kolom pencarian

KTI D3 Kebidanan[1] | KTI D3 Kebidanan[2] | cara pemesanan KTI Kebidanan | Testimoni | Perkakas
PERHATIAN : jika file belum ter-download, Sabar sampai Loading halaman selesai lalu klik DOWNLOAD lagi

19 September 2010

Pendekatan Mutu dan Kepuasan Pelanggan Dalam Pelayanan Kesehatan

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT,yang telah melimpahkan rahmat dan karunia Nya,maka penulis dapat menyelesaikan makalah ini mengenai kasus dalam Mutu Pelayanan Kesehatan yaitu tentang “buruknya pelayanan kesehatan Jombang”, untuk memenuhi tugas mata kuliah Mutu Pelayanan Kebidanan.
Dalam pembuatan makalah ini penulis banyak sekali mendapat bantuan dari berbagai pihak,dan pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Eravianti,MKM pembimbing dalam penulisan makalah ini
2. Bapak Muharnas,SKM,MQIH selaku Dosen dalam proses belajar mengajar
3. Rekan-rekan dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.
Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi materi maupun penyusunannya. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan perbaikan demi kesempurnaan makalah ini dan dapat bermanfaat bagi kita semua.

Padang, Januari 2009


Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang......................................................................... 1
1.2.Tujuan ..................................................................................... 1
1.3.Manfaat……………………………………………................ 2
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1. Pemahaman mutu............................................................................ 4
2.2. Mutu Dalam Pelayanan Kesehatan.................................................... 4
2.3. Pandangan Pasien Tentang Mutu....................................................... 5
2.4. Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan.................................................. 6
2.5. Penilaian Mutu Pelayanan Kesehatan................................................. 10
2.6.Pelanggan Dalam Pelayanan Kesehatan ……………......................... 11
2.7.Pelayanan Medis Yang Baik…………………………...................... 11
BAB III PEMBAHASAN................................................................ 1
BAB IV PENUTUP
4.1.Kesimpulan.................................................................... 16
4.2.Saran.............................................................................. 17

Ø Mengetahui lebih lanjut mengenai mutu pelayanan kesehatan dalam praktek tenaga kesehatan dalam kehidupan sehari-hari
Tujuan khusus :

Ø Untuk lebih mengenal mutu pelayanan kesehatan yang seharusnya dicapai oleh tenaga kesehatan
Ø Untuk lebih memahami tentang mutu pelayanan kesehatan yang ada di lapangan
Ø Untuk dijadikan sebagai pandangan dalam mengaplikasikan mutu kesehatan yang seharusnya dengan mutu kesehatan yang tampak ada di lapangan.
Ø Untuk dijadikan sebagai bahan perbandingan antara mutu kesehatan yang baik dan yang kurang baik.
Ø Sebagai bahan evaluasi dalam memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik.

1.3.Mamfaat Penulisan

1.Bagi mahasiswa
Dapat dijadikan sebagai bahan pemikiran untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih bemutu.
Dapat belajar untuk lebih meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
Dapat menjadi tenaga kesehatan yang baik.
2.Bagi Nakes
Sebagai bahan renungan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu.
Dapat dijadikan sebagai pandangan kearah yang lebih mengenai mutu palayanan yang ada dilapangan saat ini.
3.Bagi Instansi kesehatan
Dalam pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan,yang besar artinya bagi pembinaan sumber daya tenaga kesehatan.
Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang bermutu dan berkelanjutan.










BAB II
TINJAUAN TEORI

PENDEKATAN MUTU DAN KEPUASAN PELANGGAN DALAM PELAYANAN KESEHATAN

2.1.Pemahaman Mutu
ü Mutu adalah penentuan pelanggan berdasarkan atas pengalaman nyata pelanggan terhadap produk dan jasa pelayanan.
ü Mutu adalah gambaran total sifat dari suatu produk atau jasa pelayanan yang berhubungan dengan kemampuannya untuk memberikan kebutuhan kepuasan.(American Society for quality Control)
ü Mutu adalah Fitness for use,atau kemampuan kecocokan penggunaan(JM.Juran)
ü Mutu adalah kesesuaian terhadap permintaan persyaratan (Philip B.Crosby)
2.2.Mutu Dalam Pelayanan Kesehatan
Mutu pelayanan kesehatan dapat semata-mata dimaksudkan adalah dari aspek teknis medis yang hanya berhubungan langsung antara pelayanan medis dan pasien saja atau mutu kesehatan dari sudut pandang sosial dan sistem pelayanan kesehatan secara keseluruhan,termasuk akibat-akibat menejemen administrasi ,keuangan,peralatan,dan tenaga kesehatan lainnya.
Mutu pelayanan kesehatan dapat dipandang dari sudut pandang pasien dan provider
2.3.Pandangan pasien tentang mutu
Pasien pada umumnya jarang berpikir tentang arti dari mutu pelayanan medis tang menyangkut penyakit yang dideritanya.
Pertanyaan hatinya adalah :apakah dokternya baik,perawatnya tidak galak,apakah tarifnya mahal,obatnya apa manjur?
1.Sesuatu hal tentangsifat atau kepribadian
§ Tenggang rasa penuh perhatian ,Simpatik atau bersahabat
§ Mudah dihubungi atau bersahaja
§ Baik terhadap anak
§ Memberikan kepercayaan.
2.Cara ia mengurus pasien
§ Cakap,mengetahui kecakapannya
§ Cepat visite tanpa menggerutu
§ Cermat dan teliti,berhati nurani
§ Merujuk kerumah sakit cepat
§ Dalam pelayanan kesehatan peningkatan mutu pelayanan diperlukan untuk memberikan kepuasan kepada pasien,petugas profesi kesehatan,manajer kesehatan,maupun pemilik institusi kesehatan.

Arti mutu pelayanan kesehatan dari beberapa sudut
ü Untuk pasien dan masyarakat,
Mutu palayan berarti suatu emphaty,respek dan tanggap terhadap kebutuhan,pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan mereka
ü Untuk petugsas kesehatan
Mutu pelayanan berarti bebas mekakukan segala sesuatu secara professional untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien
ü Kepuasan praktisioner
Suatu ketetapan terhadap penyediaan dan keadaan dari pekerjaan praktisioner,utuk pelayanan oleh kolega-kolega atau dirinya sendiri.
ü Bagi yayasan atau pemilik rumah sakit
Mutu berarti memiliki tenaga yang professional yang bermutu dan cukup.
2.4.Dimensi mutu palayanan kesehatan
1.Kompetensi teknis
2.Akses terhadap pelayanan
3.Efektifitas
4.Efisiensi
5.Kontinuitas
6.Keamanan
7.Hubungan antar manusia
8.Kenyamanan

Keterangan dimensi:
Kompetensi teknis
Terkait dengan keterampilan,kemapuan dan penampilan petugas,menejer dan staf pendukung.
Akses terhadap pelayanan
Berarti bahwa pelayanan kesehatan tidak terhalang oleh keadaan geografis,sosial,ekonomi,budaya,organisasi atau hambatan bahasa.Akses geografis dapat diukur dengan jenis tranfortasi,jarak,waktu perjalanan. Akses ekonomi berkaitan dengan kemampuan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang pembiayaan nya terjangkau oleh pasien.Akses sosial atau budaya berkaitan dengan diterimanya pelayanan yang dikaitkan dengan sosial,budaya,perilaku.Akses organisasi berkaitan dengan sejauh mana pelayanan diatur untuk kenyamanan pasien.Akses bahasa berarti pelayanan diberikan dalam bahasa setempat yang mudah dipahami pasien.Efektifitas menyangkut norma pelayanan kesehatan dan petunjuk klinis sesuai standar yang ada.Hubungan antar manusia berkaitan dengan hubungan antara petugas dan pasien dengan cara menghargai,menghormati,responsive,dan memberikan perhatian.
Efektifitas
Kualitas pelayanan kesehatan tergantung dari efektifitas yang menyangkut norma pelayanan kesehatan dan petunjuk klinis sesuai standar yang ada.Menulai dimensi efektifitas akan menjawab pertanyaan ,”Apakah prosedur atau cara pengobatan,bila diterapkan dengan benar akan menghasilkan hasil yang benar.
Hubungan antar manusia
Dimensi hubungan antar manusia berkaitan dengan interaksi antara petugas kesehatan dan pasien ,menjer dan petugas,dan antara tim kesehatan dengan masyarakat.Hubungan antara manusia yang baik akan menanamkan kepercayaan dan kredibilitas dengan cara :menghargai,menjaga rahasia,menghormati,responsive dan memberikan perhatian.Hubungan antara manusia yang kurang baik akan mengurangi mutu pelayanan kesehatan.
Efisiensi
Pelayanan yang efisiensi akan memberikan pelayanan optimal daripada memaksimalkan pelayanan kepada manusia dan masyarakat.


