kolom pencarian

KTI D3 Kebidanan[1] | KTI D3 Kebidanan[2] | cara pemesanan KTI Kebidanan | Testimoni | Perkakas
PERHATIAN : jika file belum ter-download, Sabar sampai Loading halaman selesai lalu klik DOWNLOAD lagi

02 February 2011

Tuberkulosis (TBC)

Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit infeksi kronis yang menyerang hampir di seluruh dunia termasuk Indonesia. Program Penanggulangan TBC, khususnya TBC Paru di Indonesia telah dimulai sejak diadakan Simposium Pemberantasan TBC Paru di Ciloto pada tahun 1969. Namun sampai sekarang perkembangannya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pada tahun 2003, World Health Organitation (WHO) dalam Annual Report on TB Control menyatakan bahwa Indonesia merupakan penyumbang kasus TBC terbesar ketiga setelah Cina dan India (Depkes RI, 2005: ix dan WHO, 2005: 1)
Menurut data hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 dan Survey Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRTN) tahun 2001, TBC merupakan penyebab kematian ketiga terbesar (9,4% total kematian) setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi. SKRTN (2001) mengungkapkan angka prevalensi TBC diperkirakan 800 per 100.000 penduduk yang didasarkan atas adanya gejala-gejala TBC tanpa dilakukan pemeriksaan laboratorium (Depkes RI, 2005: ix dan WHO, 2005: 1)

Pada dekade 2000-an, TBC dinyatakan WHO sebagai reemerging disease. Hal ini disebabkan karena angka TBC yang pada dekade 90-an dinyatakan menurun, kembali meningkat. Khususnya di Indonesia, angka TBC tidak pernah turun, bahkan cenderung meningkat (Muttaqin, 2007: 79)
Menyusul digelarnya Kongres I TBC pada tanggal 18-19 November 2006 di Jakarta, dikemukakan fakta-fakta tentang TBC, antara lain:
1. Sekitar 10% pasien TBC di dunia adalah orang Indonesia (Data WHO, 2000).
2. Setiap 2,5 menit akan muncul satu penderita TBC baru di Indonesia (insiden TBC 110/100.000 penduduk pertahun, data survey nasional 2004).
3. Setiap 4 menit satu orang Indonesia akan meninggal karena TBC (Publikasi WHO, 2000).
4. Berdasarkan data terbaru (2004) maka jumlah pasien TBC menular di Jawa/Bali adalah 67/100.000 penduduk, di Sumatera 203/100.000 dan Kawasan Timur Indonesia 246/100.000.
5. Secara nasional, pada setiap 100.000 penduduk Indonesia ada 125 pasien TBC menular (Survey TBC Nasional, 2004).
6. Setiap detik ada satu orang terinfeksi TBC di dunia (WHO, 2005).
7. Jumlah seluruh pasien TBC di dunia adalah 8.810.000 orang setahunnya, di mana 3.897.000 diantaranya adalah TBC yang menular.
8. Setiap tahun di dunia ada 1.747.000 orang yang meninggal karena TBC.
9. Sedikitnya sepertiga penduduk dunia saat ini telah terinfeksi kuman TBC.
Sejarah pengobatan TBC pada manusia diawali pada tahun 1944 dengan ditemukannya Streptomisin sebagai Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pertama, sampai kemudian pada tahun 1949 ditemukan Asam Para Amino Salisilat (PAS) yang dapat mencegah terjadinya resistensi terhadap Streptomisin. Sejak itu pengobatan TBC selalu menggunakan dua jenis obat atau lebih. Kemudian pada tahun 1952 ditemukan Isoniazid (INH) yang menjadi komponen penting dalam pengobatan TBC karena sangat efektif, toksisitasnya rendah dan harganya murah. Pada tahun 1972 mulai digunakan Rifampisin sebagai paduan obat jangka pendek yang pemberiannya dikombinasi dengan Ethambutol agar waktu pengobatan dipersingkat menjadi 6 bulan atau separuh dari waktu pengobatan dengan Streptomisin yang masa pengobatannya 12 bulan, dengan efek terapi yang tidak berkurang (Girsang, 2002: 5).
Tahun 1993/1994 OAT untuk program penanggulangan TBC dikemas dalam bentuk blister kemasan harian yang disebut kombipak (paket kombinasi). Obat yang digunakan terdiri atas: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Ethambutol (E) serta Streptomisin (S) yang sediannnya dalam bentuk injeksi. Pada tahun 1995 WHO menganjurkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) sebagai strategi komprehensif yang digunakan dalam pelayanan kesehatan primer di seluruh dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan penderita TBC, agar transmisi penularan dapat dikurangi di masyarakat (Girsang, 2002: 5-6).
Salah satu permasalahan dalam Program Penanggulangan TBC adalah lamanya jangka waktu pengobatan yang harus dijalani penderita selama 6 sampai 8 bulan. OAT yang digunakan dalam Program Penanggulangan TBC saat ini dan disediakan secara gratis oleh pemerintah adalah paduan OAT yang disebut FDC (Fixed Dose Combination). FDC tersedia dalam beberapa kategori yaitu FDC Kategori 1 untuk penderita TBC baru, FDC Kategori 2 untuk penderita TBC kambuh atau gagal, FDC sisipan dan FDC anak. FDC Kategori 1 merupakan OAT yang paling banyak digunakan karena penderita TBC yang ditemukan dan diobati sebagian besar adalah tipe baru.
Penggunaan FDC di Indonesia diawali dengan uji coba di Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 1999 dengan hasil yang cukup memuaskan. Dari 172 penderita yang diobati dengan FDC di 16 Puskesmas, tidak ada penderita yang menolak pengobatan dengan tablet FDC, hanya sekitar 10% yang mengeluh efek samping minor tetapi FDC tidak harus dihentikan dan hanya 1 penderita (0,6%) yang mendapat efek samping mayor di mana obat harus dihentikan. Hasil pengobatannya sama dengan kelompok kontrol yang diobati dengan kombipak yaitu 96% penderita dinyatakan sembuh (Depkes RI, 2004: 2)

Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
a. Pengertian
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah obat yang merupakan kombinasi beberapa jenis antibotik untuk pengobatan Tuberkulosis (TBC) atau disebut juga dengan istilah Tuberkulostatika (Tjay dan Rahardja, 2003: 148).
b. Paduan OAT di Indonesia
Petunjuk Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Fixed Dose Combination (2004: 1) menjelaskan bahwa paduan OAT yang disediakan dan digunakan saat ini dalam bentuk paket disebut dengan Fixed Dose Combination (FDC) yang merupakan tablet berisi kombinasi beberapa jenis OAT dengan dosis tetap. Kemajuan bidang farmakologi memungkinkan untuk membuat tablet kombinasi yang terdiri atas beberapa macam OAT tanpa mengganggu bio-availability obat tersebut.
Paduan OAT FDC di Indonesia terdiri atas: Kategori 1 (2HRZE/4HR3), Kategori 2 (2HRZES/1HRZE/5HR3E3), Sisipan (HRZE) dan paduan OAT FDC anak (2HRZ/4HR).
Penggunaan FDC dalam pengobatan TBC memberikan beberapa keuntungan seperti lebih aman, mudah pemberiannya, lebih nyaman untuk penderita karena menelan tablet yang lebih sedikit sehingga meningkatkan penerimaan dan kepatuhan berobat, dosis lebih sesuai dengan berat badan penderita serta pengelolaannya lebih mudah.
c. Prinsip pengobatan
Tujuan pengobatan Tuberkulosis sebagaimana disebutkan dalam buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: 37) adalah menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, menurunkan tingkat penularan dan mencegah resistensi.
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: 38) menjelaskan bahwa OAT ditelan sebagai dosis tunggal dalam jumlah cukup dan tepat selama 6 sampai 8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persister) dapat dibunuh.
Pengobatan TBC diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
1) Tahap intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita menelan obat setiap hari dan diawasi langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama Rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu. Sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif.
Pengobatan tahap intensif berlangsung selama 2 sampai 3 bulan (8 sampai 12 minggu) di mana penderita menelan OAT setiap hari.
2) Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama, berlangsung selama 4 sampai 5 bulan (16 sampai 20 minggu). Pada tahap lanjutan ini penderita menelan obat secara intermitten tiga kali seminggu.

d. Jenis dan dosis OAT
Menurut Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: 37-38) jenis dan dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang digunakan saat ini terdiri atas:

1) Isoniazid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid , dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5mg/kgBB, sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB.
2) Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant (persister) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid. Dosis 10 mg/kgBB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermitten 3 kali seminggu.
3) Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kgBB, sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kgBB.
4) Etambutol (E)
Bersifat bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kgBB.
5) Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk yang berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari.
Sediaan OAT INH, Rifampisin, Pirasinamid dan Etambutol dalam bentuk tablet dan diberikan per oral, sedangkan Streptomisin diberikan melalui injeksi intramuskuler.

Jenis-jenis tablet FDC untuk dewasa terdiri atas:
1) Tablet yang mengandung 4 macam obat dikenal sebagai tablet 4FDC. Setiap tablet mengandung: 75mg Isoniasid (INH), 150mg Rifampisin, 400mg Pirasinamid dan 275mg Etambutol.
Tablet ini digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam tahap intensif dan untuk sisipan. Jumlah tablet yang digunakan disesuaikan dengan berat badan penderita.
2) Tablet yang mengandung 2 macam obat dikenal sebagai tablet 2FDC. Setiap tablet mengandung: 150mg Isoniasid (INH) dan 150mg Rifampisin.
Tablet ini digunakan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu dalam tahap lanjutan. Jumlah tablet yang digunakan disesuaikan dengan berat badan penderita.
Disamping itu, tersedia obat lain untuk melengkapi paduan obat kategori 2, yaitu:
1) Tablet etambutol @ 400mg
2) Streptomisin injeksi vial @ 750mg atau vial @ 1gr
3) Aquabidest.
Dasar Perhitungan Pemberian OAT FDC:
1) Kategori I
Jumlah dosis pemberian pada:
• Tahap intensif: 2 bulan x 4 minggu x 7 hari = 56 dosis.
• Tahap lanjutan: 4 bulan x 4 minggu x 3 kali = 48 dosis.
Diberikan kepada: penderita baru TBC Paru BTA positif, penderita baru TBC Paru BTA negatif rontgen positif (ringan atau berat) dan penderita TBC Ekstra Paru (ringan atau berat).

Tabel 2.1 Dosis untuk Kategori I (2HRZE/4HR3)
Berat Badan Tahap Intensif Tiap Hari Tahap Lanjutan 3 x Seminggu
Selama 56 Hari Selama 16 Minggu
30-37 kg 2 tablet 4FDC 2 tablet 2FDC
38-54 kg 3 tablet 4FDC 3 tablet 2FDC
55-70 kg 4 tablet 4FDC 4 tablet 2FDC
≥ 71 kg 5 tablet 4FDC 5 tablet 2FDC

2) Kategori II
Jumlah dosis pemberian pada:
• Tahap intensif untuk tablet 4FDC: 3 bulan x 4 minggu x 7 hari = 84 dosis, untuk Streptomisin injeksi: 2 bulan x 4 minggu x 7 hari = 56 dosis
• Tahap lanjutan: 5 bulan x 4 minggu x 3 kali = 60 dosis
Diberikan kepada: penderita TBC BTA positif kambuh, gagal, dan yang berobat kembali setelah lalai (default) dengan BTA positif.

Tabel 2.2 Dosis untuk Kategori II (2HRZES/1HRZE/5HR3E3)
Berat Badan Tahap Intensif Tiap Hari Tahap Lanjutan
Selama Selama 3 x Seminggu
56 Hari 28 Hari Selama 20 Minggu
30-37 kg 2 tab 4FDC + 2 tab 4FDC 2 tab 2 FDC +
500 mg Streptomisin inj 2 tab Etambutol
38-54 kg 3 tab 4FDC + 3 tab 4FDC 3 tab 2 FDC +
750 mg Streptomisin inj 3 tab Etambutol
55-70 kg 4 tab 4FDC + 4 tab 4FDC 4 tab 2 FDC +
1000 mg Streptomisin inj 4 tab Etambutol
≥ 71 kg 5 tab 4FDC + 5 tab 4FDC 5 tab 2 FDC +
1000 mg Streptomisin inj 5 tab Etambutol

3) OAT Sisipan
OAT sisipan diberikan bila pada akhir tahap intensif pengobatan pada penderita BTA positif tidak terjadi konversi, maka diberikan obat sisipan 4FDC (HRZE) setiap hari selama 28 hari dengan jumlah tablet setiap kali menelan sama dengan sebelumnya.

4) Kategori Anak
Diberikan pada penderita TBC anak, yaitu yang berusia 0 sampai 14 tahun. Jumlah dosis pemberian pada:
• Tahap intensif: 2 bulan x 4 minggu x 7 hari = 56 dosis
Obat yang digunakan adalah tablet 3FDC yang mengandung 30 mg Isoniasid (INH), 60 mg Rifampisin, 150 mg Pirasinamid.
• Tahap lanjutan: 4 bulan x 4 minggu x 7 hari = 112 dosis
Obat yang digunakan adalah tablet 2FDC yang mengandung 30 mg Isoniasid (INH), 600 mg Rifampisin.

Tabel 2.3 Dosis untuk Kategori Anak (2HRZ/4HR)
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Badan Tiap Hari Tiap Hari
Selama 2 Bulan Selama 4 Bulan
≤ 7 kg 1 tablet 3 FDC 1 tablet 2 FDC
8-9 kg 1,5 tablet 3 FDC 1,5 tablet 2 FDC
10-14 kg 2 tablet 3 FDC 2 tablet 2 FDC
15-19 kg 3 tablet 3 FDC 3 tablet 2 FDC
20-24 kg 4 tablet 3 FDC 4 tablet 2 FDC
25-29 kg 5 tablet 3 FDC 5 tablet 2 FDC


e. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan
Menurut Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: 42-43), pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada penderita TBC dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.
Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pada:
1) Akhir tahap intensif.
2) Sebulan sebelum akhir pengobatan.
3) Akhir pengobatan
Hasil pengobatan seorang penderita TBC seperti dijelaskan dalam Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (Depkes RI, 2005: 45-47) dapat dikategorikan sebagai: sembuh, pengobatan lengkap, meninggal, pindah (tansfer out), defaulter (lalai)/DO dan gagal.
f. Pengawas menelan obat
Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang Pengawas Menelan Obat atau PMO seperti seseorang yang dikenal, dipercaya, disetujui, tinggal dekat penderita, bersedia membantu penderita dengan sukarela, bisa dari petugas kesehatan, kader kesehatan, tokoh masyarakat, guru atau anggota keluarga terdekat (Depkes RI, 2005: 48-49).
Tugas seorang PMO adalah :
1) Mengawasi penderita TBC agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.
2) Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur.
3) Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang telah ditentukan.
4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TBC yang mempunyai gejala-gejala tersangka TBC untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.

