kolom pencarian

KTI D3 Kebidanan[1] | KTI D3 Kebidanan[2] | cara pemesanan KTI Kebidanan | Testimoni | Perkakas
PERHATIAN : jika file belum ter-download, Sabar sampai Loading halaman selesai lalu klik DOWNLOAD lagi

16 September 2010

Tiga Resep Obat yang Paling Banyak Disalahgunakan

Penyalahgunaan obat-obatan hasil resep dokter untuk menangani masalah non medis makin merebak. Fenomena itu terus meningkat tiap tahunnya bahkan mengalahkan pemakaian kokain dan methamphetamine.
Kematian bintang pop Michael Jackson karena overdosis memunculkan perhatian para pakar kesehatan mengenai peresepan obat yang sewenang-wenang. Tren penyalahgunaan obat memang meningkat akhir-akhir ini, media internet pun dijadikan alat transaksi obat secara ilegal.
Menurut laporan dari National Survey on Drug Use and Health, satu dari lima remaja dan orang dewasa di Amerika menggunakan obat-obatan hasil resep dokter untuk menangani masalah non medis.
Para pakar kesehatan menduga penggunaan obat sewenang-wenang diakibatkan karena kemudahan akses untuk mendapatkan obat tersebut. Masyarakat juga lebih merasa aman mengonsumsi obat resep dokter daripada obat jalanan.
Menurut Dr Wilson Compton, direktur Division of Epidemiology, Services and Prevention Research di US National Institute on Drug Abuse, ada tiga jenis obat resep yang sering disalahgunakan yaitu:

1. Obat penghilang rasa nyeri
Contoh obat ini adalah codeine, oxycodone dan morfin untuk menghilangkan rasa sakit, trauma atau seseorang yang melakukan operasi.

2. Obat sedatif (penenang)
Contohnya Valium, Librium dan Xanax yang banyak diresepkan sebagai obat penenang atau obat tidur.
3. Obat stimulan (perangsang)
Contohnya obat Ritalin, Adderall dan Dexedrine sebagai obat penurun berat badan atau membantu orang hiperaktif.

"Diantara ketiga jenis obat tersebut, obat penghilang rasa sakit adalah obat yang paling sering disalahgunakan. Mereka biasanya mendapatkan obat-obatan tersebut dari teman atau kolega yang mendapatkan obat tersebut dari dokter," kata Compton seperti dikutip dari Health24, Senin (4/1/2010).
Orang yang menyalahgunakan obat itu biasanya berhasil meyakinkan dokter untuk menuliskan resep demi mendapatkan obat-obatan yang mereka inginkan. Mereka juga bisa mendapatkan resep obat tersebut dari situs farmasi di internet."Saat ini lebih mudah untuk mendapatkan obat secara online daripada membeli heroin di jalanan secara sembunyi-sembunyi," ujar Compton.

The Ryan Haight Online Pharmacy Consumer Protection Act, perusahaan yang menyediakan jasa penjualan obat secara online setuju untuk membuat sistem penjualan obat online dengan lebih ketat. Hal itu didasari oleh sejarah seorang remaja 17 tahun, Ryan Haight yang meninggal dunia karena overdosis pada tahun 2001 karena membeli obat secara online.

"Seharusnya setiap kali orang datang ke bagian farmasi maka informasi resep dokter dimasukkan dalam database sehingga bisa dijadikan alat untuk melacak penyalahgunaan obat," tutur Compton (sumber: detik.com)
BACA SELENGKAPNYA - Tiga Resep Obat yang Paling Banyak Disalahgunakan

Hak-hak Pasien

Hak-hak Pasien
Hak pasien merupakan bagian dari hak mengingat hak merupakan tyntutan secara rasional dalam situasi terte:nu- Setiap manusia mempunvai hak untuk dihargai sebagai manusia. Beberapa hak pasien dalam pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:
1. Hak mendapatkan pelayanan kesehatan memadai dan berkualitas.
2. Hak untuk diberikan informasi.
3. Hak untuk dilibatkan dalam pembuatam keputusann tentang pengobatan dan perawatan.
4. Hak untuk diberikan informed consent.
5. Hak untuk menolak suatu consent.
6. Hak untuk mengetahui nama dan status tenaga kesehatan yang menolong.
7. Hak untuk mempunyai pendapat.
8. Hak untuk diperlakukan secara horrnat.
9. Hak untuk konfidentialitas termasuk privasi.
10. Hak untuk memilih integritas tubuh.
11. Hak untuk kompensasi terhadap cedera ti ang tidak legal.
12. Hak untuk mempertahankam kemuliaan (elignitas) (Prihardjo, Robert, 1995)
"
BACA SELENGKAPNYA - Hak-hak Pasien

Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya cakuptan akseptor baru keluarga berencana alat kontrasepsi dalam rahim di puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan laju peningkatan penduduk di dunia dewasa ini tidak menggembirakan, demikian juga dalam masa yang akan datang tanpa adanya usaha-usaha pembangunan di segala bidang yang telah di laksanakan dengan maksimal tidaklah berfaedah. Program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu usaha penanggulangan pertumbuhan penduduk. (Mochtar, 1998).
Indonesia menghadapi masalah dengan jumlah dan kuantitas sumber daya manusia dengan kelahiran 5.000.000 pertahun. Untuk dapat mengangkat derajat kehidupan bangsa telah dilaksanakan secara bersamaan pembangunan ekonomi dan Keluarga Berencana yang merupakan sisi masing-masing mata uang. Bila gerakan Keluarga Berencana tidak dilakukan bersamaan dengan pembangunan ekonomi,di khawatirkan hasil pembangunan tidak akan berarti (Manuaba, 1998).
Gerakan KB Nasional adalah gerakan masyarakat yang menghimpun dan mengajak segenap potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melembagakan dan membudayakan NKKBS dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia. Hasil sensus penduduk 1990 menunjukkan bahwa gerakan KB Nasional telah berhasil merampungkan landasan pembentukan keluarga kecil, dalam rangka pelembagaan dan pembudayaan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) (Wiknjosastro, 1999).
Tujuan gerakan KB Nasional ialah mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk Indonesia. Sasaran gerakan KB Nasional ialah :
1. Pasangan usia subur, dengan prioritas PUS muda dengan paritas rendah.
2. Generasi muda dan purna PUS
3. Pelaksana dan pengelola KB
4. wilayah dengan laju pertumbuhan penduduk tinggi dan wilayah khusus seperti sentra industri, pemukiman padat, daerah kumuh, daerah pantai dan daerah terpencil. (Prawirohardjo, 1999).
Sejak pelita pertama sampai sekarang upaya pembangunan relatif telah berhasil dalam upaya pengedalian laju pertumbuhan penduduk di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan penduduk di Indonesia dari tahun 1991 – 2000 rata-rata 1,27%, sementara laju pertumbuhan penduduk Lampung rata-rata 2% pertahun. Tingkat laju pertumbuhan penduduk tersebut menunjukkan trend menurun jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia pada tahun 1981 – 1991 yaitu 1,97% dan di Lampung pada tahun yang sama yaitu 2,67% pertahun (Badan Pusat Statistik, 2000).
Berdasarkan hasil sementara sensus penduduk tahun 2002 jumlah penduduk Lampung bulan Desember 2002 tercatat sebesar 6.654.354 orang terdiri dari 3.411.366 orang laki-laki dan selebihnya yaitu 3.242.988 orang wanita (Badan Pusat Statistik Lampung, 2002).
Program Keluarga Berencana (KB) erat kaitannya dengan berbagai alat kontrasepsi, penggunaan alat kontrasepsi modern juga di tujukan untuk mengatur jarak kelahiran dan jumlah anak yang direncanakan. Ada beberapa alat kontrasepsi yang telah dipasarkan di masyarakat antara lain : Pil, Suntik, AKDR, Implant, Vasektomi dan Tubektomi.
Sesuai dengan hasil pra survey yang di dapat penulis, mengenai Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) di Puskesmas Kemiling Bandar Lampung yaitu akseptor baru KB dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2003 yang tertuang dalam data-data tabel di bawah ini.


BACA SELENGKAPNYA - Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya cakuptan akseptor baru keluarga berencana alat kontrasepsi dalam rahim di puskesmas

Faktor-faktor rendahnya cakupan kunjungan ibu hamil yang ke empat (K4) di wilayah kerja puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
WHO memperkirakan bahwa sekitar 15% dari seluruh wanita yang hamil akan berkembang menjadi komplikasi yang berkaitan dengan kehamilannya serta dapat mengancam jiwaya. Dari 5.600.000 wanita hamil di Indonesia, sebagian besar akan mengalami suatu komplikasi atau masalah yang bisa menjadi fakta. Maka untuk bisa efektif dalam meningkatkan keselamatan ibu dan bayi baru lahir, asuhan antenatal harus lebih difokuskan pada intervensi yang telah terbukti bermanfaat menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir (Pusdiknakes-WHO-JHPIEGO, 2003).
Menurut data dari survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2004-2005, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup. Di Propinsi Lampung cenderung terjadi peningkatan AKI. Pada tahun 2003 AKI di Propinsi Lampung sebesar 53 per 100.000 kelahiran hidup dan meningkat menjadi 88 per 100.000 pada tahun 2004 dan 2005. AKI di Kota Metro tahun 2005 adalah 72 per 100.000 kelahiran hidup (DinKes Kota Metro, 2006).
Penyebab langsung kematian ibu adalah perdarahan, infeksi, toxemia gravidarum, partus macet (persalinan kasep), abortus dan ruptur uteri (Depkes RI, 1992). Gambaran tersebut menunjukkan bahwa penyebab-penyebab langsung kematian ibu sebagian besar dapat dideteksi dan dicegah pada masa kehamilan yaitu dengan pelaksanaan asuhan kebidanan atau biasa dikenal Ante Natal Care (ANC) (Depkes RI, 1993).
Hal ini menjadi tanggung jawab bersama serta memerlukan adanya upaya aktif dan pasif dalam meningkatkan cakupan kunjungan ibu hamil minimal 4 kali ke pelayanan kesehatan, terutama untuk ibu hamil yang sulit mengakses pelayanan kesehatan, sehingga secara dini dapat ditangani (DinKes Propinsi Lampung, 2005).
K4 adalah kontak ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang ke-empat (atau lebih) untuk mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar yang ditetapkan, dengan syarat :
1. Minimal satu kali kontak pada triwulan I
2. Minimal satu kali kontak pada triwulan II
3. Minimal dua kali kontak pada triwulan III
(Depkes RI, 2004).
Pemeriksaan kehamilan pada trimester ketiga (>28 minggu) sangat penting. Karena pada trimester III dilakukan palpasi abdomen untuk mendeteksi adanya kehamilan ganda, kelainan letak, atau kondisi lain yang memerlukan kelahiran di rumah sakit (Pusdiknakes – WHO – JHPIEGO, 2003).
Data prasurvei yang didapat penulis di Dinas Kesehatan Kota Metro mengenai cakupan K4 tahun 2006 adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Data Cakupan K4 Kota Metro Tahun 2006


BACA SELENGKAPNYA - Faktor-faktor rendahnya cakupan kunjungan ibu hamil yang ke empat (K4) di wilayah kerja puskesmas