Kelangsungan pelayana
Berarti klien akan menerima pelayanan yang lengkap yang dibutuhkan tanpa interupsi,berhenti atau mengulangi prosedur,diagnose yang tidak perlu.Tidak adanya kelangsungan pelayanan akan mengurangi efisiensi dan kualitas hubungan antar manusia.
Keamanan
Keaman berarti mengurangi resiko cedera,infeksi,efek samping,atau bahan lain yang berhubungan dengan pelayanan keamanan .Pelayanan melibatkan petugas dan pasien. Misalnya, Safety adalah salah satu dimensi kualitasnya transfuse darah, terutama sejak munculnya AIDS. Pasien harus dilindungi dari infeksi, dan petugas kesehatan yang bertugas mengurus darah dan jarum harus dilindungi dengan prosedur yang aman.
Kenyamanan, Kenikmatan
Keramahan/kenikmatan (amenities) berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang tidak berhubungan langsung dengan efektifitas klinis, tetapi dapat mempengaruhi kepuasan pasien dan bersediannya untuk kembali ke fasilitas kesehatan untuk memperoleh pelayanan berikutnya. Amenites juga berkaitan dengan pemanpilan fisik dan fasilitas kesehatan, personil, dan peralatan medis maupun nonmedis. Kenyamanan, kebersihan dan privacy juag sangat berperan. Unsure amenities yang lain, misalnya adanya music, televise, majalah, dan dll. Kebersihan, adanya kamar kecil, dan sekat/gordyn diruang pemeriksa juga merupakan factor penting untuk menarik pasien yang dapat menjamin kelangsungan berobat dan meningkatkan cakupan.

2.5.Penilian mutu pelayanan Kesehatan
Pada umunya untuk meningkatkan mutu pelayanan ada dua cara:
1. Meningkatkan mutu dan kuantitas sumber daya, tenaga, biaya, peralatan, perlengkapan dan material yang diperlukan dengan menggunakan teknologi tinggi atau dengan kata lain meningkatkan input atau sruktur, namun cara ini mahal.
2. Memperbaiki metode atau penerapan teknologi yang dipergunaka dalam kegiatan pelayanan (QA termasuk cara ini), hal ini berate memperbaiki proses pelayanan organisasi pelayanan.
Pendekatan mutu pelanggan pelayanan Kesehatan
Mutu barang pada umunya dapat diukur (tangible), namun mutu jasa pelayanan agak sulit diukur (intangible) karena umumnya bersifat subjektif karena menyangkut kepuasan seseorang, bergantung pada persepsi, latar belakang, sosial ekonomi, norma, pendidkan, budaya bahkan kepribadian seseorang.
Pendekatan kesehatan Masyarakat
Pendekatan ini menyangkut seluruh sistem pelayanan dari tingkat dasar (grass root) sampai yang tertinggi, dari Polindes, Puskesmas Pembantu, Puskesmas, rumah Sakit rujukan.Di sini mutu kesehatan tidak dihubungkan dengan kepuasan individu, namun dilihat dari indicator-indokator derajat kesehatan masyarakat seperti angka kematian bayi, angka kematian ibu, umur harapan hidup waktu lahir dan angka kesakitan kematian penyakit, pemakain obat rasional dan pemeriksaan laboratorium dan sebagainya.

Pendekatan institusional atau individual
Pendekatan ini berkaitan dengan mtu pelayanan kesehatan terhadap perorangan oleh suatu institu atau fasilitas kesehatan, seperti Puskesmas, Rumah Sakit dan sebagainya.
2.6.Pelanggan dalam pelayanan Kesehatan
Pelanggan dalam pelayanan kesehatan dapat:
1. Pelanggan Internal, yaitu para tenaga medis, paramedic, nonmedis atau pelaksana fungsional lainnya seperti laboratorium, radiologi, gizi, ambulan, blood bank, yang kesemuanya saling membutuhkan, saling tergantungan dalam suatu sistem pelayanan kesehatan ineter.
2. Pelanggan Eksternal, yaitu pelanggan yang sesungguhnya menjadi sasaran dari misi organisasi pelayanan kesehatan, yaitu para pasien, family dan sahabatnya serta pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan organisasi.
2.7.Pelayanan medis yang Baik
Pelayan medis yang baik:
1. Pelayanan medis yang baik adalah pratek kedokteran (pengobatan) yang rasional yang berdasarkan ilmu pengetahuan.
2. Pelayanan medis yang baik, menekankan pencegahan.
3. Pelayanan medis yang baik, memerlukan kerja sama yang cerdik antara pasien yang awam dan para praktisi yang ilmiah medis.
4. Pelayanan medis yang baik, memerlukan individu seutuhnya.
5. Pelayanan medis yang baik, mempertahankan hubungan pribadi yang akrab dan berkesinambungan antara dokter dengan pasien.
6. Pelayanan medis yang baik dikoordinasikan dengan pekerjaan sosial.
7. Pelayanan medis yang baik, mengkoordinasikan semua jenis pelayanan kesehatan.
8. Pelayanan




BAB III
PEMBAHASAN

Malpraktek adalah Kelalaian seorang tenaga kesehatan untuk mempergunakan tingkayketerampilan dan ilmu pengetahuan dalam mengobati pasien.Sikap kurang hati-hati dalam melakukan tindakan serta pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan medik dapat memicu timbulnya kasus malpraktek,dimana malpraktek sangat bertentangan dengan dimensi mutu pelayanan kesehatan.
Melihat kasus malpraktek yang telah ada,merupakan suatu fenomena yang menunjukkan bahwa masih buruknya pelayanan kesehatan saat ini.Malpraktek adalah kasus yang menyangkut hubungannya dengan dimensi mutu pelayanan kesehatan yaitu kompetensi teknis.yaitu terkait dengan keterampilan ,kamampuan dan penampilan petugas.Kompatensi teknis ini berhubungan dengan bagaimana petugas kesehatan mengikuti standar pelayanan kesehatan yang telah ditetapkan.
Kelalaian nakes dalam memberikan pelayanan sehingga menimbulkan malpraktek adalah kesalahan mendasar bagi nakes itu sendiri,karena nakes melayani benda hidup bukan benda mati.Sedikit kesalahan yang dilakukan dapat menimbulkan dampak yang sangat fatal bagi masa depan dari si pasien yang menjadi korban.Dengan masih adanya kejadian ini bagaimana mutu pelayanan kesehatan dapat lebih baik,,,?
Pasien awam pada umumnya jarang berpikir tentang arti dari mutu pelayanan kesehatan yang menyangkut penyakit yang dideritanya.Pertanyaan hatinya adalah;”apakah dokternya baik,perawat dan bidannya tidak galak,apakah tarifnya mahal,dan obatnya manjur?”
Jadi,mutu pelayanan bagi pasien berkaitan dengan kepuasan,Sehingga,mutu pelayanan agak sulit diukur karena bersifat sabjektif karena menyangkut kepuasan dan kepribadian seseoarang .
Saat ini,masyarakat semakin menyadari hak-haknya sebagai konsumen kesehatan.Sehingga sering kali mereka mempertanyakan tentang penyakit,pemeriksaan,pengobatan serta tindakan yang akan diambil berkenaan dengan penyakitnya.Hal ini merupakan hak-hak daripada konsumen kesehatan yang seharusnya dihargai dan dihormati oleh tenaga kesehatan.
Olehkarena itu,dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan pemberi pelayanan kesehatan mesti:
a. Handal dalam memberikan pelayanan kesehatan dan memuaskan.
b. Membantu dan memberikan pelayanan dengan tanggap tanpa membedakan suku,agama,ras,golongan.
c. Memberikan jaminan keamanan,keselamatan,dan kenyamanan.
d. Komunikasi yans baik dan memenuhi kebutuhan pasien.
e. Merujuk pasien yang ke RS apabila tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai.
Dalam profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika dan norma hukum.Oleh sebab itu apabila timbul adanya kesalahan praktek(malpraktek),sudah seharusnya diproses dari sudut pandang etika dan hokum.

BAB IV
PENUTUP

4.1.Kesimpulan
Diera globalisasi seperti sekarang ini,masih maraknya penyimpangan dalam pendekatan mutu dan kepuasan pelanggan dalam pelayanan kesehatan.Di Indonesia penyimpangan yang masih marak yaitu malpraktek yang masih sering dijumpai ditangaan nakes,baik kutan dokter,bidan,perawat,dll.
Malpraktek ini akibat dari tidak adanya saksi dari korban.Banyak pasien yang ketakutan karena ada intimidasi ,sehingga sedikit sekali pasien yang mau melapor.Ketidak adanya ketegasan hukum dalam perlindungan saksi korban dengan alas an pihak medis selalu mengaburkan persoalan karena alas an prosedural.
Namun,saat ini masyarakat mulai menyadari hak-hak nya sebagai konsumen kesehatan,Sehingga sering kali mereka secara kritis mempertanyakan tentang penyakit,pengobatan,serta tindakan yang akan diambil berkenaan dengan penyakitnya.Bahkan tidak jarang mereka mencari pendapat kedua .Hal tersebut marupakan hak yang selayaknya dihormati dan dihargai oleh pemberi pelayanan kesehatan.