2. Efek samping obat
a. Pengertian
Efek samping biasanya dianggap sebagai gejala-gejala yang muncul akibat pemberian obat dan tidak berhubungan dengan kerja obat yang dimaksud atau diinginkan. Meskipun tidak diharapkan dan mengganggu, efek samping cukup sering terjadi pada dosis biasa sehingga pasien harus waspada mengenai kemungkinan terjadinya dan bagaimana menghadapinya (Deglin dan Vallerand, 2005: xxv).
Menurut Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (2007: 2) efek samping obat adalah setiap efek dari suatu pengobatan yang tidak dikehendaki, merugikan atau membahayakan pasien. Efek samping tidak mungkin dihindari atau dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar dapat diketahui.
Dampak negatif masalah efek samping obat dalam klinik antara lain dapat menimbulkan keluhan atau penyakit baru karena obat, meningkatkan biaya pengobatan, mengurangi kepatuhan berobat serta meningkatkan potensi kegagalan pengobatan (Bagian Farmakologi Klinik FK UGM, 2007: 2).
b. Klasifikasi
Efek samping obat dapat dikelompokkan atau diklasifikasikan dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan ada/tidaknya hubungan dengan dosis, berdasarkan bentuk-bentuk manifestasi klinis dan sebagainya.
Bagian Farmakologi FK UGM (2007: 3) membagi jenis efek samping obat sebagai berikut:
1) Efek samping yang dapat diperkirakan:
- Aksi farmakologik yang berlebihan.
- Respon karena penghentian obat.
- Efek samping yang tidak berupa efek farmakologi utama.
2) Efek samping yang tidak dapat diperkirakan:
- Reaksi alergi.
- Reaksi karena faktor genetik.
- Reaksi idiosinkratik.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi efek samping obat
Berdasarkan hasil penelusuran literatur yang penulis dapatkan maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap munculnya efek samping obat terbagi atas tiga faktor, yaitu: faktor karakteristik obat, faktor karakteristik pasien/klien dan faktor cara pemberian obat (Siregar, 2005: 242-244 serta Potter dan Perry, 2005: 1000-1020).
1) Faktor karakteristik obat yang mempengaruhi timbulnya efek samping obat terdiri atas: dosis, jumlah, efek farmakologi dan toksisitas.
Dosis dan jumlah obat yang diberikan, untuk sebagian besar menentukan apakah seorang pasien akan mengalami efek samping atau tidak. Dosis yang berlebihan pada umumnya akan menimbulkan berbagai efek samping pemakaian obat. Besarnya dosis dan jumlah obat juga akan menentukan bagaimana obat tersebut akan diabsorpsi, didistribusi, dimetabolisme, dan diekskresikan oleh tubuh.
Obat-obat dengan multi efek farmakologi juga akan lebih cenderung menyebabkan reaksi merugikan dari suatu obat (Siregar, 2005: 242-243 serta Potter dan Perry, 2005: 999).
2) Faktor karakteristik pasien yang mempengaruhi timbulnya efek samping obat meliputi: umur, jenis kelamin, genetik, kepatuhan dengan regimen obat, penyakit, status nutrisi, stress fisik dan emosional.
Umur adalah suatu faktor penentu yang penting dan berdampak langsung terhadap kerja obat, oleh karena itu dapat mempengaruhi timbulnya efek samping. Bayi tidak memiliki banyak enzim yang diperlukan untuk metabolisme obat normal. Perkembangan sistem enzim hati yang belum sempurna, konsentrasi darah lebih tinggi dan waktu paruh dari obat lebih lama pada bayi dari pada orang dewasa. Sejumlah perubahan fisiologis yang menyertai penuaan mempengaruhi respon terhadap terapi obat. Orang tua diketahui sering menderita efek samping yang lebih tinggi daripada kelompok umur yang lebih muda (Siregar, 2005: 243 serta Potter dan Perry, 2005: 1000).
Sedangkan perbedaan jenis kelamin antara pria dan wanita dapat mempengaruhi timbulnya efek samping dikaitkan dengan perbedaan hormonal yang mengubah metabolisme obat tertentu. Hormon dan obat saling bersaing dalam biotransformasi karena kedua senyawa tersebut terurai dalam proses metabolik yang sama (Potter dan Perry, 2005: 1000).
Susunan genetik juga dapat mempengaruhi biotransformasi obat. Pola metabolik dalam keluarga seringkali sama. Faktor genetik menentukan apakah enzim yang terbentuk secara alami ada untuk membantu penguraian obat. Akibatnya anggota keluarga sensitif terhadap suatu obat (Potter dan Perry, 2005: 1000).
Kepatuhan dengan regimen obat berkaitan dengan ketidakmampuan atau ketidakmauan pasien menggunakan obat dengan tepat juga merupakan suatu faktor utama terhadap timbulnya efek samping obat. Kepatuhan pasien yang buruk terhadap regimen terapi obat dapat mengakibatkan penggunaan suatu dosis obat yang berlebihan atau kurang, atau penggunaan obat di luar waktu yang sewajarnya yang akhirnya menimbulkan efek obat yang tidak diinginkan (Siregar, 2005: 243).
Penyakit dapat mengubah fungsi normal tubuh, dan sebagai akibatnya farmakokinetik dan farmakodinamik obat yang dikonsumsi juga akan berubah. Setiap penyakit yang merusak fungsi organ yang bertanggung jawab terhadap farmakokinetik normal (seperti: perubahan integritas kulit, penurunan absorpsi dan motilitas saluran cerna, kerusakan fungsi hati dan ginjal) juga akan merusak kerja obat, mengurangi efektifitas obat dan atau membuat pasien berisiko mengalami efek obat yang merugikan (Siregar, 2005: 243-244 serta Potter dan Perry, 2005: 1000).
Status nutrisi yang buruk mempengaruhi sel sehingga tidak dapat berfungsi dengan normal yang kemudian mengakibatkan biotranformasi tidak berlangsung. Seperti semua fungsi tubuh, metabolisme obat bergantung pada nutrisi yang adekuat untuk membentuk enzim dan protein. Kebanyakan obat berikatan dengan protein sebelum didistribusikan ke tempat kerja obat (Potter dan Perry, 2005: 1000).
Stress fisik dan emosional yang berat akan memicu respon hormonal yang pada akhirnya mengganggu metabolisme obat pada klien. Radiasi ion, pajanan panas dan dingin adalah contoh stressor fisik yang dapat mempengaruhi respon terhadap obat. Demikian juga dengan sejumlah faktor psikologis dan emosional seseorang akan mempengaruhi penggunaan obat dan respon terhadap obat. Sebagai contoh sikap seseorang terhadap obat dapat berakar dari pengalaman sebelumnya, motivasi untuk sembuh atau pengaruh keluarga (Potter dan Perry, 2005: 1000).
3) Faktor cara pemberian obat yang dapat mempengaruhi timbulnya efek samping obat yaitu: rute, waktu, dan durasi.
Rute pemberian obat peroral, injeksi, topikal, inhalasi dan lain-lain dapat memberikan perbedaan efek obat yang ditimbulkan. Hal tersebut berkaitan dengan perbedaan absorpsi, distribusi, metabolisme dan eksresi dari suatu obat pada masing-masing rute pemberian (Potter dan Perry, 2005: 1019).
Sedangkan waktu dan durasi pemberian obat berkaitan dengan siklus sirkadian yang dihubungkan dengan kronobiologi, kronofarmakologi dan kronofarmakokinetika dari suatu obat (Potter dan Perry, 2005: 1019, http//Mashuriblog.com, diakses 2 Maret 2008, dan http//portalkalbe.com, diakses 2 Maret 2008). Siklus sirkadian yang terdiri dari siklus siang (diurnal) dan siklus malam (nokturnal) adalah irama yang mempengaruhi perubahan fisik dan mental yang terjadi secara teratur setiap hari. Irama tersebut dikontrol oleh body,s biological clock yang terletak dan merupakan bagian dari otak yang disebut supra chiasmastic nucleus (SCN), yaitu bundle saraf (mengandung sepuluh ribuan sel saraf) yang berada di persilangan dua jaras saraf mata. Irama siklus sirkadian tersebut sampai saat ini diketahui berbeda-beda baik untuk keadaan tidur, terjaga, lapar, kepekaan terhadap obat dan seks (http//Mashuriblog.com, diakses 2 Maret 2008).
Syekh Yusuf al-Hajj Ahmad dalam buku Al Qur’an Kitab Sains dan Medis (2006: 125-127) menyebutkan bahwa Allah SWT memerintahkan manusia untuk merenungi hikmah pergantian siang dan malam seperti dalam surah Al Baqarah ayat 164, Ali Imran ayat 190, Yunus ayat 67, Ar Ra’d ayat 3, Al Isra ayat 12, Al Mu’minun ayat 80, Al Furqan ayat 47, An Naml ayat 86, Ar Rum ayat 23, Al Mu’min ayat 61, Al Jatsiyah ayat 5, Al Muzammil ayat 7 dan 20, serta An Naba ayat 10 dan 11.
Berikut kutipan dari Surah Al Baqarah ayat 164 yang artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang , bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (Lembaga Percetakan Al Qur’an Raja Fahd, 2002: 40).

d. Efek samping OAT
Penderita TBC dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping dan sebagian mengalami efek samping. Bagian Farmakologi FK UGM (2007: 4) menjelaskan bahwa efek samping OAT pada umumnya diklasifikasikan sebagai efek samping obat yang tidak berupa efek farmakologi utama.
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: 53-57) lebih lanjut menjelaskan bahwa berdasarkan sifatnya efek samping OAT dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Efek samping minor yaitu efek samping yang hanya menyebabkan sedikit perasaan tidak enak. Gejala-gejalanya sering dapat ditanggulangi dengan obat-obat simptomatik, obat sederhana, dan atau pengaturan pola waktu menelan OAT. Dalam hal ini pemberian OAT dapat diteruskan (lihat tabel 2.6)

Tabel 2.4 Efek Samping Minor OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Anoreksia, mual,
sakit perut Rifampisin Obat ditelan malam sebelum tidur
Nyeri sendi Pirasinamid Beri aspirin
Kesemutan s/d
rasa terbakar di kaki Isoniasid (INH) Beri vitamin B6 (piridoksin)
100mg/hari
Warna kemerahan pada urine Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi
perlu penjelasan kepadaPenderita


2) Efek samping mayor yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit serius. Dalam kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan penderita harus segera dirujuk ke pelayanan kesehatan yang lebih tinggi (lihat tabel 2.7)

Tabel 2.5 Efek Samping Mayor OAT
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Beri antihistamin, OAT
diteruskan dengan
Gatal dan kemerahan kulit Semua jenis OAT pengawasan ketat.
Bila bertambah berat,
Hentikan pemberian OAT, rujuk ke UPK
perawatan.
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
Etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
Etambutol
Ikterus tanpa penyebab lain Hampir semua OATHentikan semua OAT sampai ikterus
hilang
Bingung dan muntah-muntah
(permulaan ikterus karena obat)Hampir semua OAT Hentikan semua OAT, segera lakukan
tes fungsi hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol
Purpura dan renjatan (syok) Rifampisin Hentikan Rifampisin

Pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan dengan menjelaskan tanda-tanda efek samping dan menanyakan adanya gejala efek samping pada waktu penderita mengambil OAT di unit pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2005: 53).
Standar Internasional Untuk Pelayanan Tuberkulosis pada standar 11 menyebutkan bahwa rekaman tertulis tentang pengobatan, termasuk respon efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien (WHO, 2006: 3).
Efek samping yang dapat timbul maupun prinsif penatalaksanaan dari OAT FDC sama dengan OAT kombipak. Identifikasi efek samping OAT FDC meskipun telah diketahui komponen obat penyebabnya, dianggap sebagai efek samping dari kesatuan OAT FDC tersebut secara keseluruhan karena sediaannya sebagai obat kombinasi dalam satu tablet.
Pada kasus efek samping mayor, bila tidak dapat ditangani dengan pemberian obat simptomatis maka pemberian OAT FDC harus dihentikan. Penatalaksanaan menggunakan cara ”drug challenging” untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab efek samping, tidak dapat dilakukan seperti pada OAT yang bukan dalam bentuk kombinasi. Bila OAT FDC sebagai penyebab efek samping tidak dapat diberikan kembali, penderita diobati dengan OAT Kombipak (OAT non kombinasi) tanpa menyertakan obat yang menjadi penyebab efek samping tersebut.
Penatalaksanaan terhadap efek samping minor OAT adalah dengan pemberian obat simptomatis sesuai manifestasi klinis gejala efek samping yang timbul, namun hal tersebut harus dilakukan berdasarkan intervensi keperawatan yang bersifat kolaboratif dengan dokter. Sebagai contoh, gejala efek samping minor OAT yang timbul berupa nyeri sendi dapat diberikan obat analgetik seperti aspirin atau parasetamol. Sedangkan keluhan gejala efek samping berupa kesemutan sampai rasa terbakar di kaki dapat diberikan pengobatan dengan piridoksin/vitamin B6 (Depkes RI, 2005: 55)
Penatalaksanaan keperawatan mandiri terhadap kasus efek samping minor OAT yang timbul dapat dilakukan dengan memodifikasi waktu menelan OAT pada malam hari sebelum tidur, sesuai dengan peran yang dapat dilakukan perawat pengelola program TBC seperti yang dipaparkan dalam Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (Depkes RI, 2005: lampiran).
Jika memungkinkan OAT dianjurkan ditelan pada waktu setengah jam sebelum makan pagi. Efek samping utama jika obat diberikan setiap hari seperti OAT fase intensif adalah efek yang mengenai saluran gastro-intestinal seperti mual, hilang selera makan dan sakit perut ringan atau kadang-kadang timbul diare. Seringkali masalah tersebut dapat diatasi jika OAT diminum sebelum tidur malam (Crofton dan kawan-kawan, 2002: 186-187).
Metabolisme tubuh akan semakin meningkat secara signifikan pada siang hari seiring dengan aktifitas dan kegiatan yang dilakukan. Peningkatan metabolisme tubuh tersebut diikuti dengan peningkatan kerja saraf otonom yang membuat tubuh lebih peka terhadap stressor, sehingga stressor yang walaupun sifatnya ringan akan lebih dirasakan berat. Demikian pula halnya dengan keluhan efek samping obat, walaupun efek samping yang timbul hanya bersifat ringan atau keluhan efek samping yang seharusnya tidak muncul akan dapat dirasakan lebih berat atau dirasakan timbul dan mengganggu perasaan klien secara umum (http//Mashuriblog.com, diakses 2 Maret 2008, dan http//portalkalbe.com, diakses 2 Maret 2008).
Pada malam hari tubuh dalam keadaan istirahat yang merupakan kondisi kebalikan dari siang hari di mana metabolismenya juga akan mengalami penurunan. Metabolisme tubuh yang menurun akan mengurangi kepekaannya terhadap stressor, termasuk sensitivitas perasaan terhadap keluhan efek samping obat yang timbul (http//Mashuriblog.com, diakses 2 Maret 2008, dan http//portalkalbe.com, diakses 2 Maret 2008).
e. Penatalaksanaan keperawatan terhadap efek samping OAT
Intervensi keperawatan yang bersifat kolaboratif dalam pemberian terapi OAT salah satunya adalah memberikan tindakan penanganan terhadap efek samping yang timbul. Uraian tugas pengelola program TBC di Unit Pelayanan Kesehatan dalam Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2005: lampiran) menyebutkan bahwa perawat diberikan kewenangan untuk memberikan intervensi keperawatan dalam penatalaksaanaan efek samping OAT sesuai protap yang telah ditentukan.
Masalah keperawatan pada penderita TBC yang berkaitan dengan efek samping OAT di antaranya adalah: Kurang pengetahuan tentang pengobatan berhubungan dengan: interpretasi yang salah, informasi yang didapat tidak lengkap/tidak akurat, terbatasnya pengetahuan/kognitif (http//iwansain.files.wordpress.com, diakses 12 April 2008).
Intervensi terhadap masalah keperawatan: Kurang pengetahuan tentang efek samping OAT adalah:
• Memberikan informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan.
Rasionalisasi: Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien.
• Menjelaskan efek samping obat dan penatalaksanaannya.
Rasionalisasi: Meningkatkan partisipasi pasien mematuhi aturan terapi, mencegah keraguan terhadap pengobatan, mencegah mangkir berobat dan meningkatkan keberhasilan pengobatan.
• Mengubah waktu menelan OAT.
Rasionalisasi: Meminimalisir timbulnya efek samping yang mungkin dipengaruhi oleh waktu minum OAT.
(http//iwansain.files.wordpress.com, diakses 12 April 2008 dan Depkes RI, 2005: 55).

Sumber :
H.Nor Efendi. 2008. Hubungan Waktu Menelan Obat Antituberkulosis Fixed Dose Combination (OAT FDC) Kategori 1 dengan Timbulnya Efek Samping Mino (Studi di Kabupaten Hulu Sungai Utara). Skripsi, Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Banjarmasin.
http://askep-askeb.cz.cc/
BACA SELENGKAPNYA - Tuberkulosis (TBC)

KEPERAWATAN PERIOPERATIF

KEPERAWATAN PERIOPERATIF

Pengertian

Keperawatan perioperatif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien.
Pengertian
Kata perioperatif adalah suatu istilah gabungan yang mencangkup 3 fase pengalaman pembedahan yaitu :
Praoperatif
Intraoperatif
Pascaoperatif

Fase Praoperatif
Batasan

Fase praoperatif dimulai ketika keputusan untuk intervensi dibuat dan berakhir ketika pasien dikirim ke meja operasi.
Prioritas
Prioritas adalah inform consent, yaitu : pernyataan persetujuan pasien/keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan yang berguna untuk mencegah ketidaktahuan pasien/keluarga tentang prosedur yang akan dilaksanakan dan juga menjaga rumah sakit dan petugas kesehatan dari tuntutan hukum pasien/keluarga mengenai tindakan tersebut.
Inform consent
Inform consent dilakukan apabila sudah termasuk :
Informasi pembedahan yang akan dilakukan.
Memberitahukan nama dan kualifikasi orang atau petugas yang akan melakukan pembedahan.
Menjelaskan resiko termasuk kerusakan jaringan, kemungkinan komplikasi dan kemungkinan kematian.
Rasio kesuksesan pembedahan.
Alternatif lain yang dapat ditempuh.
Hak – hak pasien/keluarga terhadap consent yang akan dilakukan bila terjadi pembatalan kemudian.
Manajemen Keperawatan
Pengkajian
Pengkajian pasien bedah meliputi : mengevaluasi faktor – faktor fisik dan psikologis secara luas.
Pada pengkajian preoperatif termasuk mengkaji kebutuhan sebelum dan sesudah operasi juga diperlukan screening test untuk mengetahui kondisi dan kesiapan pasien secara fisik.
Manajemen Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Ansietas b.d pengalaman bedah dan hasil pembedahan.
Defisit pengetahuan mengenai prosedur dan protokol praoperatif dan harapan pascaoperatif.
Manajemen Keperawatan
Perencanaan dan Implementasi
Tujuan utama meliputi :
Menghilangkan ansietas praoperatif
Meningkatkan pengetahuan tentang persiapan praoperatif dan harapan pascaoperatif.
Aktifitas keperawatan pada pasien praoperatif adalah pendidikan kesehatan (penkes), yang merupakan aktifitas vital pada fase ini.
Manajemen Keperawatan
… Perencanaan dan Implementasi

Ada 4 dimensi pada penkes ini yaitu :
Informasi termasuk hal yang akan terjadi pada pasien, kapan dan apa yang akan dialami pasien, bagaimana sensasi dan ketidaknyamanan yang diduga oleh pasien.
Psikososial suport untuk menghilangkan kecemasan.
Aturan yang dianut pasien, suport orang sekitarnya.
Latihan keterampilan termasuk pergerakan, nafas dalam, batuk efektif, menahan insisi dengan tangan atau bantal dan menggunakan spirometer.
Manajemen Keperawatan
Evaluasi
Hasil yang diharapkan :
Ansietas berkurang
Berpartisipasi terhadap tindakan pembedahan



Fase Intraoperatif
Batasan

Fase intraoperatif dimulai ketika pasien masuk atau pindah ke bagian atau departemen bedah dan berakhir pada saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.
Aktifitas
Pada fase ini lingkup aktifitas dapat meliputi :
Memasang infus (IV)
Memberikan medikasi intravena
Melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan
Menjaga keselamatan pasien
Type Anastesi
General Anastesi
Hilangnya seluruh sensasi dan kesadaran termasuk reflek batuk dan reflek muntah sehingga harus dijaga dari adanya aspirasi.
Biasanya diberikan secara intra vena atau inhalasi.
Regional Anastesi
Menghambat jalannya impuls saraf ke dan dari area atau bagian tubuh.
Pasien kehilangan sensasi pada sebagian tubuhnya tetapi tetap sadar.
Manajemen Keperawatan
Pengkajian
Identifikasi pasien.
Validasi data pasien yang dibutuhkan dengan kebijakan per bagian.
Telaah catatan pasien terhadap adanya :
Informed yang benar dengan tanda tangan pasien/keluarga.
Kelengkapan catatan riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik.
Hasil pemeriksaan diagnostik.
Kelengkapan riwayat dan pengkajian kesehatan.
Ceklis praoperatif.
Manajemen Keperawatan
… Pengkajian

Lengkapi pengkajian keperawatan praoperatif segera :
Status fisiologis : tingkat sehat – sakit, tingkat kesadaran.
Status Psikososial : ekspresi kekhawatiran, tingkat ansietas, masalah komunikasi verbal, mekanisme koping.
Status fisik : tempat operasi, kondisi kulit dan efektivitas persiapan, pencukuran, atau obat penghilang rambut, sendi tidak bergerak.
Manajemen Keperawatan
Perencanaan
Menginterpretasi variabel – variabel umum dan menggabungkan variabel tersebut kedalam rencana asuhan :
Usia, ukuran, jenis kelamin, prosedur bedah, tipe anestesia yang direncanakan, ahli anestesi dan anggota tim.
Ketersediaan peralatan spesifik yang dibutuhkan untuk prosedur dan ahli bedah.
Kebutuhan medikasi non rutin, komponen darah, instrumen.
Kesiapan ruangan untuk pasien, kelengkapan pengaturan fisik, kelengkapan instrumen, peralatan jahit dan pengadaan balutan.
Manajemen Keperawatan
… Perencanaan

Mengidentifikasi aspek –aspek lingkungan ruang operasi yang dapat secara negatif mempengaruhi pasien :
Fisik
Suhu dan kelembaban ruangan.
Bahaya peralatan listrik.
Potensial kontaminasi.
Hilir mudik yang tidak perlu
Psikososial
Kebisingan.
Kurang mengenal sebagai individu.
Rasa diabaikan tanpa pengantar di tempat tunggu.
Percakapan yang tidak perlu.
Manajemen Keperawatan
Intervensi
Berikan asuhan keperawatan berdasarkan pada prioritas kebutuhan pasien.
Bertindak sebagai advokat pasien.
Informasikan pasien/keluarga dengan pengalaman intraoperatif.
Koordinasi aktivitas bagi personil lain yang terlibat dalam perawatan pasien, seperti :
X–ray, laboratorium, ICU.
Manajemen Keperawatan
… Intervensi

Operasikan dan atasi semua masalah peralatan yang umumnya digunakan di ruang operasi dan tugaskan di layanan khusus.
Ikutserta dalam konferensi perawatan pasien.
Dokumentasikan semua observasi dan tindakan.
Komunikasikan baik verbal dan tulisan mengenai status kesehatan pasien saat pemindahan dari ruang operasi.
Manajemen Keperawatan
Evaluasi
Mengevaluasi kondisi pasien dengan cepat sebelum dikeluarkan dari ruang operasi : cara bernafas, warna kulit, selang invasif (IV), drain kateter berfungsi secara normal, balutan adekuat tidak terlalu ketat.
Ikut serta dalam mengidentifikasi praktek keperawatan pasien yang tidak aman dan menanganinya dengan baik.
Manajemen Keperawatan
… Evaluasi

Ikut serta dalam mengevaluasi keamanan lingkungan.
Melaporkan dan mendokumentasikan.
Menunjukkan pemahaman tentang prinsip aseptik dan praktek keperawatan teknis.
Mengenali tanggung gugat legal dari keperawatan preoperatif.



Fase Postoperatif
Batasan

Fase postoperatif dimulai dengan masuknya pasien ke ruang pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau dirumah.
Fokus

Mengkaji efek dari agen anastesi
Memantau fungsi vital
Mencegah komplikasi
Aktifitas
Aktivitas keperawatan berfokus pada :
Tingkat penyembuhan pasien
dengan melakukan penyuluhan
Tindak lanjut serta rujukan
penting untuk penyembuhan yang berhasil
Rehabilitasi
diikuti oleh pemulangan
Manajemen Keperawatan
Pengkajian
Pengkajian segera setelah bedah saat kembali ke unit klinik :
Respirasi : kepatenan jalan napas, frekuensi, karakter, sifat dan bunyi napas.
Sirkulasi : TTV, kondisi kulit.
Neurologi : tingkat respon.
Drainase : adanya drainase.
Kenyamanan : tipe nyeri dan lokal, mual, muntah dan perubahan posisi yang dibutuhkan.
Psikologi : sifat dan dari pertanyaan pasien.
Keselamatan : kebutuhan akan pagar tempat tidur, selang infus tidak tersumbat.
Peralatan : diperiksa untuk fungsi yang baik.
Manajemen Keperawatan
Diagnosa
Bersihan jalan napas tidak efektif yang b.d efek depresan dan anastesi.
Nyeri dan ketidaknyamanan postoperatif.
Resiko terhadap cedera.
Hipotermi.
Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan.
Perubahan eliminasi urinarius.
Konstipasi b.d motilitas lambung dan usus.
Kerusakan mobilitas fisik.
Ansietas tentang diagnosis postoperatif.
Manajemen Keperawatan
Intervensi
Memastikan fungsi pernapasan yang optimal dan meningkatkan ekspansi paru.
Meredakan nyeri dan mual muntah, peredaan nyeri tergantung pada letak lokasi pembedahan, perubahan posisi pasien, distraksi, dan pemijatan punggung dengan lotion yang menyegarkan dapat sangat membantu dalam ketidak nyamanan.
Manajemen Keperawatan
… Intervensi

Mempertahankan suhu tubuh, suhu ruangan dipertahankan dengan nyaman dan selimut disediakan mencegah menggigil.
Menghindari cedera, melalui pemantauan yang cermat ketika pasien sadar dari pengaruh anastesi.
Mempertahankan status nutrisi, memberikan diet yang adekuat, nutrisi parenteral.
Manajemen Keperawatan
… Intervensi

Meningkatkan fungsi urinarius normal, dicoba semua metode yang diketahui dapat membantu pasien dalam berkemih, pemasangan kateter.
Konstipasi, jika cairan atau serat dan laksatif tidak efektif, enema dapat digunakan.
Mengurangnya ansietas dan mencapai kesejahteraan psikososial, dibuat tentang perawatan dirumah yang diperlukan setelah pemulangan, kunjungan perawatan di rumah diatur jika diperlukan.
Manajemen Keperawatan
Evaluasi
Pasien mempertahankan fungsi pernapasan yang optimal.
Nyeri berkurang atau hilang.
Menunjukkan suhu normal.
Terhindar dari cedera.
Menunjukkan motilitas gastrointestinal meningkat.
Berkemih adekuat.
Bising usus normal.
Ikut serta dalam perawatan diri.

