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1998 Jul;27(1):1-5.

2. Barkin RM. Fluid and Electrolyte Problems. Problem Oriented Pediatric Diagnosis. Boston

Little Brown and Company 1990; 20 – 23.

3. Booth IW, CuttingWAM. Current Concept in The Management of Acute Diarrhea in

Children. Postgrad Doct Asia 1984 : Dec : 268 – 274.

4. Brady MS et al. Specialised formulas and feedings for infants with malabsorpsion. J Am

Diet Assoc 1986 ; 86:191 – 200.

5. Butzner D,Butler DG, Miniats P,Hamilton JR. Impact of chronic protein calorie

malnutrition on intestinal repair after acute viral enteritis : a study ini guobiotic piglets.

Pediatr Res 1985 ; 19 : 476 – 481.

6. Castelli F; Beltrame A; Carosi G. Principles and management of the ambulatory treatment

of traveller’s diarrhea. Bull Soc Pathol Exot 1998;91(5 Pt 1-2):452-5.

7. Mahalanabis D. Oral Rehydration in Infantile Diarrhea. International Conference on Infant

Nutrition and Diarrheal Disease and Workshop on Post Graduate Paediatric Education,

Kualalumpur 1979.

8. Walker-Smith JA. Postenteritis Malabsorption. International Conference on Infant

Nutrition and Diarrheal Disease and Workshop on Post Graduate Paediatric Education,

Kualalumpur 1979. (b)

9. Tan G. Practical Therapeutics. Medical Progress 1975 ; Oct:41 – 42.

10. Finberg L,Kravath PE, Fleishman AR. Water and Electrolyte in Pediatrics.

Physiology,Pathology and Treatment. Philadelphia: WB Saunders Co. 1982;147 – 162.

11. Pickering LK. Indication for specific therapy of Children with Acute Infectious Diarrhea

In: Brunell PA ed. Report of the 13th. Ross Round Table on Critical Approach to Common

Pediatric Problems. Maryland 1981. Columbus : Ross Lab ; 101 : 23 – 29.

12. Lustig JV. Fluid & Electrolyte therapy. In : WER Hathaway,WW Hay Jr,JR Groothuis,JW

Paisley. Current Pediatric Diagnosis & Treatment 11nd. Prentice-Hall International Inc

1993; 1129 – 1140.

13. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak RSUd. Dr.Soetomo

Surabaya 1994 ; 39 – 50.

14. Mc Carthy P. Parenteral Fluid Therapy. In : RE Behrman, RM Kliegman,WE Nelson,VC

Vaughan IIIeds. Nelson Textbook of Pediatrics 14nd, Philadelphia : WB Saunders Co 1993 ;

195 – 211.

15. Soeparto P. Studi mengenai gastroenteritis akuta dengan dehidrasi pada anak melalui

pendekatan epidemiologi klinik. Disertasi. Airlangga University Press.1987.

16. Gerding DN. Treatment of Clostridium difficile-associated diarrhea and colitis. Curr Top

Microbiol Immunol 2000;250:127-139.

17. Salazar-Lindo E et al.. Racecadotril in the treatment of acute watery diarrhea in children. N

Engl J Med 2000 Aug 17;343(7):463-7.

14

18. Rani B; Khetarpaul N. Probiotic fermented food mixtures: possible applications in clinical

anti-diarrhoea usage. Nutr Health 1998;12(2):97-105.

19. Vanderhoof JA et al. Lactobacillus GG in the prevention of antibiotic-associated diarrhea

in children. J Pediatr 1999 Nov;135(5):564-8.

20. Gionchetti P; Rizzello F; Venturi A; Campieri M. Probiotics in infective diarrhoea and

inflammatory bowel diseases. J Gastroenterol Hepatol 2000 May;15(5):489-93.

21. Saavedra J. Probiotics and infectious diarrhea. Am J Gastroenterol 2000 Jan;95(1

Suppl):S16-8.

22. Davidson GP; Butler RN. Probiotics in pediatric gastrointestinal disorders. Curr Opin

Pediatr 2000 Oct;12(5): 477-481.

23. Gismondo MR et al. Review of probiotics available to modify gastrointestinal flora. Int J

Antimicrob Agents 1999 Aug;12(4): 287-92.

24. Dewan N; Faruque AS; Fuchs GJ. Nutritional status and diarrhoeal pathogen in

hospitalized children in Bangladesh. Acta Paediatr 1998 Jun; 87(6): 627-30.

25. Ziyane IS. The relationship between infant feeding practices and diarrhoeal infections. J

Adv Nurs 1999 Mar;29(3): 721-6.

26. Lama More RA; Gil-Alberdi Gonzalez B. Effect of nucleotides as dietary supplement on

diarrhea in healthy infants. An Esp Pediatr 1998 Apr;48(4):371-5.

27. Suharyono. Terapi nutrisi diare kronik Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu

Kesehatan Anak ke. XXXI, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1994.

28. Leake RD et al. Soy-protein formulas in the teratment of infantile diarrhea. Am J Dis Child

1974 ; 127 : 374.

29. Sullivan PB. Nutritional management of acute diarrhea. Nutrition 1998 Oct;14(10):758-

62.

30. Lifshitz. Food intolerance and sensitivity In.: Lebenthal E ed. Advances in Pediatric

Gastroenterology and Nutrition. Mead Johnson Symposium series I Excerpta Medica 1984

: 131 – 140.

31. Ditjen PPM&PLP Depkes RI. Tatalaksana Kasus Diare Bermasalah. Depkes RI 1999 ; 31.

http://askep-askeb.cz.cc/

BACA SELENGKAPNYA - Diarrheal management in infant and children
INGIN BOCORAN ARTIKEL TERBARU GRATIS, KETIK EMAIL ANDA DISINI:
setelah mendaftar segera buka emailnya untuk verifikasi pendaftaran. Petunjuknya DILIHAT DISINI