4.2.Saran
Bagi tenaga kesehatan,pasien harus dipandang sebagai subyek yang memiliki pengaruh besar atas hasil akhir layanan,bukan dijadikan sebagai objek.hak-hak pasien harus dipenuhi mengingat kesehatan pasien menjadi salah satu barometer mutu layanan sedangkan ketidakpuasan dapat dijadikan perkara hukum.Selain itu tenaga kesehatan juga berkewajiban memberikan layanan kesehatan tanpa membedakan suku,ras,agama,seks dan status social pasien.













DAFTAR PUSTAKA
PENDEKATAN MUTU DAN KEPUASAN PELANGGAN DALAM PELAYANAN KESEHATAN
http://askep-askeb-kita.blogspot.com/
BACA SELENGKAPNYA - Pendekatan Mutu dan Kepuasan Pelanggan Dalam Pelayanan Kesehatan

Mutu Pelayanan Kebidanan Kurangnya Akses Pelayanan pada Remaja (Pelayanan Youth Friendly) Oleh Petugas Kesehatan

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya pad penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ Kurangnya Akses Pelayanan pada Remaja (Pelayanan Youth Friendly) oleh Tenaga Kesehatan.
Penulis merasa makalah ini masuh jauh dari kesempurnaan.Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber bacaan yang bermanfaat dan dapat digunakan sebaik-baikny.
Padang, Januari 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Perumusan Masalah
1.3. Tujuan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Remaja
2.1.1. Pengertian
2.1.2. Transisi yang Dihadapi pada Masa Remaja
2.1.3. Faktor yang Menjadi Masalah pada Remaja
2.1.4. Kesehatan Remaja
2.2. Mutu Pelayanan Kesehatan
2.2.1. Pengertian
2.2.2. Dimensi Mutu
2.2.3. Prinsip Perbaikan Mutu
BAB III PEMBAHASAN
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan
4.2. Saran
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, dan juga merupakan negara yang padat akan penduduknya. Penduduk dipelajari oleh ilmu kependudukan yang terdiri atas demografi dan studi kependudukan. Demografi sering pula di definisikan sebagai suatu studi kuantitatif dari lima proses demografi yaitu; fertilitas, mortalitas, perkawinan, migrasi dan morbilitas sosial. Beberapa indikator demografi yang sering kita temui diantaranya jumlah penduduk, komposisi penduduk menurut jenis kelamin, umur, suku bangsa, pendidikan, agama, pekerjaan, dan proses domografi yang mempengaruhi jumlah dan komposisi penduduk.
Sebagai suatu negara berkembang, Indonesia juga tidak luput dari masalah kependudukan. Secara garis besar masalah-masalah pokok di bidang kependudukan yang dihadapi Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar dan laju pertumbuhan penduduk yang relatif masih tinggi, persebaran penduduk yang tidak merata, struktur umur muda, dan kualitas penduduk yang masih harus ditingkatkan.
Pada tahun 2005, 30% dari jumlah penduduk Indonesia adalah remaja. Remaja adalah kelompok penduduk yang berusia 10-19 tahun (menurut WHO dan DEPKES) atau kelompok penduduk yang berusia 10-24 tahun (menurut UNFPA) dan belum menikah. Sebagian remaja sudah mengalami pematangan organ reproduksi dan bisa berfungsi atau bereproduksi, namun secara sosial, mental, dan emosi mereka belum dewasa. Remaja akan mengalami banyak masalah apabila pendidikan dan pengasuhan seksualitas reproduksi mereka terabaikan.
Akibatnya banyak terjadi IMS, kehamilan dini, kehamilan yang tidak diinginklan, dan usaha aborsi yang tidak aman diantara mereka.
Fakta yang terbaru menyebutkan bahwa
· 15% remaja sudah melakukan hubungan seks diluar nikah.
· Jumlah penderita HIV-AIDS pada akhir tahun 2005 sebanyak 46,19% adalah jumlah remaja diman 43,5% terinfeksi melalui hubungan seks yang tidak aman dan 50% tertular lewat jarum suntik.
· 60% dari pekerja seks di Indonesia adalah remaja perempuan berusia 24 tahun atau dari 30%nya adalh mereka yang berumur 15 tahun atau kurang.
· 20% dari 2,3 juta kasus aborsi setiap tahun di Indonesia dilakukan oleh remaja dan mereka mendapatkan tindakan aborsi tidak aman serta menyebabkan komplikasi yang dapat membawa mereka pada kematian.
Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa aspek diantaranya informasi yang tepat tentang masalah seksual dan reproduksi bagi remaja sangat kurang dan akses pelayanan yang bersifat youth friendly juga tidak memadai, bahkan tidak ada. Kemudian kurangnya pengetahuan dan komitmen petugas kesehatan untuk menangani masalah remaja dan terbatasnya fasilitas, membuat remaja tidak pernah mendapat perlindungan dan pemeliharaan dengan tepat.
Berdasarkan uraian di atas penulis berminat untuk membuat makalah dengan judul “Kurangnya Akses Pelayanan pada Remaja (Pelayanan Youth Friendly) oleh Petugas Kesehatan”.
1.2. Perumusan Masalah
Bagaimana Kurangnya Akses Pelayanan pada Remaja (Pelayanan Youth Friendly) oleh Petugas Kesehatan.
1.3. Tujuan
Diketahui bagaimana Kurangnya Akses Pelayanan pada Remaja Pelayanan Youth Friendly) oleh Petugas Kesehatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Remaja
2.1.1. Pengertian
Remaja adalah waktu manusia berumur belasan tahun. Di masa remaja manusia tidak dapat disebut sudah dewasa tetapi tidak dapat pula disebut anak - anak. Masa remaja adalah masa peralihan manusia dari anak - anak menuju dewasa (http://www.sciencedaily).
Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun sampai 21 tahun (http://www.mediaindo.co.id/).
Remaja adalah individu, baik laki-laki maupun perempuan, yang sedang berada di tengah-tengah masa transisi dari anak­anak menuju dewasa. Menurut klasifikasi World Health Organization (WHO), kelompok umur ini berada pada usia antara 10 sampai 19 tahun.
(UNICEF) mengatakan bahwa orang muda adalah antara umur 15 dan 24 tahun (istilah “orang muda” merujuk kepada penggabungan kelompok umur 10-­24 tahun).
2.1.2. Transisi yang Dihadapi pada Masa Remaja
1. Transisi dalam Emosi
Ciri utama remaja adalah peningkatan kehidupan emosinya, dalam arti sangat peka, mudah tersinggung perasaannya. Remaja dikatakan berhasil melalui masa transisi emosi apabila ia berhasil mengendalikan diri dan mengekspresikan emosi sesuai dengan kelaziman pada lingkungan sosialnya tanpa mengabaikan keperluan dirinya.
2. Transisi dalam Sosialisasi
Pada masa remaja hal yang terpenting dalam proses sosialisasinya adalah hubungan dengan teman sebaya, baik dengan sejenis maupun lawan jenis.
3. Transisi dalam Agama
Sering terjadi remaja yang kurang rajin melaksanakan ibadah seperti pada masa kanak-kanak. Hal tersebut bukan karena melunturnya kepercayaan terhadap agama, tetapi timbul keraguan remaja terhadap agama yang dianutnya sebagai akibat perkembangan berfikirnya yang mulai kritis. .
4. Transisi dalam Hubungan Keluarga
Dalam satu keluarga yang terdapat anak remaja, sulit terjadi hubungan yang harmonis dalam keluarga tersebut. Keadaan ini disebabkan remaja yang banyak menentang orang tua dan biasanya cepat menjadi marah. Sedangkan orang tua biasanya kurang memahami ciri tersebut sebagai ciri yang wajar pada
5. Transisi dalam Moralitas
Pada masa remaja terjadi peralihan moralitas dari moralitas anak ke moralitas remaja yang meliputi perubahan sikap dan nilai-nilai yang mendasari pembentukan konsep moralnya. Sehingga sesuai dengan moralitas dewasa serta mampu mengendalikan tingkah lakunya sendiri.
2.1.3. Faktor yang Menjadi Masalah pada Remaja