Faktor penyebab rendahnya pengetahuan remaja awal tentang pendidikan seks di SMP

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Tumbuh kembang adalah proses berkesinambungan yang terjadi sejak intrauterin dan terus berlangsung sampai dewasa. Dalam proses mencapai dewasa, anak harus melalui berbagai tahap tumbuh kembang termasuk tahap remaja. Tahap remaja adalah tahap transisi antara masa anak dan dewasa dimana terdapat fase tumbuh, timbul ciri-ciri seks sekunder, fertilisasi (Soetjiningsih, 2004). Pada tahap ini remaja memerlukan penyesuaian mental untuk membentuk nilai, sikap, dan minat baru terhadap perubahan fisik dan psikis (Hurlock, 1997).
Data demografi menunjukan remaja adalah populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut WHO (1995) sekitar seperlima dari penduduk dunia adalah remaja berumur 10-19 tahun. Sekitar 900 juta berada di daerah sedang berkembang. Data demografi Amerika Serikat menunjukkan remaja berumur 10-19 tahun sekitar 15% populasi. Di Asia Pasifik dimana penduduknya merupakan 60% dari penduduk dunia seperlimanya adalah penduduk remaja berumur 10-19 tahun (Soetjiningsih, 2004).
Pada masa remaja akan menguasai tugas perkembangan yang penting dalam pembentukan hubungan-hubungan baru dan yang lebih matang dengan lawan jenis, dan dalam memainkan peran yang tepat dalam seksnya (Hurlock, 1997). Remaja memiliki keingintahuan yang tinggi tentang seks, namun orang tua tidak mengenal istilah pendidikan seks, karena seks dianggap tidak biasa, aneh, dan sangat tabu, bahkan mungkin dianggap porno.Oleh karena itu pendidikan seks sangat diperlukan karena dengan seks diusahakan timbulnya sikap emosional yang sehat dan bertanggung jawab tentang seks sehingga seks bagi remaja tidak dianggap sesuatu yang kabur, rahasia, mencemaskan bahkan menakutkan (Gunarsa, 2001).
Pada zaman modern sekarang muncul pula sekelompok remaja yang menyebarluaskan kebebasan ekstrim dalam seks. Ide kebebasan seks dicetuskan karena remaja beranggapan bahwa masalah seks sepenuhnya adalah masalah prive, dan masyarakat sama sekali tidak berhak mencampuri masalah tersebut. Mereka menuntut adanya tingkah laku seks murni individual yang kokoh berdasarkan dokrin kebebasan seks sepenuhnya (Kartono, 1992).
Kenyataan menunjukan bahwa, seks bebas dapat mengakibatkan banyaknya destruksi dikalangan kaum remaja, baik remaja pria maupun wanita (Kartono, 1992). Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Boyke Dian Nugraha, pada tahun 2000 terdapat remaja yang pernah melakukan hubungan seks pranikah mencapai 29,9%. Kelompok remaja yang masuk penelitian tersebut rata-rata berusia 17-21 tahun, dan umumnya masih bersekolah di tingkat SLTP dan SLTA (seksremaja.online, 2007).
Harapan sosial berkembang dalam bentuk tugas bagi orang tua dan guru untuk memberikan pendidikan tentang seks kepada putra putrinya. Remaja juga seharusnya sadar bahwa mulai memasuki tahap baru dalam kehidupan, yaitu tahap dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Hurlock, 1997).
Berdasarkan uraian diatas, didapat bahwa rendahnya pengetahuan remaja awal tentang seks dipengaruhi oleh faktor keluarga dan faktor lingkungan social, karena kedua faktor ini menganggap seks sebagai hal yang tidak pantas untuk dibicarakan. Oleh karena itu peneliti tertarik melakukan penelitian tentang hal tersebut agar remaja awal dapat lebih mengenal tentang seks yang terdiri dari perubahan organ reproduksi, hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan, serta kelainan-kelainan seksual.
Peneliti mengambil lokasi penelitian di SLTP Negeri 3 Metro karena setelah dilakukan studi pendahuluan ternyata di SLTP Negeri 3 Metro belum pernah dilakukan penyuluhan dan siswa belum mengetahui faktor penyebab rendahnya pengetahuan remaja awal tentang pendidikan seks.


BACA SELENGKAPNYA - Faktor penyebab rendahnya pengetahuan remaja awal tentang pendidikan seks di SMP

Determinan tidak dilakukannya deteksi dini kanker payudara melalui pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) oleh remaja putri kelas II di MAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kanker payudara merupakan tumor ganas ginekologi menurut Hidayati (2001) yang disadur oleh Ariyanti (2004). Berdasarkan data World Health Organization (WHO), jumlah penderita kanker payudara bertambah sekitar 7 juta. Survey terakhir di dunia menunjukkan tiap 3 menit ditemukan penderita kanker payudara dan setiap 11 menit ditemukan seorang wanita meninggal akibat kanker payudara. Sementara di Indonesia, rata-rata penderita kanker payudara adalah 10 dari 100 ribu wanita (www.suaramerdeka.com,2005).
Sejak 1988 sampai 1992 keganasan tersering di Indonesia tidak banyak berubah, kanker leher rahim dan kanker payudara tetap menduduki tempat teratas. Selain jumlah kasus yang banyak, lebih dari 70% penderita kanker payudara ditemukan pada stadium lanjut. Data dari Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departeman Kesehatan menunjukkan bahwa Case Fatality Rate (CFR) akibat kanker payudara menurut golongan penyebab sakit menunjukkan peningkatan dari tahun 1992-1993, yaitu dari 3,9 menjadi 7,8 (www.nusaindah tripod.com,2003).
Etiologi kanker payudara belum dapat dijelaskan. Terdapat faktor genetik karena kanker payudara cenderung terjadi pada keluarga (Llewellyn & Jones, 2002). Beberapa hal yang bisa menjadi faktor resiko terjadinya kanker payudara yaitu umur, status negara, status sosial ekonomi, status perkawinan, tempat tinggal, ras, berat badan, umur menarche, umur menopause, umur pertama melahirkan, riwayat keluarga dan oophorectomy ( Bustan, 1997).
Gejala permulaan kanker payudara sering tidak disadari atau dirasakan dengan jelas oleh penderita sehingga banyak penderita yang berobat dalam keadaan stadium lanjut. Hal inilah yang menyebabkan tingginya angka kematian kanker tersebut. Padahal, kematian pada stadium dini akibat kanker masih dapat dicegah. Tjindarbumi (1982) mengatakan bila penyakit kanker payudara ditemukan dalam stadium dini, angka harapan hidupnya (life expectancy) tinggi, berkisar antara 85 - 98%, sedangkan 70-90% penderita datang ke rumah sakit setelah penyakit parah, yaitu setelah masuk dalam stadium lanjut (www.nusaindah tripod.com,2003).
Payudara merupakan estetika kaum wanita dan daya tarik seksual yang utama. Terdapatnya seluruh aktivitas di dalam payudara sehubungan dengan perkembangan dalam kehidupan seorang wanita serta perubahan siklus yang biasa disebabkan oleh periode menstruasi teratur membuat semua wanita sebaiknya bermawas diri terhadap masalah yang mungkin timbul pada payudara mereka. Pemeriksaan dini yang rutin dan teratur untuk mendeteksi secara dini tumor payudara merupakan kebiasaan yang sangat baik. Seorang remaja putri dapat memeriksa payudara sendiri (SADARI) pada saat mandi dengan meggunakan jari-jari tangan sehingga dapat menemukan benjolan pada lekukan halus payudara (Gilbert,1996).
Terdapatnya sebuah benjolan yang sudah nampak dengan jelas pada payudara akan sangat mengejutkan bagi banyak wanita, pada saat ini seorang wanita mungkin telah kehilangan waktu yang berharga untuk memulai pengobatan sedini mungkin. Jadi jalan yang paling bijaksana adalah dengan melakukan SADARI secara teratur pada waktu tertentu. Kelainan yang terkecil sekalipun dapat ditemukan dan langkah-langkah aktif untuk pengobatan dapat dimulai sedini mungkin (Gilbert, 1996).
Program - program untuk mengajak wanita mempelajari dan mempraktekkan pemeriksaan payudara sendiri telah dikembangkan di banyak negara. Di samping itu, yang berwenang di bidang kesehatan telah menganjurkan wanita berusia di atas 35 tahun untuk memeriksakan payudara tahunan kepada dokter. Pemeriksaan ini harus ditambah dengan pemeriksaan mamografi pada usia antara 40-45 tahun, kemudian pemeriksaan setiap tahun mulai usia 50 tahun (Llewellyn & Jones, 2002).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan melalui wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap 10 orang remaja putri kelas II pada bulan Maret 2006, terdapat 9 orang remaja putri tidak pernah melakukan SADARI dengan alasan tidak tahu dan belum pernah mendapat informasi tentang SADARI, 1 orang remaja putri pernah melakukan SADARI karena remaja putri tersebut pernah menjalani operasi tumor payudara sehingga telah mengetahui cara dan tujuan melakukan SADARI. Meskipun kurikulum pendidikan mengenai organ reproduksi sudah diberikan, tetapi untuk masalah payudara tidak diberikan secara mendalam. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengambil judul penelitian determinan tidak dilakukannya deteksi dini kanker payudara melalui SADARI oleh remaja putri kelas II MAN 2 Metro.


BACA SELENGKAPNYA - Determinan tidak dilakukannya deteksi dini kanker payudara melalui pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) oleh remaja putri kelas II di MAN

15 September 2010

Landasan Dasar Praktek Kebidanan

Pengertian
1. Bidan
Bidan merupakan profesi yang diakui secara nasional maupun internasional dengan sejumlah praktisi di seluruh dunia. Pengertian bidan dan bidang prakteknya secara internasional telah diakui oleh International Confederation of Midwives (ICM) tahun 1972 dan International Federation of International Gynaecologist and Obstetritian (FIGO) tahun 1973, WHO dan badan lainnya. Pada tahun 1990 pada Pertemuan Dewan di Kobe, ICM menyempurnakan definisi tersebut yang kemudian disahkan oleh FIGO (1991) dan WHO (1992).

Secara lengkap pengertian bidan adalah:
Bdian adalah seseorang yang telah menyelesaikan Program Pendidikan Bidan yang diakui oleh negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi izin untuk menjalankan praktek kebidanan di negeri itu. Dia harus mampu memberikan supervisi, asuhan dan memberikan nasehat yang dibutuhkan kepada wanita selama masa hamil, persalinan dan masa pasca persalinan (post partum period), memimpim persalinan atas tanggung jawabnya sendiri serta asuhan pada bayi baru lahir dan anak. Asuhan ini termasuk tindakan preventif, pendeteksian kondisi abnormal pada ibu dan bayi, dan mengupayakan bantuan medis serta melakukan tindakan pertolongan gawat darurat pada saat tidak hadirnya tenaga medik lainnya. Dia mempunyai tugas penting dalam konsultasi dan pendidikan kesehatan, tidak hanya untuk wanita tersebut, tetapi juga termasuk keluarga dan komunitasnya. Pekerjaan itu termasuk pendidikan antenatal, dan persiapan untuk menjadi orang tua, dan meluas ke daerah tertentu dari ginekologik, keluarga berencana dan asuhan anak. Bidan dapat berpraktek di rumah sakit, klinik, unit kesehatan, rumah perawatan atau tempat-tempat pelayanan lainnya.

Dari pernyataan di atas terlihat bahwa bidan mempunyai tugas penting dalam memberikan bimbingan, asuhan dan penyuluhan kepada ibu hamil, persalinan, nifas dan menolong persalinan dengan tanggung jawabnya sendiri serta memberikan asuhan pada bayi baru lahir.

Dalam melaksanakan praktek bidan harus mampu memberikan asuhan sesuai dengan kebutuhan, terhadap warita yang sedang hamil, melahirkan dan post partum, maupun massa interval, melaksanakan pertolongan persalinan atas tanggung jawabnya sendiri dan memberikan asuhan pada bayi baru lahir, bayi dan anak balita dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia/generasi penerus yang berkualitas. Asuhan tersebut termasuk tindakan pemeliharaan, pencegahan deteksi serta intervensi dan rujukan pada keadaan resiko tinggi termasuk kegawatan para ibu dan anak.

2. Kebidanan/Midwifery
Merupakan ilmu yang terbentuk dari sintesa berbagai disiplin ilmu (multi disiplin) Yang terkait dengan pelayanan kebidanan, meliputi ilmu kedokteran, ilmu keperawatan, ilmu sosial, ilmu perilaku, ilmu budaya, ilmu kesehatan masyarakat dan ilmu manajemen untuk dapat memberikan pelayanan kepada ibu dalam masa pra konsepsi, masa hamil, ibu bersalin, post partum, bayi baru lahir. Pelayanan tersebut meliputi pendeteksian keadaan abnormal pada ibu dan anak, melaksanakan konseling dan pendidikan kesehatan terhadap individu keluarga dan masyarakat.

3. Pelayanan Kebidanan (Midwifery Services)
Adalah seluruh tugas yang menjadi tanggung jawab praktek profesi bidan dalam sistem pelayanan kesehatan yang bertujuan meningkatkan kesehatan ibu dan anak dalam rangka mewujudkan kesehatan keluarga dan masyarakat.

4. Praktek Kebidanan
Adalah penerapan ilmu kebidanan dalam memberikan pelayanan/asuhan kebidanan kepada klien dengan pendekatan manajemen kebidanan.