Sumber : Materi Kuliah Keperawatan Anak
STIkKes Muhammadiyah Banjarmasin 2009
Dosen : Kamilah F Mustika, S.Kep.Ners
http://askep-askeb.cz.cc/
BACA SELENGKAPNYA - KEPERAWATAN PERIOPERATIF

Fakta Mengejutkan Tentang Tubuh Manusia


Mungkin banyak orang yang tidak mengetahui banyak rahasia yang terdapat di dalam tubuhnya. Fakta-fakta ini mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya, tapi seseorang akan terkejut bila mengetahuinya.

Tubuh manusia mulai dari kepala, leher, batang badan, 2 lengan dan 2 kaki merupakan keseluruhan struktur fisik dari organisme manusia. Ukuran tubuh manusia biasanya dipengaruhi oleh gen, dan saat dewasa tubuh terdiri dari 100 miliar sel yang dirancang untuk menunjang fungsi masing-masing organ seperti kardiovaskular, pencernaan, kekebalan tubuh, pernapasan, ekskresi, perkemihan, muskuloskeletal, saraf, endokrin dan reproduksi.

Karena itu ada fakta-fakta tersembunyi yang tidak diketahui banyak orang mengenai tubuh seorang manusia, seperti dikutip dari Howstuffworks, Rabu (30/12/2009):
  1. Manusia melepaskan sekitar 600.000 partikel (sel) kulit setiap jamnya. Dalam setahun ada sekitar 1,5 pon (0,75 kg) sehingga rata-rata orang akan kehilangan sekitar 105 pon (47,25 kg) sel kulit pada saat berusia 70 tahun.
  2. Jumlah tulang. Orang dewasa memiliki tulang yang lebih sedikit dibandingkan bayi. Saat seseorang baru memulai kehidupan, terdapat 305 tulang. Tapi seiring terjadinya pertumbuhan, maka saat dewasa orang hanya memiliki 206 tulang saja.
  3. Sidik (garis-garis) di lidah. Jika ingin menyembunyikan identitas, maka sebaiknya tidak menjulurkan lidah. Karena serupa dengan sidik jari, setiap orang memiliki sidik lidah unik yang berbeda-beda.
  4. Lapisan kulit perut baru. Tanpa disadari setiap manusia memiliki lapisan kulit perut baru setiap 3-4 hari. Ini karena asam yang kuat di lambung tidak hanya berguna untuk mencerna makanan, tapi juga untuk mengikis lapisan perut.
  5. Kecepatan bersin. Udara yang dikeluarkan dari orang yang bersin bisa memiliki kecepatan hingga 100 mil/jam (160,9 km/jam) atau lebih. Karena itu tidak ada salahnya untuk menutup hidung saat bersin atau ada orang di dekat Anda yang bersin.
  6. Panjangnya pembuluh darah. Darah memiliki jalur kerja yang panjang, karena ada sekitar 60.000 mil (96.540 km) pembuluh darah dalam tubuh manusia. Dan jantung bekerja keras untuk memompa sekitar 2.000 galon darah setiap harinya ke semua pembuluh darah.
  7. Jumlah air liur. Mungkin tidak pernah terbayangkan untuk berenang di dalam air liur sendiri. Tapi hal ini mungkin saja, karena dalam seumur hidupnya seseorang menghasilkan air liur rata-rata 25.000 liter.
  8. Kekuatan mendengkur. Seseorang pasti akan terganggu jika tidur di sebelah orang yang mendengkur. Hal ini bisa dimaklumi, karena suara dengkuran bisa mencapai 60 desibel yang setara dengan suara normal orang berbicara. Bahkan ada yang mencapai 80 desibel yaitu setara dengan suara mesin bor.
  9. Warna dan jumlah rambut. Warna rambut akan membantu menentukan seberapa banyak jumlah helai rambut. Warna rambut pirang memiliki 146.000 folikel (kantong kelenjar pada rambut), rambut hitam memiliki 110.000 folikel sedangkan rambut coklat memiliki 100.000 folikel. Setiap folikel menghasilkan 20 helai rambut.
  10. Berat kepala. Tidak heran jika seorang bayi sulit sekali mengangkat kepalanya, karena berat kepala saat baru lahir adalah seperempat dari total berat badan. Sedangkan saat dewasa, berat kepalanya hanya seperdelapan dari berat badan seseorang
Sumber : Detik.com
http://askep-askeb.cz.cc/
BACA SELENGKAPNYA - Fakta Mengejutkan Tentang Tubuh Manusia

Komunikasi Terapeutik

Pengantar


Komunikasi, menciptakan hubungan antara bidan dengan pasien untuk mengenal kebutuhan dan menentukan rencana tindakan.

Kemampuan komunikasi tidak terlepas dari tingkah laku yang melibatkan aktifitas fisik, mental dan dipengaruhi oleh latar belakang sosial, pengalaman, usia, pendidikan dan tujuan.


Pengertian Komunikasi Terapeutik



  • Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yg direncanakan secara sadar, bertujuan dan dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik mengarah pada bentuk komunikasi interpersonal.

  • Northouse (1998: 12), komunikasi terapeutik adalah kemampuan atau keterampilan bidan untuk membantu pasien beradaptasi terhadap stres, mengatasi gangguan psikologis, dan belajar bagaimana berhubungan dengan orang lain.

  • Stuart G.W. (1998), komunikasi terapeutik merupakan hubungan interpesonal antara bidan dengan pasien, dalam hubungan ini bidan dan pasien memperoleh pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional pasien.


Tujuan Komunikasi Terapeutik



  1. Membantu pasien memperjelas dan mengurangi beban perasaan serta pikiran.

  2. Membantu mengambil tindakan yang efektif untuk pasien.

  3. Membantu mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan diri sendiri.


Menurut Stuart, tujuan terapeutik diarahkan pada pertumbuhan klien : 1) Realisasi diri, penerimaan diri dan rasa hormat pada diri sendiri. 2) Identitas diri yang jelas dan integritas diri yang tinggi. 3) Kemampuan membina hubungan interpersonal yang intim, saling tergantung dan mencintai. 4) Peningkatan fungsi dan kemampuan yang memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan personal yang realistis.


Manfaat Komunikasi Terapeutik



  1. Mendorong dan menganjurkan kerjasama antara bidan-pasien.

  2. Mengidentifikasi, mengungkap perasaan dan mengkaji masalah serta mengevaluasi tindakan yang dilakukan bidan.

  3. Memberikan pengertian tingkah laku pasien dan membantu pasien mengatasi masalah yang dihadapi.

  4. Mencegah tindakan yang negatif terhadap pertahanan diri pasien.


Ciri Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik mempunyai ciri sebagai berikut : 1) Terjadi antara bidan dengan pasien, 2) Mempunyai hubungan akrab dan mempunyai tujuan, 3) Berfokus pada pasien yang membutuhkan bantuan, 4) Bidan dengan aktif, mendengarkan dan memberikan respon pada pasien.


Unsur Komunikasi Terapeutik

Adapun komunikasi terapeutik mempunyai unsur sebagai berikut : 1) Ada sumber proses komunikasi; 2) Pesan disampaikan dengan penyandian balik (verbal & non verbal); 3) Ada penerima; 4) Lingkungan saat komunikasi berlangsung.


Prinsip Komunikasi Terapeutik (Menurut Carl Rogers)



  1. Bidan sebagai tenaga kesehatan harus mengenal dirinya sendiri,

  2. Komunikasi ditandai dengan sikap menerima, percaya dan menghargai,

  3. Bidan sebagai tenaga kesehatan harus paham, menghayati nilai yang dianut pasien,

  4. Bidan sebagai tenaga kesehatan harus sadar pentingnya kebutuhan pasien,

  5. Bidan sebagai tenaga kesehatan harus menciptakan suasana agar pasien berkembang tanpa rasa takut,

  6. Bidan sebagai tenaga kesehatan menciptakan suasana agar pasien punya motivasi mengubah diri,

  7. Bidan sebagai tenaga kesehatan harus menguasai perasaannya sendiri,

  8. Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan konsisten,

  9. Bidan harus paham akan arti empati,

  10. Bidan harus jujur dan berkomunikasi secara terbuka,

  11. Bidan harus dapat berperan sebagai role model,

  12. Mampu mengekspresikan perasaan,

  13. Altruisme (panggilan jiwa) untuk mendapatkan kepuasan dengan menolong orang lain,

  14. Berpegang pada etika,

  15. Tanggung jawab


Teknik Menjalin Hubungan dengan Pasien

Syarat dasar komunikasi menjadi efektif (Stuart, 1998) adalah : 1) Komunikasi ditujukan untuk menjaga harga diri pemberi dan penerima pesan. 2) Komunikasi dilakukan dengan saling pengertian sebelum memberi saran, informasi dan masukan.


Jenis Komunikasi Terapeutik


Mendengar dengan penuh perhatian

Usaha bidan mengerti pasien dengan cara mendengarkan masalah yang disampaikan pasien. Sikap bidan : pandangan ke pasien, tidak menyilangkan kaki dan tangan, menghindari gerakan yang tidak perlu, tubuh condong ke arah pasien.


Menunjukkan penerimaan

Mendukung dan menerima informasi dengan tingkah laku yang menunjukkan ketertarikan dan tidak menilai. Sikap bidan : mendengarkan tanpa memutuskan pembicaraan, memberikan umpan balik verbal.


Menanyakan pertanyaan yg berkaitan

Tujuan : mendapatkan informasi yang spesifik mengenai masalah yang disampaikan pasien.


Mengulang ucapan pasien dengan kata-kata

Pemberian feedback dilakukan setelah bidan melakukan pengulangan kembali kata kata pasien.


Mengklarifikasi

Tujuan : untuk menyamakan pengertian.


Memfokuskan

Untuk membatasi bahan pembicaraan sehingga percakapan lebih spesifik dan dimengerti.


Menyatakan hasil observasi

Bidan memberikan umpan balik pada pasien dengan menyatakan hasil pengamatannya sehingga pasien dapat menguraikan apakah pesannya diterima atau tidak.


Menawarkan informasi

Memberi tambahan informasi merupakan tindakan penyuluhan kesehatan untuk pasien.


Diam

Memberikan kesempatan pada bidan untuk mengorganisasikan pikiran dan memproses informasi.


Meringkas

Pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan secara singkat. Manfaat : membantu, mengingat topik yang telah dibahas sebelum melanjutkan pembicaraan.


Memberikan penghargaan

Teknik ini tidak digunakan untuk menyatakan hal yang baik dan buruk.


Menawarkan diri

Menyediakan diri Anda tanpa respon bersyarat atau respon yang diharapkan; Memberi kesempatan kepada pasien untuk memulai pembicaraan; Memberi kesempatan kepada pasien untuk berinisiatif dalam memilih topik pembicaraan.


Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan

Tujuan : 1) Memberi kesempatan pasien untuk mengarahkan seluruh pembicaraan, menafsirkan diskusi, bidan mengikuti apa yg sedang dibicarakan selanjutnya. 2) Menempatkan kejadian dan waktu secara berurutan. 3) Menguraikan kejadian secara teratur akan membantu bidan dan pasien untuk melihat dalam suatu perspektif. 4) Menemukan pola kesukaran interpersonal klien.


Menganjurkan klien untuk menguraikan persepsi

Bidan harus dapat melihat segala sesuatu dari perpektif pasien.


Perenungan

Memberikan kesempatan untuk mengemukakan dan menerima ide serta perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri.


Tahap Interaksi dengan Pasien

Pre interaksi

Adalah masa persiapan sebelum mengevaluasi dan berkomunikasi dengan pasien. Pada masa ini bidan perlu membuat rencana interaksi dengan pasien yaitu : melakukan evaluasi diri, menetapkan tahapan hubungan/ interaksi, merencanakan interaksi.


Perkenalan

Adalah kegiatan yang dilakukan saat pertama kali bertemu. Hal yang perlu dilakukan bidan adalah : memberi salam; memperkenalkan diri; menanyakan nama pasien; menyepakati pertemuan (kontrak); melengkapi kontrak; menyepakati masalah pasien; mengakhiri perkenalan.


Orientasi

Fase ini dilakukan pada awal setiap pertemuan kedua dst. Tujuan : memvalidasi keakuratan data, rencana yang telah dibuat dengan keadaan pasien dan mengevaluasi hasil tindakan yg lalu. Hal yang harus diperhatikan : memberi salam; memvalidasi keadaan psien; mengingatkan kontrak.


Fase kerja

Merupakan inti hubungan bidan-klien yang terkait erat dengan pelaksanaan rencana tindakan kebidanan yang dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.


Tujuan tindakan kebidanan : 1) Meningkatkan pengertian dan pengenalan pasien tentang diri, perasaan, pikiran dan perilakunya (tujuan kognitif). 2) Mengembangkan, mempertahankan,dan meningkatkan kemampuan pasien secara mandiri menyelesaikan masalah yang dihadapi (tujuan afektif & psikologi). 3) Melaksanakan terapi/ klinis kebidanan. 4) Melaksanakan pendidikan kesehatan. 5) Melaksanakan kolaborasi. 6) Melaksanakan observasi dan pemantauan.


Fase terminasi

Merupakan akhir dari setiap pertemuan bidan dengan pasien. Klasifikasi terminasi :

1) Terminasi sementara : akhir dari tiap pertemuan bidan dengan pasien; terdiri dari tahap evaluasi hasil, tahap tindak lanjut dan tahap untuk kontrak yang akan datang. 2)

Terminasi akhir : terjadi jika pasien akan pulang dari rumah sakit atau bidan selesai praktik. Isi percakapan antara bidan dengan pasien meliputi tahap evaluasi hasil, isi percakapan tindak lanjut dan tahap eksplorasi perasaan.