1. Adanya perubahan-perubahan biologis dan psikologis yang sangat pesat pada masas remaja yang akan memberikan dorongan tertentu yang sifatnya sangat kompleks.
2. Orangtua dan pendidik kurang siap untuk memberikan informasi yang benar dan tepat waktu, karena ketidaktahuannya.
3. Perbaikan gizi yang menyebabkan menais menjadi lebih dini. Banyaknya kejadian kawin muda terutama didaerah pedesaan. Sebaiknya di kota, kesempatan untuk bersekolah dan bekerja menjadi lebih terbuka bagi wanita dan usia kawin makin bertambah. Kesenjangan antara menais dan umur kawin yang panjang, apalagi dalam suasana pergaulan yang makin bebas tidak jarang menimbulkan masalah bagi remaja.
4. Membaiknya sarana komunikasi dan transportasi akibat kemajuan teknologi menyebabkan membanjirkan arus informasi dari luar yang sulit sekali diseleksi.
5. Pembangunan kearah industrialisasi disertai dengan pertambahan penduduk menyebabkan maningkatnya urbanisasi, berkurangnya sumber daya alam dan terjadinya perubahan tata nilai. Ketimpangan sosial dan individualisme sering kali memicu terjadinya perubahan konflik perorangan maupun kelompok lapangan kerja yang kurang memadai dapat memberikan dampak yang kurang baik bagi remaja sehingga remaja akan menderita frustasi dan depresi yang akan menyebabkan mereka mengambil jalan pintas dengan tindakan yang bersifat negatif.
6. Kurangnya pemanfaatan penggunaan sarana untuk menyalurkan gejolak remaja. Perlu adanya penyaluran sebagai subtitusi yang bersifat positif kearah pengembangan keterampilan yang mengandung unsur kecepatan dan kekuatan, misalnya olahraga.
2.1.4. Kesehatan Remaja
a. Kesehatan Fisis
Sebab-sebab morbiditas utama dalam masa adolesen adalah akibat dari tingkah laku yang berbahaya yaitu :
Penggunaan bahan-bahan psikotropika, aktivitas seksual, dan kendaraan bermotor dengan akibat-akibat jangka pendek dan jangka panjang. Selain itu juga penyakit seperti akne yang merupakan masalah kulit yang paling mengganggu remaja dan ditemukan pada 80% remaja. Penyakit ini merupakan gangguan pada kelenjar pilosebaseus yang ditandai dengan sumbatan dan peradangan folikel. Akne berkaitan dengan masalah kebersihan kulit, pola makan, hormonal, psikologis, dan infeksi bakteri. Gangguan kesehatan lainnya yaitu gangguan pada mata yaitu miop dan cidera, gangguan pendengaran yaitu konduktif, sensorineural, dan bentuk campuran, dan karles dentis
b. Masalah Perilaku
ò Pemakaian narkotik dan zat aditif lain (NAZA) secara umum penggunaan NAZA pada remaja merupakan resiko untuk menggunakan substansi lain. Dimulai dengan merokok atau alkohol kemudian disusul dengan pemakaian mariyuana, kemudian obat-obat lainnya termasuk heroin, kokain, sedative, stimulant, dan lain-lain
ò Perilaku yang menyebabkan kecelakaan. Sebab utama kematian dalam masa remaja adalah cidera pada kecelakaan yang berkaitan dengan tingkah laku yang berbahaya, pembunuhan atau bunuh diri.
c. Aktifitas Seksual
V Hubungan Seksual Sebelum Menikah
Penelitian yang dilakukan oleh Puslit Ekologi Kesehatan Badan Litbang Kesehatan Depkes RI Tahun 1990 terhadap siswa-siswa SMA di Jakarta dan Yogyakarta menyebutkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah adalah membaca buku porno dan menonton blue film.
V Kaum Muda
Usia wanita saat perkawinan pertama dapat mempengaruhi resiko kelahiran. Semakin muda usia saat perkawinan pertama semakin besar resiko yang dihadapi bagi keselamatan ibu maupun anak.
V Penyakit Menular Seksual.
Prevalensi PMS mencapai puncaknya pada masa remaja akhir dan awal dewasa, kemudian menurun dengan cepat dengan semakin bertambahnya umur. Pada remaja pria kasus terbanyak adalah uretritis gonore dan wanita adalah bacterial vaginosis.
2.2. Mutu Pelayanan Kesehatan
2.2.1. Pengertian
£ Mutu adalah kecocokan penggunaan produk (fitnes for use) untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan (juran). Kecocokan penggunaan tersebut didasarkan atas lima ciri utama; teknologi (kekuatan dan daya tahan), psikologis (citra rasa atau status), waktu (kehandalan), kontraktual (adanya jaminan), dan etika (sopan santun, ramah, atau jujur).
£ Mutu adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia atau tenaga kerja, proses dantugas, serta lingkungan yang memenuhi atau memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen.
£ Mutu pelayanan kesehata adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan (Azrul Azwar).
2.2.2. Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan Menurut Azrul Azwar
1. Kompetensi Teknik (Technical Competence)
Keterampilan, kemampuan, dan penampilan petugas, manajer, dan staf pendukung. Kompetensi teknis berhubungan dengan bagaimana cara petugas mengikuti standar pelayanan yang telah di tetapkan.
2. Akses Terhadap Pelayanan (Accessibility)
Tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial ekonomi, budaya, organisasi, atau hambatan bahasa.
a. Geografis, dapat di ukur dengan jenis trnsportasi, jarak, waktu, dan perjalanan.
b. Akses ekonomi, berkaitan dengan kemampuan memberikan pelayanan kesehatan yang pembiayaannya terjangkau pasien.
c. Akses sosial atau budaya, berkaitan dengan diterimanya pelayanan yang dikaitkan dengan nilai budaya, kepercayaan dan perilaku.
d. Akses organisasi, berkaitan dengan sejauh mana pelayanan di atur untuk kenyamanan pasien, jam kerja klinis, waktu tunggu.
e. Aksese bahasa, pelayanan diberikan dalam bahasa atau dialek setempat yang dipahami pasien.
3. Efektifitas (Effectiveness)
Kualitas pelayanan kesehatan tergantung dari efektifitas yang menyangkut norma pelayanan kesehatan dan petunjuk klinis sesuai dengan standar yang ada.
4. Hubungan Antar Manusia (Interpersonal Relation)
Berkaitan dengan interaksi antara petugas kesehatan dengan pasien, manjer dan petugas, dan antara tim kesehatan dengan masyarakat.
5. Efisiensi (Efficiency)
Pelayanan yang efisien akan memberikan perhatian yang optimal daripada memaksimalkan pelayanan kepada pasien dan masyarakat. Petugas akan memberikan pelayanan yang terbaik dengan sumber daya yang dimiliki.
6. Kelangsungan Pelayanan (Continuity)
Pasien akan menerima pelayanan yang lengkap yang dibutuhkan termasuk rujukan tanpa interupsi, berhenti atau mengulangi prosedur, diagnosa dan terapi yang tidak perlu.
7. Keamanan (Safety)
Mengurangi resiko cedera, infeksi, efek samping, atau bahaya lain yang berkaitan dengan pelayanan.
8. Kenyamanan (Amnieties)
Berkaitan dengan pelyanan kesehatan yang tidak berhubungan langsung dengan efektifitas klinis, tetapi dapat mempengaruhi kepuasan pasien dan bersedianya untuk kembali ke fasilitas kesehatan untuk memperoleh pelayanan berikutnya.
2.2.3. Prinsip Perbaikan Mutu
1. Keinginan untuk Berubah
· Tidak hanya menemukan praktek yang tidak benar
· Nyatakan secara terbuka keingina untuk bekerja dalam kemitraan untuk meningkatkan hasil pelayanan.
2. Mendefinisikan Kualitas
Kemampuan pelayanan yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
3. Mengukur Kualitas
· Menggunakan metode statistik yang tepat untuk menafsirkan hasil pengukuran.
· Perlu informasi atas proses, kebutuhan pelanggan, dan kualitas penyedia.
4. Memahami Saling Ketergantungan
Fragmentasi tanggung jawab akan menimbulkan suboptimaze “saya bekerja dengan baik yang lain tidak”.
5. Memahami Sistem
Kesalahan yang terjadi disebabkan oleh sistem (85%) dan manusia (15%).
6. Investasi dalam Belajar
Seluruh pakar menekankan pentingnya pelatihan atau pembelajaran. Mencari penyebab lalu mendapatkan pengalaman untuk perbaikan.
7. Mengurangi Biaya
Mengurangi kerja sia-sia, duplikasi, komplrksitas yang tak perlu.
8. Komitmen Pemimpin
Menunjukkan segala sesuatu baik itu dengan kata-kata maupun perbuatan atas komitmen yang telah ditetapkan terutama untuk mutu.
BAB III
PEMBAHASAN
Remaja adalah waktu manusia berumur belasan tahun. Di masa remaja manusia tidak dapat disebut sudah dewasa tetapi tidak dapat pula disebut anak - anak. Masa remaja adalah masa peralihan manusia dari anak - anak menuju dewasa (http://www.sciencedaily). Sebagian remaja sudah mengalami pematangan organ reproduksi dan bisa berfungsi atau bereproduksi, namun secara sosial, mental, dan emosi mereka belum dewasa. Remaja akan mengalami banyak masalah apabila pendidikan dan pengasuhan seksualitas reproduksi mereka terabaikan.
Akibatnya banyak terjadi IMS, kehamilan dini, kehamilan yang tidak diinginklan, dan usaha aborsi yang tidak aman diantara mereka. Remaja merupakan kelompok marginal dan kesalahan yang mereka lakukan dianggap aib oleh masyarakat sehingga persoalan reproduksi remaja di Indonesia tidak diperhitungkan oleh pembuat kebijakan.
Hal ini juga disebabkan oleh beberapa aspek diantaranya informasi yang tepat tentang masalah seksual dan reproduksi bagi remaja sangat kurang dan akses pelayanan yang bersifat youth friendly juga tidak memadai, bahkan tidak ada. Kemudian kurangnya pengetahuan dan komitmen petugas kesehatan untuk menangani masalah remaja dan terbatasnya fasilitas, membuat remaja tidak pernah mendapat perlindungan dan pemeliharaan dengan tepat.
Dari hal di atas dapat dilihat dimana salah satu atau beberapa dimensi mutu pelayanan kesehatan tidak berjalan dengan baik. Maka disini dimensi pelayanan kesehatan yang disorot yaitu mengenai dimensi efisien dan kenyamanan. Dimana kurang efisiennya kinerja tenaga kesehatan dalam menangani masalah remaja, kemudian berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang tidak berhubungan langsung dengan efektifitas klinis yang dapat mempengaruhi kepuasan pasien (remaja), sehingga remaja tidak bersedia lagi untuk kembali ke fasilitas kesehatan untuk memperoleh pelayanan berikutnya.
Untuk itu disini perlu adanya peran dari pengambil kebijakan dan petugas kesehatan dalam menangani masalah ini, diantaranya :
V Perlu dikaji ulang bagaimana peraturan maupun undang-undang yang ada (UU No. 23 Tentang Kesehatan, UU No. 10 Tentang Kependidikan dan isi KUHP), aspek sosial, adat, dan budaya masyarakat yang pada banyak hal akan menghambat pemberian pelayan pada remaja.
V Petugas kesehatan baik pemerintah, swasta, dan LSM yang punya komitmen terhadap kesehatan remaja, perlu memahami bahasa dan perilaku remaja agar dapat memberikan pelayanan yang tepat sesuai dengan karakteristik dan keinginan remaja.
V Pelayanan konseling juga diperlukan sebelum memberikan pelayanan kepada remaja, agar hak mereka untuk mendapatkan informasi dan pelayanan dapat terpenuhi, yang pada akhirnya remaja dapat terhindar dari IMS, HIV-AIDS, kehamilan tidak di inginkan dan usaha aborsi tidak aman. Pemberian pelayanan ini sebaiknya juga diberikan dala satu paket dengan pendidikan kespro bagi remaja.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
a. Remaja adalah waktu manusia berumur belasan tahun. Di masa remaja manusia tidak dapat disebut sudah dewasa tetapi tidak dapat pula disebut anak - anak. Masa remaja adalah masa peralihan manusia dari anak - anak menuju dewasa (http://www.sciencedaily).
b. Remaja akan mengalami banyak masalah apabila pendidikan dan pengasuhan seksualitas reproduksi mereka terabaikan. Akibatnya banyak terjadi IMS, kehamilan dini, kehamilan yang tidak diinginklan, dan usaha aborsi yang tidak aman diantara mereka.
c. Mutu pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan (Azrul Azwar).
d. Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa aspek diantaranya informasi yang tepat tentang masalah seksual dan reproduksi bagi remaja sangat kurang dan akses pelayanan yang bersifat youth friendly juga tidak memadai, bahkan tidak ada. Kemudian kurangnya pengetahuan dan komitmen petugas kesehatan untuk menangani masalah remaja dan terbatasnya fasilitas, membuat remaja tidak pernah mendapat perlindungan dan pemeliharaan dengan tepat.
e. Untuk itu disini perlu adanya peran dari pengambil kebijakan dan petugas kesehatan dalam menangani masalah ini, diantaranya :
V Perlu dikaji ulang bagaimana peraturan maupun undang-undang yang ada, aspek sosial, adat, dan budaya masyarakat yang pada banyak hal akan menghambat pemberian pelayan pada remaja.
V Petugas kesehatan baik pemerintah, swasta, dan LSM yang punya komitmen terhadap kesehatan remaja, memahami bahasa dan perilaku remaja agar dapat memberikan pelayanan yang tepat sesuai dengan karakteristik dan keinginan remaja.
V Pelayanan konseling sebelum memberikan pelayanan kepada remaja, agar hak mereka untuk mendapatkan informasi dan pelayanan dapat terpenuhi, yang pada akhirnya nanti remaja dapat terhindar dari IMS, HIV-AIDS, kehamilan tidak di inginkan dan usaha aborsi tidak aman. Pemberian pelayanan ini sebaiknya juga diberikan dala satu paket dengan pendidikan kespro bagi remaja.
4.2. Saran
Diharapkan kepada pembaca agar dapat memahami bagaimana Kurangnya Akses Pelayanan pada Remaja (Pelayanan Youth Friendly) oleh Petugas Kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Prawirohardjo, Sarwono. 2005
Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustak
Bari Syaifuddin, dkk. 2006
Panduan Praktis Pelayanan Kotrasepsi. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Supriadi. 2004
Kespro Modul Siswi. Jakarta : Yayasan Pendidikan Kesehatan Perempuan
Jurnal : Kohler PK, Manhart LE, Lafferty WE. 2008
Abstinence-only and comprehensive sex education and the initiation of sexual activity and teen pregnancy. J Adolesc Health 42(4)
Wijono, Djoko Haji.2000
Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Surabaya : Airlangga University Press
BACA SELENGKAPNYA - Mutu Pelayanan Kebidanan Kurangnya Akses Pelayanan pada Remaja (Pelayanan Youth Friendly) Oleh Petugas Kesehatan

Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam memilih alat kontrasepsi suntik depoprovera di desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengembangan manusia seutuhnya sebagai hakikat pembangunan nasional dicapai dengan berhasilnya salah satu sektor yakni pembangunan kesehatan dan juga dipengaruhi oleh terkendalinya pertumbuhan penduduk. Sebagai generasi penerus yang akan melanjutkan pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur, proses pertumbuhan penduduk harus dipantau dan dikendalikan salah satunya dengan pengadaan program Keluarga Berencana (KB). Program KB nasional bertujuan ganda yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pengendalian pertumbuhan penduduk. Dalam upaya menjunjung keberhasilan Program KB Nasional yaitu tercapainya kondisi pertumbuhan penduduk seimbang.
Gerakan KB tahap kedua sekarang ini sedang berusaha meningkatkan mutu para pelaksana, pengelola dan peserta KB disemua lini lapangan di pedesaan baik di kota maupun di desa. Begitu juga dengan para akseptor KB diharapkan memiliki pengetahuan yang cukup tentang alat kontrasepsi yang digunakannya (Hartanto, 2002). Tujuan Gerakan KB Nasional ialah mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalaui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk Indonesia. Sasaran gerakan KB Nasional ialah :
1. Pasangan Usia Subur dengan prioritas PUS muda dengan paritas rendah
2. Generasi muda
3. Pelaksana dan pengelola KB
4. Sasaran wilayah
(Manuaba, 1998)