5. Manajemen Kebidanan
Adalah pendekatan yang digunakan oleh bidan dalam menerapkan metode pemecahan masalah secara sistematis mulai dari pengkajian analisa data, diagnosa kebidanan, perencanaan; pelaksanaan dan evaluasi

6. Asuhan Kebidanan
Adalah penerapan fungsi dan kegiatan yang menjadi tanggung jawab dalam memberikan pelayanan kepada klien yang mempunyai kebutuhan/masalah dalam bidang kesehatan ibu masa hamil, masa persalinan, nifas, bayi setelah lahir serta keluarga berencana.

Falsafah Kebidanan
Sebagai bangsa Indonesia yang mempunyai pandangan hidup Pancasila, seorang bidan menganut filosofi yang mempunyai keyakinan di dalam dirinya bahwa semua manusia adalah mahluk bio psiko sosio kultural dan spiritual yang unik merupakan satu kesatuan jasmani dan rohani yang utuh dan tidak ada individu yang sama.
  1. Manusia terdiri dari pria dan wanita yang kemudian kedua jenis individu itu berpasangan menikah membentuk keluarga dan mempunyai anak. Keluarga adalah suami, istri disertai anak dad suami istri tersebut dan juga individu Yang mempunyai hubungan kekeluargaan yang tinggal di bawah satu atap.
  2. Keluarga-keluarga yang berada- di suatu wilayah/daerah membentuk masyarakat. Kumpulan dari masyarakat Indonesia terhimpun di Main satu kesatuan bangsa Indonesia. Masyarakat terbentuk karena adanya interaksi antara manusia dan budaya dalam lingkungan yang bebas dan dinamis mempunyai tujuan dan nilai-nilai yang terorganisir.
  3. Bidan berkeyakinan bahwa setiap individu berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman dan memuaskan sesuai dengan kebutuhan manusia dan perbedaan budaya. Setiap individu berhak untuk menentukan nasib sendiri, mendapat informasi yang cukup dan untuk berperan di segala aspek pemeliharaan kesehatannya.
  4. Persalinan adalah satu proses yang alami, peristiwa normal, namun apabila tidak dikelola dengan tepat, dapat berubah menjadi abnormal.
  5. Setiap individu berhak untuk dilahirkan secara sehat, untuk itu maka setiap wanita usia subur, ibu hamil, melahirkan dan bayinya berhak mendapatkan pelayanan yang berkualitas.
  6. Pengalaman melahirkan anak merupakan tugas perkembangan keluarga, yang membutuhkan persiapan mulai anak menginjak masa remaja.
  7. Kesehatan ibu periode reproduksi dipengarnhi oleh perilaku ibu, lingkungan dan pelayanan kesehatan.
Paradigma Kebidanan
Kebidanan dalam bekerja memberikan pelayanan keprofesiannya berpegang pada Paradigma, berupa Pandangan terhadap manusia/wanita, lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan/kebidanan dan keturunan.
1. Wanita
Wanita/manusia adalah mahluk bio-psiko-sosial-kultural dan spiritual yang utuh dan unik, mempunyai kebutuhan dasar yang bermacam-macam sesuai dengan tingkat perkembangannya. Wanita/ibu adalah penerus generasi keluarga dan bangsa sehingga keberadaan wanita yang sehat jasmani dan rohani serta sosial sangat diperlukan. Wanita/ibu adalah Pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Kualitas manusia sangat ditentukan oleh keberadaan/kondisi dari wanita/ibu dalam keluarga. Para wanita di masyarakat adalah penggerak dan pelopor dari peningkatan kesejahteraan keluarga.

2. Lingkungan
Lingkungan adalah semua yang ada di lingkungan dan terlibat dalam interaksi individu pada waktu melaksanakan aktifitasnya. Lingkungan tersebut meliputi lingkung fisik, lingkungan psiko sosial, lingkungan biologis dan lingkungan budaya. Lingkungan psiko sosial meliputi keluarga, kelompok, komuniti dan masyarakat.
Keluarga mencakup sekelompok individu yang berhubungan erat secara terus-menerus terjadi interaksi satu sama lain secara perorangan maupun secara bersama-sama. keluarga dalam fungsinya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan dimana berada.

3. Perilaku
Perilaku merupakan hasil dari berbagai pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya, yang terwujud dalam bentuk pengetahuan sikap dan tindakan. Perilaku manusia bersifat holistik (menyeluruh).
Perilaku ibu selama kehamilan akan mempengaruhi kehamilan, perilaku ibu dalam mencari penolong persalinan akan mempengaruhi kesejahteraan ibu dan janin yang dilahirkan. Demikian pula perilaku ibu pada masa nifas akan mempengaruhi kesehatan ibu dan bayinya.

4. Pelayanan Kebidanan
Pelayanan kebidanan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, yang diarahkan untuk mewujudkan kasehatan keluarga, dalam rangka tercapai keluarga kecil bahagia dan sejahtera.
Pelayanan kebidanan merupaikan layanan yang diberikan oleh bidan sesuai kewenangan yang diberikannya dengan maksud meningkatkan kesehatan dan anak dalam rangka tercapainya keluarga kecil, bahagia dari sejahtera.

Sasaran pelayanan kebidanan adalah individu, keluarga dan masyarakat, y meliputi upaya peningkatan, pencegahan, penyembuhan dan pemulihan.

Layanan kebidanan dapat dibedakan menjadi:
  • Layanan kebidanan Primer ialah layanan bidan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab bidan.
  • Layanan kebidanan Kolaborasi adalah layanan yang dilakukan oleh bidan sebagai anggota tim yang kegiatannya dilakukan secara bersamaan atau sebagai salah satu urutan dari sebuah proses kegiatan pelayanan kesehatan
  • Layanan kebidanan Rujukan adalah layanan yang diakukan oleh bidan dalam rangka rujukan ke sistem pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya yaitu pelayanan yang dilakukan oleh bidan sewaktu menerima rujukan dari dukun yang menolong persalinan, juga layanan rujukan yang dibawa oleh bidan ke tempat/fasilitas pelayanan kesehatan lain secara horisontal maupun vertikal atau ke profesi kesehatan lainnya. Layanan kebidanan yang tepat akan meningkatkan keamanan dan kesejahteraan ibu serta bayinya.
5. Keturunan
Kualitas manusia, diantaranya ditentukan oleh keturunan. Manusia yang sehat dilahirkan oleh ibu yang sehat. Hal ini menyangkut penyiapan wanita sebelum perkawinan, masa kehamilan, masa kelahiran dan masa nifas.

Tinjauan Keilmuan
Salah satu ciri profesi mandiri adalah adanya suatu landasan pengetahuan teoritis (Body of Knowledge) yang jelas dan adanya institusi pendidikan. Kebidanan sebagai profesi memerlukan pengetahuan teoritis yang jelas dan spesifik serta dapat memenuhi karakteristik keilmuan yang berdimensi dan bersifat ilmiah.

Dari segi keilmuan, kebidanan yang mandiri perlu dirunuskan dengan berpedoman kepada filsafat ilmu, sehingga dapat memenuhi ciri atau karakteristik dan spesifikasi pengetahuan yang berdimensi dan bersifat ilmiah. Beberapa pokok karakteristik, dan spesifikasi ilmu kebidanan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Obyek Materi IImu Kebidanan
Obyek materi ilmu kebidanan adalah wanita dalam masa reproduksi terutama pada masa pra konsepsi, masa kehamilan, masa melahirkan, masa nifas/masa menyusui dan bayi baru lahir.

2. Obyek Formal Ilmu Kebidanan
Obyek forma ilmu kebidanan adalah upaya keamanan dan kesejahteraan ibu dan janinnya pada pra konsepsi masa kehamilan, masa persalinan, masa nifas/ masa menyusui, sehingga tercapai kondisi yang sejahtera pada ibu dan janinnya dan selanjutnya ibu tersebut tercapai kondisi yang sejahtera pada ibu dan janinnya dan selanjutnya ibu tersebut dapat memelihara bayinya secara optimal.

Untuk dapat tercapainya keamanan dankesejahteraan bagi ibu dengan janinnya dapat dikembangkan prinsip dari kebidanan dalam pemberian asuhannya. Pelayanan bidan di Indonesia berdasarkan konsep yang menjelaskan proses asuhan kebidanan sebagai berikut:
  1. Tindakan kebidanan yang tepat dan aman, yaitu semua tindakan yang diberikan oleh bidan untuk ibu/wanita, bayi dan keluarga terhadap hal¬-hal yang dapat merugikan kesehatannya.
  2. Memberi kepuasan klien adalah tindakan yang dilakukan sesuai dengan keadaan permasalahannya dan hasil yang dicapai dari tindakan tersebut.
  3. Menghargai derajat manusia dan haknya untuk dapat mengambil keputusan sendiri, yaitu: tindakan yang dilakukan menunjukkan sikap bahwa bidan dihargai ibu/wanita sebagai individu yang mandiri dan mengambil keputusan yang berkaitan dengan kesehatan dirinya yang diberikan.
  4. Menghargai perbedaan sosial budaya seseorang yaitu tindakan yang menunjukkan pengertian bahwa tiap individu dan keadaan kesehatan dapat dipengaruhi oleh adat kebiasaan dan perilaku keluarga atau lingkungan.
  5. Kontak keluarga adalah tindakan/asuhan yang diberikan dengan mengikuti sertakan keluarga sebagai komponen penting dalam kehamilan, persalinan dan nifas serta meningkatkan secara optimal kesehatan keluarga sesuai keinginan ibu maupun keluarga.
  6. Peningkatan kesehatan adalah tindakan yang mendukung perilaku dapat meningkatkan kesehatan ibu/wanita sepanjang siklus kehidupan terutama berkaitan dengan proses kehamilan, persalinan dan nifas yang normal.
  7. Mengikutsertakan masyarakat dalam hal ini kelompok ibu-ibu. Dengan menggerakkan peran serta masyarakat adalah upaya menyadarkan masyarakat, agar masyarakat dapat mengerti dalam memecahkan masalah kesehatannya sendiri terutama yang berhubungan dengan kehamilan, persalinan dan nifas dalam mencapai kesehatan reproduksi akan tercapainya NKKBS.
Dengan demikian kajian ilmu kebidanan dapat dikembangkan berdasarkan konsep dasar tersebut diatas. Yaitu tubuh mengetahuan teoritis yang khas, bedimensi dan bersifat ilmiah.

Penerapan ilmu kebidanan di dalam pelayanan kebidanan menggunakan pendekatan ilmiah yang dikenal dengan manajemen kebidanan yang didasarkan pada landasan kerangka konseptual (Epistimologi dan pertimbangan etis yang menjadi rujukan ilmu dan pengembangan teknologi kebidanan.
BACA SELENGKAPNYA - Landasan Dasar Praktek Kebidanan

Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya akseptor IUD di desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak Pelita V program Keluarga Berencana (KB) adalah gerakan masyarakat yang menghimpun dan mengajak segenap potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melembagakan dan membudidayakan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) dalam rangka meningkatkan mutu dan sumber daya manusia Indonesia. Hasil sensus penduduk tahun 1990 menunjukkan bahwa gerakan KB Nasional telah berhasil merampungkan landasan pembentukan keluarga kecil dalam rangka pelembagaan dan pembudidayaan NKKB (Wiknjosastro, 2002).
Program Keluarga Berencana nasional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan keluarga kecil yang sejahtera bahagia melalui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk, melalui usaha untuk penurunan tingkat kelahiran penduduk dengan peningkatan jumlah dan kelestarian akseptor dan usaha untuk membantu peningkatan kesejahteraan ibu dan anak, perpanjangan harapan hidup, menurunnya tingkat kematian bayi dan balita, serta menurunnya tingkat kematian ibu karena kehamilan dan persalinan (Hartanto, 2002).