Faktor Penghambat Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik dapat mengalami hambatan diantaranya : 1) Pemahaman berbeda; 2) Penafsiran berbeda; 3) Komunikasi yang terjadi satu arah; 4) Kepentingan berbeda; 5) Pemberian jaminan yang tidak mungkin; 6) Bicara hal-hal yang pribadi; 7) Menuntut bukti, penjelasan dan tantangan; 8 ) Mengalihkan topik pembicaran; 9) Memberikan kritik mengenai perasaan pasien; 10) Terlalu banyak bicara; 11) Memperlihatkan sifat jemu dan pesimis.



Komunikasi Terapeutik dalam Kebidanan

Komunikasi terapeutik dalam kebidanan meliputi :


Pengkajian

Menentukan kemampuan dalam proses informasi; mengevaluasi data tentang status mental pasien; mengevaluasi kemampuan pasien dalam berkomunikasi; mengobservasi kejadian yang terjadi; mengidentifikasi perkembangan pasien; menentukan sikap pasien; mengkaji tingkat kecemasan pasien.


Rencana tujuan

Membantu pasien untuk memenuhi kebutuhan sendiri; membantu pasien menerima pengalaman; meningkatkan harga diri pasien; memberi support; tenaga kesehatan dan pasien sepakat untuk berkomunikasi secara terbuka.


Implementasi

Memperkenalkan diri pada pasien; memulai interaksi dengan pasien; membantu pasien mendapatkan gambaran pengalamannya; menganjurkan pasien untuk mengungkapkan perasaan; menggunakan komunikasi untuk meningkatkan harga diri pasien.


Evaluasi

Pasien dapat mengembangkan kemampuan dalam mengkaji dan memenuhi kebutuhan; komunikasi menjadi lebih jelas, terbuka, dan terfokus pada masalah; membantu menciptakan lingkungan yang dapat mengurangi kecemasan.


Referensi
Uripni, L. 2003. Komunikasi Kebidanan. Jakarta : EGC.
Suparyanti, R. 2008. Handout Komunikasi Terapeutik.
Suryani. 2005. Komunikasi Terapeutik Teori Dan Praktik. Jakarta : EGC.

http://askep-askeb.cz.cc/

BACA SELENGKAPNYA - Komunikasi Terapeutik

01 February 2011

ABETALIPOPROTEINEMIA

abetalipoproteinemia_recessive_inherited_medicinestuffDEFINITION:

A disorder of lipid metabolism characterized by fat malabsorption, acanthocytosis, retinopathy, and progressive neurologic disease.

EPIDEMIOLOGY:

- incidence: rare
- age of onset:

* 1st year (gastrointestinal manifestations)
* first 10 years (neurologic and ocular manifestations)

- risk factors:

* familial - autosomal recessive
* chrom. #: ?2p24
* gene: ?
* M > F (3:2)

PATHOGENESIS:

1. Background

* cholesterol and triglycerides are transported in the circulation in macromolecular complexes called lipoproteins
* the protein component of lipoproteins are called apolipoproteins
* abetalipoproteinemia is considered to be a defect in the absorption and transport of lipids
* heterozygotes are asymptomatic

2. Genetic Defect

genetic defect -> decreased availability of apolipoproteins B (apo B-100, apo B-48) -> inhibits the formation of chylomicrons (lipoproteins containing exogenous cholesterol and triglycerides) and very low density lipoproteins (lipoproteins containing endogenous cholesterol and triglycerides) -> inhibits availability of cholesterol and triglycerides -> clinical manifestations:

1. Gastrointestinal

* malabsorption of fats and fat-soluble vitamins:
* anemia and coagulopathy
* night blindness and retinopathy

2. Peripheral Nervous System

axonopathy and demyelination of peripheral sensory and motor nerves and within the posterior column of the spinal cord -> sensory and motor deficits

3. Hematological

decreased levels of cholesterol and triglyceride in the plasma may result in the maldistribution of lipids within the plasma membrane of the RBC’s resulting in RBC membrane deformities -> thorn-like projections (acanthocytosis)

CLINICAL FEATURES:

I. Gastrointestinal Manifestations

initially present from newborn period to 1 year of age

1. Malabsorption Syndrome

* fat malabsorption:
* steatorrhea - pale, foul-smelling, bulky stool
* abdominal distention, vomiting, diarrhea, failure to thrive
* malabsorption of fat-soluble vitamins - E, A, K - (vitamin D absorption does not appear to be affected)

II. Neurological Manifestations

begin in the first or second decade and are progressive
first neurological sign is loss of deep tendon reflexes within the first few years of life

1. Sensory Disturbances

* altered position and vibration senses
* altered pinprick and temperature sensations
* stocking-glove distribution of hypesthesia
* tend to precede ataxia

2. Movement Disorders

* cerebellar ataxia:
* gait disturbances:
* 33% of patients by 10 years of age
* 100% of patients by 30 years of age
* loss of ambulation by 3rd decade
* dysarthria
* dysdiadochokinesia
* dysmetria
* chorea
* intention tremors

3. Others

* muscle weakness
* muscle contractions:
* pes cavus, equinovarus, kyphoscoliosis
* mental retardation
* peripheral neuritis

III. Hematological Manifestations

likely secondary to malabsorption

1. Anemia

* hemolytic etiology with iron and/or folate deficiencies
* may be associated with hyperbilirubinemia

2. Coagulopathy

* prolonged PT

IV. Ophthalmologic Manifestations

1. Night Blindness

* usually initial symptom (Vitamin A deficiency)

2. Pigmentary Retinal Blindness

* most prominent symptom and present by 10 years of age

3. Impaired Visual Acuity

* by 10 years of age and may progress to blindness

4. Ophthalmoplegia

* dissociated nystagmus on lateral gaze
* progressive exotropia

5. Others

* cataracts
* loss of colour vision
* ptosis

INVESTIGATIONS:

I. Serum

* blood smear: acanthocytosis of 50-70% of peripheral erythrocytes (thorny projections from cell surface)
* reduced cholesterol, triglycerides, beta-lipoproteins, chylomicrons, VLDL. vitamins E, A, and K
* lack of apolipoprotein B
* anemia (mild to severe) with slight reticulocytosis and negative
* Coombs test
* low ESR, prolonged PT

II. Biopsies

1. Duodenal

* yellowish discolouration of mucosa (increased lipid content)
* normal villi
* lack of apolipoprotein B on immunofluorescence

2. Peripheral Nerves

* paranodal demyelination

3. Electrodiagnostic Studies

1. Evoked Potentials

* abnormal somatosensory conduction velocity

2. Conduction Velocity

* slowed with decreased amplitude of sensory potentials

3. EMG

* denervation

MANAGEMENT:

1. Diet

* restriction of long-chain fatty acids
* supplement with MCT oil
* tends to alleviate the gastrointestinal manifestations

2. Medical

1. Fat Soluble Vitamins

* Vitamin E: can prevent or retard the neurological manifestations and retinopathy
* Vitamin K: corrects coagulopathy
* Vitamin A: corrects night blindness

2. Iron or Folate Supplementation

* for anemia

BACA SELENGKAPNYA - ABETALIPOPROTEINEMIA

HERNIA NUKLEUS PULPOSUS

Pengertian
Diskus Intervertebralis adalah lempengan kartilago yang membentuk sebuah bantalan diantara tubuh vertebra. Material yang keras dan fibrosa ini digabungkan dalam satu kapsul. Bantalan seperti bola dibagian tengah diskus disebut nukleus pulposus. HNP merupakan rupturnya nukleus pulposus. (Brunner & Suddarth, 2002)

Hernia Nukleus Pulposus bisa ke korpus vertebra diatas atau bawahnya, bisa juga langsung ke kanalis vertebralis. (Priguna Sidharta, 1990)

Patofisiologi
Protrusi atau ruptur nukleus pulposus biasanya didahului dengan perubahan degeneratif yang terjadi pada proses penuaan. Kehilangan protein polisakarida dalam diskus menurunkan kandungan air nukleus pulposus. Perkembangan pecahan yang menyebar di anulus melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus. Setela trauma *jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti mengangkat) kartilago dapat cedera.
Pada kebanyakan pasien, gejala trauma segera bersifat khas dan singkat, dan gejala ini disebabkan oleh cedera pada diskus yang tidak terlihat selama beberapa bulan maupun tahun. Kemudian pada degenerasi pada diskus, kapsulnya mendorong ke arah medula spinalis atau mungkin ruptur dan memungkinkan nukleus pulposus terdorong terhadap sakus dural atau terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal.

Hernia nukleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nukleus pulposus menekan pada radiks yang bersama-sama dengan arteria radikularis berada dalam bungkusan dura. Hal ini terjadi kalau tempat herniasi di sisi lateral. Bilamana tempat herniasinya ditengah-tengah tidak ada radiks yang terkena. Lagipula,oleh karena pada tingkat L2 dan terus kebawah sudah tidak terdapat medula spinalis lagi, maka herniasi di garis tengah tidak akan menimbulkan kompresi pada kolumna anterior.
Setelah terjadi hernia nukleus pulposus sisa duktus intervertebralis mengalami lisis sehingga dua korpora vertebra bertumpang tindih tanpa ganjalan.

Manifestasi Klinis
Nyeri dapat terjadi pada bagian spinal manapun seperti servikal, torakal (jarang) atau lumbal. Manifestasi klinis bergantung pada lokasi, kecepatan perkembangan (akut atau kronik) dan pengaruh pada struktur disekitarnya. Nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh).

Pemeriksaan Diagnostik
1. RO Spinal : Memperlihatkan perubahan degeneratif pada tulang belakang
2. M R I : untuk melokalisasi protrusi diskus kecil sekalipun terutama untuk penyakit spinal lumbal.
3. CT Scan dan Mielogram jika gejala klinis dan patologiknya tidak terlihat pada M R I
4. Elektromiografi (EMG) : untuk melokalisasi radiks saraf spinal khusus yang terkena.

Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Tujuan : Mengurangi tekanan pada radiks saraf untuk mengurangi nyeri dan mengubah defisit neurologik.
Macam :
a. Disektomi : Mengangkat fragmen herniasi atau yang keluar dari diskus intervertebral
b. Laminektomi : Mengangkat lamina untuk memajankan elemen neural pada kanalis spinalis, memungkinkan ahli bedah untuk menginspeksi kanalis spinalis, mengidentifikasi dan mengangkat patologi dan menghilangkan kompresi medula dan radiks
c. Laminotomi : Pembagian lamina vertebra.
d. Disektomi dengan peleburan.
2. Immobilisasi
Immobilisasi dengan mengeluarkan kolor servikal, traksi, atau brace.
3. Traksi
Traksi servikal yang disertai dengan penyanggah kepala yang dikaitkan pada katrol dan beban.
4. Meredakan Nyeri
Kompres lembab panas, analgesik, sedatif, relaksan otot, obat anti inflamasi dan jika perlu kortikosteroid.

Pengkajian
1. Anamnesa
Keluhan utama, riwayat perawatan sekarang, Riwayat kesehatan dahulu, Riwayat kesehatan keluarga
2. Pemeriksaan Fisik
Pengkajian terhadap masalah pasien terdiri dari awitan, lokasi dan penyebaran nyeri, parestesia, keterbatasan gerak dan keterbatasan fungsi leher, bahu dan ekstremitas atas. Pengkajian pada daerah spinal servikal meliputi palpasi yang bertujuan untuk mengkaji tonus otot dan kekakuannya.
3. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosa Keperawatan yang Muncul
1. Nyeri b.d Kompresi saraf, spasme otot
2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, terapi restriktif dan kerusakan neuromuskulus
3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual
4. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis dan tindakan pengobatan.

Intervensi
1. Nyeri b.d kompresi saraf, spasme otot
a. Kaji keluhan nyeri, lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus / yang memperberat. Tetapkan skala 0 – 10
b. Pertahankan tirah baring, posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi, posisi telentang
c. Gunakan logroll (papan) selama melakukan perubahan posisi
d. Bantu pemasangan brace / korset
e. Batasi aktifitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan
f. Ajarkan teknik relaksasi
g. Kolaborasi : analgetik, traksi, fisioterapi

2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri, spasme otot, terapi restriktif dan kerusakan neuromuskulus
a. Berikan / bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif
b. Bantu pasien dalam melakukan aktivitas ambulasi progresif
c. Berikan perawatan kulit dengan baik, masase titik yang tertekan setelah rehap perubahan posisi. Periksa keadaan kulit dibawah brace dengan periode waktu tertentu.
d. Catat respon emosi / perilaku pada immobilisasi
e. Demonstrasikan penggunaan alat penolong seperti tongkat.
f. Kolaborasi : analgetik

3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual
a. Kaji tingkat ansietas pasien
b. Berikan informasi yang akurat
c. Berikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan masalah seperti kemungkinan paralisis, pengaruh terhadap fungsi seksual, perubahan peran dan tanggung jawab.
d. Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh dan mungkin menghalangi proses penyembuhannya.
e. Libatkan keluarga

4. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis
a. Jelaskan kembali proses penyakit dan prognosis dan pembatasan kegiatan
b. Berikan informasi mengenai mekanika tubuh sendiri untuk berdiri, mengangkat dan menggunakan sepatu penyokong
c. Diskusikan mengenai pengobatan dan efek sampingnya.
d. Anjurkan untuk menggunakan papan / matras yang kuat, bantal kecil yang agak datar dibawah leher, tidur miring dengan lutut difleksikan, hindari posisi telungkup.
e. Hindari pemakaian pemanas dalam waktu yang lama
f. Berikan informasi mengenai tanda-tanda yang perlu diperhatikan seperti nyeri tusuk, kehilangan sensasi / kemampuan untuk berjalan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Smeltzer, Suzane C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth edisi 8 Vol 3, Jakarta : EGC, 2002
2. Doengoes, ME, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 2, Jakarta : EGC, 2000.
3. Tucker,Susan Martin,Standar Perawatan Pasien edisi 5, Jakarta : EGC, 1998.
4. Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996.
5. Priguna Sidharta, Sakit Neuromuskuloskeletal dalam Praktek, Jakarta : Dian Rakyat, 1996.
6. Chusid, IG, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional, Yogyakarta : Gajahmada University Press, 1993

http://askep-askeb.cz.cc/

BACA SELENGKAPNYA - HERNIA NUKLEUS PULPOSUS

31 January 2011

MODEL DAN KONSEP KEPERAWATAN

Model adalah contoh, menyerupai, merupakan pernyataan simbolik tentang fenomena, menggambarkan teori dari skema konseptual melalui penggunaan symbol dan diafragma.
Konsep adalah suatu keyakinan yang kompleks terhadap suatu obyek, benda, suatu peristiwa atau fenomena berdasarkan pengalaman dan persepsi seseorang berupa ide, pandangan atau keyakinan.
Kumpulan beberapa konsep ke dalam suatu kerangka yang dapat dipahami membentuk suatu model atau kerangka konsep. Konsep dapat dianalogikan sebagai batu bata dan papan untuk membangun sebuah rumah dimana rumah yang dibangun diibaratkan sebagai kerangka konsep.
Jenis konsep :
Empirical concept : observable concept : konsep yang dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari, misalnya meja, kursi
Inferential concept : non observable concept : konsep yang sulit diamati dalam kehidupan sehari-hari, contoh tekanan darah
Abstract concept
Model konsep adalah rangkaian konstruksi yang sangat abstrak dan berkaitan yang menjelaskan secara luas fenomena-fenomena, mengekspresikan asumsi dan mencerminkan masalah
Model konsep keperawatan berfungsi untuk :
Mengklarifikasi ide/pola pikir tentang keperawatan dan kaitannya dengan praktek keperawatan
Meningkatkan pola pikir kreatif perawat untuk membantu mengembangkan profesi
Memberi arahan bagi pelayanan klien
Memberi corak/warna pada pelayanan yang diberikan
TEORI KEPERAWATAN
Teori adalah hubungan beberapa konsep atau suatu kerangka konsep atau definisi yang memberikan suatu pandangan sistematis terhadap gejala-gejala atau fenomena –fenomena dengan menentukan hubungan spesifik antara konsep tersebut dengan maksud untuk menguraikan, menerangkan, meramalkan dan atau mengendalikan suatu fenomena. Teori dapat diuji, diubah atau digunakan sebagai suatu pedoman dalam penelitian. Teori dapat dikembangkan melalui dua metode dasar, yaitu metode induktif dan metode deduktif.
Jenis teori :
Scientific theory : merupakan metode yang valid dan reliabel, diuji berulang kali melalui riset, generalisasi empiris
Substantive theory : menjelaskan fenomena penting suatu disiplin ilmu, dikembangkan oleh disiplin ilmu lain, beberapa pernyataan telah diuji
Tentative theory, baru diusulkan, sedikit atau belum diuji coba, belum banyak dikritik oleh disiplin ilmu tersebut
Teori Keperawatan
Teori keperawatan didefinisikan oleh Stevens (1981) sebagai usaha untuk menguraikan dan menjelaskan berbagai fenomena dalam keperawatan. Teori keperawatan berperan dalam membedakan keperawatan dengan disiplin ilmu lainnya dan bertujuan untuk menggambarkan, menjelaskan memperkirakan dan mengontrol hasil asuhan keperawatan yang dilakukan.
Karakteristik dasar teori keperawatan
Torrest (1985) dan Chinn & Jacob (1983) menegaskan terdapat lima karakteristik dasar teori keperawatan :
Teori keperawatan mengidentifikasikan dan mendefinisikan sebagai hubungan yang spesifik dari konsep-konsep keperawatan seperti hubungan antara konsep manusia, konsep sehat-sakit, konsep lingkungan dan keperawatan
Teori keperawatan bersifat ilmiah, artinya teori keperawatan digunakan dengan alasan atau rasional yang jelas dan dikembangkan dengan menggunakan cara berpikir yang logis
Teori keperawatan bersifat sederhana dan umum, artinya teori keperawatan dapat digunakan pada masalah sederhana maupun masalah kesehatan yang kompleks sesuai dengan situasi praktek keperawatan
Teori keperawatan berperan dalam memperkaya body of knowledge keperawatan yang dilakukan melalui penelitian
Teori keperawatan menjadi pedoman dan berperan dalam memperbaiki kualitas praktek keperawatan
Perkembangan teori keperawatan :
Tahun
Nama
Penekanan
1952
Hildergerad E. Peplau
Proses interpersonal merupakan dorongan pendewasaan kepribadian
1960
Faye G. Abdellah
Masalah pasien menentukan perawatan yang dibutuhkan
1961
Ida Jean Orlando
Proses interpersonal menghilangkan distress
1964
Ernestine Weidenbach
Proses pemberian bantuan untuk memenuhi kebutuhan dengan menggunakan seni perawatan individu
1966
Lydia E. Hall
Asuhan keperawatan sebagai pengarahan orang untuk dapat mencintai diri sendiri
1967
Joyce Travelbee
Pemahaman tentang arti sakit menentukan bagaimana orang merespon
1970
Martha E. Rogers
Manusia-lingkungan merupakan medan energi yang menghasilkan kondisi negentropi
1971
Dorothea E. Orem
Perawatan diri mempertahankan keseluruhan/ keutuhan
Imogine M. King
Transaksi memberikan kerangka untuk mencapai tujuan
Tahun
Nama
Penekanan
1974
Sister Calista Roy
Hubungan stimulus dengan system adaptif
1976
Josephine G. Paterson
Keperawatan merupakan pengalaman dalam mempedulikan orang/nurthuring
1978
Madeline M. Leininger
Caring bersifat universal dan bervariasi secara budaya
1979
Jean Watson
Caring sebagai moral ideal : akal, pikiran, jia terkait satu sama lain
Margaret A. Newman
Penyakit sebagai bukti bagi pola hidup yang belum terjadi
1980
Dorothy E. Johnson
Subsistem berada pada stabilitas yang dinamis
1981
Rosemarie Rizzo Parse
Manusia dan lingkungan sehat yang konkrit
http://askep-askeb.cz.cc/
sumber: http://nsharmoko.blogspot.com/
BACA SELENGKAPNYA - MODEL DAN KONSEP KEPERAWATAN

POSYANDU

DUNIA kesehatan di Indonesia saat ini sedang ditimpa kasus- kasus yang tidak mengenakkan. Bermula dari kasus antraks di Jawa Barat, flu burung di berbagai daerah, malaria, polio dan lumpuh layu yang hampir tiap hari menghiasi halaman media surat kabar maupun layar televisi. Belum selesai kasus-kasus tersebut, sekarang muncul kasus baru yaitu busung lapar yang menimpa beberapa provinsi di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini.

Pada zaman pemerintahan Orde Baru, istilah tersebut tabu diucapkan terutama oleh petugas kesehatan di lapangan maupun pejabat di berbagai tingkatan. Busung lapar populer pada saat penjajahan Belanda. Gambaran penderitanya adalah manusia dengan kondisi badan yang sangat kurus dengan tulang iga yang tampak jelas susunannya satu-persatu, perut membuncit (busung), mata cekung, rambut tampak jarang dan sering rewel. Istilah busung lapar identik dengan kemiskinan, maka pada zaman pemerintahan Orde Baru istilah tersebut diperhalus menjadi KKM (Kemungkinan Kurang Makan) atau dengan istilah Marasmus-Kwashiorkor.

Sekitar tahun 1976, ketika itu Dr. Soewardjono Soerjaningrat menjabat sebagai kepala BKKBN, beliau mengemban tugas berat yaitu sosialisasi alat dan metode kontrasepsi dengan maksud mengajak masyarakat pasangan usia subur (PUS) untuk mengatur dan membatasi kelahiran. Masyarakat Indonesia yang telah menikah dihimbau untuk menjalankan KB dengan menganut Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS).

Awal April 1983 Kepala BKKBN Dr. Soewardjono Soerjaningrat diangkat menjadi Menteri Kesehatan RI. Pada saat yang bersamaan kepala BKKBN diserahkan kepada Dr. Haryono Suyono. Kegiatan kelompok KB lebih digalakkan lagi dengan dukungan kampanye secara besar-besaran. Setelah memimpin Departemen Kesehatan, program dan kegiatan kesehatan pedesaan disebarluaskan dengan lebih intensif. Pelayanan Puskesmas diperluas ke pedesaan dan pedukuhan dengan intensitas yang sangat tinggi.

Pada peringatan Hari Keluarga Nasional tanggal 29 Juni 1983 disepakati untuk meningkatkan koordinasi penanganan KB dan kesehatan di pedesaan. Koordinasi itu diwujudkan dengan menggabungkan pos-pos KB dan pos kesehatan yang telah ada menjadi pos pelayanan terpadu (Posyandu) untuk KB dan kesehatan.

Definisi Posyandu adalah kegiatan kesehatan dasar yang diselenggarakan dari, oleh dan untuk masyarakat yang dibantu oleh petugas kesehatan. Jadi Posyandu merupakan kegiatan swadaya dari masyarakat di bidang kesehatan dengan penanggung jawab kepala desa.

Ada lima kegiatan pokok di Posyandu, yaitu keluarga berencana, kesehatan ibu dan anak, pemantaun gizi anak, imunisasi (suntikan pencegahan) dan penanggulangan diare. Masihkah kita ingat akan lagu Anak Sehat yang bunyinya sebagai berikut :

Aku anak sehat, tubuhku kuat, karena ibuku rajin dan cermat.

Semasa aku bayi, selalu diberi ASI, makanan bergizi dan imunisasi

Berat badanku ditimbang selalu, Posyandu menunggu setiap waktu

Bila aku diare, ibu selalu waspada, Pertolongan oralit selalu siap sedia

Dari lagu tersebut, kita mendapat beberapa pesan akan manfaat Posyandu. Apabila program yang telah disusun itu benar-benar dijalankan maka masalah kesehatan pada bayi dan balita serta kasus gizi buruk bahkan busung lapar akan terdeteksi lebih dini.

Satu unit Posyandu, idealnya melayani sekitar 100 balita (120 kepala keluarga) atau sesuai dengan kemampuan petugas dan keadaan setempat. Posyandu KB-Kesehatan perlu dipadukan untuk memberi keuntungan bagi masyarakat karena di sana masyarakat dapat memperoleh pelayanan yang lengkap pada waktu dan tempat yang sama. Setiap Posyandu umumnya dibuka sebulan sekali dan dilaksanakan oleh kader Posyandu yang terlatih di bidang KB dan kesehatan yang berasal dari PKK, tokoh masyarakat dan pemuda secara sukarela dengan bimbingan tim pembina LKMD tingkat kecamatan.

Posyandu bertujuan untuk mempercepat penurunan angka kematian bayi, anak balita dan angka kelahiran. Selanjutnya untuk mempercepat penerimaan NKKBS dan agar masyarakat dapat mengembangkan kegiatan kesehatan dan kegiatan-kegiatan lain yang menunjang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

Kendala di Lapangan

Sehubungan dengan maraknya kasus busung lapar di berbagai provinsi di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 9 Juni 2005 yang lalu mengumpulkan seluruh gubernur untuk membahas kasus memilukan ini. Para gubernur dikumpulkan untuk melaporkan secara terbuka kondisi konkret masalah ketersediaan gizi dan kondisi kesehatan lingkungan masyarakat provinsi masing-masing.

Presiden dengan sigap telah memberi instruksi melalui Menko Kesra dan Menteri Dalam Negeri agar PKK segera menghidupkan kembali Posyandu sampai ke desa-desa dan pedukuhan, karena Posyandu merupakan garda terdepan dalam memonitor perkembangan kualitas kesehatan anak-anak, khususnya balita.

Bagi masyarakat yang sudah sadar dengan kesehatan dan mempunyai rasa kesetiakawanan yang tinggi, penyelenggaraan Posyandu di desanya masih tetap berjalan. Namun terdapat beberapa kendala dalam penyelenggaraan Posyandu antara lain banyak kader yang mengundurkan diri dengan berbagai alasan, antara lain minimnya dukungan dana operasional bagi para kader sehingga mereka enggan untuk bekerja, ada kader yang mencari nafkah di desa atau kota lain serta kurang profesionalnya kerja pamong desa yang menggantikan tugas kader Posyandu tersebut.

Letak desa yang terpencil juga merupakan kendala tersendiri. Petugas merasa enggan datang karena jalan ke desa yang dituju jelek dan kurang tersedianya sarana transportasi. Hal itu diperparah dengan pengetahuan masyarakat yang masih rendah tentang kesehatan dan gizi makanan yang diberikan kepada anak balitanya. Masih terdapat orangtua yang memberikan makanan secara asal-asalan sehingga anak mengalami kurang gizi.

Sistem Lima Meja

Pelaksanan Posyandu terkadang tampak acak-acakan, dikarenakan pelaksanaannya di rumah salah satu warga sehingga kurang luas. Meskipun tampak acak-acakan sebenarnya mempunyai skema Pola Keterpaduan KB-kesehatan melalui sistem lima meja. Meja pertama yaitu pendaftaran. Meja kedua, bagi bayi, balita dan ibu hamil dilakukan penimbangan berat badan. Di meja ketiga, dilakukan pengisian KMS (Kartu Menuju Sehat) berapa berat badan bayi, balita dan ibu hamil yang ditimbang berat badannya tadi. Meja keempat, para kader Posyandu atau petugas kesehatan akan memberi penyuluhan, misalnya bila berat badan bayi dan balita yang ditimbang tidak mengalami kenaikan atau justru terjadi penurunan dari penimbangan bulan sebelumnya, maka bayi dan balita tersebut perlu diberi makanan tambahan yang mengandung karbohidrat, protein, vitamin dan lemak.

Bagi ibu hamil dengan adanya penyuluhan dari bidan atau dokter dapat mengetahui apakah mempunyai risiko tinggi seperti letak bayi tidak normal dalam kandungan, tekanan darah yang rendah atau tinggi dan bila ada yang mengalami anemia akan diberi tablet besi.Terakhir adalah meja kelima, terdapat pelayanan imunisasi dasar yakni BCG, hepatitis B, DPT-polio, campak, dan TT (tetanus) bagi ibu hamil, KB dan pengobatan sederhana dari petugas kesehatan bagi bayi, balita dan ibu yang sakit. Bagi yang menderita diare akan diberi oralit.