Dalam hal pelayanan kontrasepsi dalam Pelita V ini diambil kebijaksanaan sebagai berikut :
1. Perluasan jangkauan pelayanan kontrasepsi
2. Pembinaan mutu pelayanan kontrasepsi dan pengayoman medis
3. Perkembangan pelayanan kontrasepsi mandiri oleh masyarakat agar sesuai dengan standar pelayanan baku
4. Menumbuhkan kemandirian masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kontrasepsi maupun dalam mengelola pelayanan kontrasepsi.
(Winkjosastro, 1999)
menurut Hanafi Hartanto (2002) metode kontrasepsi yang ada antara lain : metode sederhana, kondom, pil, suntik, implant,metode operatif wanita (MOW),metode operatif pria (MOP), dan intra uterin device (IUD). Kontrasepsi suntikan yang baru merupakan senyawa ester berasal dari NET atau Levanolgestrol, antara lain :
1. DMPA (Depot Medroxyprogesterone asetat) = depo provera
Dosisnya 150 mg diberikan sekali setiap 3 bulan
2. NET-EN (Norethindrone enanthate) = Noristerat
Diberikan dalam dosis 200 mg sekali setiap 8 minggu atau sekali setiap 8 minggu untuk 6 bulan pertama kemudian selanjutnya sekali setiap 12 minggu.
3. Kontrasepsi Suntikan Setiap 1 bulan / Cycloprovera/Cyclofem
Kontrasepsi ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan kontrasepsi suntikan yang biasa yaitu :
a. Menimbulkan perdarahan teratur setiap bulan
b. Kurang menimbulkan perdarahan –bercak atau perdarahan ireguler lainnya.
c. Kurang menimbulkan amenore
d. Efek samping lebih cepat menghilang setelah suntikan dihentikan.
Kontrasepsi ini juga memiliki kerugian, antara lain :
a. Penyuntikan lebih sering
b. Biaya keseluruhan lebih tinggi
c. Kemungkinan efek samping karena estrogennya
Data propinsi lampung sampai dengan bulan Desember 2003 Pasangan Usia Subur (PUS) yang berhasil dibina menjadi peserta KB aktif sebanyak 937.841 (70,79%) dari total PUS sebanyak 1.324.747. Alat kontrasepsi yang digunakan dipropinsi Lampung adalah : obat Vaginal 53 (0,01%), kondom 2673 (0,29%),pil 337.816 (36,02%), suntikan 320.359 (34,16%), implant 124.834 (13,31%), MOW 14.528 (1,55%), MOP 12.380 (1,32%), IUD 125.198 (13,35%).
Sedangkan untuk tingkat kabupaten Lampung Tengah PUS yang berhasil dibina menjadi peserta KB aktif sebanyak 149.727. Alat kontrasepsi yang digunakan di kabupaten Lampung Tengah adalah obat Vaginal 28 (0,02%), kondom 473 (0,32%), pil 49.222 (32,87%) suntikan 46.616 (31,13%), implant 17.551 (11,72%), MOW 2437 (1,63%), MOP 2856 (1,91%), IUD 30.544 (20,40%)
Kemudian untuk tingkat kecamatan Rumbia PUS yang berhasil dibina menjadi peserta KB aktif sebanyak 6765. Alat kontrasepsi yang digunakan adalah obat vaginal 0 (0%), kondom 0 (%), pil 2571 (38,0%), suntik 728 (10,76%), implant 851 (12,57 %), MOW 251 (3,71%), MOP 90 (1,33%), IUD 2274 (33, 61%).
Kemudian untuk tingkat desa Rukti Basuki PUS yang berhasil dibina menjadi peserta KB aktif sebanyak 827. Alat kontrasepsi yang digunakan adalah obat vaginal 0 (0%), kondom 0 (0%), pil 250 (30,23%), suntik 252 (30,47%), implant 75 (9,06%), MOW 25 (3,03%), MOP 10 (1,21%), IUD 215 (25,99%).
Dari data-data diatas terlihat bahwa kontrasepsi suntik untuk propinsi Lampung mandapat urutan kedua (34,16%), kabupaten Lampung Tengah mendapat urutan kedua (31,13%), Kecamatan Rumbia mendapat urutan keempat (10,76%) dan desa Rukti Basuki mendapat urutan pertama (30,47%).
Berdasarkan pra survey di BKBN dan di Puskesmas Rumbia, penulis mendapatkan data tentang KB Tahun 2003.
Tabel 1. Data KB di Kecamatan Rumbia Tahun 2003
Pasangan Usia Subur
Jumlah PUS Jumlah PUS Mnrt Umur Istri Jumlah Peserta KB Jumlah PUS Bukan Peserta KB
Menurut Jalur Pelayanan Hamil Tidak Hamil
<20> 30 th Pemerin-tah (Puskes-mas) Swasta Jumlah Ingin Anak Tidak Ingin Anak
9687 196 3814 5677 4043 2720 6763 204 821 1899
Sumber : BKKBN Kecamatan Rumbia,tahun 2003
Tabel 2. Data Pembinaan Kesertaan BerKB Berdasarkan Jenis KB di Kecamatan Rumbia Tahun 2004
No Jenis KB Jumlah %
1 IUD 2.274 33,61%
2 MOP 90 1,33%
3 MOW 251 3,71%
4 Implant 851 12,57%
5 Suntik 728 10,76%
6 Pil 2.571 38%
7 Kondom - -
8 Obat Vaginal - -
Jumlah 6765 100%
Sumber : BKKBN Kecamatan Rumbia bulan Maret 2004.
Tabel 3. Data Akseptor KB Suntik berdasarkan jenis obat
No Jenis Obat Jumlah %
1 Cyclofem - -
2 Noristerat - -
3 Depo Provera 48 100
Jumlah 48 100%
Sumber : BKKBN Desa Rukti Basuki Kecamatan Rumbia bulan Maret 2004.
Dari data-data diatas dapat dilihat bahwa alat kontrasepsi suntikan. Mendapat urutan keempat dengan jumlah 728 (10,76%). Dan berdasarkan jenis obat yang dipakai Depoprovera mendapat urutan pertama dengan jumlah 48 (100 %). Jika dilihat dari keuntungan dari ketiga jenis obat kontrasepsi suntikan ternyata Cyclofem yang paling efektif. Namun di Desa Rukti Basuki Kecamatan Rumbia akseptor lebih banyak menggunakan depoprovera.
Berdasarkan fenomena di atas penulis ingin mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemilihan alat kontrasepsi suntikan depoprovera yang digunakan akseptor KB di Desa Rukti Basuki Puskesmas Kecamatan Rumbia Lampung Tengah.

BACA SELENGKAPNYA - Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam memilih alat kontrasepsi suntik depoprovera di desa

Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan ib hamil di puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Visi Indonesia Sehat 2010 adalah ditetapkannya misi pembangunan kesehatan yang salah satunya adalah mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat, dengan sasaran meningkatkan jumlah penduduk mengkonsumsi makanan dengan gizi yang seimbang sehingga untuk meningkatkan percepatan perbaikan derajat kesehatan masyarakat dengan salah satu program unggulannya yaitu program perbaikan gizi (Dep.Kes RI,1993).
Sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia saat ini dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi. Kejadian kekurangan gizi pada ibu hamil berdampak pada kemungkinan resiko tinggi untuk melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), meningkatnya kemungkinan pre eklamsi, perdarahan antepartum, dan komplikasi obstetrik lainnya selain meningkatnya angka kematian ibu, angka kematian perinatal, angka kematian bayi, angka kematian balita, serta rendahnya umur harapan hidup (Dep.Kes. RI, 2004).
Angka kematian ibu maternal berguna untuk menggambarkan tingkat kesadaran perilaku hidup sehat, status gizi dan kesehatan ibu, kondisi kesehatan lingkungan, tingkat pelayanan kesehatan terutama untuk ibu hamil, waktu melahirkan dan masa nifas. Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003. Angka kematian ibu sebesar 307 (0,307%) per 100.000 kelahiran hidup. Provinsi Lampung terdapat sebanyak 145 (0,88%) kasus dari 165.347 kelahiran hidup. Jumlah AKI di Kota Metro pada tahun 2005 ini ada sebanyak 2 (0,072%) kasus per 2.801 kelahiran hidup. Kota Metro sebagai wilayah dengan kasus terkecil AKI tetap saja mengalami peningkatan kejadian dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, 2005).
Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada periode 2002-2003, tingkat kematian perinatal adalah 24 per 1000 kelahiran (Kodim, 2007). Salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan neonatal adalah Berat Badan Lahir Rendah (kurang dari 2500 gram). BBLR dibedakan dalam 2 kategori yaitu : BBLR karena prematur (usia kandungan kurang dari 37 minggu) atau BBLR karena Intrauterine Growth Retardasion (IUGR), yaitu bayi lahir cukup bulan tapi berat badannya kurang. Terdapat BBLR dengan IUGR karena ibu berstatus gizi buruk, anemia, malaria, dan menderita penyakit menular seksual (PMS) sebelum konsepsi atau pada saat hamil di negara berkembang (Dep.Kes. RI, 2003).
Hasil survey Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) pada tahun 2003 menunjukkan sebesar 16,7% Wanita Usia Subur (WUS) di Indonesia memiliki risiko Kurang Engergi Kronik (KEK). Provinsi Lampung tercatat sebesar 14,43% WUS yang mempunyai resiko KEK (Dep.Kes. RI, 2003).
Menurut data para survei yang penulis peroleh pada tanggal 28 Maret 2007 di Puskesmas Banjar Sari Kecamatan Metro Utara Kota Metro didapatkan data ibu hamil dengan status gizi kurang yaitu periode Januari – Maret 2007 memiliki jumlah ibu hamil dengan resiko tinggi sebanyak 8 (2,73%), risiko KEK sebanyak 4 (1,37%) orang dari 293 ibu hamil (Laporan Puskesmas Banjarsari, 2007). Jumlah bayi yang lahir dengan BBLR di Kota Metro sebesar 68 (2,43%) bayi dari 2.801 kelahiran hidup. Khusus untuk Puskesmas Banjarsari sebanyak 15 (3,49%) bayi dari 499 kelahiran hidup (Dinas Kesehatan Kota Metro, 2005).
Melihat dari data KEK tersebut bahwa resiko kehamilan meningkat pada ibu hamil yang KEK sehingga dapat mempengaruhi hasil dari kehamilan tersebut (Moore, 1991).
Kehamilan merupakan masa penyesuaian tubuh terhadap perubahan fungsi tubuh yang menyebabkan peningkatan kebutuhan akan nutrisi. Terdapat berbagai laporan penelitian yang menunjukkan adanya kaitan erat antara status gizi ibu hamil dan anaknya yang dikandung yaitu bahwa status gizi ibu hamil mempengaruhi tumbuh kembang janin yang dikandung. Makanan ibu sangat penting diperhatikan agar kebutuhan nutrisi ibu dan anak dapat terpenuhi secara optimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan ibu hamil dapat dilihat dari Indeks Quetelet (Indeks Q), asupan gizi, dan komplikasi atau penyakit yang menyertai ibu selama kehamilan (Samsudin, 1986).
Indikator pemenuhan gizi ibu hamil dapat diukur dengan Indeks Quetelet (Indeks Q). Indeks Q menekankan pada keseimbangan berat badan dalam kilogram dibagi dengan dua kali tinggi badan dalam meter. Kenaikan berat badan adalah salah satu indeks yang dapat dipakai sebagai ukuran untuk menentukan status gizi wanita hamil (Rose-Neil, 1991).
Asupan gizi sangat menentukan kesehatan ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Makanan yang dikonsumsi terdiri dari susunan menu seimbang, yaitu yang lengkap dan sesuai kebutuhan. Asupan makanan ibu hamil meningkat seiring dengan bertambahnya usia kehamilan sehingga dapat mempengaruhi pola kenaikan berat bdan ibu selama kehamilan (Huliana, 2001).
Seorang wanita yang mengidap penyakit bawaan atau penyakit tertentu yang cukup serius harus waspada dan berhati-hati dalam menghadapi kehamilan. Umumnya kehamilan dapat berjalan lancar dengan perawatan dan pengobatan yang teratur (Huliana, 2001).
Melihat uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian sederhana mengenai “gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan ibu hamil di Puskesmas Banjarsari Kecamatan Metro Utara Kota Metro Tahun 2007”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apa faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan ibu hamil di Puskesmas Banjarsari Kecamatan Metro Utara Kota Metro?”