Keluarga sebagai unit terkecil dalam kehidupan berbangsa diharapkan menerima Norma Keluarga kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) yang berorientasi pada “Catur Warga” atau Zero Population Grow (pertumbuhan seimbang) yang menghasilkan keluarga berkualitas (Manuaba, 1998). Sasaran utama program Keluarga Berencana (KB) adalah Pasangan Usia Subur (PUS).
Dalam hal ini gerakan Keluarga Berencana tidak hanya meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak, namun yang lebih penting lagi adalah kontribusi KB dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan keluarga yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas bangsa ( Mochtar, 1998).
Berbagai usaha dibidang gerakan KB sebagai salah satu kegiatan pokok pembangunan keluarga sejahtera telah dilakukan baik oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sendiri (Mochtar, 1998). Untuk ini antara lain dengan senantiasa memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada PUS untuk ikut berpartisipasi dalam meningkatkan NKKBS melalui pemakaian alat kontrasepsi.
Gerakan KB Nasional selama ini telah berhasil mendorong peningkatan peran serta masyarakat dalam membangun keluarga kecil yang makin mandiri. Keberhasilan ini mutlak harus diperhatikan bahkan terus ditingkatkan karena pencapaian tersebut ternyata belum merata. Ada daerah-daerah yang kegiatan keluarga berencananya sudah tinggi, sementara itu daerah lain masih rendah dalam menggunakan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP).
Pada umumnya masyarakat lebih memilih alat kontrasepsi yang praktis namun efektivitasnya juga tinggi, seperti metode non MKJP yang meliputi pil KB dan suntik. Sehingga metode KB MKJP seperti Intra Uterine Devices (IUD), Implant, Medis Operatif Pria (MOP) dan Medis Operatif Wanita (MOW) kurang diminati.
Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) atau IUD (Intra Uterine Devices) adalah salah satu alat kontrasepsi jangka panjang yang sangat efektif untuk menjarangkan kelahiran anak (Hartanto, 2002).
Berdasarkan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sejak tahun 2003-2006 peserta program Keluarga Berencana (KB) Indonesia hanya meningkat 0,5% per tahun. Saat ini peserta KB hanya 62,5 % dari 45 juta PUS atau sekitar 28 juta PUS yang menjadi peserta KB aktif. http://www.pdpersi.co.id, diakses tanggal 27 Mei 2007.
Di Propinsi Lampung tahun 2005, jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di Propinsi Lampung tercatat sebesar 1.380.636 orang dan yang menjadi peserta KB aktif sebesar 961.460 orang (67,64%). Sedangkan di Kabupaten Lampung Timur terdapat peserta KB aktif sebanyak 126,547, orang (69,73%). Di Kecamatan Raman Utara terdapat jumlah Pasangan Usia Subur sebesar 7.458 0rang dengan jumlah peserta KB aktifnya berkisar 5.368 orang (71,98). Sedangkan di Desa Rejo Binangun jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) sebesar 588 orang, dari jumlah tersebut yang menggunakan kontrasepsi IUD sebanyak 30 orang (5%).
Berdasarkan hasil pra survey tanggal 18 Februari 2007 di Desa Rejo Binangun di dapat data sebagai berikut:

Tabel 1. Jumlah Akseptor KB di Desa Rejo Binangun bulan Januari 2007.
No Alat Kontrasepsi Jumlah %
1
2
3
4
5
6
7 Pil
Suntik
Implant
MOP
MOW
IUD
Lain-lain 136
130
153
103
36
30
- 23
22
26
17
7
5
-
Jumlah 588 100%
Sumber : PLKB Kecamatan Raman Utara Lampung Timur
Dilihat dari data di atas pemakai alat kontrasepsi IUD sangat rendah. Rendahnya peminat pemakai alat kontrasepsi IUD maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya akseptor IUD di Desa Rejo Binangun.

BACA SELENGKAPNYA - Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya akseptor IUD di desa

14 September 2010

Tinjauan pelaksanaan kegiatan pondok sayang ibu (PSI) di desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan ukuran penting dalam menilai keberhasilan pelayanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB) suatu negara. Mortalitas dan morbilitas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di negara berkembang, menurut laporan UNICEF di negara miskin sekitar 25% - 50% kematian wanita usia subur disebabkan karena komplikasi kehamilan, kematian saat melahirkan biasanya menjadi faktor utama kematian ibu karena tidak semua kehamilan berakhir dengan persalinan yang berlangsung normal, hal ini berdasarkan kenyataan bahwa lebih dari 90 % kematian ibu disebabkan komplikasi obstetri. Diperkirakan 15% kehamilan akan mengalami keadaan resiko tinggi dan komplikasi obstetri yang dapat membahayakan kehidupan ibu maupun janinnya bila tidak ditangani dengan memadai. AKI di Indonesia masih tinggi yaitu 334 per 100.000 kelahiran hidup (KH) dan AKB sebesar 21,8 per 1.000 KH (Saifuddin, 2002). Sedangkan AKI di Lampung juga masih tinggi selama tahun 2001 yaitu jumlah kematian maternal 111 dari 134.596 KH (83/100.000 KH), dan jumlah kematian bayi yaitu 4/1000 KH, (Dinas Kesehatan Propinsi Lampung, 2001).

Indonesia menempatkan penurunan AKI sebagai program prioritas mengingat kira-kira 90% kematian ibu terjadi di saat sekitar persalinan dan kira-kira 95% penyebab kematian ibu adalah komplikasi obstetri, maka kebijaksanaan Departemen Kesehatan untuk mempercepat penurunan AKI adalah mengupayakan agar : 1) setiap persalinan ditolong atau minimal didampingi oleh bidan dan pelayanan obstetri sedekat mungkin pada ibu hamil. Memperhatikan AKI dan AKB dapat dikemukakan bahwa : 1) sebagian besar kematian ibu dan perinatal terjadi saat pertolongan pertama, 2) pengawasan antenatal masih belum memadai sehingga menyulitkan kehamilan dengan resti tidak atau terlambat diketahui, 3) masih banyak di jumpai ibu dengan jarak kehamilan pendek, terlalu banyak anak, terlalu muda, dan terlalu tua untuk hamil, 4) jumlah anemia pada ibu hamil cukup tinggi, dan 5) pendidikan masyarakat yang rendah cenderung memilih pemeliharaan kesehatan secara tradisional (Manuaba, 1998).
Untuk menjawab permasalahan tersebut perlu diupayakan program yang memiliki daya ungkit besar dan dilaksanakan dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada di masyarakat itu sendiri. Untuk itu digalakkan Gerakan Sayang Ibu (GSI) yang dirintis oleh Kantor Menteri Pemberdayaan Wanita pada tahun 1996. Ruang lingkup GSI meliputi advokasi dan mobilisasi sosial. Dalam pelaksanaannya GSI mempromosikan kegiatan yang berkaitan dengan Rumah Sakit Sayang Ibu dan Kecamatan Sayang Ibu, untuk mencegah 3 keterlambatan yaitu: 1) keterlambatan di tingkat keluarga dalam mengenali tanda bahaya dan membuat keputusan untuk segera mencari pertolongan, 2) keterlambatan dalam mencapai fasilitas pelayanan kesehatan, dan 3) keterlambatan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapat pertolongan yang dibutuhkan. Kegiatan yang terkait dengan Kecamatan Sayang Ibu berusaha mencegah keterlambatan pertama dan kedua, sedang kegiatan yang terkait dengan Rumah Sakit Sayang Ibu adalah mencegah keterlambatan ketiga. Menanggapi masalah tersebut tim penggerak PKK Propinsi Lampung mengambil langkah dengan membentuk Pondok Sayang Ibu yang merupakan tempat penampungan sementara bagi ibu hamil yang beresiko tinggi atau ibu hamil lainnya yang membutuhkan pertolongan dalam menghadapi persalinannya (TP.PKK Propinsi Lampung, 1997)
Di Kecamatan Cukuh Balak, Kabupaten Tanggamus merupakan daerah terpencil dengan tingkat ekonomi menengah kebawah. Di wilayah kerja Puskesmas Putih Doh terdapat 3 desa yang memiliki PSI dan salah satunya adalah Desa Badak. Dibanding dengan 2 desa lainnya yaitu : Desa Way Rilau dan Desa Tanjung Jati, Desa Badak merupakan desa yang sasaran ibu hamilnya lebih besar dengan perbandingan Desa Badak 43 orang, Desa Way Rilau 27 orang dan Desa Tanjung Jati 8 orang. Sedangkan perbandingan cakupan K1 (Kunjungan pertama ibu hamil) dari bulan Januari sampai bulan Agustus 2003 yaitu : Desa Badak 22 orang, Desa Way Rilau 15 orang dan Desa Tanjung Jati 5 orang. Adapun cakupan pelayanan KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) di Desa Badak lainnya yaitu : K IV ada 15 orang, deteksi ibu hamil dengan resiko tinggi ada 3 orang, neonatus 20 orang dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan ada 20 orang. (Data Puskesmas Putih Doh tahun, 2003)
Menurut data pra survey yang dilakukan peneliti pada tanggal 3 November 2003, bahwa di Desa Badak selama tahun 2003 ini ada kematian ibu berjumlah 1 orang yang disebabkan karena perdarahan pada saat persalinan. Dan dari 8 standar kegiatan Pondok Sayang Ibu (PSI) yaitu: 1) membuat daftar seluruh ibu hamil yang ada di desa wilayah PSI, 2) menentukan status ibu hamil apakah kehamilannya beresiko tinggi, 3) membuat hari perkiraan ibu hamil, 4) menampung ibu hamil sementara sebelum dirujuk ke Rumah Sakit (RS), 5) melaksanakan piket kader PSI, 6) membuat daftar piket ambulan desa, 7) membuat daftar pendonor darah, dan 8) pembinaan / pertemuan ibu hamil. Yang dilakukan PSI di Desa Badak hanya 3 kegiatan atau 37,5 % yaitu : 1) menentukan status ibu hamil apakah kehamilannya beresiko tinggi, 2) membuat hari perkiraan ibu hamil, dan 3) membuat daftar piket ambulan desa.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik memilih judul penelitian yaitu Tinjauan Pengelolaan Pondok Sayang Ibu (PSI) di Desa Badak Wilayah kerja Puskesmas Putih Doh Kecamatan Cukuh Balak Kabupaten Tanggamus.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian masalah pada latar belakang, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut “Bagaimana Pelaksanaan kegiatan Pondok Sayang Ibu (PSI) di Desa Badak Wilayah Kerja Puskesmas Putih Doh Kecamatan Cukuh Balak Kabupaten Tanggamus ?”

C. Ruang Lingkup Penelitian
Di dalam penulisan ini yang menjadi ruang lingkup dari penelitian tinjauan pengelolaan Pondok Sayang Ibu (PSI) adalah sebagai berikut :
1. Subjek penelitian : Pondok Sayang Ibu
2. Objek penelitian : Pelaksanaan kegiatan Pondok Sayang Ibu
3. Variabel penelitian : Pondok Sayang Ibu
4. Populasi : PSI di Desa Badak Wilayah kerja Puskesmas Putih Doh Kecamatan Cukuh Balak Kabupaten Tanggamus
5. Lokasi Penelitian : Pondok Sayang Ibu (PSI) di Desa Badak Wilayah kerja Puskesmas Putih Doh Kecamatan Cukuh Balak Kabupaten Tanggamus
6. Waktu penelitian : Dilakukan pada bulan Desember 2003 – Maret 2004

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pelaksanaan kegiatan Pondok Sayang Ibu (PSI) di Desa Badak Wilayah kerja Puskesmas Putih Doh Kecamatan Cukuh Balak Kabupaten Tanggamus.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui :
a. Kegiatan yang dilakukan PSI di Desa Badak
b. Tenaga pelaksana PSI di Desa Badak
c. Peralatan yang ada di PSI di Desa Badak
d. Pendanaan PSI di Desa Badak
e. Pencatatan dan pelaporan yang dilakukan di PSI di Desa Badak

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi pengelola PSI
Sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan di PSI bagi masyarakat di Desa Badak
2. Manfaat bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan sebagai upaya dalam pembinaan dan pengelolaan PSI.
3. Manfaat bagi Penulis
Menambah pengetahuan penulis tentang penelitian PSI

BACA SELENGKAPNYA - Tinjauan pelaksanaan kegiatan pondok sayang ibu (PSI) di desa