Posyandu ini merupakan kegiatan dari, oleh dan untuk masyarakat, maka pendanaanya juga secara swadaya kalaupun ada dana bantuan dari pemerintah jumlahnya sangat kecil. Bentuk swadaya dari masyarakat misalnya berupa iuran yang ditetapkan oleh Posyandu setempat untuk Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berupa kacang hijau atau yang lainnya.

Kader-kader Posyandu yang aktif memang layak dihargai. Secara langsung mereka dapat mengetahui keadaan bayi dan balita yang menderita gizi buruk bahkan busung lapar secara dini. Agar anak Indonesia terhindar dari gizi buruk dan busung lapar, pemerintah dituntut perhatian yang lebih besar terhadap masalah kesehatan warga negaranya. Selain itu marilah kita perbaiki rasa kesetiakawanan dan sikap peduli terhadap sesama serta mengaktifkan kembali Posyandu sebagai garda terdepan memonitor perkembangan kualitas kesehatan anak-anak, khususnya balita.Diambil dari www.suaramerdeka.com
BACA SELENGKAPNYA - POSYANDU

30 January 2011

Konsep Etika Keperawatan

Konsep Etika Keperawatan
A. Konsep Tanggung Jawab dan Akuntabilitas Profesi Keperawatan

1. Tanggung Jawab

Menempatkan kebutuhan pasen di atas kepentingan sendiri. Melindungi hak pasen untuk memperoleh keamanan dan pelayanan yang berkualitas dari perawat. Selalu meningkatkan pengetahuan, keahlian serta menjaga perilaku dalam melaksanakan tugasnya.

Tanggung jawab menunjukkan kewajiban. Ini mengarah kepada kewajiban yang harus dilakukan untuk menyelesaikan pekerjaan secara professional. Manajer dan para staf harus memahami dengan jelas tentang fungsi tugas yang menjadi tanggung jawab masing-masing perawat dan bidan serta hasil yang ingin dicapai dan bagaimana mengukur kualitas kinerja stafnya. Perawat yang professional akan bertanggung jawab atas semua bentuk tindakan klinis keperawatan atau kebidanan yang dilakukan dalam lingkup tugasnya.

Tanggung jawab diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan kinerja yang ditampilkan guna memperoleh hasil pelayanan keperawatan atau kebidanan yang berkualitas tinggi. Yang perlu diperhatikan dari pelaksanaan tanggung jawab adalah memahami secara jelas tentang “uraian tugas dan spesifikasinya” serta dapat dicapai berdasarkan standar yang berlaku atau yang disepakati. Hal ini berarti perawat mempunyai tanggung jawab yang dilandasi oleh komitmen, dimana mereka harus bekerja sesuai fungsi tugas yang dibebankan kepadanya.

Untuk mempertahankannya, perawat dan bidan hendaknya mampu dan selalu melakukan introspeksi serta arahan pada dirinya sendiri (self-directed), merencanakan pengembangan diri secara kreatif dan senantiasa berusaha meningkatkan kualitas kinerjanya. Hal ini diperlukan agar mereka dapat mengidentifikasi elemen-elemen kritis untuk meningkatkan dan mengembangkan kinerja klinis mereka, guna memenuhi kepuasan pasen dan dirinya sendiri dalam pekerjaannya. Mencatat respon dan perkembangan pasen dengan lengkap dan benar merupakan salah satu tanggung jawab perawat dalam melaksanakan tugasnya.

2. Akontabilitas

Akontabilitas adalah mempertanggungjawabkan hasil pekerjaan, dimana “tindakan” yang dilakukan merupakan satu aturan profesional. Oleh karena itu pertanggungjawaban atas hasil asuhan keperawatan atau kebidanan mengarah langsung kepada praktisi itu sendiri. Pada tingkat pelaksana sebagai perawat harus memiliki kewenangan dan otonomi (kemandirian) dalam pengambilan keputusan untuk tindakan yang akan mereka lakukan. Manajer ruangan (KARU) bertanggung jawab atas keputusannya terhadap pelaksanaan tugas-tugasnya, termasuk menyeleksi staf, terutama mengarah pada kemampuan kinerja mereka masing-masing. Selanjutnya, setiap perawat sebagai anggota tim bertanggung jawab terhadap penugasan yang dilimpahkan kepadanya. Oleh karena itu, setiap perawat harus faham terhadap pertanggungjawaban atas tugas yang dibebankan kepadanya. Kepala ruangan wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dari srafnya. Perawat professional harus dapat mempertanggungjawabkan tindakan yang dilakukan dalam pencapaian tujuan asuhan keperawatan atau kebidanan kepada pasen. Kepekaan diperlukan terhadap hasil setiap tindakan yang dilakukannya, karena berhubungan dengan tanggung jawab, pendelegasian, kewajiban dan kredibilitas profesinya.

Akontabilitas profesional mempunyai beberapa tujuan :

(1) Perawat dan bidan harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada pasien, manajer dan organisasi tempat mereka bekerja.

(2) Mereka bertanggungjawab terhadap tindakan yang diambil untuk pasen dan keluarganya, masyarakat dan juga terhadap profesinya.

(3) Mengevaluasi praktek profesional dan para stafnya.

(4) Menerapkan dan mempertahankan standar yang telah ditetapkan dan yang dikembangkan oleh organisasi.

(5) Membina ketrampilan personal staf masing-masing.

(6) Memastikan ruang lingkup dalam proses pengambilan keputusan secara jelas.
B. Falsafah Etika Keperawatan

Keperawatan berpandangan bahwa manusia dan kemanusiaan merupakan titik sentral setiap upaya pembangunan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Bertolak dari pandangan ini disusun paradigma keperawatan yang terdiri atas empat konsep dasar yakni manusia, lingkungan, kesehatan, dan keperawatan seperti diuraikan di bawah ini:

1. Manusia

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai pribadi yang utuh dan unik, mempunyai aspek bio-psiko–sosiokultural–spiritual. Manusia sebagai sistem terbuka yang selalu berinteraksi dan berespon terhadap lingkungan, mempunyai kemampuan untuk mempertahankan integritas diri melalui mekanisme adaptasi.

Dalam kehidupannya manusia mempunyai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi termasuk kebutuhan pengakuan harkat dan martabat untuk mencapai keseimbangan sesuai dengan tahap-tahap pertumbuhan perkembangan. Manusia Indonesia adalah manusia yang beriman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, merupakan sumber daya pembangunan yang berhak memiliki kemampuan untuk hidup sehat guna mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Selain itu manusia Indonesia merupakan manusia yang memiliki berbagai kultur yang bersifat unik dan memiliki berbagai keyakinan tentang sehat, sehingga akan memberikan respon yang berbeda-beda terhadap upaya pemenuhan kebutuhan dasar.

2. Kesehatan

Kesehatan adalah kondisi dinamis manusia dalam rentang sehat sakit yang merupakan hasil interaksi dengan lingkungan. Sehat merupakan keadaan seimbang bio-psiko-sosio-spiritual yang dinamis yang memungkinkan individu untuk menyesuaikan diri sehingga dapat berfungsi secara optimal guna memenuhi kebutuhan dasar melalui aktifitas sehari-hari sesuai dengan tingkat tumbuh kembangnya.

Sehat sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum adalah hak dan tanggung jawab setiap individu yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut maka harus dipertahankan dan ditingkatkan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Sakit merupakan keadaan yang tidak seimbang antara bio-psiko-sosio-spiritual sebagai respon tubuh terhadap interaksinya dengan lingkungan, baik lingkungan internal maupun lingkungan eksternal. Respon ini menyebabkan terganggunya individu untuk berfungsi optimal dalam pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan tingkat tumbuh kembang. Respon yang tidak adekuat terhadap lingkungan dapat disebabkan oleh karena ketidaktahuan, ketidakmampuan dan ketidakmauan. Kondisi manusia dalam rentang sehat sakit merupakan bidang garapan keperawatan.

3. Lingkungan

Lingkungan adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia, baik faktor dari dalam diri (internal) maupun dari luar (eksternal). Lingkungan internal meliputi aspek-aspek genetika, struktur dan fungsi tubuh, dan psikologis, sedangkan lingkungan eksternal meliputi lingkungan sekitar manusia baik lingkungan fisik, biologis, sosial, kultural, dan spiritual. Lingkungan internal dan eksternal akan mempengaruhi sikap dan perilaku manusia termasuk persepsinya tentang sehat sakit, cara-cara memelihara dan mempertahankan kesehatan serta menanggulangi penyakit.

Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai hubungan yang dinamis dengan lingkungannya dan tidak dapat dipisahkan dari lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan untuk merespon secara adaptif terhadap pengaruh lingkungan agar dapat mempertahankan kesehatan. Ketidakmampuan manusia merespon terhadap pengaruh lingkungan internal maupun eksternalnya, akan mengakibatkan gangguan kesehatan atau terjadi pergeseran status kesehatan dalam rentang sehat sakit.

4. Keperawatan

Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat, baik sehat atau sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.

Pelayanan keperawatan berupa bantuan yang diberikan karena adanya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya kemauan menuju kepada kemampuan melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri.

Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan yang langsung diberikan kepada klien/pasien pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan. Asuhan keperawatan dilaksanakan menggunakan metodologi proses keperawatan, berpedoman pada standar keperawatan, dilandasi etik dan etika keperawatan dalam lingkup wewenang serta tanggung jawabnya.

Pelayanan keperawatan sebagai pelayanan profesional yang bersifat humanistis terintegrasi di dalam pelayanan kesehatan, dapat bersifat independen dan interdependen serta dilaksanakan dengan berorientasi kepada kebutuhan objektif klien. Perawat sebagai tenaga profesional yang mempunyai kemampuan baik intelektual, teknikal, interpersonal dan moral bertanggung jawab dan berkewenangan melaksanakan pelayanan asuhan keperawatan.

C. Etika Keperawatan

Kerangka konsep dan dimensi moral dari suatu tanggung jawab dan akontabilitas dalam praktek klinis keperawatan dan kebidanan didasarkan atas prinsip-prinsip etika yang jelas serta diintegrasikan ke dalam pendidikan dan praktek klinis. Hubungan perawat dengan pasien dipandang sebagai suatu tanggung jawab dan akuntabilitas terhadap pasien yang pada hakekatnya adalah hubungan memelihara (caring). Elemen dari hubungan ini dan nilai-nilai etiknya merupakan tantangan yang dikembangkan pada setiap sistem pelayanan kesehatan dengan berfokus pada sumber-sumber yang dimiliki. Perawat harus selalu mempertahankan filosofi keperawatan yang mengandung prinsip-prinsip etik dan moral yang tinggi sebagaimana perilaku memelihara dalam menjalin hubungan dengan pasien dan lingkungannya. Sebagai contoh, ketika seorang perawat melakukan kesalahan dalam memberikan obat kepada pasen, dia harus secara sportif (gentle) dan rendah hati (humble) berani mengakui kesalahannya. Pada kasus ini dia harus mempertanggungjawabkan kepada: (1) pasien sebagai konsumen, (2) dokter yang mendelegasikan tugas kepadanya, (3) Manajer Ruangan yang menyusun standar atau pedoman praktek yang berhubungan dengan pemberian obat (4) Direktur Rumah Sakit atau Puskesmas yang bertanggung jawab atas semua bentuk pelayanan di lingkungan organisasi tersebut.

D. Permasalahan dalam Profesi Keperawatan di Indonesia

Perawat dihadapkan pada suatu situasi untuk mengidentifikasi sejauh mana kebutuhan dasar seseorang tidak terpenuhi dan berbagai upaya untuk membantu klien dalam memenuhi kebutuhan dasar. Hal ini dilakukan dalam proses interaksi perawat­/klien. Oleh karena objeknya adalah manusia dalam segala tingkatannya, dan manusia adalah makhluk hidup yang sampai saat ini belum semua aspeknya terungkap melalui ilmu pengetahuan, berarti pula perawat se­nantiasa dihadapkan pada kondisi pekerjaan yang penuh dengan risiko. Oleh karenanya, perawat dituntut pada tingkat kemampuan profesional agar ia mampu memberikan pelayanan yang berkualitas dan memuaskan.

Sebagaimana dikemukakan bahwa kepe­rawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang didasarkan atas ilmu dan kiat keperawatan: Hal ini bermakna bahwa pelayanan keperawatan yang profesional hanya dapat dimungkinkan bila tenaga keperawatan yang bertanggung jawab mem­berikan pelayanan keperawatan. Tenaga ke­perawatan yang profesional ditandai dengan pengetahuan yang mendalam dan sistematis, keterampilan teknis dan kiat yang diperoleh melalui latihan lama dan teliti, serta pelayan­an/asuhan pada yang memerlukan berdasarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan teknis tersebut dengan berpedoman pada filsafat moral yang diyakini, yaitu etika profesi. Di Indonesia, kategori pendidikan yang meng­hasilkan tenaga keperawatan profesional diperoleh dari jenjang pendidikan tinggi yang ada saat ini yaitu Akademi Keperawatan (jenjang Diploma III) dan program pen­didikan sarjana keperawatan/Ners.