BACA SELENGKAPNYA - Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan ib hamil di puskesmas

Gambaran faktor-faktor wanita pasangan usia subur tidak menggunakan kontrasepsi tubektomi di kelurahan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu usaha pemerintah Indonesia untuk menanggulangi masalah pertumbuhan penduduk. Gerakan nasional adalah gerakan masyarakat yang menghimpun dan mengajak segenap potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melambangkan dan membudayakan NKKBS dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya Indonesia. Hasil sensus penduduk 1990 menunjukkan bahwa gerakan KB Nasional telah berhasil merampungkan landasan pembentukkan keluarga kecil, dalam rangka pelembagaan dan pembudayaan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) langkah besar yang perlu dibangun selanjutnya adalah pembangunan keluarga kecil sejahtera (Wiknjosastro, 2002).
Tujuan gerakan KB Nasional adalah mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk Indonesia. Sasaran KB Nasional ialah: 1) Pasangan usia subur dengan prioritas PUS Muda dengan prioritas rendah, 2) Generasi muda dan purna PUS, 3) Pelaksanaan dan pengelola KB dan 4) Sasaran wilayah (Wiknjosastro, 2002).
Gerakan keluarga berencana Indonesia telah menjadi contoh bagaimana negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia dapat mengendalikan dan menerima gerakan keluarga berencana sebagai salah satu bentuk pembangunan keluarga yang lebih dapat dikendalikan untuk mencapai kesejahteraan. (Manuaba, 1999). Dalam mencapai sasaran NKKBS itu pernah dicanangkan konsep pancawarga artinya keluarga terdiri dari tiga anak sedangkan pengertian tersebut makin berkembang menjadi konsep catur warga yaitu hanya dua anak saja (Manuaba, 1999).
Pada umumnya pemerintah di negara-negara sedang berkembang paling banyak menggunakan metode kontrasepsi yang pemakainya perempuan. Distribusinya adalah pemakai pil 17,1 %, injeksi 15,2 %, IUD 10,3 %, Norplant 4,6 %, Tubaktomi 3,1 %, Vasektomi 0,7 % dan Kondom 0,9 % (Juliantoro, 1999). Berdasarkan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sejak tahun 2003 – 2006 peserta program keluarga berencana (KB) Indonesia hanya meningkat 0,5 % pertahun. Saat ini peserta KB hanya 62,5 % dari 45 juta PUS atau sekitar 28 juta PUS yang menjadi peserta KB aktif (http://www.pd persi.co.id).
Permasalahan pembangunan kependudukan dan keluarga berkualitas adalah masih tingginya laju pertumbuhan penduduk dan jumlah penduduk, masih tingginya tingkat kelahiran penduduk, hal ini ditandai dengan tingginya angka kelahiran Total Fertility Rate (TFR) pada tahun 2006 sebesar 2,78 rata – rata kelahiran pasangan usia subur dan diharapkan pada tahun 2010 sebesar 2,38 rata – rata kelahiran pasangan usia subur (http://serdangbedagaikab.go.id) .
Program KB memiliki dampak positif dalam membantu penurunan angka kematian ibu, epidemi HIV/AIDS, meningkatkan mutu gender, dan mempromosikan pendayagunaan kaum muda. Akses yang lebih baik untuk metode kontrasepsi yang aman dan terjangkau akan Mempercepat Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium (MDGS). Oleh karena itu sejak 2005 masalah kesehatan reproduksi dimasukkan menjadi salah satu indikator pencapaian MDGS. Jika tiap keluarga punya anak dua atau tiga, berarti program KB sudah berhasil (http://www.medianasional.com). Adapun penggunaan kontrasepsi tubektomi atau vasektomi dipandang sebagai upaya meghentikan kehamilan secara permanen, jadi sama dengan pengebirian, ini yang tidak boleh di lakukan karena bisa memutus keturunan (http://www.gaulislam.com).
Rendahnya pemakaian metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) seperti alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), implant, Metode Operasional Wanita (MOW)/Tubektomi dan Metode Operasional Pria (MOP)/Vasektomi dikarenakan kurangnya pengetahuan serta kesadaran pasangan usia subur untuk menggunakan metode kontrasepsi ini, lemahnya ekonomi juga mempengaruhi partisipasi masyarakat terhadap pemakaian metode kontrasepsi tubektomi. (Bappenas.go.id)
Perasaan dan kepercayaan wanita mengenai tubuh dan seksualitasnya tidak dapat dikesampingkan dalam pengambilan keputusan dalam menggunakan kontrasepsi. Banyak wanita takut siklus menstruasi normalnya berubah, karena mereka takut perdarahan yang lama dapat mengubah pola hubungan seksual dan juga dapat membatasi aktifitas keagamaan maupun budaya. Dinamika seksual dan kekuasaan antara pria dan wanita dapat menyebabkan penggunaan kontrasepsi terasa canggung bagi wanita. Dukungan suami mengenai keluarga berencana cukup kuat pengaruhnya untuk menentukan penggunaan metode keluarga berencana oleh istri. Berbagai budaya mendukung kepercayaan bahwa pria mempunyai hak akan fertilitas istri mereka, seperti di Papua Nugini dan Nigeria wanita tidak dapat memiliki kontrasepsi tanpa persetujuan suami (Klobinsky, 1997).
Berdasarkan hasil pra survei tanggal 24 Maret 2008 di Kota Metro pasangan usia suburnya berjumlah 25.136 orang dengan jumlah peserta KB aktifnya 18.585 (73, 93%), dan untuk lebih jelasnya maka dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:

BACA SELENGKAPNYA - Gambaran faktor-faktor wanita pasangan usia subur tidak menggunakan kontrasepsi tubektomi di kelurahan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian makanan pendamping ASI pada bayi kurang dari 6 bulan di wilayah kerja puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Peningkatan kualitas manusia harus dimulai sedini mungkin sejak masih bayi. Salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas manusia adalah pemberian air susu ibu (ASI). Pemberian ASI semaksimal mungkin merupakan kegiatan penting dalam pemeliharaan anak dan persiapan generasi penerus di masa depan (usu.online, 2007). Air susu ibu (ASI) merupakan makanan terbaik bagi bayi karena ASI mengandung zat gizi yang paling sesuai kualitas dan kuantitasnya untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. Sejak lahir, bayi seharusnya di beri ASI saja sampai usia 6 bulan yang di sebut sebagai ASI eksklusif. Selanjutnya pemberian ASI di teruskan hingga anak berusia 2 tahun, setelah berusia 6 bulan bayi baru boleh di berikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dalam bentuk dan jumlah yang sesuai dengan umur bayi (Dep.Kes, 2005).
Menyusui secara eksklusif mempunyai manfaat yang besar, tidak hanya memberikan keuntungan untuk bayi tetapi juga untuk ibu, ayah, keluarga dan juga negara. Menurut penelitian dr. Reva (1997) ditemukan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif, ketika berusia 9,5 tahun mempunyai tingkat IQ 12,9 point lebih tinggi dibandingkan bayi yang tidak diberi ASI eksklusif (Roesli, 2002).
Tahun 2003 di Indonesia dengan jumlah bayi 3.213.860 bayi yang sudah diberi ASI eksklusif adalah 1.339.298 orang bayi yaitu (41,67%). Berarti 1.874.562 bayi yaitu (58,33%) tidak diberi ASI eksklusif dengan berbagai alasan. Sedangkan di Lampung dengan jumlah 3.114 bayi, yang sudah diberi ASI eksklusif adalah 2.190 (70,33%) bayi dan 914 (29,67%) bayi tidak diberi ASI eksklusif (Dinkes Lampung, 2004).
ASI eksklusif memiliki manfaat yang sangat besar, maka sangat disayangkan bahwa pada kenyataan penggunaan ASI eksklusif belum seperti yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena ibu sibuk bekerja dan hanya diberi cuti melahirkan selama 3 bulan, serta masih banyak ibu yang masih beranggapan salah sehingga ibu tidak menyusui bayinya secara eksklusif. Selain itu ibu takut menyusui karena akan merubah bentuk payudara ibu menjadi jelek dan ibu takut ditinggal suami, takut badan tetap gemuk. Serta masih adanya mitos atau anggapan bahwa bayi yang tidak diberi ASI tetap berhasil menjadi orang, sedangkan bayi yang diberi ASI bayinya akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dan manja. Dan alasan lain ibu memberikan makanan pendamping ASI karena ibu merasa ASI nya tidak mencukupi kebutuhan nutrisi bayinya sehingga ibu memilih susu formula karena lebih praktis (Roesli, 2002)
Pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu dini dalam waktu jangka panjang akan mengakibatkan anak kurang gizi sehingga dapat mempengaruhi perkembangan otak (Balita Anda Indoglobal Online, 2007). Selain mengalami gangguan di atas, dapat timbul efek samping lain, yaitu berupa kenaikan berat badan yang terlalu cepat hingga menjurus ke obesitas dan dapat mengalami alergi dari salah satu zat gizi yang terdapat dalam makanan pendamping tersebut sehingga dapat menimbulkan diare (Pudjiadi, 1990).
Diare pada bayi bisa mengakibatkan kematian dan masih merupakan salah satu penyakit utama pada bayi dan anak di Indonesia. Diperkirakan, angka penderita antara 150-430 per 1.000 penduduk setahunnya. Dengan berbagai upaya angka kematian bayi dan anak akibat diare dirumah sakit sekarang dapat ditekan menjadi kurang dari 3% (Gizinet.Online, 2007).
Dilihat dari jumlah ibu dan lamanya menyusui dibanyak bagian dunia telah menunjukkkan penurunan karena berbagai alasan sosial, ekonomi, budaya. Di Indonesia terutama dikota-kota besar dan sekarang sudah sampai kepedesaan (Soetjiningsih, 1997). Sedangkan target keberhasilan program ASI eksklusif yang diharapkan untuk tahun 2010 sebesar 80% (DepKes RI, 2005).
Tahun 2006 jumlah bayi di Kota Metro berjumlah 5.432 bayi sedangkan jumlah bayi yang mendapat ASI eksklusif hanya berjumlah 1.308 bayi, atau hanya (24,07%) (Dinkes Metro,2006).
Berdasarkan hasil pra survey bulan Januari-Maret 2007 di Puskesmas Banjarsari, jumlah bayi yang usianya kurang dari 6 bulan yaitu 112 bayi, sedangkan bayi yang di beri ASI eksklusif hanya berjumlah 6 bayi atau hanya (5,35%) bayi usianya kurang dari 6 bulan yang diberikan PASI (pengganti ASI hanya berjumlah 4 bayi dan bayi yang telah diberikan makanan pendamping ASI berjumlah 102 bayi atau (96,20%) (Puskesmas Banjarsari, 2007). Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian makanan pendamping ASI pada bayi kurang dari 6 bulan.


BACA SELENGKAPNYA - Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian makanan pendamping ASI pada bayi kurang dari 6 bulan di wilayah kerja puskesmas

Faktor-faktor rendahnya penggunaan implant di kelurahan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu usaha pemerintah Indonesia untuk menanggulangi masalah pertumbuhan penduduk. Gerakan Keluarga Berencana Nasional adalah gerakan masyarakat yang menghimpun dan mengajak segenap potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melembagakan dan membudayakan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia (Wiknjosastro, 2002:902). Program Keluarga Berencana di Indonesia dirintis sejak tahun 1957 dengan diresmikannya Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). PKBI sebagai pelopor pergerakan Keluarga Berencana dan sampai sekarang masih aktif membantu program Keluarga Berencana nasional yang dikoordinir oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (Mochtar, 1998:251). Dalam program ini salah satu tujuannya adalah menjarangkan kehamilan dengan menggunakan metode kontrasepsi.
Metode kontrasepsi yang digunakan diantaranya menggunakan metode alamiah seperti metode kalender, metode suhu badan basal, metode lendir serviks dan metode sympto-termal. Selain itu ada juga yang menggunakan pil, suntik, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR), Implant, serta metode kontrasepsi mantap seperti tubektomi dan vasektomi. Sampai saat ini belum ada suatu cara kontrasepsi yang 100% ideal. Ciri-ciri suatu kontrasepsi yang ideal meliputi daya guna, aman, murah, estetik, mudah didapat, tidak memerlukan motivasi terus-menerus dan efek sampingnya minimal (Wiknjosastro, 2002:906). Namun demikian, masyarakat dapat menerima hampir semua metode medis tekhnis Keluarga Berencana yang dicanangkan oleh pemerintah (Manuaba, 1998:437).
Salah satu Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) adalah implant, yaitu suatu alat kontrasepsi yang mengandung levonorgestrel yang dibungkus dalam kapsul silatic-silicone dan disusukkan di bawah kulit. Implant berdaya guna tinggi, perlindungan jangka panjang (sampai 5 tahun), tidak membutuhkan pemeriksaan dalam dan tidak mengganggu kegiatan senggama. Selain itu implant dapat dicabut setiap saat sesuai kebutuhan.
Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Lampung tahun 2005, jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di Provinsi Lampung tercatat sebanyak 1.380.636 pasangan dan yang menjadi peserta KB aktif sebanyak 961.460 orang (69,64%), akseptor KB implant sebanyak 123.097 orang (12,8%). Berdasarkan data dari Badan Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana (BKCSKB) Kota Metro bulan Desember 2006 jumlah PUS sebanyak 24.331 pasangan, yang menjadi peserta KB aktif sebanyak 17.741 orang (72,92%), akseptor KB implant sebanyak 2.507 orang (14,13%). Jika dilihat menurut Kecamatan, jumlah PUS di Kecamatan Metro Pusat sebanyak 7.958 pasangan, yang menjadi peserta KB aktif 5.676 orang (71,32%), akseptor KB implant 510 orang (8,98%) Kecamatan Metro Utara jumlah PUS sebanyak 4.756 pasangan, peserta KB aktif 3.643 orang (76,60%) akseptor KB implant 576 orang (15,81%). Kecamatan Metro Barat jumlah PUS sebanyak 3.815 pasangan, peserta KB aktif 2.771 orang (72,63%), akseptor KB implant 439 orang (15,84%). Kecamatan Metro Timur jumlah PUS sebanyak 5.355 pasangan, peserta KB aktif sebanyak 3.780 orang (70,59%) akseptor KB implant sebanyak 448 orang (11,85%). Kecamatan Metro Selatan jumlah PUS 2.447 pasangan, peserta KB aktif sebanyak 1.871 orang (76,46%) akseptor KB implant sebanyak 534 orang (28,54%). Dari data tersebut dapat diketahui bahwa di Kecamatan Metro Pusat penggunaan metode KB implant paling rendah dibandingkan di Kecamatan lainnya.
Dari hasil study pendahuluan yang dilakukan di Kecamatan Metro Pusat didapatkan data tentang kontrasepsi yang digunakan akseptor KB di Kecamatan Metro Pusat sebagai berikut :
Tabel 1. Jumlah Akseptor KB Berdasarkan Jenis Alat Konstrasepsi yang Digunakan di Kecamatan Metro Pusat bulan Desember tahun 2006
Sumber : Dokumentasi Pengelola KB, Kecamatan Metro Pusat tahun 2006.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa di Kelurahan Imopuro Kecamatan Metro Pusat jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) sebanyak 1.343 pasangan yang menjadi peserta KB aktif 944 orang (70,29%) dan akseptor KB implant 62 orang (6,57%). Dapat diketahui bahwa di Kelurahan Imopuro penggunaan metode KB implant paling rendah dibandingkan Kelurahan lainnya. Hal inilah yang menarik peniliti untuk mengambil penelitian terhadap faktor-faktor rendahnya penggunaan metode KB implant di Kelurahan Imopuro.

B. Rumusan Masalah
Masalah adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan dengan apa yang diinginkan atau yang dituju dengan apa yang terjadi atau faktanya (Notoatmodjo, 2002:51). Masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah faktor-faktor rendahnya penggunaan implant di Kelurahan Imopuro Kecamatan Metro Pusat.


BACA SELENGKAPNYA - Faktor-faktor rendahnya penggunaan implant di kelurahan
INGIN BOCORAN ARTIKEL TERBARU GRATIS, KETIK EMAIL ANDA DISINI:
setelah mendaftar segera buka emailnya untuk verifikasi pendaftaran. Petunjuknya DILIHAT DISINI