Penatalaksanaan pencegahan infeksi nifas di ruang kebidanan RSU

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan barometer pelayanan kesehatan ibu di suatu negara. Bila AKI masih tinggi berarti pelayanan kesehatan ibu belum baik. Sebaliknya bila AKI rendah berarti pelayanan kesehatan ibu sudah baik. Dengan besar kematian sekitar 585.000 setiap tahunnya maka berarti kematian ibu terjadi hampir setiap menit di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, sekitar 99% kematian maternal dan perinatal terjadi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia (Manuaba, 2002: 18).
Saat ini angka kematian maternal dan neonatal di Indonesia adalah 334/100.000 kelahiran hidup dan 21,8/1000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, maka AKI di Indonesia adalah 15 kali AKI di Malaysia, 10 kali lebih tinggi daripada Thailand, atau 5 kali lebih tinggi daripada Filipina. Salah satu faktor penting dalam upaya penurunan angka kematian tersebut yaitu penyediaan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas dekat dengan masyarakat (Saifuddin, 2002 : 4).
Asuhan masa nifas diperlukan karena periode ini merupakan masa kritis baik bagi ibu maupun bayi. Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan, dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama. Pelayanan kesehatan primer diperkirakan dapat menurunkan AKI sampai 20%, namun dengan sistem rujukan yang efektif AKI dapat ditekan sampai 80%. Menurut United Nations Children Emergency Fund (UNICEF), 80% kematian ibu dan perinatal terjadi di rumah sakit rujukan (Saifuddin, 2001 : 3).
Suatu tindakan obstetrik seperti seksio sesarea atau pengeluaran plasenta secara manual, dapat meningkatkan resiko seorang ibu terkena infeksi. Resiko tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Distribusi Infeksi Bakterial Pada Pasien Obstetrik.
No. JENIS INFEKSI INSIDENS
1. Chorioamnionitis 0,5 – 1%
2. Postpartum Endometritis :
- Seksio Sesarea
- Persalinan Pervaginam 0,5 – 85%
< 10% 3. Infeksi Saluran Kemih 1 – 4% 4. Pyelonephritis 1 – 4% 5. Sepsis Post Aborsi 1 – 2% 6. Nekrosis Post Operatif < 1% 7. Toxic Shock Syndrome < 1% Sumber data : Critical Care Obstetric, 2001. Dari tabel 1 tersebut, dapat diketahui bahwa resiko terjadinya infeksi nifas pada persalinan pervaginam relatif kecil (kurang dari 10%). World Health Organization (WHO) melalui upaya Safe Motherhood menganjurkan agar setiap kehamilan, persalinan, dan nifas dianggap beresiko. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa lebih dari 90 % komplikasi obstetri tidak dapat diramalkan sebelumnya (Saifuddin, 2001 : 6). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh penulis di RSU A. Yani Metro tanggal 17 Oktober 2003 diperoleh data sebagai berikut : Tabel 2. Distribusi Ibu Nifas di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro Periode Januari – September 2003. No. JENIS JUMLAH PERSEN 1. Nifas normal 205 37,9 2. Nifas dengan penyulit 336 62,1 a. Nifas Post Seksio Sesarea 58 10,7 b. Nifas Post Ketuban Pecah Dini 44 8,1 c. Nifas Post Ante Partum Hemorhagi 42 7,8 d. Nifas Post Pre Eklamsi 40 7,4 e. Nifas Post Partum Hemorhagi 40 7,4 f. Nifas Post Ekstraksi Vakum 34 6,3 g. Nifas Post Letak Sungsang/Letak Lintang 33 6,1 h. Nifas Post Date 20 3,7 i. Nifas dengan Retensio Plasenta 13 2,4 j. Nifas Post Eklamsi 12 2,2 JUMLAH 541 100 Sumber data : Laporan Bulanan Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro Januari - September 2003. Berdasarkan data pada tabel 2 tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah ibu nifas dengan penyulit di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro periode Januari – September 2003 cukup tinggi, yaitu 336 orang (62,1 %) dimana keadaan ini memberikan dampak yang signifikan terhadap resiko terjadinya infeksi nifas. Adapun data kematian ibu di Ruang Kebidanan RS Islam Asy-Syifaa Yukum Jaya selama tahun 2007 adalah sebagai berikut : Tabel 3. Distribusi Kematian Ibu di Ruang Kebidanan RS Islam Asy-Syifaa Yukum Jaya Periode Januari – Juni 2007. No JENIS JUMLAH PERSEN 1 Kehamilan : a. Dekompensasi cordis. b. Mola Hidatidosa 1 1 14,3 14,3 2 Persalinan : Eklampsia 1 14,3 3 Nifas : a. Sepsis b. Dekompensasi cordis c. Eklamsi post partum 2 1 1 28,5 14,3 14,3 JUMLAH 7 100 Sumber data : Laporan Bulanan Ruang Kebidanan RS Islam Asy-Syifaa Yukum Jaya Januari – Juni 2007. Berdasarkan data yang diperoleh dari studi pendahuluan pada tabel 3 tersebut, dapat diketahui bahwa selama bulan Januari – Juni tahun 2007 di Ruang Kebidanan RS Islam Asy-Syifaa Yukum Jaya terdapat kematian ibu nifas karena sepsis sejumlah 2 orang (28,5 %). Selain itu, pencegahan infeksi yang dilakukan di Ruang Kebidanan RS Islam Asy-Syifaa Yukum Jaya yang meliputi : prosedur cuci tangan, pemakaian sarung tangan, pengelolaan cairan antiseptik, pemrosesan alat bekas pakai, dan pengelolaan sampah medik belum sepenuhnya dilakukan sesuai dengan Pedoman Pencegahan Infeksi. Dengan adanya berbagai fakta yang diperoleh dari studi pendahuluan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Penatalaksanaan Pencegahan Infeksi Nifas di Ruang Kebidanan RS Islam Asy-Syifaa Yukum Jaya”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada Latar Belakang Masalah, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut : bagaimanakah penatalaksanaan pencegahan infeksi nifas di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro ? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui penatalaksanaan pencegahan infeksi nifas di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro. 2. Tujuan Khusus a. Diperolehnya gambaran tentang prosedur cuci tangan oleh petugas. b. Diperolehnya gambaran tentang pemakaian sarung tangan oleh petugas. c. Diperolehnya gambaran tentang pengelolaan cairan antiseptik oleh petugas. d. Diperolehnya gambaran tentang pemrosesan alat bekas pakai oleh petugas. e. Diperolehnya gambaran tentang pengelolaan sampah medik oleh petugas.   D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : 1. Untuk Rumah Sakit a. Sebagai masukan tentang penatalaksanaan pencegahan infeksi nifas di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro. b. Untuk menerapkan prosedur pencegahan infeksi nifas di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro. 2. Untuk Institusi Pendidikan Sebagai bahan kajian terhadap teori yang telah diperoleh mahasiswi selama mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di Politeknik Kesehatan Tanjung Karang Program Studi Kebidanan Metro sekaligus sebagai bahan atau sumber bacaan di perpustakaan institusi pendidikan. 3. Untuk Penulis Menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang pencegahan infeksi, khususnya infeksi nifas dan merupakan persyaratan untuk menyelesaikan Program Pendidikan pada Diploma III Kebidanan di Politeknik Kesehatan Tanjung Karang Program Studi Kebidanan Metro. E. Ruang Lingkup Adapun yang menjadi ruang lingkup dari penelitian tentang penatalaksanaan pencegahan infeksi nifas di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro adalah : 1. Subyek Penelitian : Petugas paramedis di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro. 2. Obyek Penelitian : Penatalaksanaan pencegahan infeksi nifas di Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro. 3. Lokasi Penelitian : Ruang Kebidanan RSU A. Yani Metro. 4. Waktu Penelitian : 17 Mei – 16 Juni 2004

BACA SELENGKAPNYA - Penatalaksanaan pencegahan infeksi nifas di ruang kebidanan RSU

Karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kelahiran bayi kiranya merupakan momen yang paling menggembirakan bagi orang tua. Mereka ingin bayi mereka sehat dan memiliki lingkungan emosi dan fisik yang terbaik. Setelah lahir, nutrisi memainkan peran terpenting bagi pertumbuhan dan perkembangan yang sehat dari bayi itu (Ramaiah, 2006)
Pada masa lima tahun kehidupan anak, pertumbuhan mental dan intelektual berkembang sangat cepat, yang disebut Golden Period. Pada masa itu terbentuk dasar-dasar kemampuan keinderaan, berpikir dan berbicara serta pertumbuhan mental intelektual yang intensif dan awal pertumbuhan moral. Gerbang pertama untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas adalah ASI (Air Susu Ibu) eksklusif. Banyak penelitian sudah membuktikan, ASI membuat bayi jauh lebih sehat, kekebalan yang tinggi, kecerdasan emosional dan spiritual lebih baik. IQ pun bisa lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang ketika bayi tidak diberi ASI Eksklusif dan ASI juga mempunyai dampak ekonomis yang sangat tinggi, serta ASI tidak bisa digantikan dengan zat makanan manapun (Markum, www. Cyberwoman 2006).
Pemberian ASI yang dianjurkan ditingkat internasional dan nasional adalah pemberian ASI segera setengah jam setelah bayi lahir, kemudian pemberian ASI saja sampai bayi berusia 6 bulan, selanjutnya pemberian ASI diteruskan sampai 2 tahun dengan pemberian makanan pendamping ASI. Pemberian ASI eksklusif merupakan salah satu kontribusi terpenting bagi kesehatan, pertumbuhan, dan perkembangan bayi baru lahir, bayi dan anak-anak. Manfaatnya akan semakin besar apabila pemberian ASI dimulai pada 1 jam pertama setelah kelahiran, dimana bayi membutuhkan makanan dan tanpa pemberian susu tambahan. Selain kekayaan gizi yang jelas dimiliki ASI, pemberian ASI juga melindungi bayi dari kematian dan kesakitan. Bayi yang diberi ASI eksklusif kemungkinan menderita diare dan infeksi pernafasan hanya seperempat dari seluruh kejadian yang diderita bayi yang tidak diberi ASI (Widyastuti, 2004).
Pada masa bayi, orang tua lebih merupakan perawat, pada masa balita sebagai pelindung, diusia prasekolah sebagai pengasuh, pada waktu usia sekolah dasar sebagai pendorong. Perubahan peran itu perlu terjadi agar pola pengasuhannya menjadi tepat meski ASI eksklusif memiliki banyak keunggulan, jumlah ibu yang menyusui anaknya makin menurun. Data terakhir menunjukkan adanya penurunan prevalensi ASI eksklusif dari 65,1% (Susenas 1989) menjadi 49,2% (Susenas 2001). Proporsi bayi mendapatkan ASI Eksklusif di pedesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan dan kawasan timur Indonesia lebih tinggi daripada di kawasan Jawa, Bali, dan Sumatera. Sedangkan ibu menyusui bayinya sampai usia 12-15 bulan sekitar 86% dan sekitar 66% menyusui sampai bayi berumur 22-23 bulan. Mengingat dewasa ini para ibu di negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika dan Australia telah menjadikan pemberian ASI secara eksklusif sebagai perilaku pola asuh bayi. Meski mereka bekerja, tapi hal ini tidak menghambat keberhasilan pemberian ASI secara eksklusif (Swasono, www.menegpp 2006).
Berbeda dengan para ibu di negara berkembang seperti Indonesia, yang cenderung memilih memberikan susu formula kepada bayinya. Bahkan pada sebagian ibu, perilaku ini berkembang menjadi semacam gengsi. Celakanya, perilaku yang salah ini lalu ditiru oleh para ibu dari keluarga kurang mampu, sehingga terjadi pemberian susu formula yang sangat encer dan tidak memenuhi kebutuhan gizi bayi (Roesli, www.gizi.net 2006).
Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun1997 sampai 2002 lebih dari 95% ibu pernah menyusui bayinya. Namun yang menyusui dalam 1 jam pertama setelah melahirkan cenderung menurun dari 8% pada tahun 1997 jadi 3,7% pada tahun 2002. cakupan ASI Eksklusif 6 bulan menurun dari 42,4% pada tahun 1997 menjadi 39,5% pada tahun 2002. Penggunaan susu formula meningkat lebih dari 3 x lipat selama 5 tahun dari 10,8% pada tahun 1997 menjadi 32,5% pada tahun 2002 (www.depkes.go.id, 2006).
Dari sebuah survei yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumsi Indonesia (YLKI) pada tahun 1995 terhadap ibu-ibu se Jabotabek, diperoleh data bahwa alasan pertama berhenti memberikan ASI pada anaknya adalah “takut di tinggal suami”. Ini semua karena mitos yang salah yaitu menyusui akan mengubah bentuk payudara menjadi lembek (Roesli, 2000).
Sedangkan pada saat ini tampak ada kecenderungan menurunnya penggunaan ASI pada sebagian masyarakat di kota-kota besar. Di kota besar sering kita melihat bayi diberi susu botol daripada disusui ibunya, sementara di pedesaan kita melihat bayi yang berusia 1 bulan sudah diberi pisang atau nasi lembut sebagai tambahan ASI. Pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan untuk Propinsi Lampung adalah 57.207 bayi atau hanya sekitar 34,53% dari jumlah bayi 165.656 bayi. Sedangkan pemberian ASI ekslusif pada bayi 0-6 bulan untuk Kota Metro adalah 900 bayi atau sekitar 58,82% dari jumlah bayi 1530 bayi. (Profil Kesehatan Propinsi Lampung, 2004).
Data prasurvei yang didapat oleh penulis di Dinas Kesehatan Kota Metro mengenai cakupan pemberian ASI rkslusif tahun 2005 adalah sebagai berikut :
Tabel 1
Data Cakupan ASI Eksklusif Kota Metro 2005