Undang-undang No. 23 Tahun 1992 telah memberikan pengakuan secara jelas ter­hadap tenaga keperawatan sebagai tenaga profesional sebagaimana pada Pasal 32 ayat (4), Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2). Selanjutnya, pada ayat (4) disebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak­hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Sampai saat ini, peraturan tentang standar profesi belum ada. Dengan demikian, standar praktik keperawatan yang ada di sebagian rumah sakit hanya bersifat mengikat ke dalam, tetapi tidak ke luar secara hukum belum dapat dipertanggungj awabkan (karena akan ditetap­kan dalam Peraturan Pemerintah). Oleh karena itu, tenaga keperawatan yang saat ini bekerja di tatanan pelayanan tidak memiliki standar baku sebagai pedoman dalam pemberian pelayanan keperawatan.
Kode etik keperawatan sebagai norma moral yang mengandung nilai luhur dijun­jung tinggi oleh setiap tenaga keperawatan dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada kliennya
"
BACA SELENGKAPNYA - Konsep Etika Keperawatan

Pengaruh Budaya Terhadap Kesehatan

Pengaruh Budaya Terhadap Kesehatan
A. Kesehatan dalam Sosial Budaya

Seperti kita ikuti bersama, akhir-akhir ini diskusi tentang global change banyak diangkat. Berbagai perubahan sosial, ekonomi, budaya, teknologi dan politik mengharuskan jalinan hubungan di antara masyarakat manusia di seluruh dunia. Fenomena ini dirangkum dalam terminologi globalisation. Ditengah riuh rendah globalisasi inilah muncul wacana Dampak Perubahan Sosial dan Budaya. Dampak dari perubahan sosial dan budaya sendiri diartikan sebagai perubahan dalam skala besar pada sistem bio-fisik dan ekologi yang disebabkan aktifitas manusia. Perubahan ini terkait erat dengan sistem penunjang kehidupan planet bumi (life-support system). Ini terjadi melalui proses historis panjang dan merupakan agregasi pengaruh kehidupan manusia terhadap lingkungan, yang tergambar misalnya pada angka populasi yang terus meningkat, aktifitas ekonomi, dan pilihan-pilihan teknologi dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Saat ini pengaruh dan beban terhadap lingkungan hidup sedemikian besar, sehingga mulai terasa gangguan-gangguan terhadap Sistem Bumi kita.
Perubahan sosial dan budaya yang terjadi seiring tekanan besar yang dilakukan manusia terhadap sistem alam sekitar, menghadirkan berbagai macam risiko kesehatan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Sebagai contoh, kita terus mempertinggi konsentrasi gas-gas tertentu yang menyebabkan meningkatkan efek alami rumah kaca (greenhouse) yang mencegah bumi dari pendinginan alami (freezing). Selama abad 20 ini, suhu rata-rata permukaan bumi meningkat sekitar 0,6oC dan sekitar dua-per-tiga pemanasan ini terjadi sejak tahun 1975. Dampak perubahan sosial dan budaya penting lainnya adalah menipisnya lapisan ozon, hilangnya keaneragaman hayati (bio-diversity), degradasi kualitas lahan, penangkapan ikan melampaui batas (over-fishing), terputusnya siklus unsur-unsur penting (misalnya nitrogen, sulfur, fosfor), berkurangnya suplai air bersih, urbanisasi, dan penyebaran global berbagai polutan organik. Dari kacamata kesehatan, hal-hal di atas mengindikasikan bahwa kesehatan umat manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terjadi di luar batas kemampuan daya dukung ruang lingkungan dimana mereka hidup.
Dalam skala global, selama seperempat abad ke belakang, mulai tumbuh perhatian serius dari masyarakat ilmiah terhadap penyakit-penyakit yang terkait dengan masalah lingkungan, seperti kanker yang disebabkan racun tertentu (toxin related cancers), kelainan reproduksi atau gangguan pernapasan dan paru-paru akibat polusi udara. Secara institusional International Human Dimensions Programme on Global Environmental Change (IHDP) membangun kerjasama riset dengan Earth System Science Partnership dalam menyongsong tantangan permasalahan kesehatan dan Dampak dari perubahan sosial dan budaya.
Pengaruh perubahan iklim global terhadap kesehatan umat manusia bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan kerja keras dan pendekatan inter-disiplin diantaranya dari studi evolusi, bio-geografi, ekologi dan ilmu sosial. Di sisi lain kemajuan teknik penginderaan jauh (remote sensing) dan aplikasi-aplikasi sistem informasi geografis akan memberikan sumbangan berarti dalam melakukan monitoring lingkungan secara multi-temporal dan multi-spatial resolution. Dua faktor ini sangat relevan dengan tantangan studi dampak perubahan sosial dan budaya terhadap kesehatan lingkungan yang memerlukan analisa historis keterkaitan dampak perubahan sosial dan budaya dan kesehatan serta analisa pengaruh perubahan sosial dan budaya di tingkat lokal, regional hingga global.

B. Bagaimana Perubahan Sosial dan Budaya Mempengaruhi Kesehatan Manusia?
Ada tiga alur tingkatan pengaruh perubahan sosial dan budaya terhadap kesehatan. Pengaruh ini dari urutan atas ke bawah menunjukkan peningkatan kompleksitas dan pengaruhnya bersifat semakin tidak langsung pada kesehatan. Pada alur paling atas, terlihat bagaimana perubahan pada kondisi mendasar lingkungan fisik (contohnya: suhu ekstrim atau tingkat radiasi ultraviolet) dapat mempengaruhi biologi manusia dan kesehatan secara langsung (misalnya sejenis kanker kulit). Alur pada dua tingkatan lain, di tengah dan bawah, mengilustrasikan proses-proses dengan kompleksitas lebih tinggi, termasuk hubungan antara kondisi lingkungan, fungsi-fungsi ekosistem, dan kondisi sosial-ekonomi.
Alur tengah dan bawah menunjukkan tidak mudahnya menemukan korelasi langsung antara perubahan lingkungan dan kondisi kesehatan. Akan tetapi dapat ditarik benang merah bahwa perubahan-perubahan lingkungan ini secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab atas faktor-faktor penyangga utama kesehatan dan kehidupan manusia, seperti produksi bahan makanan, air bersih, kondisi iklim, keamanan fisik, kesejahteraan manusia, dan jaminan keselamatan dan kualitas sosial. Para praktisi kesehatan dan lingkungan pun akan menemukan banyak domain permasalahan baru di sini, menambah deretan permasalahan pemunculan toksi-ekologi lokal, sirkulasi lokal penyebab infeksi, sampai ke pengaruh lingkungan dalam skala besar yang bekerja pada gangguan kondisi ekologi dan proses penyangga kehidupan ini. Jelaslah bahwa resiko terbesar dari dampak perubahan sosial dan budaya atas kesehatan dialami mereka yang paling rentan lokasi geografisnya atau paling rentan tingkat sumber daya sosial dan ekonominya.

C. Aktifitas Penduduk bagi Kesehatan
Sebagaimana disinggung di atas, masyarakat manusia sangat bervariasi dalam tingkat kerentanan terhadap serangan kesehatan. Kerentanan ini merupakan fungsi dari kemampuan masyarakat dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim dan lingkungan. Kerentanan juga bergantung pada beberapa faktor seperti kepadatan penduduk, tingkat ekonomi, ketersediaan makanan, kondisi lingkungan lokal, kondisi kesehatannya itu sendiri, dan kualitas serta ketersediaan fasilitas kesehatan publik.
Wabah demam berdarah yang melanda negeri kita menyiratkan betapa rentannya kondisi kesehatan-lingkungan di Indonesia saat ini, baik dilihat dari sisi antisipasi terhadap wabah, kesigapan peanggulangannya sampai pada penanganan para penderita yang kurang mampu. Merebaknya wabah di kawasan urban juga menyiratkan kerentanan kondisi lingkungan dan kerentanan sosial-ekonomi. Hal ini terkait dengan patron penggunaan lahan, kepadatan penduduk, urbanisasi, meningkatnya kemiskinan di kawasan urban, selain faktor lain seperti rendahnya pemberantasan nyamuk vektor penyakit sejak dini, atau resistensi nyamuk sampai kemungkinan munculnya strain atau jenis virus baru.
Pada dekade lalu penelitian ilmiah yang menghubungkan pengaruh perubahan iklim global terhadap kesehatan dapat dirangkum dalam tiga katagori besar. Pertama, studi-studi empiris untuk mencari saling-hubungan antara kecenderungan dan variasi iklim dengan keadaan kesehatan. Kedua, studi-studi untuk mengumpulkan bukti-bukti munculnya masalah kesehatan sebagai akibat perubahan iklim. Ketiga, studi-studi pemodelan kondisi kesehatan di masa depan. Penelitian empiris jenis pertama dan kedua dimanfaatkan untuk mengisi kekosongan pengetahuan serta memperkirakan kondisi kesehatan sebagai tanggapan terhadap perubahan iklim dan lingkungan (scenario-based health risk assessment).
Akan tetapi, menimbang variasi kerentanan sosial-ekonomi yang telah kita singgung, keberhasilan sumbangan ilmiah di atas hanya akan optimal jika didukung paling tidak dua faktor lain, yaitu faktor administratif-legislatif dan faktor cultural-personal (kebiasaan hidup). Administrasi-legislasi adalah pembuatan aturan yang memaksa semua orang atau beberapa kalangan tertentu untuk melakukan tindakan-tindakan preventif dan penanggulangan menghadapi masalah ini. Cakupan kerja faktor ini adalah dari mulai tingkatan supra-nasional, nasional sampai tingkat komunitas tertentu. Selanjutnya secara kultural-personal masyarakat didorong secara sadar dan sukarela untuk melakukan aksi-aksi yang mendukung kesehatan-lingkungan melalui advokasi, pendidikan atau insentif ekonomi. Faktor ini dikerjakan dari tingkatan supra-nasional sampai tingkat individu.

D. Upaya yang Dapat Dilakukan
Aktifitas penelitian yang menghubungkan kajian lingkungan dan kesehatan secara integral serta kerja praktis sistematis dari hasil penelitian ilmiah di atas masih sangat sedikit dilakukan di Indonesia. Menghadapi tantangan lingkungan dan kesehatan ini diperlukan terobosan-terobosan institusional baru diantara lembaga terkait lingkungan hidup dan kesehatan, misalnya dilakukan rintisan kerjasama intensif yang diprakarsai Departemen Kesehatan, Departemen Sosial dan Kementerian Lingkungan Hidup bersama lembaga penyedia data keruangan seperti Bakosurtanal (pemetaan) dan LAPAN (analisa melalui citra satelit). Untuk mewujudkan kerjasama di tataran praktis komunitas atau LSM pemerhati lingkungan hidup mesti berkolaborasi dengan Ikatan Dokter Indonesia bersama asosiasi profesi seperti Ikatan Surveyor Indonesia (ISI), Masyarakat Penginderaan Jauh (MAPIN) dalam mewujudkan agenda-agenda penelitian dan program-program penanganan permasalahan kesehatan dan perubahan lingkungan di tingkat lokal hingga nasional.
Hadirnya wacana dan penelitian sosial budaya dengan kompleksitas, ketidakpastian konsep-metodologi, dan perubahan-perubahan besar di masa depan, telah menghadirkan tantangan-tantangan dan tugas-tugas bagi komunitas ilmiah, masyarakat dan para pengambil keputusan. Penelitian ilmiah yang cenderung lamban, kini harus berganti dengan usaha-usaha terarah dan cepat menghadapi urgensi penanganan masalah kesehatan-lingkungan. Kemudian dalam gerak cepat pula informasi yang dihasilkan dunia ilmiah, walaupun dengan segala ketidaksempurnaan dan asumsi-asumsi, didorong untuk memasuki arena kebijakan. Masalah kesehatan dan GEC ini merupakan isu krusial dan bahkan isu sentral dalam diskursus internasional seputar pembangunan yang berkelanjutan

BACA SELENGKAPNYA - Pengaruh Budaya Terhadap Kesehatan

Intra Cerebral Hematom


Pengertian

Intra Cerebral Hematom adalah perdarahan kedalam substansi otak .Hemorragi ini biasanya terjadi dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah kecil dapat terjadi pada luka tembak ,cidera tumpul .(Brunner dan suddart,2002)
Intra Cerebral Hematom (ICH) merupakan koleksi darah focus yang biasanya diakibatkan oleh cidera regangan atau robekan rotasional terhadap pembuluh –pembuluh darah dalam jaringan fungsi otak atau kadang kerena cidera tekanan .ukuran hematom bervariasi dari beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter dan dapat terjadi pada 2- 16 kasus cidera. (setya negara,1998)
Intra scerebral hematom adalah pendarahan dalam jaringan otak itu sendiri . hal ini dapat timbul pada cidera kepala tertutup yang berat atau cidera kepala terbuka .intraserebral hematom dapat timbul pada penderita strok hemorgik akibat melebarnya pembuluh nadi.(corwin,1997)
Etiologi
Etiologi dari Intra Cerebral Hematom adalah :
Kecelakaan yang menyebabkan trauma kepala
Fraktur depresi tulang tengkorak
Gerak akselerasi dan deselerasi tiba-tiba
Cedera penetrasi peluru
Jatuh
Kecelakaan kendaraan bermotor
Hipertensi
Malformasi Arteri Venosa
Aneurisma
Distrasia darah
Obat
Merokok
Patofisiologi
menurut Corwin 2000 manivestasi klinik dari dari Intra cerebral Hematom yaitu :
Kesadaran mungkin akan segera hilang, atau bertahap seiring dengan membesarnya hematom
Pola pernapasaan dapat secara progresif menjadi abnormal
Respon pupil mungkin lenyap atau menjadi abnormal
Dapat timbul muntah-muntah akibat peningkatan tekanan intra kranium
Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera atau secara lambat
Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan peningkatan tekanan intra kranium
Penatalaksanaan Keperawatan dan Pengobatan
Menurut Satya negara (1998) Intra Cerebral Hematom tidak selalu perlu di operasi. Tindakan evaluasi ditujukan bila ada perburukan klinis yang progresif. Walaupun secara klinis tampaknya ada perbaikan, dilain pihak tidak menunjukan perbaikan prognosa jangka panjang.
Corwin (2000) menyebutkan penatalaksanaan untuk Intra Cerebral Hematom adalah sebagai berikut :
Observasi dan tirah baring terlalu lama
Mungkin di[perlukan ligasi pembuluh yang pecah dan evakuasi hematom secara bedah
Mungkin diperlukan ventilasi mekanis
Untuk cedera terbuka diperlukan antibiotiok
Metode-metode untuk menurunkan tekanan intra kranium termasuk pemberian diuretik dan obat anti inflamasi.
Menurut Hudak Gallo (1996) penanganan pasien dengan hematom intra cerebral masih bersifat controversial apakah harus dilakukan pembedahan atau penanganan medis adalah paling baik. Intervensi bedah digunakan hanya bila lesie terus meluas dan menyebabkan penyimpangan neurologis lanjut.

http://askep-askeb.cz.cc/
BACA SELENGKAPNYA - Intra Cerebral Hematom
INGIN BOCORAN ARTIKEL TERBARU GRATIS, KETIK EMAIL ANDA DISINI:
setelah mendaftar segera buka emailnya untuk verifikasi pendaftaran. Petunjuknya DILIHAT DISINI