No Puskesmas Sasaran Cakupan %
1
2
3
4
5
6 Yosomulyo
Metro
Iringmulyo
Banjarsari
Sumbersari
Ganjar Agung 282
241
334
241
139
227 238
27
158
183
27
177 84,39
11,2
47,3
75,93
19,93
77,97
JUMLAH 1464 810 55,32
Sumber : Laporan Cakupan ASI Eksklusif Dinas Kesehatan Kota Metro tahun 2005
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa cakupan pemberian ASI ekslusif Kota Metro tahun 2005 hanya mencapai 55,32%, sedangkan target untuk cakupan pemberian ASI eksklusif Kota Metro untuk tahun 2005 adalah 60%. Cakupan pemberian ASI Eksklusif yang terendah ialah Puskesmas Kota Metro, hanya tercapai 11,2% atau 27 ibu dari 241 ibu yang menyusui dan cakupan pemberian eksklusif yang paling tinggi dicapai oleh Puskesmas Yosomulyo yaitu sebesar 84,39% atau 238 ibu dari 282 ibu yang menyusui.
Semua ibu seharusnya dapat menyusui anaknya dan memenuhi kebutuhan nutrisi anaknya dimana ASI dapat menjadi makanan tunggal bagi bayi sampai berusia 6 bulan. Dalam upaya pemberian ASI eksklusif agar berhasil dimulai dan dimantapkan, ibu butuh dukungan aktif baik dari keluarga maupun orang-orang yang penting bagi ibu misalnya suami (Roesli, 2000).
Keberhasilan memberikan ASI Eksklusif selain bergantung pada ibu juga sangat bergantung pada suami karena peran suami sama besarnya dengan peran ibu terutama dalam segi psikologis, sehingga jika seorang ibu berhasil memberi ASI eksklusif selama 4 atau bahkan 6 bulan, hal ini merupakan keberhasilan ibu dan suami (Roesli, 1999).
Dari pengalaman selama lebih dari 15 tahun menggeluti masalah ASI dapat dipastikan bahwa suami yang berperan sebagai ayah merupakan bagian vital dalam keberhasilan ataupun kegagalan menyusui. Masih banyak para suami yang berpendapat salah. Para suami ini berpendapat bahwa menyusui adalah urusan ibu dan bayinya. Mereka menganggap cukup menjadi pengamat yang pasif saja, sebenarnya suami mempunyai peran yang sangat penting dalam keberhasilan menyusui, terutama untuk menjaga agar refleks oksitosin lancar (Roesli, 2000).
Di hari pertama setelah melahirkan, ibu pastilah mengalami kelelahan fisik dan mental. Akibatnya, ibu merasa cemas, tidak tenang, hilang semangat, dan sebagainya. Ini merupakan hal normal yang perlu diantisipasi suami maupun pihak keluarga. Namun dalam beberapa kasus, terutama pada anak pertama, banyak suami yang lebih sibuk dengan bayinya dari pada memperhatikan kebutuhan sang istri. Jika kondisi ini terus-menerus berlanjut maka ibu akan merasa bahwa perhatian suami padanya telah menipis sehingga muncul asumsi-asumsi negatif. Terutama yang terkait erat dengan penampilan fisiknya setelah bersalin. Tubuh yang dianggap tak lagi seindah dulu membuat suami lebih mencintai anak dari pada dirinya sebagai istri. Perasaan negatif ini akan membuat refleks oksitosin menurun dan produksi ASI pun terhambat. Karena pikiran negatif ibu memengaruhi produksi ASI, maka dukungan suami sangat dibutuhkan. Pentingnya suami dalam mendukung ibu selama memberikan ASI-nya memunculkan istilah breastfeeding father atau suami menyusui. Jika ibu merasa didukung, dicintai, dan diperhatikan, maka akan muncul emosi positif yang akan meningkatkan produksi hormon oksitosin sehingga produksi ASI menjadi lancar ( Roesli, www.bkkbn.com., 2006).
Dikatakan bahwa keberhasilan memberikan ASI eksklusif selain bergantung pada ibu juga sangat bergantung pada suami maka tidak terlepas kemungkinan keterkaitan antara karakteristik suami pada ibu menyusui dengan dukungan dalam pemberian ASI eksklusif dimana dukungan tersebut dipengaruhi oleh tingkat usia suami, tingkat pendidikan suami, jenis pekerjaan suami, tingkat penghasilan suami, tingkat pengetahuan suami tentang pemberian ASI Eksklusif dan sikap suami terhadap pemberian ASI eksklusif. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang karakteristik suami pada ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Metro Kecamatan Metro Pusat Kota Metro tahun 2006.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian yang terdapat pada latar belakang, maka dapat dibuat rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Metro Kecamatan Metro Pusat Kota Metro tahun 2006 ?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Metro Kecamatan Metro Pusat Kota Metro tahun 2006.
2. Tujuan Khusus
a. Diperolehnya gambaran karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif berdasarkan tingkat usia.
b. Diperolehnya gambaran karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif berdasarkan tingkat pendidikan.
c. Diperolehnya gambaran karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif berdasarkan jenis pekerjaan.
d. Diperolehnya gambaran karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif berdasarkan tingkat penghasilan.
e. Diperolehnya gambaran karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif berdasarkan tingkat pengetahuan.
f. Diperolehnya gambaran karekteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif berdasarkan sikap.

D. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup yang diteliti adalah sebagai berikut :
1. Sifat Penelitian : Studi Deskriptif
2. Objek Penelitian : Karakteristik suami dilihat dari tingkat usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat penghasilan, tingkat pengetahuan dan sikap.
3. Subjek penelitian : Suami dengan ibu menyusui yang memiliki bayi usia diatas 6 bulan sampai 2 tahun dan telah memberikan ASI eksklusif pada bayinya
4. Lokasi penelitian : Di Wilayah Kerja Puskesmas Metro
5. Waktu Penelitian : Tanggal 8 Mei – 20 Mei 2006

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas Kota Metro
Menambah wawasan serta menjadi tolak ukur para tenaga kesehatan di Puskesmas Kota Metro dalam melaksanakan program selanjutnya, terutama lebih aktif dalam memberikan penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat khususnya ibu-ibu menyusui tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif.
2. Bagi Masyarakat Kecamatan Metro Pusat
Sebagai masukan bagi masyarakat khususnya ibu-ibu menyusui agar lebih meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif bagi bayinya serta menambah wawasan pengetahuan dan pandangan positif sehingga dapat meyakinkan keluarga khususnya ibu-ibu menyusui agar memberikan ASI secara eksklusif.
3. Bagi Penelitian Selanjutnya
Untuk memberikan masukan bagi kegiatan penelitian berikutnya terutama penelitian yang berkaitan dengan ASI eksklusif.

BACA SELENGKAPNYA - Karakteristik suami dengan ibu menyusui dalam pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja puskesmas

Gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis di desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa adalah tingginya angka harapan hidup penduduknya. Demikian juga Indonesia sebagai suatu negara berkembang, dengan perkembangannya yang cukup baik, makin tinggi usia harapan hidup pada waktu lahir orang Indonesia akan mencapai 70 tahun atau lebih pada tahun 2015-2020 (FKUI, 1999 : iv). Usia harapan hidup untuk pria 76 tahun dan wanita 82 tahun (WHO, 1995:15). Di Lampung usia harapan hidup penduduknya pada tahun 2004 mencapai 67,6 tahun, sedangkan Lampung Timur adalah 69,3 tahun (Dinkes Propinsi, 2004).
Meningkatnya usia harapan hidup bagi masyarakat mempunyai beberapa konsekuensi yaitu antara lain akan timbulnya berbagai masalah kesehatan. Khususnya bagi wanita didalam daur hidupnya akan mengalami berbagai masalah kesehatan terutama pada masa menopause dan pasca menopause (Baziad, 2000:35). Salah satu masalah kesehatan yang bisa terjadi pada masa menopause adalah osteoporosis.
Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang paling banyak menyerang wanita yang telah menopause (Irawati, 2002:47).Akibat yang biasa terjadi dari osteoporosis adalah ketika tulang punggung menjadi lemah, maka akan mudah jatuh dan retak, apalagi jika disertai dengan patah tulang (fraktur).
Waktu menopause produksi estrogen dalam tubuh wanita mengalami penurunan yang drastis. Diantara banyak fungsinya estrogen memainkan peranan utama dalam melestarikan kekuatan tulang melalui kalsifikasi atau pemberian kalsium yang terus menerus. Dengan turunnya kadar estrogen, hormon yang berperan dalam proses ini yaitu vitamin D dan PTH (Parathyroid Hormone) menurun sehingga proses pematangan sel tulang (osteoblast) terhambat. Apabila ini berlanjut terus, maka penyerapan tulang dalam tubuh akan lebih cepat daripada pembentukan dalam tulang sehingga tulang menjadi lebih lunak, lebih lemah dan lebih mudah patah (Rachman, 2000:13).
Osteoporosis dapat terjadi akibat gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, mengkonsumsi alkohol dan kurangnya aktifitas yang dilakukan sehari-hari mulai anak-anak sampai dewasa, serta minimnya pengetahuan masyarakat mengenai cara pencegahan osteoporosis terbukti dengan rendahnya konsumsi kalsium rata-rata di Indonesia yang hanya 254 mg perhari dari 1000-1200 mg perhari menurut standar internasional. Hal ini ditambah kenyataan bahwa gejala osteoporosis sering kali tidak menimbulkan gejala (silent desease), namun seringkali menunjukkan gejala klasik berupa nyeri punggung akibat fraktur kompresi dari satu atau lebih vertebrata (www.@promokes.go.id, 2006).
Berdasarkan data terbaru dari IOF (International Osteoporosis Foundation) menyebutkan sampai tahun 2000 ini diperkirakan 200 juta wanita mengalami osteoporosis (Hartono, 2000:2). Wanita 2-3 kali lebih banyak menderita osteoporosis dibandingkan laki-laki dengan prevalensi lebih kurang 35% wanita pasca menopause menderita osteoporosis dan 50% ostopenia (Baziad, 2003:75). Berdasarkan analisa data Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada 14 propinsi menunjukkan masalah osteoporosis di Indonesia telah mencapai tingkat yang perlu diwaspadai yaitu 19,7 %. (www.Depkes.go.id, 2005).
Menurut laporan SP2TP tahun 2004 di Propinsi Lampung osteoporosis yang merupakan salah satu penyakit tulang dan jaringan pengikat menempati urutan ke-5 dari 10 (sepuluh) besar penyakit pada tahun 2004 dengan jumlah kasus 126.304 (9,32%) (Dinkes Propinsi, 2004). Dari beberapa Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung, kasus penyakit osteoporosis lama dan baru yang ada di daerah Lampung Timur pada triwulan IV tahun 2005 menempati urutan ke-3 dari jumlah penyakit terbanyak yang ada di Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Timur sebanyak 4059 kasus (8,25%) (LB1 Dinkes Lampung Timur). Untuk wilayah Puskesmas Purbolinggo, penyakit tulang menempati urutan ke-2 sebanyak 143 kasus (8,1%) dari penyakit terbanyak pada bulan Januari 2006. Sedangkan pada bulan Februari 2006 menempati urutan ke-3 sebanyak 109 kasus (7,1%) (Seksi Puskesmas Lampung Timur).
Berdasarkan studi pendahuluan di Desa Taman Bogo Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur terdapat jumlah wanita berdasarkan golongan umur 46-50 tahun yaitu 151 orang (7,6%) (data desa Taman Bogo tahun 2005). Dari hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap 10 orang wanita pramenopause, ternyata ada 6 orang (60%) tidak tahu tentang osteoporosis yang mungkin akan terjadi pada masa menopause. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian mengenai pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis yang terjadi pada masa menopause di Desa Taman Bogo Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut : “Bagaimanakah gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis di Desa Taman Bogo Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur tahun 2006?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis.
2. Tujuan Khusus
a) Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis pada domain kognitif tingkat tahu.
b) Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis pada domain kognitif tingkat paham.
c) Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis pada domain kognitif tingkat aplikasi.

D. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup yang diteliti adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian : Studi Deskriptif
2. Obyek Penelitian : Tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis.
3. Subyek penelitian : Wanita yang berusia 46-50 tahun di Desa Taman Bogo Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur.
4. Lokasi penelitian : Desa Taman Bogo Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur.
5. Waktu Penelitian : Bulan April – Mei 2006.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Petugas Pelaksana Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan penyuluhan kepada wanita pramenopause tentang osteoporosis pada masa menopause.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan dan informasi untuk penelitian berikutnya.

BACA SELENGKAPNYA - Gambaran tingkat pengetahuan wanita pramenopause tentang osteoporosis di desa

13 September 2010

Congestive Heart Failure / gagal jantung


1. Pengertian
Congestive Heart Failure (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaring an dan/atau kemampuannya hanya ada
kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal (Mansjoer, 2001).
Menurut Brunner dan Suddarth (2002) CHF adalah ketidakmampuan
jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan
jaringan akan Oksigen dan nutrisi.
2. Etiologi
Menurut Hudak dan Gallo (1997) penyebab kegagalan jantung yaitu :
a. Disritmia, seperti: Bradikardi, takikardi, dan kontraksi premature yang sering
dapat menurunkan curah jantung.
b. Malfungsi katup, dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh kelebihan
beban tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang , seperti
stenosis katup aortik atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan beban
volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri.
c. Abnormalitas otot jantung, menyebabkan kegagalan ventrikel meliputi infark
miokard, aneurisme ventrikel, fibrosis miokard luas (biasanya dari
aterosklerosis koroner jantung atau hipertensi lama), fibrosis endokardium,
penyakit miokard primer (kardiomiopati), atau hipertrofi l uas karena hipertensi
pulmonal, stenosis aorta, atau hipertensi sistemik.
d. Ruptur miokard, terjadi sebagai awitan dramatik dan sering membahayakan
kegagalan pompa dan dihubungkan dengan mortalitas tinggi. Ini biasa terjadi
selama 8 hari pertama setelah infa rk.
Sedangkan menurut Brunner dan Suddarth (2002) penyebab gagal jantung
kongestif, yaitu: kelainan otot jantung, aterosklerosis koroner, hipertensi sistemik
atau pulmonal (peningkatan afterload) , peradangan dan penyakit miokardium
degeneratif, penyakit jantung lain, faktor sistemik
3. Klasifikasi
Menurut Mansjoer (2001) berdasarkan bagian jantung yang mengalami
kegagalan pemompaan, gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal
jantung kanan, dan gagal jantung kongestif. Menurut New York Heart
Association (Mansjoer, 2001) klasifikasi fungsional jantung ada 4 kelas, yaitu:
Kelas 1 : Penderita kelainan jantung tanpa pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas
sehari-hari tidak menyebabkan keluhan.
Kelas 2 : Penderita dengan kelainan jantung yang mempunyai akti vitas fisik
terbatas. Tidak ada keluhan sewaktu istirahat, tetapi aktivitas sehari -
hari akan menyebabkan capek, berdebar, sesak nafas.
Kelas 3 : Penderita dengan aktivitas fisik yang sangat terbatas. Pada keadaan
istirahat tidak terdapat keluhan, tetapi ak tivitas fisik ringan saja akan
menyebabkan capek, berdebar, sesak nafas.
Kelas 4 : Penderita yang tidak mampu lagi mengadakan aktivitas fisik tanpa rasa
terganggu. Tanda-tanda dekompensasi atau angina malahan telah
terdapat pada keadaan istirahat.
4. Patofisiologi
Menurut Soeparman (2000) beban pengisian (preload) dan beban tahanan
(afterload) pada ventrikel yang mengalami dilatasi dan hipertrofi memungkinkan
adanya peningkatan daya kontraksi jantung yang lebih kuat, sehingga curah
jantung meningkat. Pembebanan jantung yang lebih besar meningkatkan
simpatis, sehingga kadar katekolamin dalam darah meningkat dan t erjadi
takikardi dengan tujuan meningkatkan curah jantung. Pembebanan jantung yang
berlebihan dapat mengakibatkan curah jantung menurun, maka akan terj adi
redistribusi cairan dan elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan
vasokonstriksi perifer dengan tujuan untuk memperbesar aliran balik vena
(Venous return) ke dalam ventrikel sehingga meningkatkan tekanan akhir
diastolik dan menaikkan kembali curah jantung. Dilatasi, hipertrofi, takikardi , dan
redistribusi cairan badan merupakan mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan curah jantung dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi badan.
Bila semua kemampuan mekanisme kompensasi jantung tersebut diata s sudah
dipergunakan seluruhnya dan sirkulasi darah dalam badan belum juga tepenuhi,
maka terjadilah keadaan gagal jantung. Gagal jantung kiri atau gagal jantung
ventrikel kiri terjadi karena adanya gangguan pemompaan darah oleh ventrikel
kiri sehingga curah jantung kiri menurun dengan akibat tekanan akhir diastol
dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastole dalam ventrikel kiri meningkat.
Keadaan ini merupakan beban atrium kiri dalam kerjanya untuk mengisi ventrikel
kiri pada waktu diastolik, dengan akib at terjadinya kenaikan tekanan rata - rata
dalam atrium kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang meninggi ini menyebabkan
hambatan aliran masuknya darah dari vena - vena pulmonal. Bila keadaan ini
terus berlanjut, maka bendungan akan terjadi juga dalam paru - paru dengan
akibat terjadinya edema paru dengan segala keluhan dan tanda - tanda akibat
adanya tekanan dalam sirkulasi yang meninggi. Keadaan yang terakhir ini
merupakan hambatan bagi ventrikel kanan yang menjadi pompa darah untuk
sirkuit paru (sirkulasi kecil). Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah,
maka akan merangsang ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi dengan
mengalami hipertropi dan dilatasi sampai batas kemampuannya, dan bila beban
tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi gagal jantung kanan, sehingga pada
akhirnya terjadi gagal jantung kiri - kanan. Gagal jantung kanan dapat pula terjadi
karena gangguan atau hambatan pada daya pompa ventrikel kanan sehingga isi
sekuncup ventrikel kanan tanpa didahului oleh gagal jantung kiri. De ngan
menurunnya isi sekuncup ventrikel kanan, tekanan dan volum akhir diastole
ventrikel kanan akan meningkat dan ini menjadi beban atrium kanan dalam
kerjanya mengisi ventrikel kanan pada waktu diastole, dengan akibat terjadinya
kenaikan tekanan dalam atr ium kanan. Tekanan dalam atrium kanan yang
meninggi akan menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dalam vena
kava superior dan inferior ke dalam jantung sehingga mengakibatkan kenaikan
dan adanya bendungan pada vena -vena sistemik tersebut (bendungan pada
vena jugularis dan bendungan dalam hepar) dengan segala akibatnya (tekanan
vena jugularis yang meninggi dan hepatomegali). Bika keadaan ini terus
berlanjut, maka terjadi bendungan sistemik yang lebih berat dengan akibat
timbulnya edema tumit atau tungkai bawah dan asites.
5. Manifestasi Klinis
Menurut Hudak dan Gallo (1997) tanda dan gejala yang terjadi pada gagal
jantung kiri antara lain kongesti vaskuler pulmonal, dyspnea, ortopnea, dispnea
nokturnal paroksismal, batuk, edema pulmonal akut, penurunan curah jantung,
gallop atrial (S3), gallop ventrikel (S4), crackles paru, disritmia, bunyi nafas
mengi, pulsus alternans, pernafasan chey ne-stokes, bukti - bukti radiologi
tentang kongesti vaskuler pulmonal. Sedangkan untuk gagal j antung kanan
antara lain curah jantung rendah, peningkatan JVP, edema, disritmia, S3 dan S4
ventrikel kanan, hiperesonan pada perkusi.
6. Diagnosis
Menurut Framingham ( Mansjoer, 2001) kriterianya gagal jantung kongestif
ada 2 kriteria yaitu kriteria mayor dan kriteria minor.
a. Kriteria mayor terdiri dari:
1) Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
2) Peningkatan vena jugularis
3) Ronchi basah tidak nyaring
4) Kardiomegali
5) Edema paru akut
6) Irama derap S3
7) Peningkatan tekanan vena > 16 cm H2O
8) Refluks hepatojugular
b. Kriteria minor terdiri dari:
1) Edema pergelangan kaki
2) Batuk malam hari
3) Dyspnea
4) Hepatomegali
5) Efusi pleura
6) Kapasitas vital berkurang menjadi ? maksimum
7) Takikardi (>120 x/ menit)
Diagnosis ditegakkan dari dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua
kriteria minor harus ada di saat bersama an.
7. Potensial Komplikasi
Menurut Brunner & Suddarth (2002) potensial komplikasi mencakup: syok
kardiogenik, episode tromboemboli, efus i perikardium, dan tamponade
perikardium.
8. Pemeriksaan penunjang
Menurut Dongoes (2000) pemeriksaan penunjang yang dapat d ilakukan
untuk menegakkan diagnosa CHF yaitu:
a. Elektro kardiogram (EKG)
Hipertropi atrial atau ventrikule r, penyimpangan aksis, iskemia, disritmia,
takikardi, fibrilasi atrial.
b. Skan jantung
Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan dinding .
c. Sonogram (ekocardiogram, ekokardiogram dopple)
Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi/
struktur katup, atau area penurunan kontraktili tas ventrikular.
d. Kateterisasi jantung
Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal
jantung kanan dan gagal jantung kiri dan stenosis katup atau insufisiensi.
e. Rongent dada
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi
atau hipertropi bilik, atau perubahan dalam pembuluh darah abnormal.
f. Enzim hepar
Meningkat dalam gagal / kongesti hepar.
g. Elektrolit
Mungkin berubah karena perpindahan cairan / penurunan fungsi ginjal, terapi
diuretik.
h. Oksimetri nadi
Saturasi Oksigen mungkin rendah terutama jika gagal jantung kongestif akut
menjadi kronis.
i. Analisa gas darah (AGD)
Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkaliosis respiratori ringan (dini) atau
hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir).
j. Blood ureum nitrogen (BUN) dan kreatinin
Peningkatan BUN menunjukkan penurunan fungsi ginjal. Kenaikan baik BUN
dan kreatinin merupakan indikasi gagal ginjal.
k. Pemeriksaan tiroid
Peningkatan aktifitas tiroid menunjukkan hiperaktifitas tiroid sebagai pre
pencetus gagal jantung kongestif.
9. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2001) prinsip penatalaksanaan Congestive Heart Failure
adalah:
a. Meningkatkan Oksigenasi dengan pemberian Oksigen dan menurunkan
konsumsi O2 melalui istirahat / pembatasan aktivitas.
b. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
1) Mengatasi keadaan reversibel termasuk tirotoksikosis, miksedema dan
aritmia.
2) Digitalisasi, digoksin, condilamid.
c. Menurunkan beban jantung
1) Menurunkan beban awal dengan:
a) Diit rendah garam
b) Diuretik: furosemid ditambah kalium
c) Vasodilator: menghambat Angiotensin-converting enzyme (ACE),
Isosorbid dinitrat (ISDN), nitrogliserin, nitroprusid.
2) Menurunkan beban akhir dengan dilator arteriol.

http://askep-askeb.cz.cc/
BACA SELENGKAPNYA - Congestive Heart Failure / gagal jantung

Hirschsprung dan Asuhan Keperawatan

Hirschsprung dan Asuhan Keperawatan:
Hirschsprung terjadi karena adanya permasalahan pada persarafan usus besar paling bawah, mulai anus hingga usus di atasnya. Syaraf yang berguna untuk membuat usus bergerak melebar menyempit biasanya tidak ada sama sekali atau kalopun ada sedikit sekali. Namun yang jelas kelainan ini akan membuat BAB bayi tidak normal, bahkan cenderung sembelit terus menerus. Hal ini dikarenakan tidak adanya syaraf yang dapat mendorong kotoran keluar dari anus
Dalam keadaan normal, bahan makanan yang dicerna bisa berjalan di sepanjang usus karena adanya kontraksi ritmis dari otot-otot yang melapisi usus (kontraksi ritmis ini disebut gerakan peristaltik). Kontraksi otot-otot tersebut dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut ganglion, yang terletak dibawah lapisan otot. Pada penyakit Hirschsprung, ganglion ini tidak ada, biasanya hanya sepanjang beberapa sentimeter. Segmen usus yang tidak memiliki gerakan peristaltik tidak dapat mendorong bahan-bahan yang dicerna dan terjadi penyumbatan. Penyakit Hirschsprung 5 kali lebih sering ditemukan pada bayi laki-laki. Penyakit ini kadang disertai dengan kelainan bawaan lainnya, misalnya sindroma Down.
Gejala-gejala yang mungkin terjadi:
? segera setelah lahir, bayi tidak dapat mengeluarkan mekonium (tinja pertama pada bayi baru lahir)
? tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
perut menggembung muntah
? diare encer (pada bayi baru lahir)
? berat badan tidak bertambah
? malabsorbsi.
Etiologi penyakit hirscprung
? Keturunan karena penyakit ini merupakan penyakit bawaan sejak lahir.
? Faktor lingkungan
? Tidak adanya sel-sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid kolon.
? Ketidakmampuan sfingter rectum berelaksasi
Manifestasi Klinis
1. Masa neonatal
? Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir
? Muntah berisi empedu
? Enggan minum
? Distensi abdomen
2. Masa bayi dan kanak-kanak
? Konstipasi
? Diare berulang
? Tinja seperti pita, berbau busuk
? Distensi abdomen
? Gagal tumbuh
Download disini ......


http://askep-askeb-kita.blogspot.com/
BACA SELENGKAPNYA - Hirschsprung dan Asuhan Keperawatan

Asuhan Keperawatan pada Tn. A dengan Gangguan Sistem Integumen : Nyeri Akibat Combustio di Ruang Gelatik Rumah Sakit CC

Asuhan Keperawatan pada Tn. A dengan Gangguan Sistem Integumen : Nyeri Akibat Combustio di Ruang Gelatik Rumah Sakit CC:

ABSTRAK


4 bab, 73 halaman, 2 lampiran

Karya tulis ini dilatarbelakangi oleh tingginya angka gangguan sistem integumen : nyeri akibat combustio di Ruang Gelatik Rumah Sakit CC yaitu sekitar 38,8%. Adapun tujuan yang ingin dicapai, yaitu dapat mengetahui gambaran asuhan keperawatan pada Tn. A dengan gangguan sistem integumen : nyeri akibat combustio di Ruang Gelatik Rumah Sakit CC. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan metode studi kasus. Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh kontak dengan suhu tinggi seperti api, air panas, listrik, bahan kimia, dan radiasi; juga oleh sebab kontak dengan suhu rendah atau frostbite. Masalah keperawatan dalam teori adalah gangguan rasa nyaman nyeri, kerusakan integritas kulit, resiko terjadinya infeksi, gangguan pemenuhan ADL : personal hygiene, gangguan citra tubuh. Masalah keperawatan yang muncul pada Tn. A adalah gangguan rasa nyaman nyeri, kerusakan integritas kulit, resiko terjadinya infeksi, gangguan pemenuhan ADL : Personal Hygiene. Intervensi yang direncanakan adalah atur posisi tidur yang nyaman sesuai dengan keinginan klien, tinggikan dan sokong ekstremitas yang mengalami fraktur dan dislokasi dengan menggunakan bantal dan selimut, anjurkan klien untuk melakukan teknik relaksasi : nafas dalam ketika rasa nyeri timbul. Kesimpulan yang diperoleh penulis setelah melakukan asuhan keperawatan secara langsung adalah pada pengkajian terdapat kesenjangan antara teori dengan kasus Tn. A yaitu, riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik. Pada diagnosa keperawatan terdapat kesenjangan antara teori dengan kasus Tn. A yaitu rasa nyaman nyeri, kerusakan integritas kulit, Resiko terjadinya infeksi, pemenuhan ADL : personal hygiene. Pada perencanaan terdapat diagnosa nyeri perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dan resti infeksi. Pelaksanaan yang ada ditahap perencanaan dilakukan tanpa ada hambatan. Semua diagnosa keperawatan yang muncul dapat teratasi. Saran untuk institusi pendidikan yaitu hendaknya pihak institusi pendidikan menyediakan buku-buku tentang combustio, sehingga penulis dapat menggunakan literatur tersebut, untuk perawat ruangan diharapkan dapat melengkapi alat-alat yang dibutuhkan dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien combustio, dan lebih ditingkatkan sistem pendokumentasian asuhan keperawatan. Untuk klien dan keluarga dapat lebih memahami cara perawatan luka yang baik agar bisa melakukan sendiri pada saat di rumah dengan cara, untuk siswa agar lebih ditingkatkan dalam hal pengkajian dan kemampuan membina hubungan saling percaya dengan klien.

Daftar pustaka : 11 buah ( 1999-2009 )



http://askep-askeb-kita.blogspot.com/
BACA SELENGKAPNYA - Asuhan Keperawatan pada Tn. A dengan Gangguan Sistem Integumen : Nyeri Akibat Combustio di Ruang Gelatik Rumah Sakit CC

Asuhan Keperawatan Pada Ny. I dengan Gangguan Sistem Pencernaan : Nyeri Perut Kanan Bawah Akibat Apendikcitis Akut Di Ruang D3 Bedah RSU DD

Asuhan Keperawatan Pada Ny. I dengan Gangguan Sistem Pencernaan : Nyeri Perut Kanan Bawah Akibat Apendikcitis Akut Di Ruang D3 Bedah RSU DD: "ABSTRAK


4 bab, 65 halaman, 2 lampiran

Karya tulis ini dilatarbelakangi oleh tingginya angka kejadian gangguan sistem pencernaan : apendikcitis di Ruang D3 Bedah Rumah Sakit Umum Daerah DD yaitu sekitar 42,1%. Adapun tujuan yang ingin dicapai, yaitu mendapatkan gambaran tentang asuhan keperawatan pada Ny. I dengan gangguan sistem pencernaan nyeri perut kanan bawah akibat apendikcitis akut di Ruang D3 Bedah Rumah Sakit Umum DD. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan metode studi kasus. Apendikcitis adalah suatu peradangan yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut. Masalah keperawatan dalam teori adalah gangguan rasa nyaman nyeri, resiko tinggi terhadap infeksi, resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan, gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, gangguan istirahat tidur, intoleran aktivitas dan resiko terhadap konstipasi. Masalah keperawatan yang muncul pada Ny. I adalah nyeri, perubahan nutrisi kurang, gangguan perawatan kuku dan resiko terjadi infeksi. Intervensi yang direncanakan adalah ajarkan teknik relaksasi, menganjurkan klien makan sedikit tapi sering, mengajarkan tentang perawatan kuku dan merawat luka. Kesimpulan yang diperoleh penulis setelah melakukan asuhan keperawatan secara langsung adalah pada pengkajian terdapat kesenjangan antara teori dengan kasus Ny. I yaitu, riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik. Pada diagnosa keperawatan terdapat kesenjangan antara teori dengan kasus Ny. I yaitu resiko kekurangan cairan, gangguan istirahat tidur, intoleran aktivitas, dan resiko terhadap konstipasi. Pada perencanaan terdapat diagnosa nyeri perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dan resti infeksi. Pelaksanaan yang ada ditahap perencanaan dilakukan tanpa ada hambatan. Semua diagnosa keperawatan yang muncul dapat teratasi. Saran untuk institusi pendidikan yaitu hendaknya pihak institusi pendidikan menyediakan buku-buku tentang apendiktomy, sehingga penulis dapat menggunakan literatur tersebut, untuk perawat ruangan diharapkan dapat melengkapi alat-alat yang dibutuhkan dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien apendiktomy, dan lebih ditingkatkan sistem pendokumentasian asuhan keperawatan. Untuk klien dan keluarga dapat lebih memahami cara perawatan luka yang baik agar bisa melakukan sendiri pada saat di rumah dengan cara, untuk siswa agar lebih ditingkatkan dalam hal pengkajian dan kemampuan membina hubungan saling percaya dengan klien.

Daftar pustaka : 11 buah ( 1999-2009 )



http://askep-askeb-kita.blogspot.com/
BACA SELENGKAPNYA - Asuhan Keperawatan Pada Ny. I dengan Gangguan Sistem Pencernaan : Nyeri Perut Kanan Bawah Akibat Apendikcitis Akut Di Ruang D3 Bedah RSU DD

ASKEP NY. W DENGAN GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN : STROKE ULANG KE-2 SAMA SISI e.c INFARK ATEROTROMBOLIK SISTEM KAROTIS KANAN FAKTOR RESIKO HYPERTENSI

ASKEP NY. W DENGAN GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN : STROKE ULANG KE-2 SAMA SISI e.c INFARK ATEROTROMBOLIK SISTEM KAROTIS KANAN FAKTOR RESIKO HYPERTENSI:
ABSTRAK



IV Bab, viii, 109 Halaman, 2 Tabel, 4 Gambar, 1 Skema, 5 Lampiran

Tingginya angka kejadian stroke yang mencapai 57,32 % (176 orang) yang merupakan prosentase paling tinggi dari seluruh kasus sistem persarafan di Ruang 19 A RS MM serta kompleks dan besarnya akibat yang ditimbulkan, hal ini yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan asuhan keperawatan pada Ny. W. Tujuan pembuatan karya tulis ini adalah mampu memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem persarafan : Stroke Ulang Ke-2 Sama Sisi e.c Infark Aterotrombolik Sistem Karotis Kanan Faktor Resiko Hipertensi dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan. Metode penulisan yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan pendekatan studi kasus. Stroke yaitu kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh terhentinya suplai darah kebagian otak. Masalah keperawatan yang timbul adalah gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, ganguan mobilitas fisik, gangguan komunikasi verbal, gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi BAB, gangguan pemenuhan kebutuhan ADL dan resiko terjadinya stroke ulang berlanjut. Perencanaan disusun bersama keluarga sesuai dengan kemampuan klien dan keluarga.
Pada pelaksanaan, tidak semua tindakan dapat dilakukan secara maksimal yaitu latihan pergerakan aktif dan pasif / ROM dikarenakan kurangnya motivasi dari klien. Setelah dilakukan intervensi selama 5 hari, pada akhir evaluasi keenam masalah tersebut dapat teratasi dengan baik sesuai dengan tujuan dan kriteria yang telah direncanakan, namun ada satu diagnosa yang harus dilakukan tindakan secara kontinyu yaitu diagnosa gangguan mobilitas fisik, karena hal ini perlu tindakan yang terus menerus dan berkesinambungan untuk menghindari dampak yang mungkin muncul seperti kontraktur bahkan kecacatan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan stroke latihan aktif dan pasif / ROM sangatlah penting sehingga tindakan yang kontinyu dan berkesinambungan sangat diperlukan, oleh karena itu penulis merekomendasikan untuk perawat ruangan agar lebih sabar dan terampil dalam melatih klien dengan stroke, sementara untuk klien dan keluarga penulis merekomendasikan agar tetap melakukan latihan ROM secara teratur, disiplin dalam minum obat, makan sesuai diet dan kontrol secara teratur.

Daftar pustaka : 25 buah (1983-2003).



http://askep-askeb-kita.blogspot.com/
BACA SELENGKAPNYA - ASKEP NY. W DENGAN GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN : STROKE ULANG KE-2 SAMA SISI e.c INFARK ATEROTROMBOLIK SISTEM KAROTIS KANAN FAKTOR RESIKO HYPERTENSI
INGIN BOCORAN ARTIKEL TERBARU GRATIS, KETIK EMAIL ANDA DISINI:
setelah mendaftar segera buka emailnya untuk verifikasi pendaftaran. Petunjuknya DILIHAT DISINI